Share

Part. 6

Author: Dean Han
last update Last Updated: 2021-07-12 00:14:28

 “Mas, jangan gila! Apa yang mau Mas lakukan? Aku bungkam, karena aku tak ingin merusak keluarga kalian!” teriakku diantara seretannya. Ia seperti acuh dengan ucapanku.

Ia berhenti setelah kami berada di tempat sedikit tertutup. Kemudian ia kembali tersenyum. Sejenak mengalihkan pandangannya sambil mendengus kasar. “Aku cuma mau tahu, Viuna. Seberapa brengseknya aku dan seberapa tangguhnya kamu. Atau kamu memang sama saja?” Aku mengernyitkan keningku, tak paham dengan tujuan bicaranya.

 “Dengar!” ujarnya dengan mata sedikit membulat, dan wajah yang mengeras, ketika kini tubuhku dan tubuhnya sudah berdiri berdekatan di balik lemari. Aku terdiam dan terpaku menatapnya, seakan patuh dengan perintah gilanya. Tengkukan telunjuknya menopang daguku. Aku terdongak menatap wajahnya yang cukup tinggi dariku.

“Berhentilah berpura-pura! Ini yang kamu inginkan, ‘kan? Kalian sama saja!” Ia menatapku dalam dan lekat, seakan ingin mencoba menginformasikan sesuatu padaku.

“Maksudnya apa, Mas? Maaf aku tak ngerti.” Aku terdiam sesaat dengan nafas yang sesak. Kemudian, entah kekuatan dari mana aku berani menepisnya sambil berucap, “Aku tak mau ikut gila mengikuti kekonyolan kamu, Mas!” Kemudian kutepis keras lengannya yang masih menyangga daguku, sambil berlalu kencang darinya.

Namun tubuh ini terguncang ketika dengan sigap dua tangan kokohnya kembali mencengkeram bahuku.

“Apalagi, Mas? Mas membuat aku sakit, tau?”

“Aku mau kamu jawab, Viona! Sekali lagi aku ingin kamu jawab, jujur!” Nadanya sedikit meninggi, ia kembali menatapku dengan tatapan serius.

“Aku tak punya jawaban yang kamu cari dan inginkan, Mas!” seruku lagi sambil meronta ingin lepas darinya.

Namun tanpa kusadari, sesuatu yang hangat menempelkan di bibirku. Benda kenyal  dan basah yang cukup membuat aku terperanjat. Aku meronta, namun, cengkeraman dua tanganya terasa tak bisa aku lawan. Sekuat tenaga aku berjuang untuk melepaskan diri dari rengkuhannya. Namun, bibir itu serasa membius gerakku, meskipun aku berupaya sekuat tenaga.

Dan entah kekuatan dari mana, akhirnya aku berhasil mendorong tubuhnya hingga ia terlempar ke belakang. Kuhapus bibirku secara kasar. Kutatap matanya dengan penuh amarah bercampur benci. Nafasku sesak, tubuhku gemetar menahan amarah. Ia juga menatapku ternganga.

“Viona! Dion!” Satu hardikan keras mengejutkan kami. Serta merta aku dan Mas Dion menoleh serentak ke arah asal suara.

“Mama?!” Serentak suara kami terdengar dengan nada keterkejutan. Aku membelalak demikian juga dia. Detik berikutnya kami saling berpandangan.

Mama berdiri dengan wajah dingin dan kaku di dekat pintu. Dua tangannya terpaku di pinggang. Ia menatapku dan Mas Dion secara bergantian dengan wajah penuh amarah. Buru-buru Mas Dion menghampirinya.

“Mom ...,” ucapnya kemudian. Sementara aku hanya mematung kaku mengamatinya. Aku gemetar. Hatiku gelisah, takut bila ternyata Mama telah berada disana semenjak tadi, dan menyaksikan semua. Aku takut Mama marah dan menganggapku wanita murahan, kemudian memberitahukan suamiku hingga suamiku membenciku.

Mama mengacuhkan pertanyaan Mas Dion, ia menatapku yang akhirnya tertunduk. Keringat dingin mengalir di pori-poriku. Kusatukan sepuluh jari, tak berani membalas tatapan Mama.

 “Ngapain kalian disini berduaan?’ tanya Mama mengintimidasi. “Kamu kok dirumah jam segini, Dion?” tukasnya lagi sambil mengalihkan pandangan pada Mas Dion. Lelaki itu berjuang keras menetralkan sikapnya, mengumbar sebuah senyuman.

“Mom? Emang Dion nggak boleh pulang ke rumah ini, lagi? Jadi Dion hanya boleh pulang jam tertentu saja?” Wanita lima puluh tahunan itu terdiam. Namun, raut amarah masih terlukis nyata diwajahnya. Biasanya, panggilan spesial Mas Dion itu selalu bisa membujuk Mama yang marah padanya, tapi entahlah kali ini.

Mama melirikku, tepatnya menelisikku, seakan sedang mempelajari apa yang ditangkap netranya dariku. Aku risih dengan tatapan itu, tatapan yang merendahkan. Aku tak tahu apa yang ada dalam pikiran Mama. Andai ia melihat dari awal, ia pasti tahu bukan aku yang salah, tapi bila ia hanya melihat separuhnya, pastinya ia akan menganggap akulah penyebabnya.

Ya, Allah. Bagaimana kalau iya? Apakah aku akan disalahkannya sebagai istri yang tak bisa menjaga martabat dan amanah suamiku? Bagaimana kalau Mama beranggapan aku yang memulai semua ini? Bagaimana kalau Mama memberitahu Mas Divo? Pastinya ia akan membenciku karena menikahi perempuan murahan. Ya, Allah, tolong! Selamatkanlah aku.

“Apa kalian pikir, berduaan seperti ini, pantas? Kamu Dion! Bukankah semestinya kamu di percetakan? Ngapain sepi-sepi begini disini? Berduaan saling dekat di rumah,” tegasnya lagi.

Mas Dion menatap padaku sejenak, mungkin mengamati raut ketakutanku. Kemudian berucap, “Mom ... Mommy mikir apaan, sih?” Aku tertunduk sambil menggigit bibirku cukup keras. Berharap Mas Dion menyelamatkanku dari pandangan hina mertuaku. Tak kuat rasanya menerima kenyataan mertua yang dulunya sangat sayang dan menghargaiku selama ini, kini berubah menampakkan wajah jijiknya padaku.

Kulirik lelaki itu sekilas, berharap ia memberikan jawaban yang memihak padaku, karena semua ini memang salah dia. ‘Kamu harus mempertanggung-jawabkannya, Mas. Gara-gara kamu aku merasa sehina ini.’  Tak sengaja wajah geram kuarahkan pada Mas Dion yang masih mematung di samping Mama.

“Ma …,” ucapnya pelan. “Semua nggak seperti yang Mama lihat. Mama percaya aku, ‘kan? Ada yang kutanyakan sama Viona. Uang dan ATM-ku ketinggalan di saku celana. Viona ‘kan beresin cucian. Makanya aku tanyain sama dia. Belum dijawab, Mama udah datang. Ohya, Mama kok cepat pulang?” Pernyataan terakhir lelaki itu membuat aku menoleh padanya. Pinter juga ia mengelak.

“Kalau cuma mau nanyain uang dan ATM, kan nggak harus ngomong sedekat itu, Yon?!” Aku menatap Mama yang masih ragu. Mama mengalihkan pandangan pada Mas Dion. Menelisik anaknya yang tetap berupaya rileks. Dasar!

 “Yah! Dekat apaan? Mama salah liat, kali. Suer! Dion cuma nanyain duit Dion.”

Mertuaku terdiam. Namun ia melirik padaku. Entah ia percaya kebohongan yang baru saja dilontarkan Mas Dion entah tidak, aku tak tahu.  Namun, raut wajahnya sedikit lebih tenang.

“Vi, ketemu nggak duit, Mas?” Aku terpelongo, sementara Mama kembali menoleh padaku. Kugelengkan kepala dalam kebingungan, “Nggak, Mas. Aku nggak nemuin apa-apa.” Mas dion menepuk jidatnya sambil menghembuskan nafas panjang.

“Aduh! Trus tinggal dimana, ya? Ya, udah, Ma, Vi, aku coba cari dulu di percetakan.” Mas Dion melangkah meninggalkan aku dan Mama yang masih terdiam. Detik berikutnya Mama pun berlalu dariku, setelah sebelumnya berucap, “Jaga harga diri kamu dengan baik, Viona!”

Aku terdiam, mencerna ucapan Mama. Mencoba mengartikan kemana tujuan kalimat itu.  Beberapa detik setelah mereka berlalu, sebuah notif wathsapp masuk ke gawaiku yang sedari tadi tergeletak di meja.

Viona, urusan kita belum selesai. Tapi tenang, aku akan melindungimu kamu dari apapun. Ohya, yang tadi itu kenang-kenangan buat kamu.” Mukaku mengeras membaca pesan dari Mas Dion. Masih berani juga dia. Aku menghela nafas berat. Lelah rasanya berhadapan dengan lelaki seperti dia.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Agus Sawal Armin
seru seru tp bikin tegang
goodnovel comment avatar
Dwi Dani Merlina
ipar adalah maut hadeh....
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Cinta Ipar Duda   Part 87. Ulang Tahun Kanaya

    Beberapa saat menunggu, akhirnya sebuah mobil Avanza keluaran lama muncul dari gerbang masuk. Mas Danny melangkah beberapa langkah mendekat sambil melirik ke mobil itu. kaca mobil terbuka, seraut wajah melongok di sana. Kemudian mobil berhenti di hadapan kami. Laki-laki yang tadinya berada di balik kemudi menyerahkan kunci mobil pada Mas Danny. “Sekalian, gue isikan bahan bakar tadi. Ada apaan, sih? Masa’, malam pertama lu masih ada urusan emergency begini?” tanya lelaki itu. “Saudara bini gue masuk rumah sakit, Gem. Sedang darurat,” sahut Mas Danny. Lelaki itu menoleh padaku dan mengangguk sopan. Aku membalasnya dengan senyum sungkan. “Okey! Hati-hati, ya? Mobil gue udah tua. Kebetulan yang stand by tinggal ini. Take care.” Habis berkata begitu lelaki itu berpamitan dan menaiki sebuah motor yang sudah menantinya di gerbang hotel. Mas Danny kemudian mengajakku naik ke mobil. Mobil pun melaju keluar dari pelataran. Belum beberapa menit

  • Cinta Ipar Duda   Part 86. Telepon Mas Dion

    Semua telah usai, juga pestaku. Malam ini kami sekeluarga masih menginap di hotel ini, termasuk aku dan Mas Danny yang mendapat kamar khusus penganten. Aku yang masih dibingungkan dengan kejadian tadi siang masih terpana memikirkan semua yang terjadi. Sementara, Mas Danny masih sedang membereskan diri di kamar mandi yang ada di room penganten tempat kami menghabiskan malam ini.Mas Danny keluar sambil mengibaskan handuk berwarna putih bersih di rambutnya yang basah. Tubuh berototnya yang hanya tertutup sebatas pinggang membuat aku sedikit merasakan sesuatu yang tak bisa aku ungkapkan. Tubuh tinggi itu benar-benar sempurna dan penuh pesona.“Hai! Ngapain bengong? Kaget melihat tubuh suami sendiri?” ujarnya mengejutkan lamunanku. Aku yang duduk di bibir ranjang ukuran king size itu segera mengalihkan pandangan sambil tersipu. Wajahku memerah kurasa. Masih sempat kulihat senyum terkembang di wajah tampan itu.Detik berikutnya aku terkejut saat merasakan

  • Cinta Ipar Duda   Part 85. Hari Pernikahanku

    Hari pernikahanku dengan Mas Danny, sekaligus resepsi pernikahan akhirnya datang juga. Semua persiapan sudah sangat rampung. Seluruh dekorasi dan segala pernak pernik pernikahan telah tertata dengan indah di ball room hotel yang cukup luas itu. Aku duduk anggun di kursi penganten yang diapit Mas Danny dan Mama yang tak henti tersenyum sumringah menatapi suasana pesta yang cukup elegan ini. Sementara aku juga ikut menatapi suasana pesta yang terkesan lumayan akbar itu dari tempat aku duduk.Menatapi suasana pesta dengan dekorasi interior bernuansa out door itu membuat rasa haruku bermunculan. Tatanan yang didominasi warna putih dipadu cream dan lumut itu sangat menyejukkan mata. Semua persiapan ini hanya inisiatif Mas Danny tanpa sepengetahuanku. Aku salut dengan nilai estetika yang dia miliki. Iringan Sound system ruangan yang menyentuh telinga dengan kekuatan yang nyaman untuk di dengar membuat aku kian terbuai. Aku merasa sangat beruntung bisa menjadi ratu di pesta in

  • Cinta Ipar Duda   Part 84. Kembali ke Kota

    "Hai!" sapanya sambil membuka kaca mata hitam yang menutupi dua netranya itu pelan. Dua sudut bibirnya langsung merekah di rahang kokohnya. Namun, senyum itu seketika memudar seiring tatapannya yang makin lekat ke arahku. Dua netranya menyipit.“Kamu kenapa?” tanyanya heran. Aku menggeleng lemah sambil pura-pura mengalihkan wajah ke samping dan menghapus jejak air mata yang masih terasa basah di antara bulu mata.“Nggak, Mas! Nggak ada apa-apa, kok! Ayo, masuk!” ajakku mengalihkan. Namun, lelaki itu masih terpaku di tempatnya, menatapku dengan raut heran. Beberapa detik kemudian, ia juga mengikutiku masuk ke dalam ruang tamu dan duduk di sofa berseberangan denganku. “Ada apa, Vi?” tanyanya kemudian dengan nada pelan. Membuat aku luruh juga, tak mungkin lagi menyembunyikan keadaan ini pada calon suamiku sendiri. Sebuah permulaan yang didasari kebohongan tentu akan mendatangkan permasalahan di waktu mendatang. Lagia

  • Cinta Ipar Duda   Part 83. Persiapan Pernikahanku

    "Hai!" sapanya sambil membuka kaca mata hitam yang menutupi dua netranya itu pelan. Dua sudut bibirnya langsung merekah di rahang kokohnya. Namun, senyum itu seketika memudar seiring tatapannya yang makin lekat ke arahku. Dua netranya menyipit.“Kamu kenapa?” tanyanya heran. Aku menggeleng lemah sambil pura-pura mengalihkan wajah ke samping dan menghapus jejak air mata yang masih terasa basah di antara bulu mata.“Nggak, Mas! Nggak ada apa-apa, kok! Ayo, masuk!” ajakku mengalihkan. Namun, lelaki itu masih terpaku di tempatnya, menatapku dengan raut heran. Beberapa detik kemudian, ia juga mengikutiku masuk ke dalam ruang tamu dan duduk di sofa berseberangan denganku. “Ada apa, Vi?” tanyanya kemudian dengan nada pelan. Membuat aku luruh juga, tak mungkin lagi menyembunyikan keadaan ini pada calon suamiku sendiri. Sebuah permulaan yang didasari kebohongan tentu akan mendatangkan permasalahan di waktu mendatang. Lagia

  • Cinta Ipar Duda   Part 82. Pengakuan Mama

    “Ma!” ucapku tanpa menoleh pada Mama. “Mama kenal ‘kan sama Tante Widia Anggita? Putri tunggal Bapak Baskoro, teman SMA Mama dulu!” ucapku dengan nada dingin.Ada api benci yang tiba-tiba menjalar mengingat apa yang pernah Mama lakukan dulu, sehngga aku juga mendapatkan hal yang sama dalam hidupku ini. Namun, yang paling aku benci, aku tidak suka penjahat wanita itu ternyata mamaku. Aku benci mengingat rasa sakit yang Mama Mbak Venya rasakan dahulu. Aku benci mengingat kakakku yang baik itu sekian lama harus meredam rasa sakit karena orang yang kupanggil Mama ini.Tak ada jawaban yang bisa aku dengar dari mulut Mama. Hanya suara hening malam yang kian beranjak. Aku menoleh ke arah Mama, setelah beberapa detik jawaban yang kunanati tak kunjung ada. Kutatapi Mama yang terdiam dengan wajah terpekur ke lantai dengan wajah sendu. Aku ikut terpaku menatapnya.“Ada apa? Apa yang sebenarnya terjadi? Ada hubungan apa Mama sama Tante Wd

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status