Share

Bab 2. Kelamnya takdir Alexa

“Lho, kok kamu belum mandi?” Oliver baru saja masuk dari luar dengan tergesa-gesa. “Mandi dan pakai pakaian rapi untuk ke pemakaman orangtua kamu Alexa.”

Ethan yang kebetulan masih ada di ruang tamu sedang memakai sepatu melihat ayah dan Alexandra bergantian.

“Ethan ikut boleh nggak, Yah?” tanya Ethan.

“Nggak! Kamu kan harus sekolah Ethan!” sahut Martha dari dalam.

“Ambilkan pakaian Emily, Martha. Dia butuh pakaian untuk ke pemakaman,” suruh Oliver.

Martha bersungut-sungut sambil memaki Alexandra tanpa sepengetahuan Oliver.

“Bu! Jangan ambil pakaian yang bagus. Ambil yang ada di dalam kardus!” teriak Emily. “Enak aja pinjem baju.”

“Pelit banget,” sahut Ethan.

“Kamu udah makan?” Oliver melihat keponakannya yang pucat merasa khawatir dengan keadaannya.

“Belum Yah, bangun tidur disuruh ibu buat beresin rumah.” Ethan yang menjawab.

Tak lama kemudian Martha memberikan pakaian bekas milik anaknya pada Alexandra. Tidak bisa dikatakan bahwa pakaian itu bagus, karena bagian renda yang ada di lengan dan bagian bawah terlihat sudah ada yang hampir lepas.

Tapi keadaan Alexa saat ini tidak memiliki kesempatan untuk menolak atau bahkan pilih-pilih.

Hingga setengah jam kemudian, saat Ethan dan Emily sudah berangkat ke sekolah. Kini tinggal Martha dan Oliver di rumah itu menunggu Alexandra.

“Alexa pasti dapat warisan kan?” tanya Martha pelan-pelan. “Kalau dia memang dapat, harusnya dia mau memberikannya pada kita sebagian.”

Oliver menoleh terkejut. “Kenapa begitu?” tanya Oliver.

“Karena kita walinya, Oliver.”

“Belum selesai pemakaman adikku, dan kamu udah bahas soal warisan. Aku nggak nyangka kalau watak kamu begini Martha,” balas Oliver pelan, tahu jika Alexandra baru saja keluar dari kamar tamu.

“Aku nggak ikut,” kata Martha tiba-tiba.

Oliver menghela napasnya, kesabarannya yang setebal kamus bahasa inggris itu masih tersisa banyak.

“Baiklah aku nggak mau maksa kamu.”

Akhirnya Oliver dan Alexandra pergi ke pemakaman orangtua Alexandra berdua saja.

Di tempat pemakaman, tidak banyak orang yang datang ke sana. Bahkan Alexa tidak melihat orang-orang yang sering mengunjungi rumah ayahnya ketika ayahnya masih hidup.

“Jangan kaget Alexa, hidup memang seperti ini. Mereka hanya menunjukkan kepeduliannya pada orang yang dirasa menguntungkan mereka saja.”

Alexandra mendongak menatap wajah pamannya. Bukankah pamannya termasuk orang yang baik? Meski ibunya jarang bertemu atau nyaris tak pernah bertemu sekali dalam setahun, tapi Oliver masih menunjukkan kepeduliannya pada Alexandra.

Alexandra mengenggam tangan pamannya dengan erat, seakan saat ini hanya pamannya lah yang dia miliki di dunia ini.

Namun, takdir pun berkata lain. Satu bulan setelah Alexandra tinggal di rumah Oliver. Ayah dari Ethan dinyatakan meninggal dalam kecelakaan kapal. Kapal yang dinaiki oleh Oliver tenggelam dan hingga saat ini jasad Oliver belum bisa ditemukan.

PLAK!

Martha menampar keras pipi Alexandra. Alexandra sendiri tidak tahu apa salahnya kali ini.

“Kamu benar-benar pembawa sial, kalau saja kamu nggak pernah masuk ke rumah ini, pasti suamiku nggak akan mengalami kejadian mengerikan begini!”

Martha sudah bersiap-siap ingin memukul Alexandra lagi. Tapi Ethan menahan ibunya agar tidak melakukan kekerasan pada Alexandra.

“Meninggalnya ayah, nggak ada kaitannya sama Alexa, Bu! Ini takdir, kenapa ibu melampiaskannya sama Alexa?”

“Diam kamu Ethan! Kamu nggak tau kalau orangtua Alexa mungkin kena kutukan karena anak pembawa sial ini!”

“Bu! Kalau ayah masih hidup, pasti ayah nggak mau ibu begini!”

Mata Martha basah, air matanya mengalir.

“Udah cukup kamu menghancurkan hidup keluarga ini. Sebaiknya kamu pergi dari sini. Aku nggak mau lihat kamu ada di rumah ini lagi!” teriak Martha kesetanan.

Alexandra yang tidak tahu harus berbuat apa-apapun langsung berlari keluar. Dia langsung pergi dari rumah itu begitu Martha menyuruhnya. Tak peduli dia akan ke mana malam itu.

Martha terduduk dengan bahu yang bergoncang. Isak tangisnya semakin keras ketika sadar bahwa Oliver, tulang punggung rumah itu sudah tiada lagi di hidupnya.

Sementara itu Ethan memandang ibunya dengan gamang, sementara Emily tak bisa berkata apa-apa karena masih terkejut mendapati kabar bahwa ayahnya sudah meninggal dunia.

“Ethan cari Alexandra dulu, Bu. Ini bukan hal baik kalau ibu mengusirnya dari rumah.” Ethan langsung pergi dari rumah untuk mencari di mana Alexandra berada.

“Bu,” panggil Emily. Sejak tadi dia tak bersuara dan kali ini mengejutkan ibunya.

Martha menoleh.

“Jangan usir Alexa dulu,” katanya.

“Cukup Ethan saja yang membela anak sial itu, Emily!”

“Bukannya ibu bilang, kalau ibu butuh uang?”

Mendengar kata uang, Martha menoleh ke arah Emily penasaran.

“Emily pernah lihat Alexa bertemu dengan laki-laki. Emily nggak tau siapa, tapi dia ngasih sesuatu sama Alexa.”

Emily langsung berdiri lalu masuk ke kamar tamu yang sekarang menjadi kamar Alexandra. Dia mengobrak-abrik barang Alexa yang tidak banyak dalam ruangan itu. Lalu tak lama dia menemukan sebuah buku tabungan Alexandra.

Mata Martha membulat saat melihat buku tabungan milik Alexandra.

“Coba ibu lihat!”

Mata Martha memindai nominal uang yang ada di dalam buku tabungan itu. Senyum samar menghiasi wajahnya hingga sedetik kemudian wajah itu menyeringai menakutkan.

“Dia memiliki uang sebanyak ini, tapi nggak pernah bilang sama aku,” geram Martha. “Harusnya dia tau ke mana uang ini harusnya diberikan.”

“Benar kan? Jangan usir Alexa dulu, Bu,” bujuk Emily.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status