Share

Pertemuan Tak Terduga

~Setiap pertemuan akan membawa sebuah cerita, bisa jadi cerita bahagia dan bisa jadi cerita buruk~

 

 Sagita melirik ke arah jam dinding. Dia tidak sabar menunggu jam bergerak ke angka empat sore. Dia menunggu waktu itu. Sebuah waktu penting. Berharga. Bahkan bagi Sagita, lebih beharga dari emas yang dia gunakan. Apalagi jika bukan waktu berbelanja. Waktu yang membuatnya bisa bebas untuk keluar dari rumah dalam waktu yang lama. Dan tentunya dengan Danar, suaminya.

 "Eh, kamu belum siap-siap Mas?" tanya Sagita pada suaminya yang masih sibuk berbaring di atas dipan. Danar menatap istrinya lekat-lekat. Jika biasanya wanita selalu berdandan lama dan makan waktu, maka itu tidak berlaku bagi Sagita. Ketidaksabarannya untuk segera meninggalkan rumah itu, walau barang sejenak saja sudah mampu membuat hatinya senang. Dirinya tergerak untuk bertindak cepat.

 "Sebentar lagi, masih jam segini. Eh, kamu..."

 "Kamu apa?"

 "Anu, kamu cantik sekali!"

  Danar menyengir. Jelas bukan itu yang mau dia sampaikan. Sagita memang cantik. Baju dan jilbab yang dia kenakan serasi. Namun Danar hanya ingin bertanya apakah Sagita masih ngambek atau tidak. Selesai menangis di kamar mandi tadi pagi, Sagita hanya diam. Pada siapapun, termasuk pada Danar. Danar cepat-cepat mengurungkan niatnya untuk bertanya. Dia takut salah tanya. Repot urusannya.

 Danar sangat mencintai Sagita. Cinta mereka memang tidak pernah bertepuk sebelah tangan dari awal. Danar cinta Sagita dan Sagita cinta Danar. Tidak jarang Danar harus menjaga perasaan Sagita. Namun begitupun, Danar serasa tidak berdaya jika harus berhadapan dengan kedua orangtuanya. Suami yang satu ini bisa membela Sagita dari kejamnya seluruh orang di dunia ini, terkecuali orangtuanya sendiri.

 Mobil itu sudah bergerak perlahan meninggalkan rumah. Seketika napas Sagita menjadi lega. Dia tidak menyangka bisa pergi keluar dari rumah itu segera. Walau untuk kemudian kembali lagi, setidaknya Sagita bisa menenangkan pikirannya.

 "Apa-apa yang diomongin sama ibuku jangan terlalu kamu ambil hati."

 "Ibu kamu sudah keterlaluan Mas. Aku enggak tahan lagi tinggal di rumah itu. Kita harus pindah."

 "Ya jangan! Kamu tahu sendiri, kan? Aku ini anak semata wayang. Orangtuaku sangat sayang padaku."

 "Sayang? Kalau mereka sayang, seharusnya mereka membiarkan kita hidup mandiri. Aku enggak masalah mas kalau harus tinggal satu rumah sama orangtua kamu. Tapi mereka itu loh. Terlalu ikut campur dengan rumah tangga kita dan terlalu suka membanding-bandingkan aku dengan perempuan lainnya. Sakit loh Mas, dibanding-bandingkan sama wanita lain."

  "Ya tapi mau gimana lagi? Kita bisa hidup enak gini juga karena orangtuaku, kan? Aku bisa bekerja di perusahaan bagus, itu juga berkat jejaring bapakku. Bahkan kita bisa keluar dengan mobil ini juga berkat bapakku. Ini mobil dari bapakku."

 Sagita menarik napasnya dalam-dalam. Suaminya Danar memang terlalu bergantung pada orangtuanya. Bagi Sagita, tidak apa tidak naik mobil dan tinggal di rumah yang lebih sederhana. Asalkan hatinya tenang. Dia tidak perlu was-was dikomentari setiap saat oleh mertuanya.

 "Kamu yang janji Mas. Kamu yang dulu janji kalau kita enggak akan lama tinggal di rumah orangtua kamu," lirih suara Sagita berucap. Matanya melihat ke arah luar jendela. Pemandangan rumah-rumah penduduk yang mereka lewati cukup membuat pikirannya sedikit jernih.

 "Rencana awalnya memang begitu. Tapi kamu kan tahu sendiri. Orangtuaku ternyata tidak mau kita pindah. Bahkan kalau sampai aku nekad pindah, bapak bilang akan menyuruh temannya yang atasanku itu, untuk memecat aku saja."

 "Kejam."

 "Bukan kejam Git. Itu karena mereka sayang. Nanti kalau kamu punya anak, terus anak kamu udah gede. Kamu bakal ngerti rasa sakitnya pisah sama anak."

 "Mas! Aku enggak mau memisahkan antara kamu dan orangtua kamu. Kamu tetap bebas bertemu dengan mereka. Kapanpun kamu mau. Namun jika terus-menerus tinggal satu rumah. Hal itu jelas akan sangat membuatku tersiksa Mas. Kamu sayang sama aku enggak sih?"

  Sebelah tangan Danar menyentuh tangan istrinya. Itu sebagai jawaban jika dia  mencintai istrinya. Danar menggenggam tangan itu. Dia berusaha menguatkan hati istrinya. Sebenarnya Danar juga sadar akan penderitaan Sagita. Hanya dia tidak kuasa melawan kehendak orangtuanya sendiri.

 "Git, yang perlu kamu lakukan hanya satu. Sabar! Itu saja. Kamu hanya perlu sabar."

  "Sampai kapan aku harus sabar Mas? Sabar sampai modyaar? Sabar sampai mati gitu?"

  "Sabar itu tidak mengenal kata sampai. Sabar itu tidak ada batasnya. Kalau ada batasnya berarti belum sabar."

 "Pandai kamu ngomong Mas. Coba kalau kamu ada di posisi aku. Aku enggak yakin kamu sanggup buat sabar. Bisa jadi kamu malah udah kabur duluan. Pergi dari rumah, entah kemana."

 "Ah! Sok tahu. Lama-lama kamu udah seperti anak indigo. 'Saya menyium aroma-aroma jika kamu akan pergi dari rumah' hahahaha"

 Senyum tergurat tipis di wajah Sagita. Suaminya menirukan suara salah satu orang yang ada di iklan. Danar berpura-pura menjadi orang yang bisa membaca masa depan. Tentu saja hanya berpura-pura sebab tidak ada yang tahu masa depan. Masa depan tidak bisa tertebak. Termasuk masa depan Sagita sendiri. Dia tidak tahu bagaimana masa depannya di rumah mertuanya itu. 

 Sesampainya di pusat perbelanjaan yang mereka tuju. Sagita dan Danar segera mengambil keranjang troli. Danar mendorong troli itu, sementra Sagita menggandeng tangan Danar. Keduanya terlihat serasi. Apalagi yang kurang? Wanitanya cantik, prianya tampan. Dengan cepat aura kesedihan di hati Sagita segera menguap. Berbelanja adalah salah satu cara paling ampuh, untuk melupakan masalah dan rasa sedih.

  Ada banyak barang yang diambil oleh Sagita dari rak. Semuanya adalah kebutuhan rumah. Mulai dari bahan makanan pokok, cemilan hingga keperluan untuk kamar mandi. Danar selalu sabar menunggu istrinya berbelanja. Dia mendorong troli mengikuti Sagita kemanapun pergi.

 "Danar!" seorang wanita memanggil nama Danar. Di tengah keramaian pusat perbelanjaan itu,  Danar dan Sagita masih bisa mendengar suara panggilan tersebut. Mereka menoleh secepat kilat. Seorang wanita cantik yang tampaknya juga sedang berbelanja mendekat ke arah mereka.

 "Delia, kan?" tanya Danar pada wanita tersebut.

 "Eh, syukurlah kamu masih ingat sama aku. Aku kira kamu enggak inget lagi sama aku Danar."

 "Delia? Siapa wanita ini? Temennya Mas Danar? Kok aku enggak pernah lihat? Cantik juga nih orang. Rambutnya bagus, bisa lemes dan kelihatan lembut gitu. Kulitnya juga mulus banget. Make up-nya juga kelihatan mahal. Pasti nih cewek perawatannya enggak main-main."

  
Sagita mengomentari penampilan wanita ini dalam hati. Dia tentu tidak berani berkomentar secara langsung. Dari gerak-geriknya jelas yang namanya Delia ini sangat terpelajar.

 "Oh iya Del! Kenalin, ini Sagita. Istri aku."

 "Hai! Aku Delia. Teman lamanya Danar pas waktu SMA."

 Sagita menyalami Delia. Dia merasakan sebuah tangan yang halus dan lembut. Delia tersenyum ramah. Senyum itu semakin membuat bibirnya yang terbungkus lipstik merah muda terlihat semakin cantik.

 "Git! Delia ini keren banget loh. Dia seorang dokter di salah satu rumah sakit ternama di sini."

 "Oh iya? Wah keren!"

 "Ah! Biasa aja. Lebih keren Danar. Bisa menjabat sebagai manajer di salah satu perusahaan ternama. Itu keren loh!"

 "Biasa aja Del. Eh, kamu belanja juga Del? Belanja sama siapa?"

 "Sendirian. Emang jomblo mau belanja sama siapa lagi?"

  "Loh! Kamu belum menikah? Bukannya dulu waktu SMA kamu punya pacar, ya?"

  "Hahahah! Udah lama banget putus. Aku masih sendiri sekarang. Doain aja bisa cepat nyusul kalian. Biar bisa menikah."

  "Amin! Amin!" Danar mengangguk sambil tersenyum.

  "Kok perasaan aku jadi enggak enak gini ya? Masa iya wanita secantik ini masih jomblo? Helloooo! Pada kemana pria jomblo di negara ini? Sedekat apa sih hubungan Mas Danar dengan Delia dulu? Stop! Stop pikiranku, stop! Jangan mikir kemana-mana. Jangan mikir yang enggak-enggak. Mereka pasti cuman teman. Cuman teman!"

  
Di tengah percakapan antara Danar dan Delia, ada Sagita yang terus meyakinkan hatinya jika hal ini adalah wajar. Bertemu dengan teman lama adalah hal yang lumrah bukan? Namun terkadang hati memang begitu, semakin diyakinkan, semakin ragu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status