“Lho, kok kamu belum mandi?” Oliver baru saja masuk dari luar dengan tergesa-gesa. “Mandi dan pakai pakaian rapi untuk ke pemakaman orangtua kamu Alexa.”
Ethan yang kebetulan masih ada di ruang tamu sedang memakai sepatu melihat ayah dan Alexandra bergantian.“Ethan ikut boleh nggak, Yah?” tanya Ethan.“Nggak! Kamu kan harus sekolah Ethan!” sahut Martha dari dalam.“Ambilkan pakaian Emily, Martha. Dia butuh pakaian untuk ke pemakaman,” suruh Oliver.Martha bersungut-sungut sambil memaki Alexandra tanpa sepengetahuan Oliver.“Bu! Jangan ambil pakaian yang bagus. Ambil yang ada di dalam kardus!” teriak Emily. “Enak aja pinjem baju.”“Pelit banget,” sahut Ethan.“Kamu udah makan?” Oliver melihat keponakannya yang pucat merasa khawatir dengan keadaannya.“Belum Yah, bangun tidur disuruh ibu buat beresin rumah.” Ethan yang menjawab.Tak lama kemudian Martha memberikan pakaian bekas milik anaknya pada Alexandra. Tidak bisa dikatakan bahwa pakaian itu bagus, karena bagian renda yang ada di lengan dan bagian bawah terlihat sudah ada yang hampir lepas.Tapi keadaan Alexa saat ini tidak memiliki kesempatan untuk menolak atau bahkan pilih-pilih.Hingga setengah jam kemudian, saat Ethan dan Emily sudah berangkat ke sekolah. Kini tinggal Martha dan Oliver di rumah itu menunggu Alexandra.“Alexa pasti dapat warisan kan?” tanya Martha pelan-pelan. “Kalau dia memang dapat, harusnya dia mau memberikannya pada kita sebagian.”Oliver menoleh terkejut. “Kenapa begitu?” tanya Oliver.“Karena kita walinya, Oliver.”“Belum selesai pemakaman adikku, dan kamu udah bahas soal warisan. Aku nggak nyangka kalau watak kamu begini Martha,” balas Oliver pelan, tahu jika Alexandra baru saja keluar dari kamar tamu.“Aku nggak ikut,” kata Martha tiba-tiba.Oliver menghela napasnya, kesabarannya yang setebal kamus bahasa inggris itu masih tersisa banyak.“Baiklah aku nggak mau maksa kamu.”Akhirnya Oliver dan Alexandra pergi ke pemakaman orangtua Alexandra berdua saja.Di tempat pemakaman, tidak banyak orang yang datang ke sana. Bahkan Alexa tidak melihat orang-orang yang sering mengunjungi rumah ayahnya ketika ayahnya masih hidup.“Jangan kaget Alexa, hidup memang seperti ini. Mereka hanya menunjukkan kepeduliannya pada orang yang dirasa menguntungkan mereka saja.”Alexandra mendongak menatap wajah pamannya. Bukankah pamannya termasuk orang yang baik? Meski ibunya jarang bertemu atau nyaris tak pernah bertemu sekali dalam setahun, tapi Oliver masih menunjukkan kepeduliannya pada Alexandra.Alexandra mengenggam tangan pamannya dengan erat, seakan saat ini hanya pamannya lah yang dia miliki di dunia ini.Namun, takdir pun berkata lain. Satu bulan setelah Alexandra tinggal di rumah Oliver. Ayah dari Ethan dinyatakan meninggal dalam kecelakaan kapal. Kapal yang dinaiki oleh Oliver tenggelam dan hingga saat ini jasad Oliver belum bisa ditemukan.PLAK!Martha menampar keras pipi Alexandra. Alexandra sendiri tidak tahu apa salahnya kali ini.“Kamu benar-benar pembawa sial, kalau saja kamu nggak pernah masuk ke rumah ini, pasti suamiku nggak akan mengalami kejadian mengerikan begini!”Martha sudah bersiap-siap ingin memukul Alexandra lagi. Tapi Ethan menahan ibunya agar tidak melakukan kekerasan pada Alexandra.“Meninggalnya ayah, nggak ada kaitannya sama Alexa, Bu! Ini takdir, kenapa ibu melampiaskannya sama Alexa?”“Diam kamu Ethan! Kamu nggak tau kalau orangtua Alexa mungkin kena kutukan karena anak pembawa sial ini!”“Bu! Kalau ayah masih hidup, pasti ayah nggak mau ibu begini!”Mata Martha basah, air matanya mengalir.“Udah cukup kamu menghancurkan hidup keluarga ini. Sebaiknya kamu pergi dari sini. Aku nggak mau lihat kamu ada di rumah ini lagi!” teriak Martha kesetanan.Alexandra yang tidak tahu harus berbuat apa-apapun langsung berlari keluar. Dia langsung pergi dari rumah itu begitu Martha menyuruhnya. Tak peduli dia akan ke mana malam itu.Martha terduduk dengan bahu yang bergoncang. Isak tangisnya semakin keras ketika sadar bahwa Oliver, tulang punggung rumah itu sudah tiada lagi di hidupnya.Sementara itu Ethan memandang ibunya dengan gamang, sementara Emily tak bisa berkata apa-apa karena masih terkejut mendapati kabar bahwa ayahnya sudah meninggal dunia.“Ethan cari Alexandra dulu, Bu. Ini bukan hal baik kalau ibu mengusirnya dari rumah.” Ethan langsung pergi dari rumah untuk mencari di mana Alexandra berada.“Bu,” panggil Emily. Sejak tadi dia tak bersuara dan kali ini mengejutkan ibunya.Martha menoleh.“Jangan usir Alexa dulu,” katanya.“Cukup Ethan saja yang membela anak sial itu, Emily!”“Bukannya ibu bilang, kalau ibu butuh uang?”Mendengar kata uang, Martha menoleh ke arah Emily penasaran.“Emily pernah lihat Alexa bertemu dengan laki-laki. Emily nggak tau siapa, tapi dia ngasih sesuatu sama Alexa.”Emily langsung berdiri lalu masuk ke kamar tamu yang sekarang menjadi kamar Alexandra. Dia mengobrak-abrik barang Alexa yang tidak banyak dalam ruangan itu. Lalu tak lama dia menemukan sebuah buku tabungan Alexandra.Mata Martha membulat saat melihat buku tabungan milik Alexandra.“Coba ibu lihat!”Mata Martha memindai nominal uang yang ada di dalam buku tabungan itu. Senyum samar menghiasi wajahnya hingga sedetik kemudian wajah itu menyeringai menakutkan.“Dia memiliki uang sebanyak ini, tapi nggak pernah bilang sama aku,” geram Martha. “Harusnya dia tau ke mana uang ini harusnya diberikan.”“Benar kan? Jangan usir Alexa dulu, Bu,” bujuk Emily.Tiga puluh lima tahun kemudian, rumah tepi pantai itu masih berdiri megah dan menawan, dikelilingi oleh pemandangan yang sama indahnya seperti saat Alexandra dan William pertama kali menempatinya. Namun, kini Alexandra telah berusia 65 tahun dan William telah tiada. Di sore hari yang cerah itu, Alexandra duduk di balkon rumahnya, ditemani oleh anak-anak dan cucu-cucunya. Angin laut yang sepoi-sepoi membawa aroma asin yang familiar, membawa kenangan indah bersama William. "Ini benar-benar tempat yang indah, Bu," kata Michael, anak sulung Alexandra. Ia berdiri di sampingnya, memandang laut yang luas. "Aku bisa mengerti mengapa Ayah dan Ibu memilih tinggal di sini." "Ya, Ayahmu dan aku selalu merasa damai di sini," jawab Alexandra sambil tersenyum. "Setiap hari yang kita habiskan di sini adalah anugerah." Cucu-cucunya berlari-larian di pasir putih, tertawa riang. Sarah, cucu tertuanya, mendekati Alexandra dan memeluknya dengan erat. "Nenek, ceritakan lagi tentang kakek. Apa yang palin
William dan Alexandra kini telah menetap di rumah impian mereka yang terletak di pinggir pantai yang indah. Setiap sore, mereka bersama anak mereka menikmati pemandangan matahari terbenam yang mempesona dari balkon rumah mereka. Angin laut yang sepoi-sepoi menerpa wajah mereka, menambah kenyamanan suasana kebersamaan keluarga kecil ini.Keduanya telah bekerja keras untuk mencapai impian ini, membangun rumah sederhana namun hangat, di mana mereka dapat menjalani kehidupan yang berkualitas bersama anak mereka. William, seorang pengusaha sukses, selalu meluangkan waktu untuk Alexandra dan anak mereka, sementara Alexandra, seorang penulis handal, selalu memastikan bahwa rumah mereka terjaga dan nyaman untuk ditinggali."Indah sekali sore ini," ujar Alexandra sambil memandang matahari yang perlahan-lahan tenggelam di cakrawala."Ya, benar-benar menakjubkan," jawab William. Ia merangkul Alexandra dengan hangat. "Setiap kali melihat pemandangan ini, aku merasa semua kerja keras kita terbayar
Satu minggu kemudian, Alexandra dan William pergi ke taman bermain setelah Alexandra mendapatkan nilai yang bagus di sekolah. Mereka berdua berjalan-jalan di taman yang ramai, menikmati suasana yang ceria."Lex, om sangat bangga padamu. Kamu sudah berusaha keras dan akhirnya mendapatkan nilai yang bagus," ucap William sambil tersenyum pada Alexandra."Terima kasih, Om. Aku senang bisa membuatmu bangga," jawab Alexandra sambil tersenyum cerah.Mereka berdua berjalan-jalan di sekitar taman bermain, melihat anak-anak yang sedang bermain dengan riang. Alexandra merasa senang bisa menghabiskan waktu bersama William di tempat yang menyenangkan seperti itu.Mereka berdua naik perosotan, bermain ayunan, dan menikmati berbagai permainan di taman bermain. Alexandra merasa sangat bahagia bisa berada di sana bersama William, orang yang sangat ia sayangi.Setelah puas bermain, mereka duduk di bangku taman sambil menikmati pemandangan sekitar. "Terima kasih sudah membawaku ke sini, Om. Aku benar-b
"Lex aku akan pergi ke tempat Sarah. Kamu baik-baik saja kan di sini sendiri?" "Kapan om pulang?" "Mungkin besok pagi.""Hmm baiklah."Saat William hendak pergi dan hendak membuka pintu, tiba-tiba Alexandra merasa pusing yang sangat hebat. Dia mencoba berdiri tetapi kakinya lemas, lalu pingsan di pelukan William."Lex! Lex, bangun!" seru William panik sambil mencoba membangunkan Alexandra. Dia memegang wajah Alexandra dengan lembut, mencari tanda-tanda kesadaran.Karena khawatir terjadi apa-apa pada Alexandra akhirnya William membawanya ke rumah sakit. **Sementara itu, seorang perawat datang untuk membantu. Mereka bersama-sama mengangkat Alexandra ke tempat tidur yang tersedia di ruang gawat darurat.William duduk di samping tempat tidur, wajahnya penuh kekhawatiran. Dia menggenggam tangan Alexandra dengan erat, berharap gadis itu segera sadar.Setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, Alexandra akhirnya membuka mata. Dia memandang sekeliling dengan bingung, tidak tahu
William tiba di apartemennya setelah seharian kerja. Saat ia memasuki ruang tamu, ia melihat Alexandra tertidur pulas di balkon. Bulan purnama menerangi wajah muda Alexandra yang tenang. William menghampirinya dengan langkah hati-hati agar tidak membangunkannya. "Dingin sekali di sini," gumam William sambil menyelimuti Alexandra dengan lembut. Gadis itu merasa hangat dan sedikit menggeliat, tetapi tetap tertidur.Setelah meyakinkan diri bahwa Alexandra nyaman dengan selimutnya, William memutuskan untuk membopongnya ke dalam kamar. Tubuh Alexandra yang ringan membuatnya mudah diangkat. Langkahnya pelan, tidak ingin mengganggu tidur Alexandra yang lelap. Sampai di dalam kamar, William meletakkan Alexandra dengan lembut di atas tempat tidur. Ia memandang wajah gadis itu dengan penuh perhatian sejenak, lalu menutup pintu kamar perlahan ketika meninggalkannya untuk tidur dengan tenang.--Malam itu, Alexandra terbangun dari tidurnya dengan napas tersengal-sengal. Ia tampak gelisah, terli
Evan duduk gelisah di ruang tamu rumahnya, memikirkan nasib Arini yang belum diketahui keberadaannya. Hatinya penuh kekhawatiran dan rasa bersalah karena tidak bisa melindungi Arini. Ponselnya tiba-tiba berdering, mengagetkannya. Dia buru-buru mengambilnya dan melihat panggilan masuk dari nomor polisi.Evan mengangkat telepon, "Halo, ini Evan.""Halo, Pak Evan. Kami dari kepolisian ingin memberitahukan bahwa Arini telah ditemukan. Dia sedang dirawat di rumah sakit setelah mengalami kejadian yang traumatis. Anda bisa menjemputnya di sana."Evan merasa lega, "Oh, syukurlah. Terima kasih banyak atas informasinya. Saya akan segera ke sana."Evan segera mengambil kunci mobilnya dan bergegas ke rumah sakit. Saat tiba di sana, dia langsung menuju ruang perawatan tempat Arini berada. Dia melihat Arini terbaring di tempat tidur, tampak lemah dan pucat, tetapi dia merasa lega melihat Arini selamat.Evan duduk di samping tempat tidur Arini. "Arini. Bagaimana kabarmu?"Arini dengan suara lemah. "