Share

Two Different Life

Apartemen itu hanya berukuran 79m², terbilang sempit jika dibandingkan penthouse pribadi milik Eleanor di Singapura dan unit apartemen miliknya yang berada di ibukota. Selain itu lokasi apartemen milik Jonathan berada di salah satu tower La Richz milik saingan bisnis Eleanor yaitu Pakubuwono Group. Tidak masuk akal bukan jika dia harus tinggal di salah satu property milik saingan bisnisnya sementara perusahaannya sendiri mengelola beberapa perusahaan property dan real estate yang juga tidak jauh dari kawasan itu.

Kendati demikian Eleanor tidak mengungkapkan isi kepalanya pada Jonathan. Sebelumnya dia telah mendapat informasi dari Rere bahwa apartemen itu sebenarnya dibeli Jonathan untuk hadia pernikahannya dengan Allena kelak. Tentu saat ini cicilan apartemen itu belum lunas. Jonathan sendiri belum memberitahu Allena jika dia telah mempersiapkan segalanya sebelum mereka menikah. Itu yang menjadi alasan mengapa Jonathan menggantung hubungan mereka sangat lama. Allena tidak tahu bahwa Jonathan bersusah payah mewujudkan impiannya yang tidak murah. Dan sayangnya Allena tidak memiliki kesabaran untuk menunggu Jonathan benar-benar mewujudkan impiannya.

Saat pertama kali menginjakkan kakinya di apartemen itu wajah Jonathan tampak masam. Dia mengingat dengan pasti alasannya membeli apartemen tersebut. Namun alih-alih dia datang bersama Allena setelah pernikahan impian mereka, dia justru datang dengan wanita lain. Inilah yang disebut ironi hidup. Sementara Eleanor, meski belum terbiasa dengan kehidupan di apartemen kecil, dia tetap merasakan kemenangannya atas Allena ketika menginjakkan kakinya di tempat yang akan ditinggalinya dengan Jonathan itu.

“Kamar tidur utama ada di sebelah kanan. Untuk kamar yang lain mungkin bisa digunakan untuk ruang kerja. Aku belum meletakkan furniture apapun disana.”

Suara Jonathan terdengar tenang dan berwibawa seperti biasa sekalipun dia menggenggam erat ponselnya seperti seseorang sedang menunggu kabar seseorang. Eleanor sadar bahwa dalam ketenangan suaranya, hati Jonathan justru merasa gelisa.

“Biar kubawa barang-barangmu ke kamar!” sambungnya setelah tidak mendengar Eleanor menyahuti. Seharusnya mereka merasa canggung dengan satu sama lain jika mengingat status baru mereka. Tetapi pikiran Jonathan yang tidak berada di tempatnya membuat keberadaan Eleanor seakan biasa.

Punggung Jonathan menghilang ke dalam pintu kamar tidur utama bersamaan dengan beberapa kopor yang dibawa Eleanor. Meski tidak tahu harus melakukan apa Eleanor memutuskan untuk mengikutinya di belakang. Interior apartemen itu didominasi oleh dinding berwarna putih, lantai kayu serta pintu yang memiliki aksen gading dan mokka. Sementara untuk furniture dipilih dengan seminimalis mungkin, sofa, meja panjang dan carpet yang berada di ruang rekreasi di dominasi warna mokka dan coklat. Sejauh ini selera Eleanor dan Jonathan tidak bersebrangan. Desain interior itu cukup nyaman di mata Eleanor.

Mengikuti kemana Jonathan pergi, Eleanor mendapati dirinya berdiri di ambang pintu kamar tidur utama. Tidak jauh berbeda dari ruangan yang lain, tempat tidur itu juga didominasi warna mokka dan gading dengan sebuah ranjang queen size dan wardrobe panjang yang menutupi dinding. Sementara tepat di seberang pintu adalah jendela apartemen dengan tirai putih. Belum ada perubahan berarti di apartemen itu, mirip seperti template yang dicopy-paste.

“Kalau kamu tidak suka dengan warna dindingnya, kamu bisa mendekor ulang. Silahkan.” Barulah setelah bertemu di kamar tidur utama Jonathan menyadari kecanggungan di antara mereka. Meski pikirannya seolah mengatakan dia ingin segera pergi.

Karena tidak ada perjanjian untuk kamar tidur terpisah, mereka tidak keberatan untuk menggunakan kamar yang sama. Namun Eleanor bisa memastikan tidak ada romantisme apapun di antara mereka sekalipun mereka tinggal bersama sebagai suami istri. Dalam kesepakatan pernikahan, mereka setuju untuk menjalani kehidupan pernikahaan pada umumnya. Sekalipun untuk kontak fisik sepertinya harus mereka pelajari secara bertahap. Jonathan bertekad tidak akan memaksa atau menuntut apapun pada Eleanor selain tinggal bersama di apartemennya. Dan cukup sadar jika antara Eleanor dan dirinya belum tumbuh perasaan yang layak.

“Tidak perlu. Aku tidak akan mengubah apapun di tempat ini. Aku menyukai warnanya.” Sahut Eleanor untuk pertama kalinya.

Jonathan tampak terpaku beberapa detik saat mengamati garis wajah Eleanor. Aksen Eleanor masih sama seperti saat dia berbicara dengan kolenga bisnisnya.

“Aku harus pergi. Barang-barangku belum sempat dipindahkan jadi aku tidak membawa pakaian bersih. Kita bertemu lagi nanti saat makan malam. Aku akan menjemputmu dan kita bisa pergi bersama.” masih dengan nada yang sama Jonathan tampak tidak curiga jika Eleanor mengetahui keberadaan Allena. Sebab dia masih tidak menyinggungnya.

“Yah, aku juga harus merapikan barang-barangku.”

“Baik, sampai jumpa nanti malam.”

Sewaktu Jonathan melewati tubuh Eleanor, langkahnya sempat terhenti. Dia sadar telah bersikap kaku pada Eleanor bahkan belum sehari pernikahan mereka. Dia juga sedikit berbohong karena alasannya pergi bukan hanya untuk berganti pakaian, melainkan menemui Ryan yang dimintainya mencari Allena. Setelah berulah di pesta pernikahannya, Jonathan menyadari bahwa Allena tidak kembali ke apartemen yang ditempatinya. Bahkan nomornya pun tidak bisa dihubungi. Meski sudah memutuskan untuk tidak lagi mempedulikan Allena, tapi Jonathan tidak bisa menutupi rasa khawatirnya. Dia masih sedikit peduli dengan mantan kekasihnya itu.

***

Aku akan menunggu di lobby

Isi pesan yang dikirim Eleanor. Namun seperti pesan yang lainnya, tidak ada pesan balasan yang diterimanya. Entah apa yang dilakukan Jonathan di luar sana, dia sudah cukup terlambat untuk memenuhi janjinya menjemput Eleanor untuk makan malam keluarga. Dia menunggu Jonathan di area louge apartemen nyaris satu jam lebih. Namun Jonathan tak kunjung muncul. Sehingga Eleanor memutuskan untuk berangkat sendiri.

Ketika Eleanor tiba di Hotel JW Palace−salah satu hotel bintang lima milik Liem Hok di kota itu−keluarga mereka sudah datang terlebih dahulu. Ayahnya, Handoko Liemsudibyo bersama ibu dan adiknya tampak menjamu ibunda Jonathan dan saudara laki-lakinya di ruang private restaurant hotel tersebut. Hidangan pembuka pun baru disajikan.

“Maaf, sedikit terlambat.” Ayahnya berdiri dari tempat duduknya menawarkan pelukan. Sehingga Eleanor menyambutnya. Sudah lama sekali dia merindukan sikap hangat ayahnya setelah beberapa kali bertemu mereka berbicara seperti orang asing.

“Tidak apa. Nikmati kehidupan barumu.” Sahutnya saat Eleanor melepaskan pelukannya. Sudah pasti besok ayahnya akan terbang lagi ke tempat-tempat rahasia yang ingin dijelajahinya. Dan tampaknya melihat Eleanor sudah menikah membuatnya lebih bebas dan tak perlu mengkhawatirkan apapun lagi.

“Bunda… “Eleanor berganti mencium kedua pipi mertuanya. Dia sudah resmi menjadi istri Jonathan sehingga dia bisa memanggilnya “bunda” juga.

Aulia membalasnya dengan senyum bahagia. “Selamat atas pernikahan kalian. Bunda harap ini menjadi awal yang baik.” ucapnya dengan tulus.

Eleanor mengangguk dengan senyuman diplomatis. Saat dia mengalihkan ke meja seberang Aulia, tampak Margaret yang menunggu untuk disapa. Namun alih-alih Eleanor menyapa ibunya sendiri dia justru memilih untuk segera mengambil tempat duduk di sebelah Jessica. Margaret pun berdecak sambil memutar bola matanya lalu kembali duduk.

“Perang dingin masih berlangsung ternyata? Aku pikir genjatan senjata?” cibir Jessica dengan senyuman nakalnya. Dia melirik ibu dan kakak perempuannya yang secara kebetulan duduk di samping kanan dan kirinya.

“Baiklah aku akan mendirikan organisasi non-blok.” ucapnya pada diri sendiri. Lalu menyesap wine di gelasnya.

Eleanor sendiri pura-pura tidak mendengar apapun yang diucapkan Jessica. Pelayan kemudian datang menuangkan wine di gelasnya lalu diikuti dengan meletakkann hidangan pembuka berupa crispy prawn cake with paper mayo sauce yang langsung dihidangkan oleh chef mereka. Dia menyesap wine-nya tanpa sengaja menatap kursi kosong milik Jonathan di seberang. Belum ada yang menyadari bahwa Eleanor tidak datang bersama Jonathan.

“Jadi kemana suamimu itu? kenapa kamu datang sendiri? ini bahkan belum sehari kalian menikah.” Suara sinis Margaret membuat Eleanor menurunkan gelas wine-nya. Dia belum mencicipinya sedikit pun tapi sudah kehilangan napsu makannya. Eleanor benci ketika ibunya menggunakan radar kepekaan sebagai ahli gossip. Margaret bahkan tidak ragu untuk menyudutkan anak perempuannya.

“Kalian tidak datang bersama?”

Aulia ikut menimpalinya dengan pertanyaan karena baru menyadari fakta tersebut. Dia dan Niko yang duduk di sebelahnya tampak saling menatap. Niko mengisyaratkan bahwa dia tidak tahu dimana keberadaan Jonathan ketika menangkap pertanyaan dari tatapan mata ibunya.

Eleanor memutar ujung gelas winenya sambil membalas tatapan Aulia. “Dia akan menyusul karena ada hal yang harus dikerjakannya.” Jawabnya pada Aulia.

“Pekerjaan?” Namun Margaret yang justru menyahuti dari kursinya. “Di hari pernikahan kalian dia masih memikirkan perkerjaan? Hebat sekali kamu memilih calon suami, cocok denganmu! Dan kurasanya tidak ada yang lebih serasi dari kalian.”

Nada sinis Margaret tidak mengandung pujian sedikitpun. Justru dia bermaksud merendahkan karakter Jonathan. Wajah Aulia tampak layu mendengar komentar Margaret. Semua orang di meja itu berusaha untuk tidak membahas hal kurang menyenangkan yang terjadi di gereja. Tapi tampaknya keterlambatan Jonathan semakin memperburuk keadaan.

Eleanor tentu saja tidak tahan saat melihat kekecewaan di wajah mertuanya. Karena itu dia berusaha memasang wajah menyenangkan dan mengalihkan topik pembicaraan.

“Kelihatannya papa dan bunda tampak membicarakan sesuatu yang menarik. Apa yang kalian bicarakan?” tanya Eleanor sambil pura-pura mengambil peralatan makannya. Untungnya sang ayah cepat memahami keadaan itu dan menyambut pertanyaan Eleanor dengan antusias.

“Kami membicarakan banyak hal, tempat-tempat menarik dan buku tentunya.” Jawab Handoko sambil menikmati asparagus cream soupnya. Menu appetiser-nya berbeda dari yang lain karena dia sudah memutuskan untuk menjadi vegan sejak beberapa tahun lalu.

“Bunda terkejut karena Pak Han juga mempunyai selera yang menarik.” Rona cerah di wajah Aulia pun kembali muncul.

Baik Handoko maupun Aulia merupakan orang terpelajar jadi tidak sulit membuat mereka terlibat percakapan yang menyenangkan. Eleanor senang dengan kehadiran ayahnya. Dibanding dengan Margaret yang sama-sama wanita, Handoko lebih cocok dengan besannya. Mengabaikan dengusan Margaret, Eleanor tersenyum tipis pada mereka. Malam ini dia terpaksa harus menampilkan banyak senyuman yang tidak pernah ditampilkannya.

“Dan Niko, apa kamu sudah mendapatkan apartemen di Singapura?” kali ini Eleanor beralih pada adik iparnya. Sikap Eleanor yang sedikit hangat membuat Niko agak terkejut.

“Aku sudah mendapatkan sewa apartemen yang cocok.” Jawab Niko dengan canggung.

“Baguslah…”

Setelah dia merasa suasana makan malam itu kembali normal, Eleanor kembali bertindak pasif. Dia hanya berusaha mendengarkan pembicaraan Handoko dan Aulia tanpa berminat menyahuti. Margaret menyelesaikan makanannya dengan cepat sekalipun terus-terusnya mendengus. Barulah setelah hidangan pembuka dibersikan dari meja dan menu utama yang mereka pesan disajikan, Jonathan muncul di pintu restaurant.

Wajahnya tampak cemas. Sementara langkah kakinya bergerak tergesa-gesa menghampiri meja makan tempat dimana keluarganya berkumpul. Diam-diam dia bersyukur karena melihat Eleanor sudah berada disana menemani ibu dan adiknya.

“Saya meminta maaf karena terlambat.” Ucapnya dengan penuh penyesalan.

Eleanor mengamati tampilan kemeja Jonathan yang kurang rapi dan terkesan memakai sembarangan. Dia menduga Jonathan tidak pulang ke rumahnya untuk berganti pakaian, melainkan menemui temannya. Dan kemeja yang dipakainya pun tidak seperti miliknya.

“Oh, tidak apa-apa. Istrimu sudah menjelaskannya.” Sahut Handoko. Berbeda dari Liem Hok, dia cenderung menghindari konflik sekecil apapun.

Jonathan menyapa ibunya dengan senyuman tag mengisyaratkan bahwa tidak ada apapun yang terjadi. Dan saat ayah mertuanya menyebut Eleanor, dia pun secara otomatis menatap perempuan di seberangnya. Kata “istri” yang diucapkan ayah mertuanya seakan menampar wajahnya. “Terima kasih sudah menjelaskannya.” Ucap Jonathan pada Eleanor.

Tidak ada balasan dari Eleanor. Anggukannya hanya membuat Jonathan merasa bersalah. Karena terlambat, Jonathan tidak bisa menikmati hidangan pembuka. Kendati demikian sepanjang makan malam itu dia berusaha menyenangkan semua orang. Termasuk Eleanor. Beberapa kali dia memberikan tatapan persahabatan padanya.

Pukul sembilan malam mereka menyelesaikan makan malam. Setelah keluarga Eleanor dan keluarganya meninggalkan hotel, Jonathan dan Eleanor menjadi orang terakhir yang meninggalkan tempat itu. Kali ini Eleanor pulang ke apartemen bersama Jonathan. Tidak ada pembicaraan diantara mereka sepanjang perjalanan. Jonathan memang tampak menatap Eleanor beberapa kali untuk membuka percakapan dengan Eleanor, namun Eleanor justru menghindarinya dengan pura-pura tidak menyadari tatapan Jonathan. Perjalanan itu terasa sunyi hingga mobil milk Jonathan memasuki basement apartemen.

“Ada yang ingin aku katakan.” Ketika mobil itu telah terparkir, Eleanor tiba-tiba membuka suara. Wajahnya tampak kaku hanya menatap lurus ke depan. Sementara Jonathan yang sudah melepas safe belt-nya mengurungkan niatnya untuk turun.

“Kalau tentang hari ini aku benar-benar minta maaf. Aku menemui Ryan dan…”

“Bukan itu yang ingin kubahas.”

Entah bagaimana Eleanor memotong perkataan Jonathan begitu saja.

“Baiklah, aku akan mendengarkan.”

Sekalipun Jonathan mengecewakannya dalam beberapa hal, Eleanor tak dapat memungkiri jika Jonathan berusaha memperlakukannya dengan baik. Sikap dan penyesalannya sudah mampu membuat Eleanor memaafkannya. Namun Eleanor benci harus berpura-pura. Juga dia benci sikap Jonathan yang tidak natural. Eleanor tahu bahwa Jonathan berusaha tidak menaruh prasangka padanya. Tetapi dia tidak begitu mengenal Eleanor dengan baik.

“Aku tahu dimana keberadaan Allena.”

Kata-kata itu menyengat kesadaran Jonathan. Tidak ada hal yang ditunggunya kecuali informasi tentang Allena. Setelah muncul di pernikahannya dan membuat masalah, Allena menghilang. Jonathan merasa hal itu tidak wajar. Dia dan Ryan bahkan berencana melapor pada polisi jika dalam kurung waktu 24 jam Allena belum ditemukan.

“Aku memerintahkan orang untuk membawanya untuk direhabilitasi. Kelihatannya dia mempunyai masalah dengan kejiwaannya.” Jelas Eleanor.

Tidak ada tanggapan dari Jonathan ketika Eleanor sengaja menunggunya membuka suara. Ketika dia mengalihkan pandangannya pada Jonathan yang didapatkannya adalah garis wajah yang mengeras dan tangan terkepal.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status