Share

Part. 6

 “Mas, jangan gila! Apa yang mau Mas lakukan? Aku bungkam, karena aku tak ingin merusak keluarga kalian!” teriakku diantara seretannya. Ia seperti acuh dengan ucapanku.

Ia berhenti setelah kami berada di tempat sedikit tertutup. Kemudian ia kembali tersenyum. Sejenak mengalihkan pandangannya sambil mendengus kasar. “Aku cuma mau tahu, Viuna. Seberapa brengseknya aku dan seberapa tangguhnya kamu. Atau kamu memang sama saja?” Aku mengernyitkan keningku, tak paham dengan tujuan bicaranya.

 “Dengar!” ujarnya dengan mata sedikit membulat, dan wajah yang mengeras, ketika kini tubuhku dan tubuhnya sudah berdiri berdekatan di balik lemari. Aku terdiam dan terpaku menatapnya, seakan patuh dengan perintah gilanya. Tengkukan telunjuknya menopang daguku. Aku terdongak menatap wajahnya yang cukup tinggi dariku.

“Berhentilah berpura-pura! Ini yang kamu inginkan, ‘kan? Kalian sama saja!” Ia menatapku dalam dan lekat, seakan ingin mencoba menginformasikan sesuatu padaku.

“Maksudnya apa, Mas? Maaf aku tak ngerti.” Aku terdiam sesaat dengan nafas yang sesak. Kemudian, entah kekuatan dari mana aku berani menepisnya sambil berucap, “Aku tak mau ikut gila mengikuti kekonyolan kamu, Mas!” Kemudian kutepis keras lengannya yang masih menyangga daguku, sambil berlalu kencang darinya.

Namun tubuh ini terguncang ketika dengan sigap dua tangan kokohnya kembali mencengkeram bahuku.

“Apalagi, Mas? Mas membuat aku sakit, tau?”

“Aku mau kamu jawab, Viona! Sekali lagi aku ingin kamu jawab, jujur!” Nadanya sedikit meninggi, ia kembali menatapku dengan tatapan serius.

“Aku tak punya jawaban yang kamu cari dan inginkan, Mas!” seruku lagi sambil meronta ingin lepas darinya.

Namun tanpa kusadari, sesuatu yang hangat menempelkan di bibirku. Benda kenyal  dan basah yang cukup membuat aku terperanjat. Aku meronta, namun, cengkeraman dua tanganya terasa tak bisa aku lawan. Sekuat tenaga aku berjuang untuk melepaskan diri dari rengkuhannya. Namun, bibir itu serasa membius gerakku, meskipun aku berupaya sekuat tenaga.

Dan entah kekuatan dari mana, akhirnya aku berhasil mendorong tubuhnya hingga ia terlempar ke belakang. Kuhapus bibirku secara kasar. Kutatap matanya dengan penuh amarah bercampur benci. Nafasku sesak, tubuhku gemetar menahan amarah. Ia juga menatapku ternganga.

“Viona! Dion!” Satu hardikan keras mengejutkan kami. Serta merta aku dan Mas Dion menoleh serentak ke arah asal suara.

“Mama?!” Serentak suara kami terdengar dengan nada keterkejutan. Aku membelalak demikian juga dia. Detik berikutnya kami saling berpandangan.

Mama berdiri dengan wajah dingin dan kaku di dekat pintu. Dua tangannya terpaku di pinggang. Ia menatapku dan Mas Dion secara bergantian dengan wajah penuh amarah. Buru-buru Mas Dion menghampirinya.

“Mom ...,” ucapnya kemudian. Sementara aku hanya mematung kaku mengamatinya. Aku gemetar. Hatiku gelisah, takut bila ternyata Mama telah berada disana semenjak tadi, dan menyaksikan semua. Aku takut Mama marah dan menganggapku wanita murahan, kemudian memberitahukan suamiku hingga suamiku membenciku.

Mama mengacuhkan pertanyaan Mas Dion, ia menatapku yang akhirnya tertunduk. Keringat dingin mengalir di pori-poriku. Kusatukan sepuluh jari, tak berani membalas tatapan Mama.

 “Ngapain kalian disini berduaan?’ tanya Mama mengintimidasi. “Kamu kok dirumah jam segini, Dion?” tukasnya lagi sambil mengalihkan pandangan pada Mas Dion. Lelaki itu berjuang keras menetralkan sikapnya, mengumbar sebuah senyuman.

“Mom? Emang Dion nggak boleh pulang ke rumah ini, lagi? Jadi Dion hanya boleh pulang jam tertentu saja?” Wanita lima puluh tahunan itu terdiam. Namun, raut amarah masih terlukis nyata diwajahnya. Biasanya, panggilan spesial Mas Dion itu selalu bisa membujuk Mama yang marah padanya, tapi entahlah kali ini.

Mama melirikku, tepatnya menelisikku, seakan sedang mempelajari apa yang ditangkap netranya dariku. Aku risih dengan tatapan itu, tatapan yang merendahkan. Aku tak tahu apa yang ada dalam pikiran Mama. Andai ia melihat dari awal, ia pasti tahu bukan aku yang salah, tapi bila ia hanya melihat separuhnya, pastinya ia akan menganggap akulah penyebabnya.

Ya, Allah. Bagaimana kalau iya? Apakah aku akan disalahkannya sebagai istri yang tak bisa menjaga martabat dan amanah suamiku? Bagaimana kalau Mama beranggapan aku yang memulai semua ini? Bagaimana kalau Mama memberitahu Mas Divo? Pastinya ia akan membenciku karena menikahi perempuan murahan. Ya, Allah, tolong! Selamatkanlah aku.

“Apa kalian pikir, berduaan seperti ini, pantas? Kamu Dion! Bukankah semestinya kamu di percetakan? Ngapain sepi-sepi begini disini? Berduaan saling dekat di rumah,” tegasnya lagi.

Mas Dion menatap padaku sejenak, mungkin mengamati raut ketakutanku. Kemudian berucap, “Mom ... Mommy mikir apaan, sih?” Aku tertunduk sambil menggigit bibirku cukup keras. Berharap Mas Dion menyelamatkanku dari pandangan hina mertuaku. Tak kuat rasanya menerima kenyataan mertua yang dulunya sangat sayang dan menghargaiku selama ini, kini berubah menampakkan wajah jijiknya padaku.

Kulirik lelaki itu sekilas, berharap ia memberikan jawaban yang memihak padaku, karena semua ini memang salah dia. ‘Kamu harus mempertanggung-jawabkannya, Mas. Gara-gara kamu aku merasa sehina ini.’  Tak sengaja wajah geram kuarahkan pada Mas Dion yang masih mematung di samping Mama.

“Ma …,” ucapnya pelan. “Semua nggak seperti yang Mama lihat. Mama percaya aku, ‘kan? Ada yang kutanyakan sama Viona. Uang dan ATM-ku ketinggalan di saku celana. Viona ‘kan beresin cucian. Makanya aku tanyain sama dia. Belum dijawab, Mama udah datang. Ohya, Mama kok cepat pulang?” Pernyataan terakhir lelaki itu membuat aku menoleh padanya. Pinter juga ia mengelak.

“Kalau cuma mau nanyain uang dan ATM, kan nggak harus ngomong sedekat itu, Yon?!” Aku menatap Mama yang masih ragu. Mama mengalihkan pandangan pada Mas Dion. Menelisik anaknya yang tetap berupaya rileks. Dasar!

 “Yah! Dekat apaan? Mama salah liat, kali. Suer! Dion cuma nanyain duit Dion.”

Mertuaku terdiam. Namun ia melirik padaku. Entah ia percaya kebohongan yang baru saja dilontarkan Mas Dion entah tidak, aku tak tahu.  Namun, raut wajahnya sedikit lebih tenang.

“Vi, ketemu nggak duit, Mas?” Aku terpelongo, sementara Mama kembali menoleh padaku. Kugelengkan kepala dalam kebingungan, “Nggak, Mas. Aku nggak nemuin apa-apa.” Mas dion menepuk jidatnya sambil menghembuskan nafas panjang.

“Aduh! Trus tinggal dimana, ya? Ya, udah, Ma, Vi, aku coba cari dulu di percetakan.” Mas Dion melangkah meninggalkan aku dan Mama yang masih terdiam. Detik berikutnya Mama pun berlalu dariku, setelah sebelumnya berucap, “Jaga harga diri kamu dengan baik, Viona!”

Aku terdiam, mencerna ucapan Mama. Mencoba mengartikan kemana tujuan kalimat itu.  Beberapa detik setelah mereka berlalu, sebuah notif wathsapp masuk ke gawaiku yang sedari tadi tergeletak di meja.

Viona, urusan kita belum selesai. Tapi tenang, aku akan melindungimu kamu dari apapun. Ohya, yang tadi itu kenang-kenangan buat kamu.” Mukaku mengeras membaca pesan dari Mas Dion. Masih berani juga dia. Aku menghela nafas berat. Lelah rasanya berhadapan dengan lelaki seperti dia.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Agus Sawal Armin
seru seru tp bikin tegang
goodnovel comment avatar
Dwi Dani Merlina
ipar adalah maut hadeh....
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status