"I love you, Mas." Aku terisak dibahu Daniel. Bahu yang selalu kuharapkan dapat menopang kepalaku saat aku sedih."Love you too, sayang." Jawab Daniel. Malam ini kami sedang duduk bersama diteras rumah Daniel. Aku ingin menghabiskan malamku bersama Daniel.Orang tua Daniel sedang keluar untuk menemui koleganya.Besok, aku harus kembali menjadi Sofi tunangan Salman. Aku sudah memutuskan untuk melanjutkan pernikahanku atas permintaan Daniel.Daniel memberikan alasan yang masuk akal untuk tidak merebutku dari tangan Salman. Daniel bukan tipikle laki-laki curang dan licik.Dan aku harus bertanggung jawab atas semua keputusan yang kuambil. Sebenarnya, bisa saja waktu itu aku menggagalkan pertunanganku.Tapi aku memilih meresmikan pertunanganku dengan Salman."Mas, udah beberapa hari lagi aku akan nikah sama Salman. Aku akan jadi milik dia Mas." Daniel menatapku. Hatiku sakit melihat mata Daniel yang juga meneteskan air mata."Apapun yg terjadi esok, aku harap kamu akan selalu bahagia sayan
Untuk Mas Daniel, Daniel, Satu nama yang terpateri dalam hati ini. Terima kasih karena sempat menjadi warna dalam hidupku. Sampai saat ini, aku masih mencintaimu. Sangat. Meski raga ini sudah tak mampu lagi berlari mengejarmu, tapi hati ini senantiasa merindumu. Semua memang sudah terlambat. Aku tidak bisa melawan takdirku.Tapi tak salah bukan, kalau aku berharap, suatu saat takdir berpihak padaku. Aku masih mengaharapkanmu, mas. Meski secuil saja harap adalah sesuatu yang mustahil. Tapi, bukankah berawal dari kemustahilan mencintai dengan derajat yang berbeda sudah kita lewati? Sekarang, aku hampir menjadi isteri orang, dan kamu masih sendiri. Apakah ini juga akan menjadi mustahil? Ah, entahlah! Kamu terlalu dalam untuk aku keluarkan dari lubuk hatiku. Kamu terlalu berkuasa dalam otakku hingga aku tak mampu melupakanmu. Kalau boleh aku bilang ‘aku benci takdirku’. Tapi itu tidak boleh, kan? Karenanya, aku tidak membencinya. Apapun dan siapapun. Selamat tingg
“So beautiful, anak Mamah.” Aku memeluk Mamah Daniel. Aku mencoba menahan air mata yang ingin jatuh. Memeluk mamah Daniel serasa memeluk Ibuku. Aku merasa sedikit damai dalam pelukannya. “Makasih, Mah. Makasih juga udah mau dateng.” Dia melepas pelukanya dan tersenyum sambil menatap mataku.Mata Mamah Daniel berbinar. Terpancar kebahagiaan disana. Ada perasaan kecewa dalam hatiku atas kebahagiaannya.Kecewa, karena Ia bahagia atas pernikahanku yang bukan dengan anaknya.“Mamah pasti dateng sayang. Kan, yang nikah anak Mamah.” Jawab Mamah Daniel teduh. 'Iya. Mamah Daniel bahagia, karena dia menganggapku anaknya. Ah, aku terlalu berlebihan karena kecewa.'“Mas Di nggak dateng?” Dia Kembali melempar senyumnya.“Dateng, dong.. kalau nggak dateng, gimana kamu nikahnya?” Balasnya. Aku mengernyitkan dahiku. Aku memang berharap Daniel bisa datang, tapi kalaupun dia tidak datang, itu tidak akan berpengaruh apa-apa pada pernikahanku.Aku mengangguk, meskipun aku tidak mengerti maksud Mamah
“Bos, sakit, Bos!”“Kamu berisik banget sih, Sof!” Aku tidak bisa berbuat apa-apa saat Daniel menarik tanganku untuk membersihkan luka di jariku. Gara-gara dia datang tiba-tiba, aku yang tengah memotong sayuran pun kaget dan tergores pisau. “Kuliah kamu udah selesai?” tanya Daniel kemudian. Dia adalah majikanku. Dulu, aku sempat cuti kuliah karena tidak memiliki biaya, sedangkan aku hanya seorang yatim piatu sejak SMP. Aku tinggal bersama paman dan bibi yang juga serba kekurangan. Tapi berkat Daniel, aku dapat melanjutkan kuliahku lagi. Dia mencabut masa cutiku ditengah-tengah semester. Aku beruntung bisa melanjutkan kuliahku yang hanya tinggal dua semester. “Udah Bos. Hari ini saya pulang cepet. Soalnya, dosen yang masuk siang nggak bisa dateng. Bos juga tumben jam segini udah pulang?” Biasanya Daniel pulang kantor jam 05.00 sore hari. “Aku lagi pengen kerja di rumah.” Daniel membuka jas dan mengendorkan dasi di lehernya. Daniel memang punya wewenang untuk keluar m
"Bilang aja saya kakak kamu.” Ucap Daniel memecah keheningan dalam mobil mewah berwarna hitam miliknya.Hari ini dia memaksaku untuk ikut dengannya berangkat ke kampus. Ini kali pertama aku menaiki mobil mewah.“Bilang sama siapa, Bos?” Tanyaku heran. Hidungku mengendus perlahan, mencium parfum mobil beraroma kopi yang menyegarkan.“Sama Abang kamu!” Aku melirik Daniel. Laki-laki keturunan Surabaya Turki yang mempunyai tampang manis dengan sedikit jambang dan hidung mancung.Kulitnya putih bersih dan sedikit berotot. Daniel sangat suka olahraga, dia terlihat energik. Aku selalu terpesona melihatnya.“Oh...” Jawabku singkat. Daniel melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, menyusuri jalanan Surabaya yang padat.Aku memperhatikan trotoar jalanan yang dipenuhi dengan para pedagang kaki lima dengan berbagai masakan khas Jawa Timur di pagi hari.“Kamu kenapa nggak mau berangkat bareng Salman?” Daniel belum puas membahas Salman.“Nggak apa-apa, Bos.” Timpalku.Sebenarnya, selain aku ma
Tidak seperti biasa, hari ini badanku terasa kurang fit. Aku menatap langit-langit kamarku. Aku meraih selimut disamping tempat tidurku dan mulai meringkuk didalamnya. Aku merasa badanku panas, tapi rasanya dingin sekali. Kemarin, aku kehujanan saat pulang kuliah. Tapi malam sebelum aku tidur, rasanya badanku masih sehat. Tiba-tiba aku meriang ditengah malam. Pagi ini, kepalaku pening, badanku lemah. Aku tak mampu berdiri. Tanganku keluar dari dalam selimut. Menggapai ponsel di atas meja samping kasur. Aku melihat jam, sudah pukul 08.00, aku belum sarapan. Ada beberapa panggilan tak terjawab dari Rena. Aku berusaha menghubunginya kembali. Aku akan memintanya datang dan membawa sarapan. Beberapa kali aku menghubunginya, Rena tetap tidak menjawab panggilanku.Tok.. tok.. tok.. Seseorang diluar mengetuk pintu kamarku. Mungkin itu Daniel. Aku bangun dengan sekuat tenaga. Langkahku goyah. Aku berjalan tertatih. Tapi aku berusaha menggapai daun pintu untuk membukanya.“Kamu kenapa,
Daniel tiba-tiba masuk dengan kaos oblong warna hitamnya. Mungkin dia baru pulang jogging. Daniel selalu pergi jogging setiap pagi. Mungkin itu sebabnya badannya selalu sehat dan memberikan vibes positive untukku. Untukku? Aku tersenyum.“Ada apa?” Daniel merapat kemeja mini bar. Dia mengagetkan aku yang sedang terpesona melihat ketampanannya.“Eng.. Enggak papa, Bos.” Aku langsung memalingkan wajahku dan beralih memandangi sayuran yang tengah kupotong-potong.“Kamu udah sehat?” Tanya Daniel sembari berjalan lalu duduk menyandarkan tubuhnya disofa. Daniel terlihat letih. Aku mengambilkan air putih untuknya.“Mendingan, Bos. Hari ini saya mau berangkat kuliah. Biar gak tambah sakit. Bosen tidur terus. Tapi saya belum beres-beres rumah, Bos.”Aku melihat rumah Daniel sudah tidak rapi. Kertas kerjanya berserakan diruang tamu. Daniel terlalu sibuk untuk membereskannya sendiri."It's oke. Saya udah biasa sama rumah yang berantakan." Daniel mengangkat kakinya dan meneguk air putih yang
"Aduh! Pelan-pelan dong, Bos." Kepalaku hampir terantuk dashboard mobil. Aku terkejut Daniel ngerem mendadak. “Udah sampe, tuh! Makanya jangan ngelamun terus.” Daniel memarkirkan mobilnya tepat didepan gedung jurusanku, Fakultas Ekonomi.Aku memonyongkan bibirku sembari membuka pintu mobil. Aku menuruninya perlahan, karena mobil Daniel yang tinggi.Sepanjang perjalanan kami memeng diam. Aku hanya sibuk melihat jalanan. Danielpun tidak menegurku. Aku malu memulai obrolan. Sebuah mobil sedan berwarna hitam merapat terparkir di samping mobil Daniel.“Hei, Sofi. Gimana keadaanmu? Udah sehat?” Seseorang mengulurkan tangannya setelah menuruni mobil tersebut. Aku terkejut dan melihatnya. Ternyata Salman yang datang menghampiriku.“Oh iya, Bang. Sudah agak baikan.” Aku menyambut tangannya lalu bersalaman.Daniel turun dari mobil menghampiri kami. Salman tersenyum menyambut Daniel.“Salman, Mas” Salman mengulurkan tangannya memperkenalkan diri.“Daniel.” Daniel meraih tangan Salman la