Share

Kadar 0, 1%

 Ada tiga box bento berwarna hitam yang tergeletak di meja pantry. Box pertama berisi nasi putih, bistik daging, acar, tuna saus lemon, ekado dan ebi furai, box kedua diisi caesar salad dan potongan buah, lalu yang terakhir box paling atas adalah snack chicken spring roll dan greak yogurt. Itu adalah menu makan siang paling mahal dan paling banyak yang pernah Jonathan makan. Biasanya dia dan Ryan paling-paling akan pergi ke restaurant sushi terdekat atau paling tidak mereka akan memesan soto dan rawon dari warung legendaris langganan mereka. Tidak pernah terpikirkan olehnya harus memakan makan siang sebanyak itu sendiri.

“Harusnya makan siang yang seperti ini yang memang cocok untuk CEO.” Celetuk Ryan. Jonathan tidak menyentuh makanan itu sedikitpun, melainkan hanya memandanginya.

“CEO perusahaan rintisan tidak termasuk!” balas Jonathan.

“Tapi itulah keuntungannya menjadi pria beristri, kamu tidak akan pernah merasa tidak diperhatikan.” Ucap Ryan lagi sembari berbalik mengambil segelas air lagi dari dispenser.

Mungkin Ryan hanya asal bicara saat itu. Karena dia tidak sadar ucapannya membuat Jontahan tersentak. Perhatian? Apakah makan siang yang dikirim Eleanor adalah bentuk perhatian wanita itu? Jonathan belum mampu mempercayainya. Saat bersama Allena dulu, dia yang harus lebih banyak melimpahkan perhatian. Tidak terpikirkan olehnya jika sekarang dia justru menerima perhatian.

“Sepertinya dia ingin kamu memakan makanan sehat dan seimbang mulai dari sekarang. Jadi lebih baik kamu menghabiskannya.” Ryan tersenyum sambil meminum air. Sekilas dia melirik Jonathan yang mulai mengangkat alat makannya. Ryan paham jika Jonathan masih belum terbiasa dengan status barunya. Itu butuh banyak penyesuaian.

Namun baru mencicipinya sedikit Jonathan tampak kembali meletakkan alat makannya. Ryan mengangkat sebelah alisnya sambil meletakkan gelasnya.

“Aku masih kenyang.” Ucap Jonathan. Padahal sejak pagi dia belum memakan makanan berat sedikitpun. Hanya roti dan snack ringan yang disediakan secara gratis di kantornya yang dimakannya pagi ini dengan secangkir kopi.

“Hah?” Ryan pun semakin bingung saat Jonathan tiba-tiba bangkit dari kursinya lalu mengambil ponselnya.

“Aku harus pergi ke suatu tempat. Jadi aku harap kamu tidak keberatan menghabiskannya untukku.” Ucapnya kemudian pada Ryan.

“Serius? Dengan senang hati aku makan. Kebetulan aku sedikit malas keluar.” Ryan pun dengan tergesa-gesa mengambil alih kursi Jonathan. Dia juga tidak sungkan mengambil alat makan Jonathan untuk segera mencicipi makanan di hadapannya.

“Ya ampun. Ini buatan tangan chef enak banget. Wah… lunch box premium emang beda banget. Dua ratus ribu sekali makan. Mantap.” Racau Ryan dengan mulut penuh. Sehingga Jonathan hanya bisa mendengus.

Sebelumnya Jonathan tidak memiliki rencana siang ini. Namun begitu dia menerima alamat itu dari sekretaris Eleanor, dia merasa harus segera menemui Allena dan memastikan keadaannya. Dia tidak memberitahu Ryan kemana dia akan pergi saat berjalan menuju lift. Sehingga Ryan tidak bisa menghentikannya. Untuk saat ini dia perlu menyelesaikan masalahnya dengan Allena, meminta penjelasan atas apa yang telah diperbuat Allena. Itulah alasan kedua mengapa dia ingin bertemu Allena secepatnya.

Rumah sakit itu sendiri berada di luar kota. Jonathan harus menempuh perjalanan dua jam dari tempat kerjanya. Dia mengikuti petunjuk dari alamat rumah sakit itu dari maps. Seharusnya tidak sulit menemukan alamat rumah sakit itu kalau saja rumah sakit itu berada di dekat jalan raya. Namun mobil Jonathan justru harus memasuki jalan kecil yang jauh dari perkampungan. Jonathan tidak yakin tentang alasan Eleanor membawa Allena ke rumah sakit itu karena murni berhubungan tentang kondisi kejiwaan Allena. Ada banyak hal yang bisa dilakukan orang kaya yang tidak bisa dilakukan orang-orang biasa seperti Jonathan, salah satunya adalah memanipulasi suatu keadaan. Bisa saja Eleanor membayar rumah sakit itu untuk menjauhkan Allena dari Jonathan. Karena kalaupun tidak, Eleanor tidak harus membawa Allena pergi sejauh ini jika mengingat ada rumah sakit yang lebih dekat.

Untuk sesaat Jonathan pun berpikir jika rumah sakit itu mungkin merupakan rumah sakit kecil yang tidak layak. Namun begitu keluar dari mobil dan menginjakkan kakinya di halaman rumah sakit, Jonathan sadar bahwa rumah sakit itu termasuk salah satu rumah sakit jiwa terbaik di kota itu. Rumah sakit itu cukup luas dan terkenal memiliki dokter-dokter yang kompeten. Jonathan tidak ingin membuang waktunya dengan menganggumi rumah sakit itu, dia bergegas menuju bagian informasi untuk mendaftarkan kunjungannya.

Mereka membutuhkan beberapa waktu untuk mengijinkan kunjungan pribadi. Dan Jonathan dengan sabar menunggu. Namun saat namanya dipanggil kembali Jonathan justru mendapat informasi bahwa pasien bernama Allena Rheanata tidak atau belum diijinkan bertemu tamu. Jonathan mengerutkan kening.

“Boleh saya berbicara dengan dokter yang bersangkutan?” tanya Jonathan.

“Apa bapak adalah anggota keluarga pasien? Saat ini pasien masih berada di ruangan khusus untuk mengurangi tindakan histerisnya. Menurut dokter, pasien baru boleh mendapatkan kunjungan ketika emosinya telah stabil.”

Jonathan tidak bisa menyahuti. Dia juga tidak bisa mengaku sebagai anggota keluarga Allena sekalipun dia mantan tunangannya. Meski Jonathan sendiri tidak yakin keluarga Allena juga mengetahui kondisi Allena saat ini.

“Saya bukan anggota keluarga. Tapi saya teman dekatnya. Jadi saya berharap rumah sakit dapat memberitahu saya jika pasien sudah diperbolehkan mendapat kunjungan.”

“Baik. Silahkan tinggalkan identitas atau kontak yang bisa dihubungi.”

“Yah, saya akan meninggalkan nomor ponsel saya.”

Dengan kecewa, Jonathan meninggalkan rumah sakit itu. Hari mulai senja ketika dia mengemudi pulang. Dan perasaannya bercampur aduk. Ternyata Eleanor tidak bohong dengan kondisi Allena. Kendati demikian Jonathan masih tidak yakin bagaimana cara Eleanor bisa memasukkan Allena ke tempat itu jika mengingat bahwa keluarga Allena sendiri tidak tahu apapun. Tentu Eleanor mempunyai kekuasaan di baliknya.

Mobil Jonathan membelah jalanan. Dia baru tiba di apartemennya cukup larut. Meski begitu dia memilih berdiam cukup lama di mobilnya. Jonathan tidak tahu kenapa dia seolah enggan kembali ke apartemennya. Ada seseorang yang mungkin sedang menunggunya disana sekalipun mereka tidak menikah karena cinta. Jonathan hanya belum memutuskan bagaimana dia harus bersikap pada Eleanor jika mengingat kemarahannya beberapa waktu yang lalu. Pernikahan bisnis ataupun pernikahan yang hanya dilandasi balas budi tidaklah semua yang dipikirkannya. Eleanor tetaplah Eleanor dan Jonathan tetaplah dirinya sendiri. Mereka tidak bisa bersatu sebagai keluarga yang normal sekalipun mereka memiliki kesepakatan tentang hal itu.

Setiap Jonathan menatap Eleanor, dia hanya melihat Eleanor sebagai seseorang yang berasal dari dunia yang berseberangan dengannya. Semua kemewahan yang dimiliki Eleanor seakan tidak sebanding dengan kehidupan Jonathan yang biasa. Dan Eleanor pun pasti tidak mungkin dapat diperlakukan secara biasa. Jonathan menghelaikan napas kasar setiap dia mengingat kembali bagaimana dia membuat kesepakatan pernikahan dengan Eleanor. Itu tidak mirip sedikitpun dengan kesepakatan pernikahan. Dan Jonathan mengakui jika saat itu dia masih diliputi emosi dan kekecewaannya pada Allena.

Sekarang Jonathan sungguh tidak tahu bagaimana dia harus bersikap pada Eleanor. Jika Eleanor bersikap dingin dan mengabaikannya itu akan lebih mudah bagi Jonathan. Namun makan siang yang dipesankan Eleanor hari ini membuat segalanya menjadi sulit bagi Jonathan. Eleanor tampaknya ingin bersikap selayaknya seorang istri pada umumnya.

Setelah terdiam cukup lama di mobilnya, Jonathan memutuskan untuk naik ke unit apartemennya. Dia menyadari jika unit apartemen dengan dua kamar itu masih jauh dari kata layak untuk gaya hidup Eleanor. Namun Jonathan tidak ingin mengecilkan egonya dengan tinggal di rumah yang menjadi milik Eleanor. Setidaknya dia juga ingin bertindak seperti seorang suami pada umumnya.

Keluar dari lift, Jonathan langsung melangkah menuju unit apartemennya di lantai 21. Namun langkahnya kembali tertahan di depan pintu untuk beberapa saat. Bunyi klik dari pintu apartemen terdengar setelah dia menempelkan kartu aksesnya. Benaknya terus berharap bahwa dia tidak perlu bertemu Eleanor malam itu. Akan lebih baik jika Eleanor sudah tidur. Suasana di dalam apartemen tampak sunyi, tidak ada tanda-tanda keberadaan Eleanor. Konyol jika Jonathan berpikir bahwa Eleanor akan menunggunya disana. Eleanor tidak mungkin membuang waktunya untuk hal seperti itu. Dia mungkin memilih menghabiskan waktu di rumahnya sendiri selagi Jonathan tidak ada. Setelah menyimpan sepatunya di rak khusus, Jonathan mengenakan slipper. Lalu dia melangkah menuju pantry untuk mengambil minuman.

Dia terkejut ketika menyadari bahwa dia belum membeli perabot apapun, tidak ada alat makan ataupun isi di lemari pendinginnya. Mungkin besok dia akan meminta tolong pada ibunya untuk membantunya membeli semua perlengkapan itu. Dia menyesal karena belum mempersiapkannya. Namun ketika dia mengedakan pandangannya, ada sebuah microwave yang telah terpasang, kitchen set dan coffee maker. Jonathan pun membuka cabinet pantry dan betapa terkejutnya melihat beberapa bahan makanan tersimpan disana, juga lengkap dengan peralatan dapur. Bahkan lemari pendingin pun telah terisi penuh dengan beberapa botol air mineral. Dia baru menyadari jika Eleanor sudah mengisi kekurangan di apartemen itu.

Jonathan berdiri disana dengan kaku sambil menggenggam sebotol air mineral. Tanpa dirinya pun Eleanor bisa melakukan segala hal. Lantas kenapa dia memilih membuat kesepakatan pernikahan dengan Jonathan? Ketika pikiran itu muncul di benak Jonathan, saat itu pula pintu kamar utama terbuka. Jonathan mengangkat kepalanya hingga pandangannya bertemu dengan sosok Eleanor yang berdiri di ambang pintu dengan gaun tidur satin yang dilapisi jubah panjang dengan warna senada yang juga tampak terdiam menatapnya. Salah satu tangan Eleanor masih memegang pintu dan tangan yang lain memegang sebuah buku. Lama sekali mereka terdiam di posisi masing-masing sebelum Eleanor membuka suara.

“Kamu sudah pulang? Ada makanan yang bisa dipanaskan, aku akan menyiapkannya kalau kamu belum makan malam.” Tanyanya seolah hal itu biasa.

Eleanor pun pasti merasakan kecanggungan diantara mereka dan juga perasaan yang asing. Namun dia bersikap seolah itu bukan masalah. Hanya tatapan matanya saja yang berusaha menghindar ketika dia sedang bicara.

“Terima kasih. Tapi aku sudah makan malam.” Dusta Jonathan. Dia tidak makan siang dan melewatkan makan malam, tapi anehnya dia memang tidak merasa lapar.

Jonathan sesuatu yang berbeda dalam diri Eleanor. Tanpa make up di wajahnya, Eleanor tampak lebih pucat dan mungil. Eyeliner yang biasa menegaskan garis matanya pun tidak tampak sehingga garis mata itu tampak lebih redup. Entah Jonathan baru menyadarinya atau tidak, Eleanor seperti memiliki dua wajah yang berbeda.

“Kalau begitu istirahatlah,” ucap Eleanor sembari berlalu dari ambang pintu. Dia membawa buku itu bersamanya dan menghindari tatapan mata Jonathan.

“Aku ingin bicara sebentar…”

Eleanor sudah duduk bersantai di ruang rekreasi ketika Jonathan mengatakannya. Dia membuka bukunya di halaman yang sudah ditandainya tanpa menatap Jonathan.

“Katakan saja!” sahutnya.

Merasa bahwa Eleanor mencoba mengabaikannya, Jonathan meletakkan botol air mineral di meja pantry lalu melangkah menghampiri Eleanor ke ruang rekreasi. Dia ingin menyelesaikan masalahnya meski dia tahu itu sudah terlalu larut untuk berdebat.

“Kenapa kamu tidak meminta persetujuanku dahulu sebelum membawa Allena ke rumah sakit itu? aku yang bertanggung jawab atas masalah yang disebabkan Allena.” Jonathan tidak ingin menahan diri, dia sungguh ingin segera mengakhiri masalah itu secapatnya.

Namun bukannya menjawab pertanyaan Jonathan, Eleanor justru mendongak lalu menatap mata Jonathan dengan tatapan tajam yang sulit diartikan. Jonathan spontan mundur selangkah. Bukan karena dia takut melainkan karena menyadari bahwa Eleanor terlihat lebih rapuh tanpa make up di wajahnya. Kelopak matanya yang almont membulat sempurna.

Jonathan memalingkan wajahnya lebih dahulu. “Maaf, aku menyinggungnya lagi. Tapi untuk kedepannya aku harap kamu membicarakan semua denganku terlebih dahulu. Termasuk kalau kamu membutuhkan apapun selama kita tinggal bersama.”

Perasaan Jonathan menciut. Dia segera berbalik. “Dan terima kasih untuk makan siangnya.” Ujarnya lagi. Dia ingin mengatakan pada Eleanor agar tidak perlu repot memesankan makan siang itu lagi di kemudian hari, tetapi entah kenapa bibirnya seakan tertahan.

Sebelum Jonathan menghampiri pintu kamar utama, Eleanor pun menyahuti. “Aku akan melakukan perjalanan bisnis besok dan setelah itu aku akan langsung terbang ke Nusa Dua untuk menghadiri pesta yang diadakan paman. Jadi kita akan bertemu disana akhir pekan ini.”

Jonathan kembali berbalik. Namun tidak mengatakan apapun. Sementara Eleanor kembali mengalihkan perhatiannya pada buku yang dibacanya.

“Paman yang mempersiapkannya, jadi aku tidak bisa menolak. Aku harap kamu tidak marah.” Sambung Eleanor yang menahan Jonathan di posisinya. Tampaknya Eleanor pun tidak ingin Jonathan salah paham.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status