“Assamullaikum, Nduk.”
“Mama?” Mengabaikan denyut di kepala, Shea peralahan beringsut duduk, menyingkap selimut yang menutupi dada. “Shea, kalau ada yang ngucapin salam itu dijawab bukannya malah jerit-jerit.” Shea meringis, merasakan gerakan samar di sampingnya. Sosok itu menggeliat lalu peralahan merebahkan diri sebelum bangkit dan duduk si sebelahnya. “Waalaikumsalam, Ma.” Mama berdecak di seberang sana. “Masih nggak berubah ya, kamu tuh?” “Mama sehat?” “Yah lebih baik dari sebulan lalu,” jawab Mama apa adanya. “Mama sama Papa rencananya akan ke Jakarta, Shea.” “Mama serius?” “Kalau becanda Mama nggak akan nelpon kamu. Gimana keadaan kamu di sana?” Beliau terdiam sejenak, ragu-ragu. “Kandungan kamu baik-baik aja?” Shea menelan ludah merasakan rambut panjangnya disingkirkan ke samping, lalu merasakan sebuah kecupan lem“Semoga aku nggak menganggu kamu.” Hati Shea mencelos. Pram kelihatan berantakan. Kemeja flanelnya kusut. Ada kantung hitam di bawah matanya, seakan dia berhenti tidur, dan rahangnya tampak lebam membiru. Wajahnya menjadi lebih kuyu hanya dalam waktu dua puluh empat jam. “Sini Pram.” Shea mengajaknya melipir, menuju kafe kecil di dalam gedung apartemennya. Lalu memesankan segelas kopi hangat. “Kamu baru pulang dari kampus?” “Kamu nunggu aku dari tadi?” Mereka berbicara bersamaan saat sudah sama-sama duduk berhadapan. Pram meringis, mempersilakan Shea untuk lebih dulu bicara, lalu perlahan menyesap kopinya. “Kenapa kamu ngelakuin itu Pram?” Tidak ada gunanya basa-basi, saat mereka jelas-jelas tahu apa yang terjadi. Dia mendesah, meletakkan gelas kopinya di
“Ayo She, lebih baik kita nggak usah ikut campur. Gue bakal minta Abang Jerikho buat jemput sekarang ya, ya?”Alisa berusaha menyeret lengan Shea menjauh meninggalkan kerumunan, tapi Shea merasa kakinya terpaku.“Nggak bisa Lis, ini Pram.”Dan meskipun dia tidak ingin kepedean. Tapi masalah apalagi memangnya yang bisa membuat Pram murka selain apa yang belakangan terjadi pada Shea?“Biarin aja She, mereka udah dewasa, biarin mereka tanggung jawab sama kelakuan mereka sendiri. Lo harus tenang, pikirin juga soal kandungan lo.”Bisikan parau itu membuat Shea akhirnya tersadar. Alisa menatapnya serba salah. Ada rasa cemas di matanya.Lalu beberapa orang satpam yang dipanggil mahasiswa lain datang tergopoh-gopoh, berusaha keras memisahkan mereka.“Berhenti, berhenti!”Telinga Shea berdenging panjang, suara-suara itu menghilang saat Pram berhasil ditarik mundur.Matanya merah, kedua rahangnya mengatup ketat,
“Assamullaikum, Nduk.” “Mama?” Mengabaikan denyut di kepala, Shea peralahan beringsut duduk, menyingkap selimut yang menutupi dada. “Shea, kalau ada yang ngucapin salam itu dijawab bukannya malah jerit-jerit.” Shea meringis, merasakan gerakan samar di sampingnya. Sosok itu menggeliat lalu peralahan merebahkan diri sebelum bangkit dan duduk si sebelahnya. “Waalaikumsalam, Ma.” Mama berdecak di seberang sana. “Masih nggak berubah ya, kamu tuh?” “Mama sehat?” “Yah lebih baik dari sebulan lalu,” jawab Mama apa adanya. “Mama sama Papa rencananya akan ke Jakarta, Shea.” “Mama serius?” “Kalau becanda Mama nggak akan nelpon kamu. Gimana keadaan kamu di sana?” Beliau terdiam sejenak, ragu-ragu. “Kandungan kamu baik-baik aja?” Shea menelan ludah merasakan rambut panjangnya disingkirkan ke samping, lalu merasakan sebuah kecupan lem
“Aduh,” bisik Shea pelan. Jarumnya tersangkut dan menusuk kulit. Tetes darah muncul di jari telunjuknya. Shea buru-buru mengusapnya dengan tisu, lalu melihat noda tipis itu mengotori bagian dalam kain satin ivory dari gaun pengantin yang hampir selesai. Shea mendesah, tapi tidak panik. Kadang hal seperti ini pasti terjadi, apalagi Shea sendiri yang memaksakan diri. Dia merasa bosan, karena Jerikho memintanya cuti kerja, setelah puas tidur, finishing moodboard konsep, menyiram tanaman di balkon, sampai menonton ulang series Gossip Girl. Shea butuh mengerjakan sesuatu, meskipun di saat yang sama, dia juga tidak ingin melakukan pekerjaan berat karena khawatir janinnya akan bereaksi keras. Alhasil, selagi menunggu suaminya pulang. Shea duduk berselonjor di sofa, menjahit baris terakhir dari sulaman tangan di bagian dalam gaun. Lalu mendengar pintu berbunyi terbuka, dan sosok Jerikho muncul dari san
“Kamu mau membunuh anak kamu sendiri? Apa kamu nggak punya kegiatan selain mengganggu Shea?” “Abang, kenapa?” “Jangan menjual wajah bodoh Dim, Shea hampir kehilangan janinnya karena apa yang kamu lakukan. Bukannya Abang sudah bilang jangan ganggu dia, dan jangan muncul di depan mukanya?” “Abang nggak pernah bilang begitu, Abang cuma minta aku buat pindah.” “Brengsek!” Adimas berjengit ketika Jerikho merangsek maju, melintasi ruang keluarga besar Graha Patra, kediaman milik keluarga Lomana, lalu mencengkeram kaos Adimas dengan tangan terkepal. “Hei, hei...” Tante Gina dengan cekatan segera mencegah, menyentuh lengan Jerikho yang menegang. Livia terkesiap dia antara anak tangga, lalu buru-buru turun untuk menengahi. “Jeri stop!” Wajah Adimas mengeras, matanya membelalak, tapi pupilnya mengecil. Siaga akan menerima satu bogeman. “Apa yan
Ada banyak yang ingin Shea sampaikan tapi satu hal yang dia salut adalah betapa cepat tanggap suaminya. Jerikho sangat responsif, saat Alisa menelepon melalui ponselnya. Laki-laki itu tidak bertanya dan langsung meminta lokasi mereka.Ketika memeriksakan diri di toilet, ada flek cokelat di underwearnya, tidak banyak, tapi itu cukup membuat Shea panik.Shea dibawa pulang dengan tubuh berkeringat, dokter Hanum dipanggil dan langsung datang malam itu juga.“Detaknya lumayan bagus. Tapi Bunda harus benar-benar istirahat total, ya. Ini warning dari tubuh Bunda kalau rahimnya mulai reaktif karena kelelahan. Memang sering terjadi di trismester pertama, tapi ini yang kita sebut threatened miscarriage. Artinya, ada ancaman. Dan kalau nggak dijaga Bunda, Mas, bisa berkembang jadi hal yang nggak kita inginkan.”Dokter Hanum menjelaskan setelah memeriksa dengan alat doppler portable, memastikan detak jantung janin Shea masih ada. Suaranya seperti biasa, lembu