Share

Kadar 0%

Di mobilnya Jonathan terdiam. Hawa dingin yang ditinggalkan Eleanor memadamkan amarah dalam dirinya. Kendati demikian amarah itu tidak hilang, melainkan mengendap di tempat dimana dia menyebutnya “pengendalian emosi”. Sekarang apa? Setelah dia menikah dengan seorang calon ratu kerajaan bisnis atau setidaknya dia sudah menjalankan peran itu, lalu apa? Apa yang diharapkan Jonathan dari pernikahan itu sebenarnya?

Lamunan Jonathan memunculkan sebuah pertanyaan yang terlalu idiot jika diabaikan; apakah dia sudah mengenali siapa perempuan yang dinikahinya hari ini? benar? Hari ini. Belum sehari mereka menikah, tetapi masalah itu muncul ke permukaan. Jonathan mencoba menjernihkan pikirannya dengan memutar radio di dalam mobilnya, lalu menyandarkan kepalanya. Dia seperti tikus yang bersembunyi di saluran bawah tanah karena sadar bahwa di atas sana ada seekor kucing yang sedang menantinya. Setidaknya Jonathan tidak mau menggunakan analogi itu. Dia tidak mau menggambarkan dirinya seperti seekor tikus pengecut dan sementara Eleanor sebagai kucing yang akan mencabiknya. Itu terlalu kejam.

Jonathan masih percaya bahwa Eleanor adalah seorang wanita. Entah ibunya atau Allena pun memiliki kecenderungan yang sama sebagai seorang wanita. Jonathan dibesarkan untuk menjadi laki-laki yang menghargai wanita. Namun dia tidak menyadari bahwa setiap wanita memiliki konflik dalam dirinya mereka masing-masing. Tidak seperti para pria yang cenderung memilih menyederhanakan segalanya, para wanita justru cenderung memperumitnya.

Tidak ingin menemui Eleanor dalam keadaan yang seperti bukan dirinya, Jonathan memilih menghidupkan kembali mesin mobilnya lalu meninggalkan basement apartemen. Malam semakin larut, mobil itu terus bergerak melewati jalan yang sama, memutari kawasan yang sama dan tidak memiliki tujuan. Jonathan tidak mungkin pulang ke rumah bunda-nya, itu akan menimbulkan banyak pertanyaan. Dia juga tidak akan kembali ke apartemen studio yang disewanya untuk Allena. Tidak ada apapun disana. Lalu Jonathan teringat bahwa dia memiliki akses 24 jam ke gedung kantornya. Dia pun memilih bermalam disana.

***

Pagi itu Ryan pergi ke kantor seperti biasa. Sebagai co-founder sekaligus CTO, dia memiliki peran yang tidak kalah penting dari CEO. Saat Jonathan tidak ada atau sedang cuti, Ryan akan dipercaya menghandel semua hal yang berhubungan dengan perusahaan. Seperti hari itu ketika Jonathan tidak bisa hadir karena pernikahannya maka Ryan berusaha menyiapkan diri untuk menggantikan peran Jonathan sementara waktu.

Petugas keamanan menyapa Ryan saat dia memasuki gedung, dia bisa mengenal banyak orang dari berbagai kalangan karena sifatnya yang humble. Setelah menempelkan kartu akses, Ryan segera melangkah menuju lift bersama beberapa pekerja lainnya. Jam kerja start up memang fleksibel. Tetapi dia lebih suka berangkat pagi selayaknya para budak korporat. Tak lama kemudian lift berdenting, dia menekan lantai 20. Di lantai itu kantor mereka berada dan menjadi satu-satunya perusahaan rintisan yang mempunyai kantor di menara bisnis itu.

Namun begitu Ryan keluar dari lift dan menginjakkan kakinya di lantai 20, dia mendapati kejutan. Jonathan berada disana dengan rambut basah dan tampak keluar dari kamar mandi. Dia bukan satu-satunya orang yang berpikir bahwa Jonathan menghabiskan malam pengantin di kantor. Bahkan CFO (chief financial officer), CMO (chief marketing officer) serta staf lainnya tampak sama terkejutnya dengan Ryan. Mereka tidak menyangka CEO mereka datang lebih awal sehari setelah pernikahannya.

“Hai, selamat pagi.” Sapa Jonathan sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil. Pegawai yang lain membalas sapaan mereka lalu segera beranjak ke tempat duduk mereka masing-masing. Di kantor itu tidak ada sekat atau kubikel, hanya meja panjang dengan beberapa komputer, area bersantai, pantry, kamar mandi serta area uji coba atau ruang mabar. Sehingga para pegawai itu masih bisa mendengarkan percakapan Ryan dan Jonathan sambil berkerja.

“Sebentar! Aku gak salah hari kan?” ujar Ryan sambil memeriksa ponselnya, “Eh, beneran belum lewat sehari dan seharusnya CEO masih cuti.”

Jonathan mencoba tertawa tanpa suara, “Aku gak jadi cuti kayaknya.”

“Terus ngapain pagi-pagi disini? Jangan bilang malam pengantin kalian di kantor dan bukannya di apartemen?” Ryan sangat blak-blakan saat bertanya, sekalipun dia sudah tahu apa yang terjadi di hari pernikahan Jonathan.

Tanpa mereka sadari para pegawai memasang telinga mereka lebih tajam agar dapat mendengarkan alasan Jonathan. Sayangnya Jonathan hanya tersenyum kemudian berlalu begitu saja meninggalkan Ryan untuk kembali ke kantornya. Merasa gagal mendapatkan gossip, para pegawai itu melirik Ryan dengan tatapan kecewa.

“Sorry! Cuma bercanda!” Ryan mengejar Jonathan hingga ke dalam ruangannya. Setidaknya CEO selalu membutuhkan privasi. Dan karena hal tersebut, ruangannya terpisah.

“Apa masalah Allena seburuk itu sampai kamu bermalam di kantor?”

Begitu di dalam ruangan, Ryan langsung menutup pintu. Jonathan meletakkan handuk kecilnya, melepaskan kemeja formalnya dan menggantinya dengan kaos berlogo perusahaan yang lebih nyaman. Ryan menunggu jawaban Jonathan sembari bersandar di samping sofa.

“Jo!” panggilnya. Tapi Jonathan seakan tidak ingin membahas hal itu. “Apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa kamu bermalam di kantor?”

Jonathan menghelaikan nafas dengan kasar lalu duduk di kursinya dan membuka laptop. Tetapi dia merasa terganggu dengan tatapan Ryan.

“Aku tahu dimana Allena berada.” Jawab Jonathan. Tapi bagi Ryan, jawaban itu tidak terlalu penting. Bukan dia yang mencemaskan Allena seharian kemarin.

“Eleanor yang memberitahuku.” Sambungnya dengan suara yang lemah.

“Maksudnya?”

Ryan melangkah lebih dekat, meletakan tas laptopnya di sofa. Dia tampak bingung ketika melihat wajah Jonathan yang tidak merasa lega setelah mendapat kabar baik.

“Dia yang membuat Allena menghilang dan karena itu dia tahu dimana keberadaan Allena.” Tidak ada seorangpun yang merasa dikhianati dengan kenyataan itu selain Jonathan. Itu tampak di wajah Jonathan ketika menjelaskan semua pada Ryan.

Untuk sesaat Ryan tidak bisa menyahuti. Dia tidak begitu mengenal Eleanor dengan baik sekalipun wanita itu adalah istri dari temannya. Baginya pernikahan Jonathan dan Eleanor masih menjadi kejutan. Oleh sebab itu dia tidak bisa berpihak pada Eleanor. Namun tidak berarti dia juga membenarkan sikap Jonathan yang seakan tidak sadar dengan statusnya sekarang.

“Itu wajar.” Sahut Ryan sembari membanting pantatnya di sofa dan mulai membuka tas laptopnya. Dia malas pergi ke ruangannya dan berencana untuk berkerja di ruangan CEO seharian ini. “Allena tidak tahu berurusan dengan siapa.” Sambungnya.

Jonathan tidak begitu terkejut dengan tanggapan Ryan. Dia sendiri tidak begitu fokus mendengarkan. Laptop di hadapannya menyala tapi dia tidak melakukan apapun selain menatap kosong pada layar LCD itu. Jari-jarinya pun tertekuk di depan dagunya.

 “Aku tidak percaya kamu membiarkan Allena mengacau pagi itu. Coba bayangkan apa yang akan keluarga Eleanor lakukan kalau mereka mengetahui siapa Allena sebenarnya. Apa kamu yakin dia tidak akan mendapatkan tuntutan hukum atau hal yang lebih buruk?” entah bagaimana Ryan kembali membahas topik itu. Tidak mungkin Jonathan mengabaikannya.

“Eleanor memasukkan Allena ke rumah sakit jiwa, apa itu masuk akal?” sahutnya. Seakan dia telah memberitahu Ryan bahwa Eleanor dan keluarganya telah melakukan hal yang buruk.

“Dan kamu marah pada istrimu karena melakukan itu?” diluar dugaan, Ryan dapat memancing Jonathan berbicara lebih banyak tentang hal pribadi. Namun anehnya Jonathan masih merasa asing ketika dia mendengar Ryan menyebut Eleanor sebagai istrinya, dia hampir lupa bahwa dia seorang pria beristri sekarang.

“Di hari bahagia kalian, kamu membiarkan masalah Allena mempengaruhi. Aku tidak tahu apakah saranku ini bisa kamu terima atau tidak tapi seharusnya kamu memperlakukan hari bahagiamu dengan lebih baik. Lagipula kamu sudah tahu dimana Allena berada. Itu mungkin tempat yang tepat untuk Allena saat ini.” Ujar Ryan.

Tetapi Jonathan tiba-tiba mencibir dengan dingin. “Aku tidak tahu kalau tempat yang tepat untuk Allena adalah rumah sakit jiwa?”

Ryan yang mendengus. Jonathan denial.

“Tapi dia jelas memiliki masalah kesehatan mental, Jo. Apa kamu tidak menyadarinya?” Perkataan itu membuat Jonathan tertampar. Selama ini dia pikir Allena hanya mengalami guncangan sementara dan akan baik-baik saja jika dia meninggalkannya.

“Akui saja Jo! Allena yang kita kenal sekarang sangat berbeda dari Allena yang dulu kita kenal. Dan kamu menikah dengan Eleanor agar kamu bisa lepas dari masa lalumu dengan Allena? Lalu kenapa kamu masih melibatkan diri dalam masalah Allena?”

Hening, itulah yang dirasakan Jonathan maupun Ryan setelah pembicaraan mereka. Sejujurnya Ryan lebih suka menghindari pembicaraan serius, terlebih jika dia harus bertingkah seolah-olah dia lebih berpengalaman dari Jonathan sehingga harus menasehatinya. Tetapi dia merasa bertanggung jawab untuk mencega sahabatnya mengulangi kesalahan yang sama.

“Maaf, karena aku mengatakan semua ini! Tapi kamu harus ingat bahwa kamu sudah memilih untuk menikah dengan Eleanor. Kalian mengucapkan janji pernikahan yang sakral kemarin.” Tambah Ryan sebelum memilih tenggelam dalam perkerjaannya dan tidak lagi memperhatikan ekspresi wajah Jonathan.

Akhirnya Jonathan memilih untuk mempertimbangkan semua perkataan Ryan. Meski tidak yakin dia akan benar-benar sadar tentang kesalahannya.

“Terima kasih sudah mengingatkanku.” Balasnya Jonathan. Ryan hanya mengangkat kepalanya sejenak tanpa mengucapkan apapun. Lalu pura-pura menyibukan dirinya. Tidak sulit untuk menasehati Jonathan dalam segala hal, hanya saja Ryan tidak yakin Jonathan tidak akan mengulangi kebodohan atau kesalahan yang sama di kemudian hari.

“Meeting hari ini aku atau kamu yang pimpin?” cicit Ryan dari balik layar laptopnya. Tampak tidak tahan dengan kebisuan yang diciptakannya sendiri.

Jonathan menyandarkan punggungnya di kursi sembari mengangkat tangannya ke belakang kepala. “Kamu saja! Aku masih terhitung cuti. Jadi aku akan memakai ruang mabar seharian agar kalian bisa pura-pura aku tidak ada di kantor.”

“Yang benar?” Ryan tidak bisa menahan senyumannya.

“Aku serius. Soalnya aku datang cuma mau mencoba versi beta.”

Ryan menutup laptopnya, mengambil ponsel dan kemudian berdiri. “Tapi jangan lama-lama! dan kalau bisa kamu pergi dari kantor secepatnya. Kamu belum cocok untuk peran pria beristri yang di usir dari rumah dan tidur di kantor, setidaknya pernikahanmu harus berjalan lebih dari setahun. Itu supaya orang-orang di luar tidak berpikir kamu akan bercerai tepat sehari setelah pernikahan kalian.”

“Sialan!” dengus Jonathan. Tapi kali ini sambil tersenyum membalas Ryan.

Bagi Jonathan semua masih membutuhkan penyesuaian. Status baru yang disandangnya sebagai pria beristri tidak akan disadarinya kalau bukan Ryan yang menyinggungnya. Itu masih terdengar aneh. Dan semakin aneh jika mengingat wanita macam apa yang dinikahi Jonathan. Wanita dari kalangan old money yang bahkan belum dikenalnya dengan baik. Saat melamar Allena dulu, Jonathan membutuhkan waktu lama untuk berpikir dan merencanakannya semua. Tapi saat memutuskan menerima tawaran pernikahan dari Eleanor, dia justru tidak memikirkannya dengan begitu matang. Dia berpikir dengan singkat dan seolah itu bertolak belakang dari karakternya yang penuh pertimbangan.

Dan mengenai kehidupan pernikahan? Jujur saja Jonathan belum tahun kehidupan pernikahan macam apa yang akan dijalaninya bersama Eleanor. Ada rahasia paling dalam yang diam-diam disimpan Jonathan di dalam memorinya tentang konsep pernikahan yang tidak akan diterima sebagian orang. Dulu sekali saat masih muda, Jonathan pernah menganggap pernikahan hanya sebuah penjara bagi laki-laki maupun perempuan. Itu karena setiap perempuan maupun laki-laki yang menikah akan selalu dituntut untuk berkorban dalam beberapa hal. Perempuan kehilangan peluangnya dalam berkarier agar dapat mengurusi suami dan anaknya dengan lebih baik, sementara laki-laki kehilangan kebebasannya untuk menghabiskan waktu bersama teman-temannya karena tanggung jawabnya pada anak dan istrinya.

Semua anggapan itu bukan tidak bersadar. Sebab kehidupan Jonathan juga memiliki sisi gelap. Keluarga harmonis yang ditampilkan ayah dan bundanya hanyalah sebuah tampilan dari penjara pernikahan. Jauh sebelum adiknya lahir, memori otak Jonathan banyak menyimpan kenangan buruk tentang pertengkaran kedua orang tuanya. Saat itu usianya mungkin sembilan tahun ketika dia terbangun dari tidurnya karena keributan dari kamar bunda dan ayahnya. Kata-kata perceraian pernah terlontar dari mulut bundanya dan dia jelas melihat bagaimana ayahnya yang kemudian harus mengalah dan meminta maaf agar pertengakaran itu diakhiri.

Jonathan tidak begitu paham apa masalah yang dihadapi keluarganya saat itu. Hanya saja kata-kata tentang pengorbanan ibunya yang harus menunda studi pasca-sarjananya juga sempat didengar Jonathan. Sementara ayahnya membalas bagaimana dia telah berkerja keras untuk keluarganya hingga lupa waktu tapi tidak dihargai. Semua kenangan itu tanpa sadar menjadi tinta hitam yang sulit dihapus dari hati Jonathan. Dia tidak menceritakannya pada siapapun. Namun terus menyimpannya di dalam otak besarnya hingga mempengaruhi karakternya.

Parahnya memori itu juga mempengaruhi Jonathan pada kriteria perempuan yang disukainya. Sekalipun Jonathan menghormati dan mengagumi bundanya, Jonathan justru tidak ingin menikah dengan wanita pintar dan mandiri seperti ibunya. Dia lebih memilih menyukai wanita tidak terlalu pintar yang akan selalu bergantung padanya, kriteria yang sangat mendekati Allena. Namun entah bagamana dia justru berakhir menikah dengan Eleanor, yang karakternya tampak seperti bundanya. Jika dipikir kembali, Jonathan merasa mengkhianati dirinya sendiri.

Menjelang makan siang, Jonathan menghentikan aktivitasnya di ruang mabar. Waktu luangnya itu akan digunakannya untuk mengevaluasi kembali versi beta dari gim yang mereka luncurkan. Jonathan dan Ryan pun berencana untuk mendapatkan pendanaan seri A. Masih cukup dini memang. Namun dia dan Ryan optimis perusahaan mereka akan menghasilkan nilai valuasi yang besar dalam dua tahun kedepan. Sambil merenggangkan lehernya, Jonathan keluar dari ruang mabar. Dia tidak menyadari beberapa pasang mata yang diam-diam memperhatikan langkahnya. Begitu pula dengan Ryan yang anehnya tidak mengajaknya makan siang bersama.

Hingga kemudian seorang pria mengenakan Double Breasted Jacket dengan garis warna kuning yang menandakan bahwa dia merupakan seorang chef dengan jabatan cukup tinggi menghampirinya bersama seorang asisten. Jonathan tidak bereaksi selama beberapa detik. Mereka mengenakan kartu identitas tamu untuk memasuki kantornya, tapi Jonathan merasa tidak mempunyai kepentingan dengan chef manapun.

“Pak Jonathan…” sapa pria itu. Jonathan merasa tidak asing dengan wajahnya. Paling tidak dia mungkin bertemu dengannya saat makan malam keluarga kemarin malam. Itupun kalau dia tidak salah mengingat.

“Saya datang secara khusus untuk mengantar lunch box yang dibuat Bu Liem untuk anda. Namun tidak ada catatan khusus tentang alergen jadi saya datang secara khusus untuk memastikannya. Apa boleh saya menyajikannya?”

Dia adalah koki kepala di hotel tempat mereka makan malam kemarin. Hotel yang tidak lain adalah salah satu property milik keluarga Eleanor. Sehingga tidak heran Eleanor bisa memerintah mereka secara khusus. Hanya saja bagi Jonathan semua itu cukup berlebihan. Dia tidak begitu nyaman dengan perlakuan itu.

“Em, maksud anda, istrinya yang saya meminta anda kemari?” tanya Ryan menginterupsi

“Benar. Dan saya harap Pak Jonathan cocok dengan menu yang saya siapkan.”

Jonathan menolak saat kepala koki berniat menyajikannya. Dia berterima kasih dan mengatakan bahwa dia tidak memiliki alergi secara khusus, semua makanan bisa dia makan. Sehingga kepala koki tersebut bisa langsung meninggalkan tempat itu. Ryan menghampirinya ketika Jonathan masih terdiam sambil mengamati lunch box bersusun yang tergeletak di meja bersantai dekat pantry. Tidak menyangka akan mendapat suatu perlakuan khusus dari Eleanor.

“Selamat kamu sudah resmi menjadi pria beristri! Dan istrimu tampak bukan orang biasa.” Goda Ryan sembari mengambil air minum dari dispenser.

Namun Jonathan tidak begitu menanggapinya. Dalam benaknya dia juga penasaram bagaimana Eleanor mengetahui dimana dia berada. Dia bahkan tidak mengatakan apapun pada Eleanor semalam dan tidak pula menghubunginya pagi ini. Tepat saat itu sebuah pesan singkat masuk ke ponselnya. Bukan dari Eleanor, melainkan dari sekretarisnya.

Pak Jonathan… maaf mengganggu.

Bu Eleanor meminta saja untuk mengirim alamat yang anda minta. Dan beliau juga meminta saya mengantar anda secara khusus jika anda ingin mengunjungi alamat itu setelah jam makan siang.

Pikir Jonathan tidak ada lagi hal mengejutkan yang akan terjadi atau yang akan dilakukan Eleanor pada hidupnya. Tapi ternyata masih banyak. Orang macam apa Eleanor sebenarnya?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status