Shea berusaha berpikir logis, setelah diperlakukan secara abusive dan dihamili oleh teman sekampus, dia menerima perjodohan yang datang demi menyelamatkan bayi yang dikandung. Jerikho berusaha berpikir praktis, ketika keluarganya mendesak untuk menikahi perempuan dari kesalahan sang adik, dia menerima demi nama baik keluarga. Keduanya bertemu lalu sepakat untuk berkoalisi, berusaha menjalani hubungan pernikahan tanpa ekspektasi, tapi ketika ketertarikan mereka sudah berada di luar kendali, akankah semua rintangan yang menghalangi bisa mereka atasi?
View More“Ini cuma kesalahan semalam, She.”
Kalau itu memang hanya kesalahan semalam, apakah lantas kehamilan Shea yang mendadak menjadi tidak valid? Dibesarkan dengan keluarga disiplin militer membuat Shea terbiasa membatasi diri, jadi walaupun dia bukan gadis yang menjunjung tinggi akhlak, kelakuannya masih minus, tapi Shea tidak mungkin mencoreng nama keluarga dengan bertindak gegabah. “Kamu kasih aku energi bar yang mengandung obat malam itu, Dim.” “Kok nuduh?” “Kenyataannya memang gitu, sampai sekarang kamu nggak mau nunjukin di mana kamu beli energi bar itu, dan di mana sisa energi bar yang lain?” “Yah, untuk apa?” “Bukti kalau kamu memang brengsek!” Shea nyaris memekik, tapi dia menahan diri dengan berusaha duduk tenang di sofa. Tapi sulit sekali rasanya bersikap tenang saat Adimas menolak bekerja sama. Penyangkalan demi penyangkalan terus dilontarkannya seperti pengecut. Yah, Shea kan, tidak mungkin tiba-tiba melendung sendiri! “Keluarga aku pasti bakal tanggung jawab, kamu nggak usah khawatir.” “Kalau tanggung jawab yang kamu maksud itu uang, jangan harap aku bakalan terima. Aku akan bawa masalah ini ke jalur hukum.” “Memang kamu bisa?” tanya Adimas, kali ini wajahnya kelihatan menantang. “Keluarga kamu berani lawan keluarga Lomana?” Sial. Walaupun Shea enggan mengakui, tapi posisinya saat ini memang terjebak. Status sosial mereka yang seperti langit dan gorong-gorong menghantam kenyataan dengan pahit. Shea hanya anak petani biasa, dan meskipun Papa punya sawah berhektar-hektar di desa, tapi Adimas bukan berasal dari keluarga biasa saja. Keluarganya bahkan dijuluki sebagai The Gasoline Godfather, atau saudagar minyak karena perannya yang dominan dalam bisnis impor minyak di Indonesia. “Kamu mau nambah masalah? Kalau kamu coba-coba mempublikasikan ini She, kamu hanya bikin keluarga kamu menderita. Hukum nggak akan bisa menjangkau Lomana, apalagi orang seperti kamu.” Benar, kalau Shea melawan, dia bukan hanya butuh uang yang banyak, tapi juga koneksi di pemerintahan agar kasusnya tidak disingkirkan. Masalah ini bukan hanya akan menguras harta, tapi juga tenaga dan mental. Tanpa sadar Shea mengelus perutnya, tempat janinnya yang masih berusia empat minggu berada. “Kamu nggak usah banyak protes, ini juga kesalahan kamu, kamu ada di sana pas aku lagi horny, makanya ini terjadi.” Pintar sekali dia playing victim. “Jadi ini semua salah aku?” “Salah kita berdua, aku minta maaf, tapi ini bukan saatnya kita main salah-salahan. Nggak ada jalan keluar lain sekarang. Aku akan minta keluargaku untuk urus semuanya.” Lalu jemarinya menuding Shea. “Tapi bukan dengan pernikahan.” Shea mendengus. Memang siapa yang berharap menikah sama dia? “Jangan kepedean Adimas,” kata Shea, perlahan berdiri. “Kalau bukan karena obat, aku juga nggak mau tidur sama kamu. Dan kamu nggak akan bisa nidurin aku.” Lalu pandangan Shea turun menatap bagian tubuh Adimas sebelum kembali ke matanya, “Kamu terlalu imut-imut buat aku, maaf.” Tangan Shea gemetar saat melenggang meninggalkan laki-laki itu, dia tidak bisa membalas secara materil, jadi biarkanlah Shea membalas dengan menginjak egonya. “Sialan.” Namun baru Shea akan membuka pintu, rambutnya terasa dijambak, Shea memekik kesakitan lalu merasakan pelipisnya menghantam pinggiran meja. “Berani kamu ngejek aku She?” *** Jerikho benci basa-basi busuk, jadi ketika melihat adik tirinya muncul di kantor dengan wajah pucat dan kuyu, Jerikho segera menawarkan. “Kamu butuh berapa Dim?” Adimas duduk di sofa ruangan, menunduk dengan bahu merosot lemas. “Aku nggak butuh uang kali ini, Bang.” Alis Jerikho terangkat, Adimas bergerak-gerak gelisah di kursi. “Yah, begini... aku bikin masalah.” Sudah bukan cerita baru, sejak kecil terbiasa dimanja oleh keluarga, Adimas merasa bisa mencengkeram dunia. Dan ini bukan pertama kalinya Jerikho mendengar pengakuan tersebut, sehingga dia kembali sibuk di layar macbook. “To the point aja, Abang akan bantu pinjamkan salah satu pengacara, dengan catatan kamu mengakui kesalahan dan meminta maaf dengan korban.” “Dari mana Abang tau ada korban?” “Kamu nggak akan datang ke Abang kalau bisa menyelesaikannya sendiri.” Wajah Adimas semakin suram. “Aku menghamili teman kampus, Bang.” “Kamu nggak pakai pengaman?” “Kebobolan.” “Berapa usia janinnya?” “Baru empat minggu, aku mau Abang nikahin dia.” Jerikho mengetik cepat di papan keyboard memastikan susunan kalimatnya jelas sebagai pledoi untuk dibacakan di persidangan atas tuduhan malpraktik kliennya, lalu mengangkat kepala. “Coba ulangi lagi?” “Yah, dia nggak mau nerima uang dan dia juga nggak mau damai.” “Terus kamu berharap Abang akan menggantikan posisi kamu?” “Bukan berharap, tapi harus,” koreksi Adimas, mendesah lelah sambil menyugar rambut. “Dia beneran keras kepala Bang. Abang juga kan, sudah waktunya buat menikah, Papa nggak bakal memberikan warisan kalau Abang tetap single.” “Dan kamu pikir Abang akan tertekan dengan ancaman itu?” “Abang nggak punya pilihan selain menerima, ini bukan soal ancaman saja, tapi juga soal mood Papa yang semakin berantakan,” tambah Tante Gina. Dia melenggang masuk ke kantor. Membawa serta aroma parfumnya yang menyengat. Jerikho menyandarkan punggung di kursi. Sekarang tekanan sesungguhnya sudah datang, siap membantu sang anak tanpa repot-repot memikirkan anak orang lain. “Kamu harus setuju Jerikho, ini juga demi nama baik keluarga. Bayangkan kalau Papa kamu tahu masalah ini, dia pasti bakal menyuruh orang untuk menghabisi perempuan itu tanpa ampun, bisnis sedang buruk akhir-akhir ini, Papa akan kehilangan kesabaran.” Ibu tirinya kemudian duduk di samping sang putra. “Tapi Adimas nggak mau itu terjadi, dia kasihan dengan perempuan itu, jadi lebih baik kalau kamu menikahi perempuan itu, memberikan perlindungan.” “Saya yakin Adimas bisa melakukannya Tante, dia sudah dewasa, dia bukan lagi anak kecil yang ditimang-timang, biarkan Adimas bertanggung jawab atas tindakannya.” Tante Gina mengernyit. “Adimas masih kuliah, kamu mau menghancurkan masa depannya hanya karena masalah ini?” serunya seolah tidak percaya. “Dialah yang menghancurkan masa depannya sendiri. Dim, bertingkahlah seperti laki-laki, jangan jadi—” “Perempuan itu sengaja menjebak aku Bang,” potong Adimas lesu. Bahunya kembali merosot. “Dia tau aku anak siapa, dan berusaha buat masuk ke keluarga kita. Makanya dia nolak waktu aku kasih uang, karena dia tau bisa dapat lebih dari itu.” Kedua rahangnya mendadak mengeras, tangan terkepal erat di pangkuan. Sang Mama mengelus lengannya dengan sayang. Lalu memandang Jerikho. “Dengar? Kalau kamu biarkan perempuan itu, dia akan terus-terusan meneror keluarga kita dengan memeras Adimas. Menganggu studynya. Kamu mau itu terjadi Jerikho?” Jerikho memandang langit-langit dengan jengkel. Berusaha mengatur napas. Tapi ketika kembali memandang keluarganya, dia berkata tenang. “Kirimkan biodata lengkap siapa perempuan itu.” Dalam beberapa menit sebuah dokumen masuk ke email Jerikho, dia segera memeriksa, membaca profil seorang perempuan asing di sana. Jerikho memandang foto gadis itu, lama. “Gimana?” “Saya akan bicara dengan dia.” ***"Ketemu nggak?" Mama langsung berdiri saat dilihatnya motor Papa perlahan memasuki halaman. Setelah membantu Sidra membuka pakaiannya untuk mandi. Beliau praktis tidak memiliki aktivitas. Langit sudah mulai senja, cuaca yang awalnya cerah pun perlahan mulai meredup, tapi Shea dan Jerikho belum juga kembali. Dalam kesempatan lain mungkin Mama tidak akan cemas. Toh, namanya juga pasutri. Mungkin mereka mampir jalan-jalan. Tapi kali ini, sudah ada warga yang laporan kalau bertemu mereka di jalan dalam keadaan motor mogok. Lantas saat Papa inisatif menyusul ke lokasinya karena anak dan menantunya tidak kunjung muncul-muncul, kini Papa kembali dengan tangan hampa. "Papa sudah terlusuri semua bengkel tapi mereka nggak ada Ma, motornya juga nggak ada. Mama sudah coba telpon?" "Jerikho ninggalin hapenya di kamar. Tadi Mama dengar deringnya dari luar pintu. Kalau hape Shea dalam keadaan mati." Papa meringis kecut. "Ya sudah tunggu di dalam saja. Kalau terjadi sesuatu, pasti sudah a
"Kalau pakai karung itu jangankan untuk anak-anak, ibu-ibu juga tenggelam."Jerikho mengembalikan karung goni berukuran jumbo di tangannya saat mendengar omelan Shea. Dia sebenarnya tidak masalah dikasih informasi, tapi tingkah istrinya yang selalu tidak puas dengan apapun yang Jerikho pegang membuatnya menjadi serba salah."Bukannya bisa digunting?""Rugi, harganya beda," jawab Shea, kedua alisnya bertaut. "Abang nggak berpikir pakai uang sendiri kan?"Sejujurnya niat Jerikho memang begitu, hitung-hitung sebagai sumbangan dalam memeriahkan acara, tapi dia ngeri Shea akan mengomel lagi. Jadi Jerikho menggeleng. "Aku akan minta reimbuse."Shea menarik beberapa karung yang ukurannya menurutnya pas. Lalu menghitung jumlahnya sesuai yang dibutuhkan sambil menggumam. "Pelit, gitu aja minta dikembaliin."What the fuvk—Salah lagi.Ada saja dari dirinya yang kurang menurut Shea. Tidak bisakah dia melihat sisi kelebihan
"Mas Jeriiii, main yuk." Sumpah, seumur hidup Shea tidak pernah berpikir akan mendengar nama suaminya diteriakkan tanpa wibawa begitu. Tapi, ketika menyingkap gorden jendela, di depan pagar sudah ada setengah lusin anak-anak yang menunggu. "Siapa?" Mama mengerutkan alis, seakan telah salah mendengar. "Mas Jeri." Nah, barulah kali ini kedua alis beliau terangkat. Jerikho yang sedang menikmati soto di meja, menelengkan kepala. "Kamu udah akrab sama anak-anak?" "Aku yakin mereka hanya ingin uang." Shea mendecapkan lidah, pantas saja dia betah kemarin di lapangan. Pekerjaannya dibantu anak-anak dengan upah. Menutup gorden, Shea berjalan keluar, menghampiri para bocil yang sedang berdiri siaga. "Mas—oh, Mba, Mas Jerinya ada?" Benji yang selalu jadi jubir, memulai. "Ngapain kalian ke sini? Main aja, Ab
"Kamu tidur di lantai." Baru juga Jerikho selesai mandi dan sedang menyemprotkan parfum, suara Shea sudah menginterupsi. Istrinya itu duduk di atas ranjang sambil bersandar ke headbed, jemarinya yang terampil sibuk menyulam pakaian. "Terserah." Nah, Jerikho mencoba memancing, tidak ingin membuatnya kecewa atau memperpanjang drama. Shea seketika menoleh, alisnya mengerut, dia tidak menyangka kalau akan mendapatkan persetujuan secepat itu. "Kalau gitu ambil matrasnya di kamar Sidra, kamu gelar di bawah." "Nggak pa-pa, aku pakai tikar saja." Toh, sama saja bukan? Sama-sama keras? Sama-sama sendirian, tanpa pelukan? Lipatan dahi Shea semakin dalam. "Tikar juga ada di kamar Mama. Sekarang kamu pilih mau ambil matras atau berhadapan sama Mama terus dia banyak tanya?" Jerikho lebih sibuk menunduk, menatap frame yang diletakkan di atas meja belajar Shea. Selain penuh dengan gunting, be
"Bisa diem nggak sih, daritadi gerak-gerak mulu. Kalau mau joget di luar." Shea mendelik, tapi enggan berkomentar dengan sikap julid adiknya. Lalu memilih pindah ke kursi rotan di depan. Memang dari tempatnya berada, sayup-sayup terdengar suara musik yang mengentak-entak heboh. Shea jadi penasaran apa yang mereka lakukan di sana? Jerikho pun tidak membawa ponselnya jadi Shea tidak bisa kepo. Tapi kalau pun suaminya bawa ponsel, apa Shea sudi menghubungi duluan? "Biasanya mereka dikasih makan siang, Nduk, nggak usah khawatir. Paling-paling nanti pulangnya sebelum magrib." Bukannya membuat Shea tenang, pernyataan Mama justru membuat Shea semakin gelisah. Itu artinya Shea tidak punya alasan mengantar makan siang untuk memantau suaminya. "Nggak pa-pa, baguslah Abang ada kerjaan daripada tidur atau main game nggak jelas," sindirnya ke Sidra.
Shea terbangun dengan mata panda dan hati gelisah. Semalaman dia tidak bisa tidur, tubuhnya kaku seperti maneken, sampai terasa pegal-pegal, berusaha keras agar mereka tidak bersentuhan. Sementara Jerikho di sampingnya tidur sangat nyaman bahkan sampai mendengkur!Jadi saat mendengar ayam berkokok, Shea langsung bangkit. Memilih untuk mandi air hangat. Lalu cepat-cepat berpakaian sebelum Jerikho terjaga."Kupasin wortelnya sekalian langsung dicuci terus direbus. Ini pancinya."Mama yang tentu saja tidak peka, memberikan perintah saat dilihatnya Shea sudah melenggang ke luar kamar."Kenapa nggak beli aja sih, Ma? Kenapa harus repot-repot masak?""Ya sayang bahan-bahan yang udah dibeli kemarin. Kamu bisa beli sarapan kalau mau, tapi Mama mau masak."Jawaban yang seperti inilah, yang membuat Shea merasa segan. Dan akhirnya mau tidak mau nurut saja.Menu hari ini sayur sop dengan sambal ati kentang. Shea curiga Mam
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments