Share

Part. 5

Ia Merenggutku

 “Nah, kan, melamun lagi. Udah! Jangan mikir macem-macem dulu. Nanti kalau banyak mikir, wajah cantik kamu memudar, lho?” kelakar  Mas Divo yang membuat aku mengangkat dua alisku, kemudian tersenyum padanya. Ia selalu berhasil menghadirkan rasa senang dihatiku dengan semua pujiannya. Lebih dari segalanya.

“Doakan mas, ya? Mas lagi rintis usaha kuliner sama teman mas, Fery di kota. Ntar, kalau dah di titik aman, Mas akan bopong kamu ke sana.”

“Oh, ya?” Dimana, Mas?” tanyaku lagi antusias.

“Ada, deh,” jawab Mas Divo sambil terus membelai rambutku.

“Spesifiknya apa, Mas? Aku ikutan, ya? Aku ‘kan suka masak. Tapi, kog Mas nggak bilang-bilang sebelumnya?” tanyaku dengan wajah riang yang kemudian berganti manyun, pura-pura merajuk.

“Udah, jangan nanya lagi. Kalau dah aman, kamu pasti akan Mas bawa kesana. Kamu Bigboss-nya” Mas Divo memberiku senyum terindahnya. Dua mata kami saling beradu. Kurasakan haru di relung hati. Betapa bahagianya aku bersuamikan dia. Kemudian tatapan Mas Divo berubah nakal.

“Tidur, yuk? Kita lupakan dulu permasalahan itu,” ucapnya kemudian, sambil merangkulku.

***DH***

Pagi ini sepi lagi seperti biasanya. Mereka, para penghuni rumah ini sedang berjibaku dengan tugas-tugas profesional mereka. Dan, aku cukup lega, karena tadi kulihat Mas Dion sudah keluar rumah pagi-pagi sekali. Sepertinya ada urusan mendadak. Alhasil aku bisa leluasa di rumah ini.

Kubawa Bayu ke ruang keluarga. Ia tertidur pulas di dalam Baby Bouncer yang kuposisikan di atas kasur santai depan tivi, usai kuberikan asupan ASI hampir setengah jam lamanya. Sengaja kuletakkan bayiku disana, agar memudahkanku mengawasinya saat asyik bekerja.

Aku terhenti saat melintasi Bayu. Senyumku langsung mengembang. Tingkah lucunya disaat tidur membiusku untuk menatapnya. Kudekati wajah ganteng Bayu dan mencium pipi cubby-nya nan putih.  Aku tertawa saat Bayu menggerakkan mulutnya dengan lucu saat ku sentuh, tapi kemudian ia tertidur lagi.

‘Sayang, semoga jadi putra sholeh Mimi kelak ya, Nak? Mimi Love banget sama Bayu,’ ucapku kemudian sambil tersenyum. Aku menatapnya lama. Mematung sambil tersenyum pada putraku itu. Mengingat ia sudah besar saja. Sudah hampir satu tahun minggu depan.

“Bayu memiliki wajah rupawan, ya, Vi? Ia ngikuti wajah cantik kamu.” Aku terperanjat demi mendengar suara lirih tepat di belakangku itu. Reflek aku menoleh.

‘Astaghfirullah al ‘azzim, Mas! Bikin kaget saja! Kenapa nggak baca salam dulu, sih! Langsung ngajak ngobrol lagi dari belakang,” gerutuku tanpa sadar. “ Ohya, kok, Mas bisa masuk? Bukannya tadi pintu aku kunci?” tanyaku heran sambil berdiri dan memegangi dada yang masih berdegup kencang karena kaget. Aku menatapnya dengan sedikit kesal, karena datang bagai syetan yang tiba-tiba saja sudah ada di belakangku. Ngajak ngobrol lagi.

“Kamu nggak tahu, ya? Papa dan Mama itu dari dulu emang udah sibuk kerja. Jadi, kami dari kecil dibekali kunci rumah masing-masingnya. Cuma kadang aku lupa bawa.” Aku terdiam. Benar, aku tak tahu perihal itu.

Habis bicara seperti itu, ia melangkah mendekati aku dan Bayu. Aku beringsut menjauh. Namun, ia juga makin beringsut mendekatiku yang membuat aku makin kaget dengan sikapnya, juga tatapannya.

“Ada apa, Mas?’ tanyaku mulai gusar. Aku kembali menjauh beberapa langkah.

“Apapun yang kamu lakukan, selalu menarik buatku, Vi. Aku salut. Kamu benar-benar ibu dan istri yang baik, sayangnya ….”

“Mau bilang kamu tidak ketemu wanita sepertiku lagi?” sahutku cepat. Mas Dion tersenyum sambil menekuk wajahnya. Ia mendengkus, kemudian menggeleng Aku penasaran dibuatnya. Keningku mengernyit kembali.

“Sayangnya suamimu … ah, sudahlah!” Ia berhasil lagi membuat aku terkejut. Mataku membulat. “Maksudnya apa, Mas?” tanyaku kemudian. Ia mencebik dan menggelemgkan kepalanya berulangkali.

Pasti ini akal-akalannya lagi. Ia ingin mempermainkanku lagi hingga aku terperangkap dalam permainan busuknya. Aku tak ingin tertipu lagi.

Tanpa menunggu lebih lama, aku pun berlalu darinya. Berniat kembali melakukan aktivitasku yang terbengkalai dan berbuat seorlah-olah tak terjadi apa-apa denganku. Masih dapat kulihat, raut wajah yang mengamatiku itu dengan tatapannya yang … entahlah.

Mata bulatnya yang dihiasi alis tebal itu masih mengamatiku. “Dasar! Ipar edan. Bagaimana mungkin aku bisa tinggal serumah dengan ipar seperti dia,” pikirku dalam hati.

Namun baru selangkah aku bergerak menjauh, tangan kekarnya merenggut lenganku. Ia menatapku. Sesaat kemudian aku juga menatapnya, berganti menatapi cengkeraman di pergelangan tanganku. Dadaku langsung berdegub kencang.

“M-mas, M-mau apa?” tanyaku mulai gugup. Ia kemudian melepaskan cengkeramannya dengan cepat.

“Mau ngomong! Kamu punya waktu, kan?” jawabnya kemudian.

“Tentang apa? Maaf pekerjaanku belum selesai,” kataku kemudian sambil terburu-buru menjauh darinya. Namun, ia kembali merenggut tanganku. “Dina Avelia! Aku perlu penjelasan darimu tentang Dina Avelia.”

Aku terkejut demi nama itu disebut.

“Kamu pura-pura padaku, ‘kan? Jujur saja! Kamu menyimpan sesuatu dariku. Sayangnya aku tahu, Viona.” Aku mendelik, mataku membulat sempurna. Tubuhku gemetaran seperti kehilangan energi, sehingga dua kaki mungil ini serasa tak mampu lagi menopang bobotku, dan mungkin wajahku pun memucat. Apa yang akan lelaki ini lakukan bila ia tahu tentang Dina Avelia?

“M-memangnya a-ada apa dengan n-nama itu, Mas?” jawabku gagap. Kulihat sebuah senyum tergurat di bibir simetrisnya, sehingga bibirnya sedikit terangkat.

“Kamu kaget, ya?” tanyanya sinis. “Tak salah lagi dugaanku, aku bukan orang bodoh yang bisa kamu tipu, Viona.” lanjutnya lagi yang membuatku makin serba salah, tak berdaya mengelak darinya. Jangan sampai, ya Allah. Jangan!

“M-maksud Mas,  Dina Avelia mana?” elakku berusaha setenang mungkin menetralkan rasa gugup, berharap bisa lepas dari pertanyaannya setelah ini.

Mas Dion mengalihkan pandangan dariku, ia menekuk wajahnya sejenak sambil mengeluarkan sebuah senyum yang aku tak tahu maknanya. Ya Tuhan, betapa bodohnya aku! Niatku untuk mengalihkan pikirannya dariku ternyata lebih membuat aku terpuruk dalam lingkaran sikapnya yang menakutkan. Ia semakin berani padaku. Apa yang harus aku katakan, agar aku terbebas dari desakannya ini?

“Maaf, Mas! Aku tak paham apa yang Mas bicarakan. Benar-benar tidak paham,” jawabku lagi sambil berlalu.

“Kamu tahu dia, Viona? Apa perlu aku tunjukkan padamu? Aku tau apa yang kamu sembunyikan?” Aku ternganga. Ya Allah, help me, please.

 “Aku tak punya hubungan apa-apa dengan wanita itu? Aku tidak mengenalnya,” Aku terdiam sejenak. “Maaf aku harus kerja. Mas.” Aku pun berbalik darinya.

Namun, hal tak terduga pun terjadi. Ia meraih cepat tanganku, kemudian menggenggam jemariku. Belum sempat aku berpikir banyak, ia sudah membawa jemariku ke  bibirnya, yang membuat kulitku sedikit memanas oleh terpaan nafas hangatnya. Bodohnya, aku bergeming, meski degup jantungku serasa berdetak tak menentu. Tubuhku merinding dengan semua perlakuannya. Entah mengapa aku seperti di dera sindrom paralisis, yang membuat aku tak mampu menggerakkan motorik-ku, bahkan untuk merenggutkan tangan ini saja aku tak mampu.

“Kamu cinta aku, ‘kan?’ Pertanyaan gila itu lolos meluncur dari bibirnya tanpa basa-basi. Ia menanti jawabanku dengan sebuah senyuman. Aku semakin merinding dengan semua tingkahnya, terlebih tatapan itu.

“Gila, kamu Mas! Semua pertanyaan kamu hanya pertanyaan gila! Bukan aku orang yang tepat untuk kamu tanya, Mas” Aku kembali menepis tangannya yang menyentuh jemariku. Namun, ia malah merenggut tubuhku sehingga lebih dekat dengannya. Bahuku terasa sedikit nyeri.

 “Lepaskan aku, Mas! Apa-apan ini?! ujarku gusar. “Jangan gila, Mas! Aku iparmu, istri dari adik kandungmu sendiri!” tegasku geram. Dan berusaha kembali meronta darinya.  Aku meronta sekuat tenaga, sambil sesekali melirik ke arah pintu, takut kalau-kalau ada orang lain yang tiba-tiba berada di sana dan memperhatikan kami. Seberapa pun benarnya aku, pasti akan salah juga di mata orang.

“Lepaskan, Mas!” ratapku lagi. Namun, ia membalasnya dengan senyuman termanis yang pernah aku lihat, tapi tak cukup mampu menenangkan hatiku yang ketakutan. “Jangan gila kamu, Mas. Aku iparmu. Kalau ada yang melihat kita begini, hancur kita semua, Mas. Bukan cuma aku, tapi Mama, Papa dan Mas Divo,” tukasku sambil berusaha melepaskan diri darinya

Lagi-lagi ia tersenyum. Kemudian tanpa kuduga ia menyeretku ke suatu tempat. “Kamu takut ketahuan? Baik!” Ia menyeretku ke sudut ruangan yang tertutupi lemari hias besar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status