"Dasar bodoh!" Sebuah tamparan mendarat keras di pipi Vania setelah Daniel memberi tahu sang ayah tentang perbuatannya.Rasa panas sontak mejalari pipinya yang terlihat memerah. Sudut bibirnya bahkan robek dan mengeluarkan sedikit darah.Vania meringis pelan, meratapi karma yang begitu cepat dia dapatkan. Seperti badai yang datang tanpa peringatan. Tamparan sang ayah tidak hanya menghantam wajahnya, tapi juga harga dirinya, padahal baru saja menyerang Bellia di rumah sakit beberapa jam yang lalu.Vania berdiri kaku di tempat, air mata perlahan menetes dari sudut matanya. Bukan karena sakit di wajahnya, tapi kerena kekacauan yang dia buat sendiri, dan mau tidak mau dia harus menanggung semuanya sekarang."Bagaimana kamu bisa melakukan hal serendah ini, Vania?" Suara Bastian—ayah kandung Vania menggema, penuh amarah dan kekecewaan. "Papi sudah menyekolahkanmu tinggi-tinggi, tapi kamu malah mempermalukan Papi seperti ini. Dasar anak tidak tahu diri!"Daniel menyilangkan sebelah kakinya
Pintu kamar Marvell terbuka lebar dengan bunyi dentuman yang terdengar cukup keras, disusul langkah cepat Daniel yang langsung membeku di ambang pintu setelah melihat pemandangan yang membuat darahnya mendidih seketika.Bellia terduduk di lantai dengan rambut berantakan, pipinya merah karena tamparan yang baru saja mendarat di sana. Di sudut lain, Marvell menangis histeris di bawah tempat tidurnya dengan wajah penuh ketakutan. Sebuah vas bunga terjatuh dan pecah di lantai, kursi bergeser dari tempatnya. Jam dinding yang berdetik pelan, menjadi satu-satunya suara yang menyertai isak tangis Marvell.Sedangkan Vania berdiri di tengah-tengah mereka, tubuhnya masih gemetar karena amarah yang begitu membara. Tangan kanannya kembali terangkat, ingin melayangkan pukulan ke tubuh Bellia yang sudah tidak berdaya.Pandangan Daniel langsung berubah tajam, seperti pedang yang baru saja ditempa dalam bara api kemarahan. Berkilau, dingin, dan siap menebas siapa pun yang berani menyakiti orang yang
"Kamu masih tanya kenapa?" Vania tertawa jahat, seperti seorang psikopat yang menemukan kenikmatan di balik penderitaan orang lain.Tawanya nyaring, getir, dan penuh kebencian, menggema di antara dinding-dinding rumah sakit yang seketika berubah sempit dan dingin."Aku melakukan semua ini karena kamu terlalu naif, Bellia!""Terlalu naif?" gumam Bellia tidak mengerti. Selama ini dia selalu berusaha bersikap baik pada orang lain, bahkan pada tantenya sendiri. Dia tidak pernah membenci tante yang sudah memanfaatkan dan menghabiskan uangnya. Dia rela melakukan semua itu agar hubungannya dengan sang tante baik-baik saja.Namun, Vania tiba-tiba saja datang dan menyebut dirinya 'naif'. Padahal dia tidak pernah bertegur sapa dengan wanita itu.Dia pertama kali melihat Vania sekaligus untuk yang terakhir kalinya ketika ingin menemui Daniel di ruangannya. Kejadian itu pun sudah lama berlalu—mungkin sekitar empat atau lima tahun yang lalu.Saat itu dia ingin memberi tahu Daniel tentang apa yang
Suasana kamar nomor 614 itu kembali hening selepas kepergian Cherry dan Seika. Bellia kembali ke dalam setelah menutup pintu lalu menghampiri Marvell yang duduk di atas ranjang.Marvell tampak murung, wajahnya terlihat tidak ceria saat bersama Cherry. Dan sebagai ibu, Bellia tentu saja menyadari hal itu."Ada apa, Sayang? Kenapa Marvell tiba-tiba sedih?" tanya Bellia terdengar penuh perhatian.Marvell melirik Bellia sekilas, setelah itu kembali memperhatikan gambar beruang yang belum selesai dia warnai. Jemarinya perlahan bergerak, memberi warna pada gambar tersebut agar terlihat lebih hidup.Bellia diam-diam memperhatikan apa yang Marvell lakukan lalu tersenyum tipis. Marvell memang dekat dengan Cherry semenjak masuk sekolah. Mereka selalu bermain dan belajar bersama.Di mana ada Marvell, di situ pasti ada Cherry.Ke mana pun Marvell pergi, Cherry selalu mengikuti. Seperti bayangan yang tidak bisa lepas dan dipisahkan.Saat Marvell bermain bola di halaman sekolah, Cherry akan duduk d
Kondisi Marvell berangsung-angsur membaik setelah dirawat selama satu minggu di rumah sakit. Dokter yang merawatnya bahkan merasa heran karena Marvell bisa pulih lebih cepat dari waktu yang mereka perkirakan.Hal ini tentu tidak terjadi begitu saja, Daniel dan Bellia juga memiliki peran yang sangat penting di balik kesembuhannya. Mereka bergantian menjaga Marvell setiap malam. Daniel bahkan rela menunda pekerjaannya agar bisa mencurahkan seluruh perhatiannya untuk Marvell.Sedangkan Bellia terpaksa menutup toko bunganya selama beberapa hari karena Dita sedang mengunjungi orang tuanya yang tinggal di luar kota. Untung saja para pelanggan mau memahami kondisinya yang sedang tertimpa musibah. Mereka bahkan turut mendoakan semoga Marvell lekas diberi kesembuhan.Marvell tidak pernah merasa kesepian selama dirawat. Setiap hari selalu ada teman sekolah yang datang menjenguknya, terutama Cherry.Anak perempuan cantik berumur empat tahun itu hari ini kembali datang menjenguk Marvell bersama de
Ruangan itu dipenuhi aroma karbol dan obat-obatan yang begitu menusuk hidung. Keheningan menggantung jelas di udara, seperti kabut tebal yang begitu menyesakkan.Daniel dan Bellia duduk berdampingan di salah salah satu kursi, sedangkan Mahes memilih berdiri di tempat yang agak jauh dari mereka.Kedua tangan Bellia terkepal erat di atas kedua pahanya. Wajahnya terlihat sangat tegang, seperti menahan beban yang begitu berat. Helaan napas panjang berulang kali lolos dari bibirnya, menahan perasaan takut sekaligus cemas yang berkecamuk di dalam dadanya.Marvell sudah masuk ke dalam ruang operasi sejak satu jam yang lalu, tepatnya setelah mendapat donor darah dari Daniel. Dokter ingin melakukan proses hematosis untuk menghentikan pendarahan yang dialami oleh Marvell.Bellia pikir, operasi Marvell tidak akan berjalan lama. Namun, lampu di atas pintu ruang operasi tersebut masih menyala sampai sekarang.Bellia tidak bisa bernapas dengan tenang, berbagai pikiran buruk terus melintas di pikira