~Semakin kita ingin tidak memikirkan sesuatu, maka sesuatu itu akan semakin terpikirkan~ Suasana kota malam itu terlihat cukup ramai. Hari libur pasti membuat banyak orang yang menghabiskan waktu untuk jalan-jalan bersama keluarga. Lampu-lampu jalan bulat kuning, seolah menjelma menjadi bulan-bulan kecil. Menemani induk utamanya. Bulan asli yang menggantung di langit.
Sagita memilih untuk melemparkan pandangan matanya ke arah sang bulan. Hari ini ada dua hal yang terpikirkan oleh benaknya, pertama tentang mertuanya dan kedua tentang teman lamanya Danar yang bernama Delia. Sudah ditahan oleh Sagita sebisanya, agar dia tidak bertanya lebih dalam tentang Delia. Namun terkadang memang begitu, rasa penasaran manusia tidak bisa teratasi dengan cepat. "Satu sate padang dan satu mie goreng seafood!" Seorang pelayan sebuah restoran menyediakan makanan di meja tempat dimana Danar dan Sagita duduk. Danar menyambut cepat semua makanan itu. Dia sudah cukup lapar. Berbelanja ternyata cukup menguras energi baginya. Tanpa menunggu lama, sajian nikmat itu sudah masuk ke dalam perut Danar. "Ayo makan Gita sayangku! Tunggu apa lagi?" "Mas! Jadi dulu kamu satu kelas sama yang namanya Delia itu?" "Lah, kamu masih penasaran sama dia?" "Iya. Soalnya dia cantik banget. Pengen jadi cantik banget kayak dia." "Kamu udah cantik kok. Jadi mau cantik gimana lagi?" "Bilang aja kamu takut aku minta tambahan uang buat perawatan, kan?" "Eh, enggak ya! Hahahah! Kamu itu udah cantik Git. Secantik nenek sihir." "Mana ada nenek sihir cantik? Nagarang!" "Yaudah! Secantik berang-berang." "Berang-berang juga enggak cantik Mas!" "Secantik tupai!" "Au ah! Gelap!" "Hahahah! Git-Git! Kamu lucunya kok enggak ketulungan. Delia udah cantik dari zaman SMA dulu. Jadi primadona sekolah. Teman-teman aku, Yoga sama Jidan misalnya. Mereka tuh fans berat Delia. Apalagi pas Delia main basket. Cowok satu sekolah matanya melotot ke lapangan basket. Bayangin aja cewek secantik Delia pakai baju basket. Cantiknya enggak main-main." "Berarti kamu juga ikut melotot dong, waktu Delia main basket?" "Iya dong! Tapi itukan dulu. Sebelum aku ketemu sama kamu Git. Pas ketemu sama kamu, jatuh cinta sama kamu. Semua wanita di muka bumi mukanya jadi rata di mataku." "Rata? Mirip hantu dong kalau mukanya rata?" "Heheheh! Iya dong!" "Gombal." "Ya enggak masalah dong ngegombalin istri sendiri, daripada ngegombalin istri orang?" Salah satu yang membuat Danar mudah dicintai oleh Sagita adalah rasa humornya yang cukup baik. Danar suka sekali membawa Sagita ke arah percakapan-percakapan ringan dan hangat. Membuatnya nyaman dan tidak sanggup berpaling dengan pria lain. Makan malam itu berjalan baik, sempurna. Sampai tiba handphone Danar berdering. "Hallo Pak? Oh iya iya Pak! Kita pulang sekarang. Udah selesai kok belanjanya tinggal jalan arah pulang aja. Waalaikumsalam." "Siapa Mas? Bapak?" "Iya. Kita disuruh cepat pulang. Ada tamu datang ke rumah." "Siapa?" "Yoga sama Jidan." "Mau apa bertamu malem-malem ke rumah?" "Ya mana Mas tahu! Kangen mungkin sama Mas. Suami kamu inikan emang ngangenin. Dikangenin sama semua orang. Termasuk sama teman-temannya." Sagita mengeluh kecil. Bukan perkara kehadiran dua teman suaminya yang jadi masalah. Dirinya sudah kenal akrab dan dekat sekali dengan Yoga dan Jidan. Keduanya bahkan pernah jadi pagar bagus di pernikahan mereka. Namun Sagita urung untuk kembali ke rumah. Bagi Sagita kembali ke rumah itu serasa kembali lagi menuju ke neraka. Sayangnya, Danar sudah menuju kasir untuk membayar tagihan makanan mereka. Itu artinya Sagita tidak bisa lagi memperlama aktivitas mereka di luar rumah. Mereka harus pulang. Benar saja, sesampainya di rumah. Yoga dan Jidan sudah ada di teras rumah. Wajah mereka terlihat senang begitu melihat Mas Danar. Yoga melambaikan tangan. Mereka lalu beranjak membantu kami mengangkat semua bahan belanjaan masuk ke dalam rumah. Keduanya memang ringan tangan untuk urusan membantu. "Mau minum apa?" tanya Sagita yang sadar jika Yoga dan Jidan belum dibuatkan minuman oleh mertuanya. "Kita dikasih apa aja juga diminum. Kalau bisa kopi. Ada rencana mau bergadang sama Danar. Eh, kamu enggak marah, kan Git, kami pinjam Danarnya? Maklumlah bujangan seperti aku dan Yoga ini memang kadang enggak ada kerjaan. Terpaksa kerjanya gangguin suami kamu. Hahahah!" "Enggak apa-apa Kak Jidan. Aku maklum. Sebelum menikah sama Mas Danar aku juga udah janji enggak akan melarang dia berteman dengan siapapun setelah kami menikah. Apalagi Mas Danar lebih dulu kenal kalian daripada aku. Aku rasa, aku punya hak buat ngelarang. Toh, kalian juga mainnya di rumah. Bukan dimana-mana." "Aduh! Danar beruntung banget sih punya istri seperti kamu. Pengertiannya enggak nanggung-nanggung!" Jidan berkata sambil menyolek bahu Danar. Sagita segera menuju dapur. Dia membuatkan kopi untuk 3 pria dewasa yang sekarang sedang asyik mengobrol di teras rumah. Sesekali terdengar suara gelak tawa mereka ke telinga orangtua Danar. Keduanya juga senang anak mereka dikunjungi oleh teman-temannya. "Jangan pelit! Kasih itu kudapan juga buat mereka," kata ibu mertua Sagita. "Iya Bu." "Itu gulanya jangan kebanyakan. Kamu buat kopi apa mau buat permen?" "Iya Bu." "Ngaduk kopinya jangan ke arah kanan, tapi ke arah kiri." "Iya Bu." Dalam situasi seperti ini, Sagita memang sudah terbiasa untuk hanya bilang iya. Tidak boleh bilang yang lainnya. Nanti urusan jadi tambah panjang. Sagita lalu memberikan minuman yang telah dia sajikan ke teman-teman suaminya. "Git! Duduk sini dululah! Gabung-gabung sama kita," pinta Jidan pada Sagita. "Emang boleh Mas?" mata Sagita menuju ke arah Danar. "Luar biasa! Mau duduk aja minta izin dulu. Yoga! Luh cari istri yang model gini dong. Patuh dan taat sama suami." "Iya Dan! Santai aja kamu! Nanti aku cari yang seperti Sagita ini. Empat sekaligus bila perlu." "Halah gaya empat! Satu aja kamu enggak dapet-dapet," celetuk Danar. Tawa seketika menjadi pecah. Yoga menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Kisah percintaan Yoga memang selalu gagal dan gagal. "Kamu duduk aja Sayang! Gabung sebentar cerita-cerita," kata Danar pada Sagita. "Sayang. Kapan aku bisa memanggil anak perempuan orang pakai kata-kata sayang, ya? Hahahah! Duh, jadi pengen cepat-cepat nikah aku!" Jidan menertawakan dirinya sendiri. "Eh! Kalian tahu? Aku tadi bertemu dengan seorang wanita yang paling kalian ingat seumur hidup kalian." "Siapa?" kompak Yoga dan Jidan bertanya pada Danar. "Delia." "Sumpah Danar? Enggak bohong kamu?" mata Yoga langsung membesar. "Tuh tanya sama istri aku." "Serius Git?" Jidan mengkonfirmasi. "Iya benar Jidan. Tadi kita ketemu di pusat perbelanjaan." "Whaaat? Eh! Bagi nomornya dong! Nomor handphonenya dia." "Enggak ada Yoga!" "Kamu enggak minta?" "Enggak. Ngapain aku minta nomor dia? Aku udah punya istri. Harus jaga perasaan istri aku dong! Masa iya aku minta nomor handphone perempuan lain di depan istri aku." Mendengar perkataan Danar, senyum Sagita mengembang. Dia tidak menyangka jika ternyata Danar sangat menjaga perasannya. Dan hal itu membuat Sagita sangat senang. Dia senang jika suaminya itu mengerti jika dia memang sedikit cemburu dengan yang namanya Delia itu. Namun Jidan dan Yoga justru terlihat kesal. "Aduh! Kamu seharusnya minta dong nomornya. Iyakan Yoga?" "Betul itu Danar! Seharusnya kamu minta. Kamu emang enggak butuh nomor Delia, kamu udah punya istri. Kami ini jelas butuh. Siapa tahu Delia mau jadi istri aku atau istrinya Jidan." "Mimpi!" Danar tergelak. Gelak tawa mereka terhenti seketika ketika suara ibunya Danar terdengar. "Git! Gita! Sini masuk Nak!" "Iya Bu." Gita segera lari menuju ibu mertuanya. Sesampainya di dekat ibu mertuanya Sagita harus menelan kecewa. "Sana masuk kamar kamu Gita! Perempuan kok enak-enakkan gabung-gabung sama laki-laki. Itu mereka pasti ngobrol tentang urusan laki-laki. Kamu jangan ikut campur." "Tapi Mas Danar ngasih izin..." "Ih, lihat deh mantu kamu ini Pak! Dibilangin malah ngeyel. Sana masuk ke kamar!" Sagita akhirnya mengalah. Dia memilih untuk segera masuk ke kamar. Hatinya kesal sekali, namun mau bagaimana lagi? Jika tidak dituruti, mertuanya pasti akan marah.~Setiap cerita selalu memiliki akhir, entah itu akhir yang menyenangkan atau menyedihkan. Apapun akhir ceritanya, sebuah cerita tetaplah cerita. Itu adalah alur terbaik untuk setiap tokohnya~Gaun putih itu memang cantik. Namun tetap saja kecantikannya bertambah berkali-kali lipat karena digunakan oleh Sagita. Risa dan Cika juga tidak kalah cantik, mereka ada di barisan paling depan sebagai pagar ayu. Di sisi seberang sana juga tidak kalah luar biasanya. Ada pagar bagus yang dipimpin oleh Dino dan Doni. Ini adalah hari pernikahan Sagita dan Jidan.Pernikahan mereka memang sempat tertunda selama beberapa Minggu hingga Sagita benar-benar bisa pulih. Namun begitu bisa pulih, Sagita dan Jidan langsung menyelenggarakan pernikahan di kebun milih Jidan."Kamu cantik Sagita." Jidan berbisik pada Sagita yang ada di sebelahnya. Mereka sesaat lagi akan sah menjadi suami istri. Tuan penghulu sudah ada di depan Jidan dan siap menjabat tangan Jidan. Jidan
~Dosa paling mengerikan yang dilakukan manusia adalah membunuh sesamanya sendiri~"Sagita..." Jidan memanggil Sagita. Sagita berusaha untuk membuka matanya pelan-pelan. Bagaimanapun ceritanya obat bius itu masih bekerja. Sagita melihat Jidan di depannya, dengan senyum mengembang dan mata yang berkaca-kaca."Kak," Sagita berkata lemah.Yoga, Dino dan Doni menarik napas lega. Satu kabar baik terbit. Sagita sudah sadar dan dokter bilang jika ia akan baik-baik saja. Hanya saja memang Sagita butuh waktu untuk bisa pulih."Terima kasih banyak Sagita. Terima kasih banyak kamu sudah bertahan." Jidan berkata pada Sagita sambil menatap mata Sagita lekat-lekat. Sungguh pandangan mata itu sangat romantis."Apa aku ada di surga?" Sagita bertanya pada sekitarnya."Ini masih di dunia Sagita. Ini masih di dunia. Ini masih di dunia yang sama tempat dimana orang-orang tega memperlakukan kamu dengan kejam. Walau aku berusaha me
~Dalam gelap sekalipun akan tetap ada cahaya harapan walau hanya setitik~Gelap, Sagita hanya melihat gelap, tidak ada cahaya sama sekali. Ia hanya bisa mendengar duru napas dan detak jantungnya. Sagita pasrah, ia merasa mungkin kini ia telah mati. Ia merasa jika ia hanya tinggal mendengar malaikan Izrail berseru. Benar saja, beberapa saat kemudian, Sagita melihat cahaya putih. Cahaya itu terang dan terasa lembut mengenai mata, tidak menyilaukan sama sekali. Cahaya itu mendekati Sagita, seolah punya kaki. Lalu cahaya terang tersebut menggumpal dan membentuk wajah dan tubuh manusia. Sagita menarik napas dalam-dalam. Ia seperti itu wajah siapa."Ayah, Ibu." Sagita memanggil nama itu. Cahaya itu menjelma menjadi wajah ayah dan ibunya Sagita. Kedua cahaya itu saling pandang dan lalu merentangkan tangannya ke arah Sagita. Sagita tersenyum dan berusaha untuk bangkit menyambut cahaya itu. Sudah lama ia menahan rindu pada ayah dan ibunya. Sudah lama seka
~Manusia dari zaman ke zaman tetap seperti itu tabiatnya, mereka saling menyakiti satu sama lain~Rumah itu cek. Jidan, Yoga dan yang lain memerika rumah itu dengan cermat. Hancur hati Jidan begitu melihat ada darah di lantai. Ia ngeri membayangkan bagaimana jika ternyata itu adalah darah Sagita."Jendela ini dibuka paksa dari luar. Itu artinya Sagita pasti melarikan diri lewat jendela ini. Hei, mereka menemukan jejak di sebalah sana. Ayo kita ikuti jejak itu dan mulai mencari dimana keberadaan Sagita. Kalian jangan ada yang tangan kosong. Bawa minilam pisau. Dan jangan jauh-jauh dari polisi karena mereka punya senjata. Kita tidak pernah tahu apa yang dibawa oleh Danar. Bisa jadi Danar memiliki senjata api. Dan itu bisa membahayakan kita semua. Kamu juga jangan gegabah Jidan. Jangan karena menuruti rasa khawatir kamu lalu kamu jadi lemah." Yoga memberikan pengarahan panjang lebar. Dan semua orang segera menuju ke arah jejak yang dikatakan oleh Yo
~Menyelamatkan seseorang dari bahaya adalah sebuah kebaikan besar~Hujan deras turun disertai angin kencang. Hal ini membuat perjalanan Jidan dan semua tim penyelamat untuk Sagita benar-benar terhambat. Yoga mau tidak mau bahkan harus mengurangi kecepatan mobilnya. Apalagi saat ini mereka melalui jalan yang berkelok-kelok dan kanan kirinya berbatasan dengan jurang."Kita harus lebih cepat Yoga." Jidan mendesak."Lebih cepat bagaimana? Mobil Doni yang ada di depan kita saja mengurangi kecepatan. Kamu enggak liat apa hujan segini derasnya? Jarak pandang terbatas Jidan. Kita memang akan menyelamatkan Sagita tapi bukan berarti kita yang jadi tidak selamat. Tenanglah!""Bagaimana aku bisa tenang membayangkan Sagita kehujanan di luar sana. Dengan hujan sederas ini dan tanpa tahu apa yang sedang ia hadapi sekarang. Bagaimana aku bisa tenang?""Ya Tuhan, kenapa jadi seperti ini? Apa hikmah di balik ini semua ya Allah. Per
~Mau tidak mau, suka tidak suka, rasa luka memang sakit~Danar mendengar suara panggilan dari bapak dan ibunya. Ia menuju ke sumber suara itu. Dan mendapati bapak dan ibunya yang tengah ketakutan. Danar justru menggelengkan kepala. Melihat ada Danar di bawah sana, Sagita semakin takut. Ia berpegangan dengan erat pada batang pohon dengan kuat."Pak Bu. Ngapain di sini? Kenapa malah cuman duduk, bukan malah bantu Danar cari Sagita. Apaan sih? Kalian enggak mau Sagita cepat ketemu apa?""Aduh Danar. Bapak ini bukan enggak mau bantu kamu. Kami tentu mau bantu kamu. Tapi lihat cuaca saat ini! Kamu lihat tidak. Hujan akan turun. Kita belum tentu bisa menemukan Sagita. Justru sebaliknya, kita bahaya saat ada di hutan hujan deras begini. Kita sebaiknya balik ke rumah Nak. Itu saran Bapak.""Apa? Balik tanpa hasil? Tidak Pak. Buruanku masih ada di luar sini. Justru cuaca yang seperti ini sangat menguntungkan kita. Sagita tidak akan b