Rayuan Maut Dokter Cantikku

Rayuan Maut Dokter Cantikku

last updateLast Updated : 2025-11-24
By:  AgilRizkianiUpdated just now
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Not enough ratings
7Chapters
13views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Kananta Maherza, duda keren dengan satu anak berusia enam tahun, harus menghadapi badai gosip yang menghancurkan reputasinya. Dicap sebagai lelaki hidung belang, pemalas, dan bahkan dituduh mengidap penyakit kelamin, Kananta harus berjuang membuktikan bahwa dirinya tidak seperti yang mereka katakan. Mampukah ia membersihkan namanya dan menemukan cinta sejati di tengah cercaan?

View More

Chapter 1

Antrian Andrologi

“Nomor lima puluh, ya, Pak?”

Kananta mengangguk tanpa suara. Map pasien di tangan seolah bata panas yang baru keluar dari tungku. Ruang tunggu klinik andrologi terasa seperti ruang sidang hukuman—semua mata seolah mengawasinya, seolah tahu rahasia yang dia sembunyikan.

Baru duduk lima menit, seorang ibu-ibu dengan aroma minyak kayu putih yang menyengat langsung mendekat, mencondongkan tubuh sampai hidungnya hampir bersentuhan dengan pipinya.

“Mas ganteng,” katanya dengan nada yang diklaim ‘pelan’ tapi volumenya sekeras sirine kebakaran, “datang ke sini karena suka jajan, ya?”

Kananta tersedak, ludahnya tercekik di tenggorokan. “B-bukan. Nggak. Saya cuma periksa rutin.”

“Oh, rutin jajan?” Ibu itu menaikkan alis dengan ekspresi yang seolah dia tahu segalanya. “Saya ngerti kok. Anak sekarang banyak yang begitu. Tubuh Mas ini atletis banget. Cocok banget jadi gigolo, lho. Duitnya gede, ya?”

Tertawa pecah dari semua sudut ruangan. Seorang abang baju biru batuk-batuk menahan ngakak sampai wajahnya kemerahan.

Kananta langsung menutup muka dengan map pasien. “Bu, suaranya bisa dikecilin nggak? Tolong, ya.”

“Maaf, Mas,” katanya dengan nada sopan—tapi lalu langsung meningkatkan suaranya sampai seratus desibel, “Mas butuh uang banget, yaaaa?!”

Seorang pria yang lagi minum air langsung nyembur, cairan itu terbang ke meja depan. Semua orang makin ngakak kencang.

Kananta merosot ke kursi, punggungnya melekat di sandaran. “Ya Tuhan … tolong turunkan meteor di tempat ini.”

Seorang bapak paruh baya dengan kumis putih duduk di sebelahnya, menepuk bahunya dengan kekerasan yang pas. “Santai, Mas. Semua pasien pertama kali kayak gitu. Grogi banget. Karena dokternya cantik soalnya.”

“Maksudnya?” Kananta melotot.

“Dokter androlog barunya cewek. Cantik abis. Tegas. Banyak pasien bilang puas banget.”

“Puas apanya?!”

“Ya puas … pelayanan lah, Mas.” Bapak itu kedip-kedip nakal, matanya berbinar. “Pelayanan yang komprehensif.”

Brengsek. Kananta mau menyindir tapi bibirnya kaku.

Tiba-tiba pengeras suara berbunyi, bunyinya seperti lonceng kematian.

“Bapak Kananta Maherza, ruang dua. Dokter Zinia menunggu.”

Jantung Kananta seolah mogok sejenak, lalu berdebar kencang sampai dia bisa merasakannya di telinganya.

Ia berdiri lambat, langkahnya seperti orang yang menuju tiang gantungan. Saat sampai di depan pintu ruangan, seorang kakek keluar dengan wajah cerah seperti habis dapat BLT tiga kali lipat ditambah bonus sembako.

“Wah! Dokternya cantik banget!” seru si kakek sambil melompat-lompat sedikit. “Tangan beliau nyentuh saya, langsung dug dug dug! Semangat hidup saya naik lagi kayak muda-muda!”

“Bukan jantungnya, Kek,” teriak seorang pasien dari balik pintu, “itu cuma efek placebo!”

Satu ruangan meledak ngakak. Kananta memejamkan mata, jari-jari memegang gagang pintu sampai putih.

Ia masuk, menutup pintu rapat-rapat seolah mau menutup semua kebodohan di luar. Dan tubuhnya langsung membeku.

Jas putih yang rapi. Kacamata tipis di hidung yang mancung. Ekspresi tenang yang mematikan—seolah dia bisa membaca semua pikiran yang berlarian di kepala Kananta.

“Selamat siang, Pak Kananta. Silakan duduk.”

Suara itu. Tatapan itu. Semuanya terlalu akrab.

“ … Zinia?”

Dokter itu mengangkat wajah dari kertas yang dia baca, tersenyum tipis sampai ada kerut di sudut mata. “Oh. Kamu masih ingat.”

Kananta terpaku di tempatnya, mata tak bisa bergerak. “Kamu, berubah.”

“Berubah lebih baik, mudah-mudahan,” jawab Zinia. Ia merapikan sanggul yang rapi di belakang kepala dengan jari yang ramping, menggeser kacamatanya sedikit ke bawah, lalu berdiri. “Kamu terlihat lebih tua.”

“Terima kasih. Kamu terlihat … jauh. Beda.”

“Beda bagaimana?” Zinia mendekat dua langkah, jarak antara mereka sekarang cuma beberapa sentimeter. Udara di ruangan tiba-tiba terasa padat.

“Beda semua,” gumamnya lirih, lidahnya kaku.

“Penjelasan yang sangat ilmiah, Pak Kananta.” Zinia tertawa kecil, suaranya merdu tapi ada nada menyakitkan. “Silakan duduk. Kita mulai kerja.”

Kananta duduk dengan kecepatan yang terlalu cepat, kursinya bersuara ‘krek’. Zinia mengambil map pasiennya dengan ujung jarinya, seolah tak mau menyentuhnya langsung. “Keluhan apa?”

“Tidak ada.”

“Oh?” Zinia menaikkan satu alis, matanya menyipit seperti laser. “Jadi ke sini buat apa? Nostalgia ke klinik androlog?”

Kananta terbatuk keras, tenggorokannya terasa kering. “Ini pemeriksaan rutin.”

“Rutin jajan?” Zinia balik menyerang, bibirnya sedikit memutar. “Seperti yang ibu itu katakan tadi?”

“Bukan! Astaga jangan mulai dulu, ya.”

“Oh, jadi kamu mudah tersinggung sekarang.” Zinia menulis sesuatu di map dengan pena yang cepat. “Dulu kamu lebih lucu. Bisa ngebalik omongan orang tanpa marah.”

“Aku lucu? Dulu kamu … lebih kecil.”

Zinia berhenti menulis. Matanya menatapnya dengan tegas, seolah mau menusuk. “Apanya?”

“Bukan … bukan gitu.” Kananta panik, mata membolak-balik. “Maksudku kamu sekarang lebih gede … eh … dewasa.”

“Bagian mana?” Zinia menyilangkan tangan di depan dada, jas putihnya sedikit menegang.

“Semua,” jawab Kananta tanpa sadar, mata sudah tak bisa lepas dari lekuk tubuh Zinia. Dulu, dia adalah gadis manis dengan tubuh kurus yang selalu pakai baju lebar. Sekarang dia adalah wanita dewasa dengan lekuk yang menggoda. Dadanya membusung sempurna di balik jas, pinggulnya melengkung indah, dan kakinya jenjang terbungkus stocking hitam yang membuat mata terjepit.

Zinia tersenyum. “Baik. Kita lanjut pemeriksaan tekanan darah. Biar aku lihat apakah ‘semua’ itu bikin tekananmu naik.”

Ia mendekat lagi, langkahnya lembut tapi pasti. Lampu ruangan seolah lebih fokus ke dua orang itu, membuat bayangan mereka saling bertumpuk. Zinia meraih lengan Kananta yang tergulung, memasang manset tensimeter dengan gerakan yang profesional.

“Tarik napas.”

Tangan Zinia menyentuh kulitnya—lembut, tapi membuat kanvas kulit Kananta terbakar. Dia menarik napas dengan susah payah.

“Buang napas.”

Kananta menegang seperti tiang listrik yang terhubung arus, otot-ototnya kaku semuanya.

“Kamu kaku banget,” komentar Zinia.

“Aku tidak kaku.”

“Kamu kaku bahkan sebelum aku sentuh. Lihat, tangannya kamu bergetar.”

“Itu fitnah.”

Zinia memompa manset perlahan, tekanan meningkat perlahan-lahan. “Tensi naik. 140/90. Apa karena aku?”

“Tidak.”

“Yakin?” Dia mendekat lebih jauh, napasnya menyentuh telinga Kananta.

“Tidak.”

Zinia tertawa kecil, suaranya merdu tapi membuat bulu kuduk berdiri. “Oke. Itu cukup. Kita pindah ke kursi pemeriksaan.”

“Harus sekarang?” Kananta melihat kursi yang berwarna biru muda di sudut ruangan, seolah itu adalah lubang buang sampah.

“Atau mau aku periksa di ruang tunggu? Biar semua orang lihat seberapa ‘tidak kaku’ kamu?” Zinia menunjuk pintu dengan dagu, ekspresinya tak tertandingi.

“Tidak.” Kananta berdiri dengan enggan, langkahnya berat. Saat Zinia berjalan ke arah kursi pemeriksaan, kemeja cream yang dia pakai di dalam jas—dua kancing atasnya terlepas tanpa dia sadari—benar-benar memperlihatkan lekuk dada yang membusung seperti gunung yang menantang.

Kananta menelan ludah. Ini bukan pemeriksaan, tapi penyiksaan medis level mantan ....

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

No Comments
7 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status