Share

Weird Marriage

Bakat alami yang dimiliki Eleanor adalah merusak hal baik apapun yang ada disekitarnya. Ketika dia masih kecil dia merusak hubungan baiknya dengan ibunya karena suatu insiden tahun 1998. Eleanor yang dihantui trauma karena kerusuhan itu memilih untuk melimpahkan kesalahan pada ibunya. Kalau saja saat itu ibunya tidak mengajaknya berbelanja di Orion Plaza setidaknya mereka tidak akan menyaksikan pembantaian dan penjarahan secara langsung di depan mata. Terlebih saat itu Eleanor kecil sempat terpisah dari Margaret. Dan jika saja orang baik tidak menolongnya, Eleanor pasti menjadi salah satu korban.

Sejak saat itu Eleanor enggan berbicara dengan ibunya. Dia memilih tinggal dan dibesarkan oleh kakek dan neneknya hingga selepas SMA. Eleanor juga enggan pulang ke rumah orang tuanya jika ayahnya tidak ada di rumah. Itu hanya sebagian kecil hubungan yang sengaja di rusak Eleanor. Saat dia masih SMA ada hubungan pertemanan yang juga rusak karena dia. Hubungan yang melibatkan dia, Jenny dan seorang teman laki-laki yang namanya tidak ingin Eleanor sebut lagi. Nama yang sudah tidak penting baginya.

Lalu yang paling parah adalah usahanya untuk merusak hubungan asmara Jonathan dan Allena. Dia secara tidak langsung menjadi katalis kerusakan tersebut. Jonathan mungkin tidak menyadari hingga detik ini jika Eleanor berperan besar dalam menghancurkan rencana masa depannya dengan Allena. Yang dia tahu Eleanor hanya mengisi kekosongan yang ditinggalkan Allena. Karena itu Jonathan masih percaya Eleanor tidak akan melakukan hal buruk pada Allena terlepas dari apa yang telah diperbuat mantan kekasihnya itu. Eleanor hanya seorang pebisnis. Kelicikannya mungkin hanya berlaku pada caranya menjalankan bisnis.

Namun itu hanya prasangka Jonathan sebelum dia mendengar sendiri dari bibir Eleanor bahwa wanita yang telah resmi menjadi istrinya itu melakukan sesuatu pada Allena. Bukan sekali ini Jonathan mendengar pengakuan itu. Dia masih familiar dengan pembicaraan mereka beberapa bulan lalu sebelum mereka memutuskan untuk menikah, hari dimana Jonathan mengetahui bahwa Eleanor melakukan sesuatu pada perusahaannya. Jonathan sadar bahwa Eleanor memiliki pengaruh dan sebuah hak istimewa layaknya penguasa. Namun permintaan maaf yang tampak tulus hari itu membuat cara pandang Jonathan pada dunia Eleanor berbeda. Dia pikir itu terakhir kalinya Eleanor menggunakan kekuasaannya. Tapi dia salah.

“Apa maksudnya semua ini?” tanya Jonathan. Dia tidak pernah merasa kehilangan kata-katanya sebelum hari ini.

“Aku yang sengaja membuat perempuan itu menghilang.”

“Apa yang kamu lakukan padanya?” Jonathan tidak lagi memiliki kesabaran. Tapi Eleanor seakan memperlambat kata-katanya.

“Hanya membawanya ke tempat dimana seseorang dengan gangguan kejiwaan seharusnya berada. Setidaknya setelah apa yang dilakukannya pagi ini.”

“Allena tidak gila!” potong Jonathan. Wajahnya masih mengeras dan tatapannya tidak pernah semarah itu pada orang lain.

Sangat disayangkan Eleanor merusak hubungan baik yang Jonathan coba berikan. Ketika hubungan diantara mereka tidak dibentuk dari ikatan cinta, setidaknya memperlakukan satu sama lain dengan baik dan saling menghormati adalah pilihan yang terbaik. Mereka masih bisa hidup normal selayaknya pasangan yang telah menikah. Tetapi Eleanor justru lebih menyukai konfrontasi dibandingkan kepura-puraan. Dia lebih memilih dibenci dibandingkan mendapat perhatian yang hanya ada karena tanggung jawab pernikahan.

“Dia tidak akan berada disana jika dia bukan perempuan gila.” Kata-kata Eleanor seperti bensin yang menyulut api semakin besar. Terlebih dengan nada bicaranya yang dingin dan seakan tidak berperasaan.

“Kamu bukan keluarganya dan kamu tidak mengenalnya sedikitpun jadi kamu tidak mempunyai hak membawanya ke tempat itu.” geram Jonathan.

Layaknya bongkahan es, Eleanor tetap berpegang pada argumennya. Dia bahkan merasa tidak perlu menatap Jonathan sepanjang percakapan itu. Dada Jonathan naik turun karena menahan amarah. Tinjunya meremas kemudi. Tapi dia memejamkan mata agar dapat menahan kata-kata kasar yang ingin dilontarkannya.

“Tolong… keluarkan dia dari sana! jika kamu masih memiliki hati nurani.” Jonathan memohon dengan suara yang lebih halus.

“Dia akan keluar dari tempat itu begitu dinyatakan sembuh.”

“Eleanor!” untuk pertama kalinya Jonathan menyebut nama Eleanor tanpa rasa hormat ataupun panggilan sopan. Dia mulai mengambil otoritasnya sebagai seseorang yang telah dipilih Eleanor menjadi suaminya.

“Kamu bisa menemuinya jika itu yang kamu inginkan. Sekretarisku akan mengirim detail alamat rumah sakit itu untukmu.”

Segera setelah mengucapkan kata-kata itu, Eleanor melepas safe belt-nya lalu membuka pintu mobil dan turun dari sana. Dia meninggalkan Jonathan dalam amarah yang tertumpuk. Napas Eleanor memburu ketika dia telah berada di dalam lift. Dia lupa bagaimana bisa melangkah hingga kesana. Sebab begitu dia sendiri di ruang sempit itu, lututnya mendadak terasa lemas. Dia sudah sering melakukan konfrontasi dengan orang-orang yang ingin ditundukannya. Tetapi Eleanor tidak pernah merasa hatinya sesakit itu. Seolah ada sesuatu yang menggerogoti dadanya dan meremukan tulangnya. Perasaan yang jelas sangat asing.

Kenyataan bahwa Jonathan masih sangat peduli pada mantan kekasihnya harusnya tidak mengganggu Eleanor. Dia sudah menulis dalam kesepakatan pernikahan mereka bahwa Jonathan boleh mengambil Allena sebagai wanita simpanan dengan syarat Jonathan tidak akan pernah menyebut nama wanita itu dihadapannya. Tapi Jonathan tidak mengambil Allena menjadi wanita simpanan, tidak pula menjauhinya. Melainkan dia menyebut nama Allena seolah-olah dia masih menjadi tunangannya. Dia menyebut nama itu di hadapan Eleanor.

***

Berbaring di tempat tidurnya tanpa memejamkan mata, Eleanor melakukan itu sepanjang malam. Dia berharap dapat mendengar suara decitan pintu apartemen yang terbuka. Tapi hingga matahari akan terbit, dia tidak mendengarnya. Saat dia bangkit dari tempat tidurnya, kekosongan merayap hingga sudut rungan itu. Tinggal semalam di tempat asing yang diklaimnya sebagai tempat kemenangannya. Namun bukan bahagia atau rasa kepuasaan yang didapatkannya. Melainkan rasa sepi yang tidak berujung. Dia yang sudah terbiasa hidup sendiri sejak kematian kakek dan neneknya untuk pertama kalinya merindukan seseorang untuk berada di sisinya.

Eleanor sadar setelah dia meninggalkannya di lantai basement, Jonathan tidak pulang ke apartemen itu. Barang-barangnya pun belum dipindahkan. Wadrobe milik mereka yang bersebelahnya salah satunya tetap kosong. Menegaskan bahwa hanya Eleanor yang terlalu berhasrat pada pernikahan aneh itu. Kalau dipikir ulang Jonathan memang hanya terpaksa menerimanya. Eleanor tidak seharusnya memiliki ekspektasi yang terlalu jauh.

Melangkah keluar dari kamar tidur utama, Eleanor berjalan menuju kabinet pantry. Memeriksa satu per satu apakah ada peralatan masak yang bisa digunakannya. Tapi ternyata tidak ada satu pun. Bahkan lemari pendingin pun tidak menyimpan apapun. Dia baru sadar bahwa apartemen itu masih belum diisi oleh peralatan apapun. Jonathan jelas belum mempersiapkannya saat mengajukan persyaratan bahwa mereka harus tinggal di apartemen yang dibelinya.

Sambil membawa ponsel bersamanya Eleanor melangkah menuju jendela di ruang rekreasi. Tirainya yang berwarna tosca tampak menutupinya dengan rapat. Eleanor berusaha menyibaknya hingga ke lapisan gorden putih yang berada di baliknya. Sekilas tampak warna fajar kemerahan di langit, tapi jalanan kota di bawah sana telah sibuk. Lampu-lampu gedung tampak mengantuk. Dan taka da satupun yang ingin terjaga lebih awal. Eleanor menekan layar ponselnya berusaha menghubungi Rere. Panggilan itu baru tersambung setelah beberapa kali dia mencoba.

“Halo…” suara serak Rere terdengar seperti dia belum siap membuka matanya. Eleanor yakin Rere pun tidak sempat melihat ID kontak yang menelponnya.

“Kamu sudah bangun?”

Tidak terdengar jawaban dari seberang. “Kamu punya waktu dua puluh menit untuk menjemputku. Hari ini aku akan ke kantor dan memimpin rapat. Aku sudah memutuskan untuk tidak membolos walaupun sehari. Jadi atur jadwalku secepat mungkin.”

“What?” suara keras dari seberang membuat Eleanor harus menjauhkan ponsel dari gendang telinganya. “Bukannya kamu berencana cuti beberapa waktu setelah pernikahan? Ada acara pesta pernikahan yang harus kamu persiapkan bukan?”

“Tidak. Aku berubah pikiran. Aku tidak akan cuti terlalu lama dari perkerjaanku.” Sahut Eleanor dengan cepat. “Lagipula aku sudah menyerahkan persiapan itu pada paman.”

“Kamu menyerahkannya pada Pak Hok?” Rere mengulangi perkataan Eleanor.

“Yah, aku sudah memutuskannya.”

Rere mendengus. “Pesta itu bakal berubah menjadi pesta bisnis. Harusnya kamu memilih aku saja untuk mempersiapkannya.”

Sedetik kemudian Rere menyesali perkataannya. Jika Eleanor menyerahkan persiapan itu padanya bukan tidak mungkin dia akan sangat sibuk. Itu hanya akan menambah daftar perkerjaan yang membuatnya stress.

“Aku tidak begitu mempercayaimu. Jadi aku tidak akan menyerahkan tanggung jawab seberat itu padamu.” cibir Eleanor seperti biasa. “Lagipula aku juga tidak punya teman untuk diundang jadi wajar kalau orang-orang yang datang nanti hanya kolenga bisnis paman.”

Kata-kata Eleanor terdengar seperti ironi yang diucapakan dengan cara yang kejam. Sehingga Rere tidak tahu harus bersimpati atau justru mencelanya.

“Waktu terus berjalan dan kamu punya waktu dua puluh menit untuk sampai di apartemen ini. Jadi lebih baik kamu bergegas.”

“Hei! Aku bukan supirmu! Lagipula kenapa kamu tidak menelpon Pak Sapardi saja?”

“Aku memberinya cuti hari ini sekaligus untuk mengantar Mbak Sari pulang kampung.”

“Kalau Pak Sapardi saja kamu beri cuti kenapa aku tidak? Kenapa aku yang harus jadi supir pengganti? Dan memangnya kamu tidak mau menemui Mbak Sari sebelum pulang kampung?” Rere yang kesal terus mengoceh dari seberang. Tapi Eleanor yakin dia sudah beranjak dari tempat tidurnya karena beberapa kali dia mendengar suara gaduh.

“Aku tidak pandai mengucapkan selamat tinggal.” Jawab Eleanor singkat. Kemudian bergegas mematikan panggilan itu sebelum Rere menyahuti.

Matahari tampak merangkah naik. Sinarnya menyusup di sela-sela gedung tinggi. Pemandangan kota di bawahnya diselimuti cahaya keemasan. Sementara lampu jalanan satu per satu mulai padam. Eleanor meninggalkan jendela untuk kembali ke kamarnya. Ketika dia melewati kamar tidur yang lain sempat terbesit dibenaknya untuk mencoba membukanya. Lalu berharap Jonathan tidur meringkuk disana. Tapi dia meyakinkan dirinya sendiri bahwa kamar itu kosong. Dan bahwa Jonathan lebih memilih tempat di luar sana dibanding berada dalam satu ruangan dengannya. Itu lebih baik dibanding melihat Jonathan merasa tak nyaman bersamanya.

“Lagian ngapain sih kamu harus bilang yang sebenarnya? Sudah bagus kamu menyingkirkan Allena untuk beberapa waktu.”

Meski enggan, Rere tetap tiba dua puluh menit kemudian untuk menjemput Eleanor. Mereka dalam perjalanan ke rumah Eleanor karena tampaknya Eleanor ingin memuaskan dirinya dengan olahraga ekstrim terlebih dahulu.

“Normalnya pernikahan itu saling berbagi kasih seperti janji pernikahan kalian, tapi malah lebih suka melakukan konfrontasi yang memicu pertengkaran. Lebih parahnya itu terjadi di hari yang sama setelah kalian mengucapkan janji pernikahan. Kamu yakin mau kehidupan pernikahanmu seperti itu?”

“Aku lebih suka dia membenciku dibanding memaksanya memperlakukanku sebaik itu.”

“Aku tidak mengerti jalan pikiranmu!” geram Rere.

Seakan dia yang lebih frustasi dengan kehidupan Eleanor.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status