Masuk“Rigel biarkan aku mengantarmu pulang untuk terakhir kalinya,” ucap Harlan yang telah berdiri di hadapan Rigel.
Rigel hendak menolak ajakan dari Harlan namun Pria itu menatap Rigel dengan kedua mata hijau terangnya. “Terserah kau saja,” sahut Rigel sambil berjalan lebih dulu. Rigel akan terus menolak Harlan. Padahal dua tahun lalu, Harlan jadi Pria yang paling ia cintai.
Saat Rigel terdiam menatap Harlan yang membukakan pintu mobil untuknya. Rigel langsung membelalakkan kedua matanya saat melihat mobil lain berhenti. “Ini buruk,” ucap Rigel sembari menatap kedatangan Nyonya Zidane yang keluar dari mobil bersama pengawalnya.
“Kau membawa pengaruh buruk untuk keluarga terhormat kami,” cibir Nyonya Zidane. “Harlan sudah berapa kali Ibu bilang untuk jauhi Wanita ini.” Nyonya Zidane menatap Rigel dengan jijik.
“Ibu aku tidak bisa meninggalkan Rigel,” sahut Harlan. “Dia hamil anakku, sudah seharusnya aku bertanggung jawab.” Harlan berucap dengan tegas. Ia menghadang Sang Ibu yang tengah melototi Rigel.
Rigel mendadak melangkah mundur karena sadar jika kebenaran yang Harlan ucapkan hanya akan membuatnya dalam masalah. Nyonya Zidane tidak akan pernah merestui hubungan ini. Rigel yang panik memilih kembali berlari masuk ke dalam gedung Tyre. Setelah Rigel telah melangkah masuk suara keributan terdengar dari pagar gedung karena masa telah berhasil menerobos masuk.
Duarrrrr ... bommm ...
“Rigel!” teriak Harlan segera berlari hendak meraih Rigel, namun Gadis itu hanya terdiam dengan kedua mata membelalak karena ia sendiri bisa melihat ledakan dahsyat yang ada di depan matanya.
Rigel memejamkan kedua matanya pasrah. Dia seolah tahu jika ledakan bersamaan dengan api itu akan melahap tubuhnya hidup-hidup namun Rigel sempat merasakan jika tubuhnya berada dalam dekapan seseorang. Setelah itu Rigel tidak sadarkan diri selain kedua pandang matanya yang mendadak jadi gelap.
Mentari pagi yang menyapa hari dalam sebuah ruangan yang serba putih. Gorden putih bergerak lembut kala angin sejuk dari jendela yang dibiarkan terbuka menerpanya. Seorang wanita terbaring dengan perban dikepalanya. Kecelakaan ledakan tempo hari lalu membuatnya berminggu-minggu tak sadarkan diri.
Tak lama pintu berdecit terbuka menampaki sosok pria berambut pirang memasuki kamar perawatan. Kedua mata biru Pria itu menyala tajam karena menatap Rigel yang masih berbaring tidur itu. Tubuhnya besar, tinggi, tegap dan atletis. Mengenakan setelan jas dan mantel hitam dengan tatapan dingin seperti predator yang sudah menandai mangsanya.
“Kau ... orangnya,” ucap Pria itu sembari memandangi Rigel.
Kedua mata Rigel terbuka dengan membelalak. Rigel langsung terduduk bangun. Ia mendapati dirinya berada dalam ruang perawatan. “Tidak ada seorang pun di sini, padahal tadi aku merasa ada orang yang sedang memerhatikanku.” Rigel berucap seorang diri sembari melihat kiri dan kanannya.
“Omong-omong, aku ada di mana?” Rigel memandangi ruangan putih ini. Ia juga melihat tangan kanannya yang terpasang sebuah infus set. Usai mengingat-ingat lagi, Rigel sadar jika ia sedang ada di Rumah Sakit. Terakhir kalinya ia sadar karena ledakan di Gedung Tyre.
Rigel terperanjat terkejut. Ia buru-buru bangkit dari tempat tidur untuk beranjak ke kamar mandi. Rigel mencari-cari cermin kemudian melihat pantulan dirinya. “Sial, kedua mataku tidak mengenakan contact lensa lagi, aku yakin seseorang sudah melepaskannya,” celetuk Rigel.
“Aku yang melepaskannya, jadi tenanglah,” ucap seorang wanita. Dia sudah berdiri di ambang pintu kamar mandi sembari memandangi Rigel. “Bagaimana keadaanmu, Nak?” tanya Wanita itu.
Rigel tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Dia menghela napas cukup panjang. “Siapa yang membawaku kemari?” tanya Rigel.
“Seorang Pria kenalanmu katanya, dia juga baru saja keluar dari sini tapi dia sempat menitipkan seikat bunga mawar untukmu,” jawab Wanita itu.
“Bukan Kapten Zidane?” terka Rigel.
Wanita itu menggeleng. “Ibu tidak kenal Pria itu tapi dia bilang kenalanmu.” Sang Ibu menjawab. “Kenapa tidak katakan padaku jika kamu sedang hamil?” Sang Ibu membuka pembicaraan yang sangat Rigel benci.
Rigel melototkan kedua mata lembayungnya. “Setelah tahu jika keluarganya tidak mau menerimaku, kehamilan ini tak sudi kuakui,” ketus Rigel sembari keluar dari kamar mandi. “Siapa Dokter yang mengurusi masalahku? Aku mau bicara dengannya,” ucap Rigel seraya duduk di pinggir ranjang kasurnya.
“Rigel sebenarnya ... kandunganmu sudah tiada lagi,” sahut Sang Ibu dengan nada yang lirih. Dia tidak mau melukai anaknya dengan kabar ini karena Rigel sudah beberapa minggu terbaring usai kecelakaan akibat ledakan itu. Dia memang selamat tapi setelah terpental serta alami cedera dan juga benturan membuat kehamilan mudanya tidak bisa diselamatkan.
Rigel sontak menyentuh perut ratanya. Dia memang membenci kehamilan ini usai tahu jika cinta yang ia elukan tak dapat ia raih. Rigel justru merasa terluka mendengar kabar ini. “Aku ... tidak sungguh-sungguh dengan ucapanku,” ucap Rigel menangis.
“Rigel, ini pasti berat untukmu.” Sang Ibu berucap sembari mendekati Rigel kemudian memeluknya. Tubuh gemetar Rigel serta suara isak tangisnya bisa Wanita itu rasakan. Dia tahu jika Rigel menyayangi kehamilannya tapi karena murka sesaat membutakannya.
Pintu berdecit lagi terbuka tapi kali ini menampaki Corrie bersama dua orang pria muda. “Maaf apa kedatangan kami menganggu?” tanya Corrie sembari membawakan buah-buahan untuk Rigel.
Rigel yang mendapati kedatangan teman-temannya segera menyeka air matanya. “Corrie, Kak Alex dan Nico juga, kemarilah,” suruh Rigel yang memaksakan senyumnya. Ia juga melepaskan pelukan Sang Ibu. “Terima kasih sudah datang tapi hentikan wajah cemasmu Corrie, apakah kau mau menyampaikan sesuatu?” tanya Rigel tak berbasa-basi.
“Kami juga hendak memberi kabar jika ledakan kemarin bukan berasal dari bom atau ulah teroris seperti berita-berita yang beredar namun karena serpihan supernova yang berhasil lolos ke bumi,” jawab Corrie.
“Tak mungkin, tidak ada hal mustahil seperti itu,” sahut Rigel terkejut.
Corrie lantas mengangguk. “Itulah hasil investigasi resmi dari Tyre,” ucap Corrie sembari menyiku Pria berkacamata disebelahnya. “Kak Alex ... katakan sesuatu,” ucap Corrie berbisik.
“Kau ada di tempat kejadian tapi setelah evakuasi tubuhmu dengan cepat berpindah di Unit Gawat Darurat dari Rumah Sakit ini, aku yang diutus Tyre untuk melakukan penyelidikan dan wawancara padamu ... itu pun jika kau tidak keberatan, Rig,” ucap Pria itu.
Seketika denyut kepala Rigel jadi semakin sakit. Masalah dan kemalangan datang padanya secara bertubi-tubi. “Oh Tuhan, apa yang harus aku katakan?” Rigel menghela napas sekaligus menatap sendu.
"Rizella, tetaplah disana!" teriak Adriel dari atas."Apa maksudmu Yang Mulia?" tanya Rigel heran. Kaelar langsung maju. "Yang mulia jangan!" cegah Kaelar tapi Adriel sudah lebih dulu turun dari singasananya dengan cara melompat. Jangan Khawatir Adriel itu kuat dan perkasa, ia mendarat mulus tepat didepan Rigel yang membelalakkan kedua matanya. "Berikan tanganmu, berdansa denganku!" ajak Adriel. Rigel membelalakkan kedua matanya melotot. Ia sudah susah payah tak menarik perhatian banyak orang namun Adriel malah nekat mengajaknya berdansa didepan semua orang. "Nyalimu besar juga," sindir Rigel pada Pria itu. Adriel tak bergeming. Pria berjas biru tua itu malah tersenyum sumringan padanya. "Ini Pesta Panen, semua orang akan bersuka cita begitu juga denganmu," ucap Adriel."Sebenarnya siapa yang bersuka cita?" batin Rigel menggerutu sendiri. Rigel melihat Adriel yang tak bergeming sambil mengulurkan tangannya. Betapa gigih Pria itu hendak mendekatinya selama ini. Rigel pun meraih tan
Semua orang bersiap-siap menyambut Pesta Panen. Pesta Panen adalah tradisi kuno dari kerajaan New Neoma yang masih dijalankan. Saat Pesta Panen semua masyarakat akan keluar rumah untuk mengadakan tarian, makan bersama dan bercengkerama bersama keluarga dan orang-orang terdekat. Saat itu juga Istana New Neoma akan terbuka untuk masyarakat. Gelar acara ada di halaman luas istana. Semua orang akan memakai pakaian terbaiknya untuk datang ke istana, biasanya anggota kerajaan juga akan keluar untuk menyapa rakyatnya. Pagi ini Istana sudah sibuk mempersiapkan Pesta Panen yang akan diadakan nanti malam. Para Pelayan sibuk memasak hidangan, Para Ksatria sibuk menyusun strategi keamanan terutama untuk Raja dan Pangeran mereka yang pasti akan hadir. "Aku tak melihat kehadiran Pengajar Rizella?" tanya Adriel terhadap Pengawal yang sedang mengawalnya. Rizella adalah nama yang Rigel pilih untuk menyamarkan dirinya. Rigel masih tidak mau dianggap sebagai Permaisuri yang lama mati suri. Demi mengh
Adriel tak sudi meninggalkan Rigel yang masih terbaring tak sadarkan diri di atas ranjang kasur reot itu. Adriel cemas tak terkira karena sebelumnya Rigel tiba-tiba saja pingsan. Ia memengangi tangan Rigel dengan erat karena bayang-bayang Rigel yang terlelap tak bangun itu membuatnya takut. Ia takut jika Rigel akan berakhir seperti itu lagi. Adriel yang terbayang-bayang rasa takut sampai hendak menitikkan air matanya. Ia semakain menggengam erat tangan Rigel. ''Kumohon, aku sudi melakukan apapun, tapi jangan rebut dia lagi.'' Adriel menunduk sembari menciumi tangan Rigel. Rigel bergerak gusar dalam tidurnya. Ia terbangun mendapati Adriel yang sedang berkomat-kamit sambil menunduk memengangi tangannya. Rigel tidak sadar jika sudah tersenyum kecil. Ia pun meraih genggaman tangan Adriel kemudian mengusapnya.''Yang Mulia, aku baik-baik saja,'' ucap Rigel. Sulit bagi Rigel mempercayai jika Adriel tidak memiliki ikatan padanya, pasalnya Pria itu tampak cemas setengah mati dengannya. Gil
"Kalau begitu, selamat Malam Yang Mulia." Rigel berucap sambil beranjak masuk. Ia berniat membiarkan Adriel yang saat itu masih berdiri. Tak lama ia rasakan tangannya diraih oleh Adriel. Rigel langsung menoleh menatap Pria itu. Adriel menatapnya dalam. Kemudian tersenyum kecil. "Dulu kau juga susah didekati," ujar Adriel sembari menyentuh ujung poni rambut Rigel yang pendek. "Mau kau jadi laki-laki pun, kau tetap cantik ... tetap jadi pusat orbit dariku." Adriel memandangi Rigel dengan tatapan yang sulit diartikan. "A-aku sulit memahami perkataanmu Yang Mulia," sahut Rigel dengan ragu. Adriel melepaskan pegangan tangannya pada Rigel. "Maaf, aku terkesan terlalu memaksakan dirimu, padahal kau pasti merasa aku dan Cassiel adalah orang asing, maafkan aku." Adriel hendak beranjak pergi dengan senyum nanarnya. Rigel terdiam karena perasaannya menderu. Semua ini bukan tanpa alasan namun perasaannya jadi sakit melihat Adriel yang putus asa itu. "TUNGGU!" teriak Rigel kala Adriel hendak m
"Itu mustahil, saya menangkis benda itu dengan menyisipkan energi jadi harusnya Anda terluka," ucap Kaelar sambil meraih pedang itu kemudian meraih tangan kiri Rigel. "Tangan Nona tidak terluka sedikit pun," takjub Aki yang ikut melihat tangan Rigel. Cassiel mengembungkan pipinya saat ibunya itu dikerumuni oleh paman-pamannya. "Ibu, temani aku istirahat!" Cassiel menarik tangan Rigel kemudian membawanya pergi dari lapangan latihan. "Oh tenanglah Pangeran Muda, Anda tak perlu cemas soal ini dan mereka," ucap Rigel hanya tersenyum menatap Cassiel. Saat itu Rigel tak mau bergeming dari tempatnya berdiri. Ia tahu Anak itu cemburu jika Pria-pria ini mengerumuninya."Baiklah," sahut Cassiel dengan pipi memerah malu.Aki mendeham, dia raih patahan kayu itu dari tangan Rigel, meskiWanita itu hilang ingat namun posisi sahnya tetap Istri dari RajaNegeri ini. “Maafkan Ajudan Kaelar, Nona … semua ini tidak sengaja,”ucap Aki mewakili seniornya itu.Rigel mengangguk sambil melirik tangannya.
"Aku tak yakin," ucap Rigel sambil enggan memalingkan wajahnya. Rigel tak ingat Pria itu yang ia tahu hanya namanya Adriel, Sang Raja dari Planet yang mirip dengan masa lalu kemakmuran Bumi. Rigel hanya memandangi sepasang mata biru itu. Kedua pandangan yang bercampur aduk antara suka cita dan duka. Rigel orang yang gampang mengasihani tapi ia pun tak mau lama-lama tinggal di Istana yang tak ia kenal. Adriel tersenyum tipis. "Maukah kau tetap tinggal disini? tidak ingat padaku pun tak masalah, aku hanya ingin bertanggung jawab sebagai suamimu untuk memenuhi semua keperluan hidupmu Rigel." Adriel berucap dengan mengabaikan deru hujan yang semakin deras. "Mari, kita ke dalam dulu," ajak Rigel. Kini keduanya berada di ruang kerja Adriel. Masing-masing duduk berseberangan di sofa yang menghadap perampian hangat. Rigel maupun Adriel sudah berganti pakaian baru. Rigel terdiam memandangi api perampian sementara Adriel sibuk memandangi Wanita itu. "Aku tak mau jadi bebanmu Yang Mulia, bia







