Ia Merenggutku
“Nah, kan, melamun lagi. Udah! Jangan mikir macem-macem dulu. Nanti kalau banyak mikir, wajah cantik kamu memudar, lho?” kelakar Mas Divo yang membuat aku mengangkat dua alisku, kemudian tersenyum padanya. Ia selalu berhasil menghadirkan rasa senang dihatiku dengan semua pujiannya. Lebih dari segalanya.
“Doakan mas, ya? Mas lagi rintis usaha kuliner sama teman mas, Fery di kota. Ntar, kalau dah di titik aman, Mas akan bopong kamu ke sana.”
“Oh, ya?” Dimana, Mas?” tanyaku lagi antusias.
“Ada, deh,” jawab Mas Divo sambil terus membelai rambutku.
“Spesifiknya apa, Mas? Aku ikutan, ya? Aku ‘kan suka masak. Tapi, kog Mas nggak bilang-bilang sebelumnya?” tanyaku dengan wajah riang yang kemudian berganti manyun, pura-pura merajuk.
“Udah, jangan nanya lagi. Kalau dah aman, kamu pasti akan Mas bawa kesana. Kamu Bigboss-nya” Mas Divo memberiku senyum terindahnya. Dua mata kami saling beradu. Kurasakan haru di relung hati. Betapa bahagianya aku bersuamikan dia. Kemudian tatapan Mas Divo berubah nakal.
“Tidur, yuk? Kita lupakan dulu permasalahan itu,” ucapnya kemudian, sambil merangkulku.
***DH***
Pagi ini sepi lagi seperti biasanya. Mereka, para penghuni rumah ini sedang berjibaku dengan tugas-tugas profesional mereka. Dan, aku cukup lega, karena tadi kulihat Mas Dion sudah keluar rumah pagi-pagi sekali. Sepertinya ada urusan mendadak. Alhasil aku bisa leluasa di rumah ini.
Kubawa Bayu ke ruang keluarga. Ia tertidur pulas di dalam Baby Bouncer yang kuposisikan di atas kasur santai depan tivi, usai kuberikan asupan ASI hampir setengah jam lamanya. Sengaja kuletakkan bayiku disana, agar memudahkanku mengawasinya saat asyik bekerja.
Aku terhenti saat melintasi Bayu. Senyumku langsung mengembang. Tingkah lucunya disaat tidur membiusku untuk menatapnya. Kudekati wajah ganteng Bayu dan mencium pipi cubby-nya nan putih. Aku tertawa saat Bayu menggerakkan mulutnya dengan lucu saat ku sentuh, tapi kemudian ia tertidur lagi.
‘Sayang, semoga jadi putra sholeh Mimi kelak ya, Nak? Mimi Love … banget sama Bayu,’ ucapku kemudian sambil tersenyum. Aku menatapnya lama. Mematung sambil tersenyum pada putraku itu. Mengingat ia sudah besar saja. Sudah hampir satu tahun minggu depan.
“Bayu memiliki wajah rupawan, ya, Vi? Ia ngikuti wajah cantik kamu.” Aku terperanjat demi mendengar suara lirih tepat di belakangku itu. Reflek aku menoleh.
‘Astaghfirullah al ‘azzim, Mas! Bikin kaget saja! Kenapa nggak baca salam dulu, sih! Langsung ngajak ngobrol lagi dari belakang,” gerutuku tanpa sadar. “ Ohya, kok, Mas bisa masuk? Bukannya tadi pintu aku kunci?” tanyaku heran sambil berdiri dan memegangi dada yang masih berdegup kencang karena kaget. Aku menatapnya dengan sedikit kesal, karena datang bagai syetan yang tiba-tiba saja sudah ada di belakangku. Ngajak ngobrol lagi.
“Kamu nggak tahu, ya? Papa dan Mama itu dari dulu emang udah sibuk kerja. Jadi, kami dari kecil dibekali kunci rumah masing-masingnya. Cuma kadang aku lupa bawa.” Aku terdiam. Benar, aku tak tahu perihal itu.
Habis bicara seperti itu, ia melangkah mendekati aku dan Bayu. Aku beringsut menjauh. Namun, ia juga makin beringsut mendekatiku yang membuat aku makin kaget dengan sikapnya, juga tatapannya.
“Ada apa, Mas?’ tanyaku mulai gusar. Aku kembali menjauh beberapa langkah.
“Apapun yang kamu lakukan, selalu menarik buatku, Vi. Aku salut. Kamu benar-benar ibu dan istri yang baik, sayangnya ….”
“Mau bilang kamu tidak ketemu wanita sepertiku lagi?” sahutku cepat. Mas Dion tersenyum sambil menekuk wajahnya. Ia mendengkus, kemudian menggeleng Aku penasaran dibuatnya. Keningku mengernyit kembali.
“Sayangnya suamimu … ah, sudahlah!” Ia berhasil lagi membuat aku terkejut. Mataku membulat. “Maksudnya apa, Mas?” tanyaku kemudian. Ia mencebik dan menggelemgkan kepalanya berulangkali.
Pasti ini akal-akalannya lagi. Ia ingin mempermainkanku lagi hingga aku terperangkap dalam permainan busuknya. Aku tak ingin tertipu lagi.
Tanpa menunggu lebih lama, aku pun berlalu darinya. Berniat kembali melakukan aktivitasku yang terbengkalai dan berbuat seorlah-olah tak terjadi apa-apa denganku. Masih dapat kulihat, raut wajah yang mengamatiku itu dengan tatapannya yang … entahlah.
Mata bulatnya yang dihiasi alis tebal itu masih mengamatiku. “Dasar! Ipar edan. Bagaimana mungkin aku bisa tinggal serumah dengan ipar seperti dia,” pikirku dalam hati.
Namun baru selangkah aku bergerak menjauh, tangan kekarnya merenggut lenganku. Ia menatapku. Sesaat kemudian aku juga menatapnya, berganti menatapi cengkeraman di pergelangan tanganku. Dadaku langsung berdegub kencang.
“M-mas, M-mau apa?” tanyaku mulai gugup. Ia kemudian melepaskan cengkeramannya dengan cepat.
“Mau ngomong! Kamu punya waktu, kan?” jawabnya kemudian.
“Tentang apa? Maaf pekerjaanku belum selesai,” kataku kemudian sambil terburu-buru menjauh darinya. Namun, ia kembali merenggut tanganku. “Dina Avelia! Aku perlu penjelasan darimu tentang Dina Avelia.”
Aku terkejut demi nama itu disebut.
“Kamu pura-pura padaku, ‘kan? Jujur saja! Kamu menyimpan sesuatu dariku. Sayangnya aku tahu, Viona.” Aku mendelik, mataku membulat sempurna. Tubuhku gemetaran seperti kehilangan energi, sehingga dua kaki mungil ini serasa tak mampu lagi menopang bobotku, dan mungkin wajahku pun memucat. Apa yang akan lelaki ini lakukan bila ia tahu tentang Dina Avelia?
“M-memangnya a-ada apa dengan n-nama itu, Mas?” jawabku gagap. Kulihat sebuah senyum tergurat di bibir simetrisnya, sehingga bibirnya sedikit terangkat.
“Kamu kaget, ya?” tanyanya sinis. “Tak salah lagi dugaanku, aku bukan orang bodoh yang bisa kamu tipu, Viona.” lanjutnya lagi yang membuatku makin serba salah, tak berdaya mengelak darinya. Jangan sampai, ya Allah. Jangan!
“M-maksud Mas, Dina Avelia mana?” elakku berusaha setenang mungkin menetralkan rasa gugup, berharap bisa lepas dari pertanyaannya setelah ini.
Mas Dion mengalihkan pandangan dariku, ia menekuk wajahnya sejenak sambil mengeluarkan sebuah senyum yang aku tak tahu maknanya. Ya Tuhan, betapa bodohnya aku! Niatku untuk mengalihkan pikirannya dariku ternyata lebih membuat aku terpuruk dalam lingkaran sikapnya yang menakutkan. Ia semakin berani padaku. Apa yang harus aku katakan, agar aku terbebas dari desakannya ini?
“Maaf, Mas! Aku tak paham apa yang Mas bicarakan. Benar-benar tidak paham,” jawabku lagi sambil berlalu.
“Kamu tahu dia, Viona? Apa perlu aku tunjukkan padamu? Aku tau apa yang kamu sembunyikan?” Aku ternganga. Ya Allah, help me, please.
“Aku tak punya hubungan apa-apa dengan wanita itu? Aku tidak mengenalnya,” Aku terdiam sejenak. “Maaf aku harus kerja. Mas.” Aku pun berbalik darinya.
Namun, hal tak terduga pun terjadi. Ia meraih cepat tanganku, kemudian menggenggam jemariku. Belum sempat aku berpikir banyak, ia sudah membawa jemariku ke bibirnya, yang membuat kulitku sedikit memanas oleh terpaan nafas hangatnya. Bodohnya, aku bergeming, meski degup jantungku serasa berdetak tak menentu. Tubuhku merinding dengan semua perlakuannya. Entah mengapa aku seperti di dera sindrom paralisis, yang membuat aku tak mampu menggerakkan motorik-ku, bahkan untuk merenggutkan tangan ini saja aku tak mampu.
“Kamu cinta aku, ‘kan?’ Pertanyaan gila itu lolos meluncur dari bibirnya tanpa basa-basi. Ia menanti jawabanku dengan sebuah senyuman. Aku semakin merinding dengan semua tingkahnya, terlebih tatapan itu.
“Gila, kamu Mas! Semua pertanyaan kamu hanya pertanyaan gila! Bukan aku orang yang tepat untuk kamu tanya, Mas” Aku kembali menepis tangannya yang menyentuh jemariku. Namun, ia malah merenggut tubuhku sehingga lebih dekat dengannya. Bahuku terasa sedikit nyeri.
“Lepaskan aku, Mas! Apa-apan ini?! ujarku gusar. “Jangan gila, Mas! Aku iparmu, istri dari adik kandungmu sendiri!” tegasku geram. Dan berusaha kembali meronta darinya. Aku meronta sekuat tenaga, sambil sesekali melirik ke arah pintu, takut kalau-kalau ada orang lain yang tiba-tiba berada di sana dan memperhatikan kami. Seberapa pun benarnya aku, pasti akan salah juga di mata orang.
“Lepaskan, Mas!” ratapku lagi. Namun, ia membalasnya dengan senyuman termanis yang pernah aku lihat, tapi tak cukup mampu menenangkan hatiku yang ketakutan. “Jangan gila kamu, Mas. Aku iparmu. Kalau ada yang melihat kita begini, hancur kita semua, Mas. Bukan cuma aku, tapi Mama, Papa dan Mas Divo,” tukasku sambil berusaha melepaskan diri darinya
Lagi-lagi ia tersenyum. Kemudian tanpa kuduga ia menyeretku ke suatu tempat. “Kamu takut ketahuan? Baik!” Ia menyeretku ke sudut ruangan yang tertutupi lemari hias besar.
Beberapa saat menunggu, akhirnya sebuah mobil Avanza keluaran lama muncul dari gerbang masuk. Mas Danny melangkah beberapa langkah mendekat sambil melirik ke mobil itu. kaca mobil terbuka, seraut wajah melongok di sana. Kemudian mobil berhenti di hadapan kami. Laki-laki yang tadinya berada di balik kemudi menyerahkan kunci mobil pada Mas Danny. “Sekalian, gue isikan bahan bakar tadi. Ada apaan, sih? Masa’, malam pertama lu masih ada urusan emergency begini?” tanya lelaki itu. “Saudara bini gue masuk rumah sakit, Gem. Sedang darurat,” sahut Mas Danny. Lelaki itu menoleh padaku dan mengangguk sopan. Aku membalasnya dengan senyum sungkan. “Okey! Hati-hati, ya? Mobil gue udah tua. Kebetulan yang stand by tinggal ini. Take care.” Habis berkata begitu lelaki itu berpamitan dan menaiki sebuah motor yang sudah menantinya di gerbang hotel. Mas Danny kemudian mengajakku naik ke mobil. Mobil pun melaju keluar dari pelataran. Belum beberapa menit
Semua telah usai, juga pestaku. Malam ini kami sekeluarga masih menginap di hotel ini, termasuk aku dan Mas Danny yang mendapat kamar khusus penganten. Aku yang masih dibingungkan dengan kejadian tadi siang masih terpana memikirkan semua yang terjadi. Sementara, Mas Danny masih sedang membereskan diri di kamar mandi yang ada di room penganten tempat kami menghabiskan malam ini.Mas Danny keluar sambil mengibaskan handuk berwarna putih bersih di rambutnya yang basah. Tubuh berototnya yang hanya tertutup sebatas pinggang membuat aku sedikit merasakan sesuatu yang tak bisa aku ungkapkan. Tubuh tinggi itu benar-benar sempurna dan penuh pesona.“Hai! Ngapain bengong? Kaget melihat tubuh suami sendiri?” ujarnya mengejutkan lamunanku. Aku yang duduk di bibir ranjang ukuran king size itu segera mengalihkan pandangan sambil tersipu. Wajahku memerah kurasa. Masih sempat kulihat senyum terkembang di wajah tampan itu.Detik berikutnya aku terkejut saat merasakan
Hari pernikahanku dengan Mas Danny, sekaligus resepsi pernikahan akhirnya datang juga. Semua persiapan sudah sangat rampung. Seluruh dekorasi dan segala pernak pernik pernikahan telah tertata dengan indah di ball room hotel yang cukup luas itu. Aku duduk anggun di kursi penganten yang diapit Mas Danny dan Mama yang tak henti tersenyum sumringah menatapi suasana pesta yang cukup elegan ini. Sementara aku juga ikut menatapi suasana pesta yang terkesan lumayan akbar itu dari tempat aku duduk.Menatapi suasana pesta dengan dekorasi interior bernuansa out door itu membuat rasa haruku bermunculan. Tatanan yang didominasi warna putih dipadu cream dan lumut itu sangat menyejukkan mata. Semua persiapan ini hanya inisiatif Mas Danny tanpa sepengetahuanku. Aku salut dengan nilai estetika yang dia miliki. Iringan Sound system ruangan yang menyentuh telinga dengan kekuatan yang nyaman untuk di dengar membuat aku kian terbuai. Aku merasa sangat beruntung bisa menjadi ratu di pesta in
"Hai!" sapanya sambil membuka kaca mata hitam yang menutupi dua netranya itu pelan. Dua sudut bibirnya langsung merekah di rahang kokohnya. Namun, senyum itu seketika memudar seiring tatapannya yang makin lekat ke arahku. Dua netranya menyipit.“Kamu kenapa?” tanyanya heran. Aku menggeleng lemah sambil pura-pura mengalihkan wajah ke samping dan menghapus jejak air mata yang masih terasa basah di antara bulu mata.“Nggak, Mas! Nggak ada apa-apa, kok! Ayo, masuk!” ajakku mengalihkan. Namun, lelaki itu masih terpaku di tempatnya, menatapku dengan raut heran. Beberapa detik kemudian, ia juga mengikutiku masuk ke dalam ruang tamu dan duduk di sofa berseberangan denganku. “Ada apa, Vi?” tanyanya kemudian dengan nada pelan. Membuat aku luruh juga, tak mungkin lagi menyembunyikan keadaan ini pada calon suamiku sendiri. Sebuah permulaan yang didasari kebohongan tentu akan mendatangkan permasalahan di waktu mendatang. Lagia
"Hai!" sapanya sambil membuka kaca mata hitam yang menutupi dua netranya itu pelan. Dua sudut bibirnya langsung merekah di rahang kokohnya. Namun, senyum itu seketika memudar seiring tatapannya yang makin lekat ke arahku. Dua netranya menyipit.“Kamu kenapa?” tanyanya heran. Aku menggeleng lemah sambil pura-pura mengalihkan wajah ke samping dan menghapus jejak air mata yang masih terasa basah di antara bulu mata.“Nggak, Mas! Nggak ada apa-apa, kok! Ayo, masuk!” ajakku mengalihkan. Namun, lelaki itu masih terpaku di tempatnya, menatapku dengan raut heran. Beberapa detik kemudian, ia juga mengikutiku masuk ke dalam ruang tamu dan duduk di sofa berseberangan denganku. “Ada apa, Vi?” tanyanya kemudian dengan nada pelan. Membuat aku luruh juga, tak mungkin lagi menyembunyikan keadaan ini pada calon suamiku sendiri. Sebuah permulaan yang didasari kebohongan tentu akan mendatangkan permasalahan di waktu mendatang. Lagia
“Ma!” ucapku tanpa menoleh pada Mama. “Mama kenal ‘kan sama Tante Widia Anggita? Putri tunggal Bapak Baskoro, teman SMA Mama dulu!” ucapku dengan nada dingin.Ada api benci yang tiba-tiba menjalar mengingat apa yang pernah Mama lakukan dulu, sehngga aku juga mendapatkan hal yang sama dalam hidupku ini. Namun, yang paling aku benci, aku tidak suka penjahat wanita itu ternyata mamaku. Aku benci mengingat rasa sakit yang Mama Mbak Venya rasakan dahulu. Aku benci mengingat kakakku yang baik itu sekian lama harus meredam rasa sakit karena orang yang kupanggil Mama ini.Tak ada jawaban yang bisa aku dengar dari mulut Mama. Hanya suara hening malam yang kian beranjak. Aku menoleh ke arah Mama, setelah beberapa detik jawaban yang kunanati tak kunjung ada. Kutatapi Mama yang terdiam dengan wajah terpekur ke lantai dengan wajah sendu. Aku ikut terpaku menatapnya.“Ada apa? Apa yang sebenarnya terjadi? Ada hubungan apa Mama sama Tante Wd