“Kita ketemu lagi.” Gilang menghampiri bocah, yang beberapa waktu lalu datang bersama Kiya. Rupa-rupanya, Kiya mulai menunjukkan jati dirinya dan tidak lagi menutupi identitasnya. Duta memandang Gilang dari ujung rambut, hingga kaki. Pria itu terlihat rapi dan lebih bersih, dibandingkan dengan pertemuan pertama mereka di mall. Namun, hanya satu yang tidak berubah, penampilan Gilang tetap terlihat mahal. Sama seperti para orang tua wali murid, yang terkadang ikut mengantar jemput teman-teman Duta di sekolah. “Om Gilang kenapa pake tongkat?” tanya Duta baru menyadari hal tersebut, saat Gilang berjalan ke arahnya. Ketika Duta baru datang dan menyalami Gilang beberapa waktu yang lalu, ia tidak menyadari ada tongkat di sekitar pria itu. Mungkin karena Gilang tengah duduk, sehingga membuat Duta tidak melihat tongkat tersebut. “Kakiku sakit,” ucap Gilang lalu duduk perlahan di sebelah Duta. Ia menatap Kiya, yang tengah bicara dengan salah satu karyawan hotel, sisi ruang yang berbeda. “Ayah
Canggung.Entah mengapa, perasaan tersebut menyelinap di hati Kiya, saat Elok dan Lex meninggalkannya dengan membawa Duta, serta Kasih sekaligus. Sepasang suami istri itu mengatakan, mereka akan mengecek kamar yang akan ditempati malam ini, dan Kiya diminta menemani Gilang untuk sementara waktu.“Kenapa cerai?”“Apa, Mas?” Lamunan tidak jelas Kiya, menguap seketika saat Gilang membuka suara. “Mas Gilang tadi tanya apa?”“Kenapa cerai?” ulang Gilang mendadak ingin mempertanyakan hal tersebut pada Kiya.“Ohh …” Kiya terkekeh hambar. Mengapa Gilang mendadak bertanya hal pribadi seperti itu? Bukankah, Kiya sudah memberi batasan dengan dengan hubungan mereka. “Maaf, itu urusan pribadi saya.”“Dia selingkuh?” tanya Gilang mengabaikan ucapan Kiya.“Mas.” Kiya kembali menyalakan layar ponsel, lalu melihat jam digital yang tertera di sana sebentar. “Saya nggak pernah ikut campur dengan urusan pribadi Mas Gilang, jadi, tolong jangan ikut campur juga dengan urusan pribadi saya. Apalagi ungkit-un
“Kamu yakin, nggak papa jalan dengan—” “Kita pulang ajalah, Mas.” Kiya berdecak karena Gilang kembali mempertanyakan hal tersebut. Dari sebelum perjalanan, sampai di parkiran mall, dan kini, Gilang kembali mempertanyakan hal tersebut saat mereka bertiga baru saja melewati pintu gedung pusat perbelanjaan megah tersebut. “Aku cuma khawatir—” “Saya nggak masalah,” Kiya kembali menyela ucapan Gilang. Pria itu masih saja tidak percaya dengan dirinya sendiri, dan tidak yakin dengan Kiya. “Maaf kalau saya potong lagi omongan Mas Gilang. Tapi, dengernya capek, loh, Mas.” Gilang tersenyum tipis dan menghela. Ia mencoba tidak mengacuhkan Kiya yang sudah menekuk wajah, lalu beralih pada bocah yang sudah jalan lebih dulu dan tampak berhenti di depan sebuah outlet yang menjual es krim. “Duta sepertinya mau beli es krim.” Tanpa menunggu Kiya, Gilang menapakkan tongkatnya dan berjalan pelan menghampiri bocah itu. Saat sudah berdiri di samping Duta, Gilang merangkulnya. “Mau es krim?” “Mau!” Dut
“Mas.” Kiya menghabiskan jarak dengan Gilang, sembari mengawasi Duta. “Kamu sudah gila? Barusan itu … maksudnya, Mas Gilang … “ Napas Kiya terbuang pelan. Ia tidak sanggup meneruskan kalimatnya barusan, karena yang akan dikatakannya pastilah tidaklah mungkin. Gilang pasti hanya bercanda, untuk mempermainkan Kiya.Karena itulah, Kiya kembali mundur dan menjaga jarak. Ia tersenyum, lalu terkekeh menanggapi kalimat yang sudah dilontarkan oleh Gilang. “Dahlah, Mas. Ayo cari tempat makan.”“Ki.” Gilang segera meraih siku Kiya, yang baru selangkah menjauh darinya. “Aku serius dengan omonganku barusan. Dan aku yakin kamu juga ngerti dengan maksudku.”Kiya menggeleng. “Jangan becanda. Tapi, jujur aku lebih suka Mas Gilang yang mulai bisa becanda seperti sekarang. Aku jadi ingat Mas Gilang yang dulu, yang—”“Aku lagi nggak becanda.” Gilang melepaskan tangan Kiya, lalu terdiam menunggu respons gadis itu. Kiya seharusnya tahu, Gilang saat ini tidak sedang dalam mode bercanda.“Mas, aku nggak bis
“Calon … suami?” Garry menatap Gilang dari ujung rambut, hingga kaki. Pandangannya lalu terpusat pada tongkat, yang ada di genggaman tangan kanan pria itu. Garry pun tersenyum tipis, tidak bisa menduga-duga, apa yang telah terjadi pada pria yang ada di hadapannya. Namun, bila dilihat dari setelah dan penampilan pria itu, Garry bisa melihat semua itu adalah barang bermerek. Atau … mungkin saja barang tersebut adalah barang tiruan, karena Garry tidak melihat kendaraan roda empat terparkir di sekitar mereka. Kedua orang tersebut, pastilah baru saja keluar dari taksi dan akan berlanjut ke rumah Kiya. “Kiya?” Garry kembali menatap Kiya dan memperhatikan ekspresinya. “Kenapa?” tanya Gilang berusaha sedikit sopan, karena ia tidak mau terlibat masalah di luar rumah. Gilang benar-benar harus menjaga imagenya di depan Adi, dan seluruh anggota keluarga bila hendak memimpin Jurnal nantinya. “Ada masalah?” Kiya menghela panjang dan masih berdiri di samping Gilang. Merasa pusing sendiri, karena
“Menikah?”Setelah satu kata itu terucap, Raissa lantas bengong menatap putrinya. Sependek ingatan Raissa, Kiya tidak pernah mengatakan sedang menjalin hubungan dengan pria mana pun. Apalagi dengan Gilang, adik dari wanita yang sudah menjadi bos Kiya selama ini.Raissa bergeser sedikit, lalu melihat Gilang. Ternyata, adik laki-laki Elok ternyata sangat tampan. Namun, entah mengapa di mata Raissa, pria itu tampak seperti playboy kawakan. Raissa segera menggeleng samar, menyingkirkan pemikiran yang sempat singgah di kepala. Bagaimanapun juga, ia tidak boleh menilai seseorang dari penampilannya saja.“Bu-bunda, begini.” Kiya terpaksa menggantung kalimatnya, karena melihat Duta masuk ke ruang tamu yang menjadi satu dengan ruang tengah. Putranya sudah tampak segar, dengan rambut basah dan memakai pakaian bola. “Duta, ada ayah di depan gang. Datangi sebentar.”“Ayah sudah pulang?” Wajah ceria Duta semakin semringah ketika mendengar Garry datang dan menunggunya di depan gang. Ayahnya itu, pa
“Duta …” Kiya mengetuk pintu kamar yang baru saja ditutup kasar oleh putranya. Saat menekan handle pintunya, ternyata Duta sudah menguncinya dari dalam. “Duta, buka kuncinya, dan jangan buat Bunda marah.” “Ki—” “Duta …” Gilang terdiam, saat Raissa muncul dari dapur dan ikut memanggil nama cucunya. Hati Kiya saja belum bisa Gilang dapatkan, kini ia juga harus berurusan dengan Duta. Gilang menduga, semua hal ini terjadi gara-gara Garry. Entah apa yang dikatakan Garry, sampai bisa mempengaruhi Duta seperti itu. “Duta, buka pintunya,” lanjut Raissa menggeser posisi Kiya, lalu mengetuk pintu. Ia sempat mendengar ucapan Duta yang cukup keras saat tengah menggoreng telur dadar. Karena itu, Raissa menunggu telurnya matang terlebih dahulu, mengangkatnya, barulah keluar untuk menemui sang cucu. “Nenek mau masuk.” Tidak sampai menunggu lama, suara kunci terdengar dari dalam dan pintu pun terbuka. Raissa dengan segera menahan tubuh Kiya, sembari menggeleng. “Biar Bunda yang bicara sama Duta.
“Ayah bilang apa sama kamu?”Kendati Kiya sudah mengetahui ceritanya dari Raissa, tetapi ia tidak lega bila tidak mendengar langsung dari Duta. Sampai detik ini, Kiya belum menghubungi Garry sama sekali, karena ia hendak mendengar pemahaman Duta terlebih dahulu. Kiya juga belum mengirimkan nomor Garry kepada Gilang, karena menurutnya hal tersebut tidaklah penting.Duta duduk bersedekap di kursi belajarnya, dengan tertunduk. “Bunda mau nikah sama om Gilang.”“Terus, kenapa sampai marah-marah kayak tadi?”“Aku nggak mau Bunda nikah sama om Gilang,” jelas Duta sudah tidak seemosi seperti ketika di depan Gilang. “Aku mau, Bunda nikah lagi sama ayah.”Kalau bukan karena ucapan Gilang, hal seperti ini tidak akan terjadi. Padahal, Kiya sudah menolak lamaran pria itu, dan menjelaskan dirinya tidak mau menikah dengan Gilang.“Bunda nggak pernah ngelarang kamu bicara apa aja sama Bunda, tapi, Bunda nggak suka kalau kamu sampai teriak-teriak kayak tadi.” Kiya beranjak dari tempat tidur, lalu dud