Selama 13 tahun hidupnya, Matari bisa menghitung berapa kali dia pergi berlibur bersama keluarganya. Dulu, saat Ibunya masih ada, liburan akan diisi Matari dan Bulan secara bergantian di antar pergi ke Jakarta ke tempat Eyang atau ke tempat keluarga Ibu yang jauh di daerah Semarang. Namun itu pun hanya sesekali, karena berpergian ke Semarang membutuhkan biaya yang cukup lumayan. Paling sering dia akan menghabiskan waktu liburan di rumah Eyang saja. Sedangkan Kak Bulan akan berjalan-jalan sendiri tanpa dirinya keliling Jakarta bersama teman-teman barunya entah darimana.
Bulan bisa dengan mudah mendapatkan teman di perpustakaan nasional, museum atau tempat-tempat seru lainnya. Berbeda dengan Matari, dia hanya akan bermain bersama Sandra jika sepupunya itu ikut datang juga.
Sekarang, meskipun semuanya sudah berubah, Matari tetap sama. Akan menghabiskan waktu di kamar, menyewa buku novel dan komik sebanyak mungkin. Menghabiskan waktu liburannya hanya dengan membaca.
Mobil van besar yang disewa Tante Indira dan suaminya, Om Baskara, sekaligus membawa sopir pribadinya kali ini. Kata Iko, biasanya, Om Baskara yang menyetir jika hanya sekitar Anyer, Bandung atau Bogor. Namun, karena ingin benar-benar bersantai, Om Baskara pun akhirnya mengajak Pak Raden, sopir pribadi mereka, ikut serta. Tak lupa Kang Udin, salah satu ART laki-laki di rumah Om Baskara ikut menemani. Kang Udin dibawa karena mereka berencana untuk mengadakan pesta BBQ di malam terakhir diresortterbesar di kawasan Anyer tersebut.Matari sejujurnya malas satu kamar dengan Raline. Dia masih kurang cocok dengan gadis cantik itu karena berhasil menjadi pacar Iko. Walaupun sekarang Matari sudah tidak menyukai Iko seperti dulu, namun tetap ada yang mengganjal di hatinya.Raline sendiri tampak tak terlalu perduli dengan kehadiran Matari. Meskipun satu kamar, Raline lebih sering menelepon denganhandphone-nya. Raline yang dulu pertama kali dike
Matari membuka matanya lagi. Saat dilihatnya jam tangannya, sudah pukul 7 pagi. Dia ketiduran lagi. Samar-samar terdengar suara Iko dan Raline dari arah area dapur. Matari mendongakkan kepalanya. Tampak olehnya Iko dan Raline tengah memasak mie instan bersama sambil bersenda gurau. Matari menarik napas lega. Entah pikiran jelek apa yang merasukinya tadi pagi-pagi buta, namun dia senang melihat Iko dan Raline berada di sana.“Good morning, putri tidur. Enak bobo di sofa?” sapa Iko saat melihat Matari terbangun dan memperhatikan dirinya.“Hehehe. Maaf ketiduran…,” kata Matari sambil mengucek-ucek matanya.“Sorryya, semalam mau bangunin elo tu nggak enak, ya udah gue biarin aja di situ. Udah nyenyak banget kayanya,” sahut Iko sambil mengambil mangkok yang memang disediakan oleh fasilitas hotel. “Mau mie nggak? Sarapan baru dianter ke kamar sekitar jam 9 nan. Soalnya s
Malamnya, yang berarti malam kedua bagi Matari, setelah makan malam di restoran seafooddekat hotel, Matari kembali ke kamarnya bersama Dian. Matari cukup merasa beruntung ada Dian di sampingnya. Meski dia tak banyak mengobrol, setidaknya Matari merasa senasib dengan gadis kecil itu. Menumpang liburan dengan keluarga lain. Hal yang baru disadarinya, ternyata menumpang liburan, meski dengan hotel sebagus apapun, tidak terlalu membuatnya nyaman.Padahal, Tante Indira dan Om Baskara tidak terlalu ikut campur dengan urusan anak-anak yang ikut dengan mereka. Mereka benar-benar menikmati liburan dengan caranya sendiri. Anak-anak yang sudah dianggap lebih besar dan bisa bertanggungjawab, sama sekali tidak terlalu diatur ini-itu. Hal itu tentu berbeda dengan cara Eyang Putri atau Ayah Matari di rumah. Jika mereka ada di sini, pasti akan ada aturan-aturan tidak tertulis yang harus ditepati.Banyak hal yang dilakukan Matari bersa
Matari membuka matanya dan langsung merasa bersyukur. Dia benar-benar berada di dalam kamarnya sendiri sekarang. Liburan 4 hari 3 malam di Anyer terasa bagaikan mimpi. Dia masih agak linglung dan lelah setelah perjalanan jauh yang beberapa kali tersendat macet karena ada kecelakaan besar di tengah perjalanan pulang mereka kembali ke rumah. Sesampainya di rumah pun, Matari tak banyak bicara dan langsung tertidur di kamarnya hingga menjelang maghrib.“Neng, saya masuk ya?” suara Mbok Kalis mengagetkan lamunannya.Pintu kamarnya yang baru disadarinya tidak tertutup sepenuhnya, memperlihatkan siluet Mbok Kalis membawa nampan.“Iya, Mbok. Masuk aja. Aku udah bangun, kok!” sahut Matari.“Ini ada teh dicampur madu sama lemon. Kata Eyang Putri buat Neng. Soalnya tadi pas turun mobilnya Bu Indira mukanya pucet banget dan pandangan matanya kosong. Takutnya Eyang, ada yang nempel. Hehehe…,” sahut Mbok Kalis sambil tertawa k
“SUMPAH! GUE KESEL BANGET SAMA YANG NAMANYA IKO DAN EYANG POER!” seru Lisa saat Matari selesai menceritakan kejadian selama liburan di Anyer.“Gue nggak terlalu kebawa perasaan kan? Wajar nggak sih gue marah atau sekedar kecewa?” tanya Matari kemudian. “Soal Eyang gue, itu udah biasa sih. Kalo Iko….”“Wajar banget! Iko itu aneh ya, kalo nggak ada Raline kadang tuh sikapnya agak-agak perhatian sama lo. Kalau ada, kaya buta banget orang-orang di sekitarnya. Udah gitu sok-sok ngajarin soalfree sex, tapi dia sendiri ngelanggar! Aneh banget!”“Sebenernya, gue agak nggak yakin sih sama yang terakhir beneran ngelakuin apa nggak.”“Mau adu naif sama gue, Ri? Ri, gue nih hidup di dunia di mana semua itu lumrah terjadi. Bahkan beberapa temen di agensi gue, udah sering ngelakuin itu sama entah pacarnya, entah sutradara, entah fotografer. Itulah kenapa gue dimanagerin langsung sam
Matari memarkirkan sepedanya di sebelah sepeda Sandra. Sandra akhirnya memutuskan untuk membeli sepeda juga, agar tidak membebani Matari. Hari Senin tahun ajaran baru, parkiran sepeda tidak terlalu penuh. Memang yang membawa sepeda di SMP mereka tak lebih dari 20 anak.“Kalo nggak pake rok, gue kira lo cowok,” kata seseorang di sebelah mereka pada Sandra.Matari melihat badge nama di seragam anak laki-laki itu, namanya tertulis Lingga. Setahu Matari, dia sama-sama anak kelas 2. Matari tidak terlalu mengenalnya secara personal. Dulunya, Lingga adalah penghuni kelas 1 E. Kelas yang paling adem ayem. Mereka terpisah dalam satu kelompok besar, tidak pernah tergabung dengan kelas lain, terkecuali Indah tentunya karena berpacaran dengan Joan.Sandra melotot. “Lo ngatain gue?”Lingga hanya tertawa. “Habisnya potongan rambut lo cepak banget. Kaya anak laki! Hahahah!”Sandra menendang sepeda Lingga. “Nggak usah bawa
Hari kedua, Matari menyadari bahwa dia tidak duduk sendiri lagi di deretan depan. Ada sebuah tas tergeletak di sampingnya. Dan saat ini sudah ada kursi di sampingnya, karena hari sebelumnya dia hanya duduk sendirian. Didatanginya Echa yang tampak sedang sibuk menyisir rambutnya.“Sebelah gue siapa?” tanya Matari pada Echa.Echa mengangkat bahu. “Coba tanya Eve, dia datang paling pagi biasanya.”Eve yang sedang duduk-duduk di depan kelas juga menjawab tidak tahu. “Mungkin anak baru, karena pas gue dateng, tas dia udah ada di sana,” jawab Eve yang disambut dengan anggukan Hanni.“Gue denger emang ada anak baru yang masuk hari ini. Tapi cowok,” kata Hanni kemudian. “Coba kita tanya ketua kelas kita, si Agam.”Agam yang baru datang mengiyakan. “Masih di ruang Tata Usaha, katanya ngambil seragam.”“Cowok, Gam?” tanya Hanni penasaran.“Iya, cowok. Pind
Matari hendak memejamkan matanya ketika teleponnya berdering beberapa kali. Menyadari bahwa tak ada seorangpun yang mau mengangkat telepon, akhirnya Matari beranjak keluar kamar. Anggota keluarga di rumah Eyang Putri sudah hapal jadwal telepon Davi, bahkan suaranya. Karena memang hanya satu-satunya anak laki-laki yang menelepon ke rumah dan mencari Matari hanya dia. Eyang Putri tak keberatan, karena bukan dirinya yang membayar tarif telepon Davi. Meskipun awalnya beliau sering menegur, namun lama-kelamaan beliau sudah merasa lelah menegur berulang-ulang yang mana bukan dirinya sebagai pihak yang dirugikan.“Halo….,” sahut Matari malas, karena siang itu dia cukup mengantuk.Matari pun sudah beradaptasi untuk tidak mengucapkan "Assalamualaikum" dengan seenaknya, karena dia tahu Davi yang menelepon.“Hai, Ri. Lagi apa? Lemes banget suaranya,” jawab Davi.“Iya Dav, ngantuk. Hoaaahmmm….!”“Oh, mau