LOGINKananta Maherza, duda keren dengan satu anak berusia enam tahun, harus menghadapi badai gosip yang menghancurkan reputasinya. Dicap sebagai lelaki hidung belang, pemalas, dan bahkan dituduh mengidap penyakit kelamin, Kananta harus berjuang membuktikan bahwa dirinya tidak seperti yang mereka katakan. Mampukah ia membersihkan namanya dan menemukan cinta sejati di tengah cercaan?
View More“Nomor lima puluh, ya, Pak?”
Kananta mengangguk tanpa suara. Map pasien di tangan seolah bata panas yang baru keluar dari tungku. Ruang tunggu klinik andrologi terasa seperti ruang sidang hukuman—semua mata seolah mengawasinya, seolah tahu rahasia yang dia sembunyikan. Baru duduk lima menit, seorang ibu-ibu dengan aroma minyak kayu putih yang menyengat langsung mendekat, mencondongkan tubuh sampai hidungnya hampir bersentuhan dengan pipinya. “Mas ganteng,” katanya dengan nada yang diklaim ‘pelan’ tapi volumenya sekeras sirine kebakaran, “datang ke sini karena suka jajan, ya?” Kananta tersedak, ludahnya tercekik di tenggorokan. “B-bukan. Nggak. Saya cuma periksa rutin.” “Oh, rutin jajan?” Ibu itu menaikkan alis dengan ekspresi yang seolah dia tahu segalanya. “Saya ngerti kok. Anak sekarang banyak yang begitu. Tubuh Mas ini atletis banget. Cocok banget jadi gigolo, lho. Duitnya gede, ya?” Tertawa pecah dari semua sudut ruangan. Seorang abang baju biru batuk-batuk menahan ngakak sampai wajahnya kemerahan. Kananta langsung menutup muka dengan map pasien. “Bu, suaranya bisa dikecilin nggak? Tolong, ya.” “Maaf, Mas,” katanya dengan nada sopan—tapi lalu langsung meningkatkan suaranya sampai seratus desibel, “Mas butuh uang banget, yaaaa?!” Seorang pria yang lagi minum air langsung nyembur, cairan itu terbang ke meja depan. Semua orang makin ngakak kencang. Kananta merosot ke kursi, punggungnya melekat di sandaran. “Ya Tuhan … tolong turunkan meteor di tempat ini.” Seorang bapak paruh baya dengan kumis putih duduk di sebelahnya, menepuk bahunya dengan kekerasan yang pas. “Santai, Mas. Semua pasien pertama kali kayak gitu. Grogi banget. Karena dokternya cantik soalnya.” “Maksudnya?” Kananta melotot. “Dokter androlog barunya cewek. Cantik abis. Tegas. Banyak pasien bilang puas banget.” “Puas apanya?!” “Ya puas … pelayanan lah, Mas.” Bapak itu kedip-kedip nakal, matanya berbinar. “Pelayanan yang komprehensif.” Brengsek. Kananta mau menyindir tapi bibirnya kaku. Tiba-tiba pengeras suara berbunyi, bunyinya seperti lonceng kematian. “Bapak Kananta Maherza, ruang dua. Dokter Zinia menunggu.” Jantung Kananta seolah mogok sejenak, lalu berdebar kencang sampai dia bisa merasakannya di telinganya. Ia berdiri lambat, langkahnya seperti orang yang menuju tiang gantungan. Saat sampai di depan pintu ruangan, seorang kakek keluar dengan wajah cerah seperti habis dapat BLT tiga kali lipat ditambah bonus sembako. “Wah! Dokternya cantik banget!” seru si kakek sambil melompat-lompat sedikit. “Tangan beliau nyentuh saya, langsung dug dug dug! Semangat hidup saya naik lagi kayak muda-muda!” “Bukan jantungnya, Kek,” teriak seorang pasien dari balik pintu, “itu cuma efek placebo!” Satu ruangan meledak ngakak. Kananta memejamkan mata, jari-jari memegang gagang pintu sampai putih. Ia masuk, menutup pintu rapat-rapat seolah mau menutup semua kebodohan di luar. Dan tubuhnya langsung membeku. Jas putih yang rapi. Kacamata tipis di hidung yang mancung. Ekspresi tenang yang mematikan—seolah dia bisa membaca semua pikiran yang berlarian di kepala Kananta. “Selamat siang, Pak Kananta. Silakan duduk.” Suara itu. Tatapan itu. Semuanya terlalu akrab. “ … Zinia?” Dokter itu mengangkat wajah dari kertas yang dia baca, tersenyum tipis sampai ada kerut di sudut mata. “Oh. Kamu masih ingat.” Kananta terpaku di tempatnya, mata tak bisa bergerak. “Kamu, berubah.” “Berubah lebih baik, mudah-mudahan,” jawab Zinia. Ia merapikan sanggul yang rapi di belakang kepala dengan jari yang ramping, menggeser kacamatanya sedikit ke bawah, lalu berdiri. “Kamu terlihat lebih tua.” “Terima kasih. Kamu terlihat … jauh. Beda.” “Beda bagaimana?” Zinia mendekat dua langkah, jarak antara mereka sekarang cuma beberapa sentimeter. Udara di ruangan tiba-tiba terasa padat. “Beda semua,” gumamnya lirih, lidahnya kaku. “Penjelasan yang sangat ilmiah, Pak Kananta.” Zinia tertawa kecil, suaranya merdu tapi ada nada menyakitkan. “Silakan duduk. Kita mulai kerja.” Kananta duduk dengan kecepatan yang terlalu cepat, kursinya bersuara ‘krek’. Zinia mengambil map pasiennya dengan ujung jarinya, seolah tak mau menyentuhnya langsung. “Keluhan apa?” “Tidak ada.” “Oh?” Zinia menaikkan satu alis, matanya menyipit seperti laser. “Jadi ke sini buat apa? Nostalgia ke klinik androlog?” Kananta terbatuk keras, tenggorokannya terasa kering. “Ini pemeriksaan rutin.” “Rutin jajan?” Zinia balik menyerang, bibirnya sedikit memutar. “Seperti yang ibu itu katakan tadi?” “Bukan! Astaga jangan mulai dulu, ya.” “Oh, jadi kamu mudah tersinggung sekarang.” Zinia menulis sesuatu di map dengan pena yang cepat. “Dulu kamu lebih lucu. Bisa ngebalik omongan orang tanpa marah.” “Aku lucu? Dulu kamu … lebih kecil.” Zinia berhenti menulis. Matanya menatapnya dengan tegas, seolah mau menusuk. “Apanya?” “Bukan … bukan gitu.” Kananta panik, mata membolak-balik. “Maksudku kamu sekarang lebih gede … eh … dewasa.” “Bagian mana?” Zinia menyilangkan tangan di depan dada, jas putihnya sedikit menegang. “Semua,” jawab Kananta tanpa sadar, mata sudah tak bisa lepas dari lekuk tubuh Zinia. Dulu, dia adalah gadis manis dengan tubuh kurus yang selalu pakai baju lebar. Sekarang dia adalah wanita dewasa dengan lekuk yang menggoda. Dadanya membusung sempurna di balik jas, pinggulnya melengkung indah, dan kakinya jenjang terbungkus stocking hitam yang membuat mata terjepit. Zinia tersenyum. “Baik. Kita lanjut pemeriksaan tekanan darah. Biar aku lihat apakah ‘semua’ itu bikin tekananmu naik.” Ia mendekat lagi, langkahnya lembut tapi pasti. Lampu ruangan seolah lebih fokus ke dua orang itu, membuat bayangan mereka saling bertumpuk. Zinia meraih lengan Kananta yang tergulung, memasang manset tensimeter dengan gerakan yang profesional. “Tarik napas.” Tangan Zinia menyentuh kulitnya—lembut, tapi membuat kanvas kulit Kananta terbakar. Dia menarik napas dengan susah payah. “Buang napas.” Kananta menegang seperti tiang listrik yang terhubung arus, otot-ototnya kaku semuanya. “Kamu kaku banget,” komentar Zinia. “Aku tidak kaku.” “Kamu kaku bahkan sebelum aku sentuh. Lihat, tangannya kamu bergetar.” “Itu fitnah.” Zinia memompa manset perlahan, tekanan meningkat perlahan-lahan. “Tensi naik. 140/90. Apa karena aku?” “Tidak.” “Yakin?” Dia mendekat lebih jauh, napasnya menyentuh telinga Kananta. “Tidak.” Zinia tertawa kecil, suaranya merdu tapi membuat bulu kuduk berdiri. “Oke. Itu cukup. Kita pindah ke kursi pemeriksaan.” “Harus sekarang?” Kananta melihat kursi yang berwarna biru muda di sudut ruangan, seolah itu adalah lubang buang sampah. “Atau mau aku periksa di ruang tunggu? Biar semua orang lihat seberapa ‘tidak kaku’ kamu?” Zinia menunjuk pintu dengan dagu, ekspresinya tak tertandingi. “Tidak.” Kananta berdiri dengan enggan, langkahnya berat. Saat Zinia berjalan ke arah kursi pemeriksaan, kemeja cream yang dia pakai di dalam jas—dua kancing atasnya terlepas tanpa dia sadari—benar-benar memperlihatkan lekuk dada yang membusung seperti gunung yang menantang. Kananta menelan ludah. Ini bukan pemeriksaan, tapi penyiksaan medis level mantan ....Namun, saat Kananta semakin terbawa suasana, tiba-tiba Zinia menghentikannya.“Stop.”Suaranya terdengar seperti rem tangan ditarik mendadak di tikungan. Kananta berhenti freeze dengan pose tangan masih nemplok di dada si manekin—pose yang kalau difoto, bisa masuk grup WA keluarga dan bikin Mama pingsan.Zinia mendekat. Sangat dekat. Aroma parfumnya—mahal, segar, sedikit mint—mengikis sisa-sisa kewarasan yang masih tersisa di kepala Kananta.“Kananta,” ucapnya sambil menatap lurus ke matanya, “sekencang itu kamu imajinasinya?”Kananta menelan ludah. “Sa-saya cuma fokus pada sensasi?”Berusaha mencari alasan yang tentu saja mimik wajahnya seperti buku dengan tulisan capslock semua.“Fokus?” Zinia mengangkat alis. “Kamu dari tadi ngelus kayak orang lagi nyari koin jatuh.”Wajah Kananta memanas. Ini bukan terapi. Ini roasting session. Beginilah rasanya jika dokter yang menangani mantan yang pernah tersakiti. Mantan yang ia tinggalkan untuk menikahi wanita durjana. Mungkin memang benar
Kali ini pulang fisioterapi membuat kananta sedikit lebih tenang, walaupun tadi ada sedikit gangguan dari sang mantan yang benar-benar tidak diharapkan. Seperti jelangkung yang datang tidak diundang, tapi berperawakan seperti kuyang! "Ayah!"Monster kecil itu berlari memeluknya. Bumi, putra sematawayang yang didapatkan dengan begitu sangat sulit. Tiga kali gagal dalam proses bayi tabung. Menghabiskan banyak sekali uang, tapi Kananta bersyukur karena memiliki anak seceria lincah dan juga cerdas Bumi."Wah, wah anak ayah. Ada apa ini sepertinya bahagia sekali?" Kananta dengan satu tangan saja mampu mengangkat tubuh putranya itu. Membawanya ke sofa panjang yang berada di ruang tamu. "Ayah tau tidak? Hari ini aku berhasil mencium tiga gadis di kelas. Hebat kan aku?" Bumi mengangkat kedua alisnya, seolah-olah apa yang dia lakukan itu adalah hal yang sangat membanggakan. Kananta terperangah, dirinya tidak menyangka ternyata Bumi se-playboy itu padahal masih kecil. Dulu ia sepertinya t
Kananta dirinya langsung saja menggenggam lengan Maya untuk segera keluar dari ruangan. Dia tidak peduli tatapan orang-orang di luar—untung saja keadaan sudah sepi karena memang dia pasien terakhir hari itu. Tak menyangka si ratu nyinyir dunia daring, kembali lagi hadir untuk mengobrak-abrik hatinya. "Apa sih maksud kamu?" tanya Kananta dengan suara marah, menarik Maya keluar sampai ke koridor. "Kamu ini ya benar-benar sangat menyebalkan!" Maya berbalik, pakaiannya benar-benar seksi baju tanpa lengan yang ketat menyoroti bentuk badannya, dan rok hanya satu jengkal dari paha yang putih bersih. Dia bergoyang-goyang di hadapannya seolah-olah menggoda, rambutnya tergelincir ke satu sisi. "Kamu nggak lihat ya? Aku cuma mau cek apakah kamu beneran berobat atau cuma main-main sama dokter cantik itu," ujarnya dengan nada menggoda. Maya, setelah cerai dari dirinya benar-benar seperti wanita lajang bahkan lebih mirip jalang. Pole dance, tanpa mengenakan pakaian yang layak mungkinkah itu
Kananta tersentak, keringat dingin keluar di keningnya. “Dokter aku harus siap mental dulu?” “Sangat. Tapi waktu sudah habis.” Dia merinding sampai badan gemetar. “Apakah aku akan selamat dari terapi ini?” Zinia tersenyum tipis—senyum yang bikin hati berdebar lebih kencang, seperti ada getaran listrik di udara. “Tergantung seberapa patuh kau sebagai pasienku.” Kananta berdiri tegak meskipun tulang belakangnya kaku. “Baik dokter.” “Mulai hari ini, Kan .…” Ia menepuk dadanya dengan pulpen yang ada di tangannya—sentuhan itu ringan tapi bikin dada berdebar kencang, seolah mau melompat keluar dari tulang rusuk. “Kau milikku sebagai proyek penelitian.” Kananta hanya bisa membuka mulutnya, mata bengkak dengan kaget: “Apa?” Dia menatap Zinia dengan harap yang membanjiri. "Benarkah? Bagaimana caranya ….” Bagian dalam dirinya berteriak “Jangan terlalu percaya! Jangan terlalu percaya!”—Zinia terlalu misterius, terlalu sulit ditebak. Setiap kali ia mencoba mendekatinya, ia justru semakin t
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.