Pagi-pagi, Adimas sudah mengerjakan banyak pekerjaan rumah. Membersihkan rumah, mengepel, dan mencuci baju. Ia harus menyelesaikan semua itu sebelum siang. "Biar saya yang melakukannya, Tuan," ujar Bibi Heni kepada Adimas. Ia tidak tega melihat menantu di keluarga ini justru harus mengerjakan pekerjaan semacam ini. "Tidak perlu, Bi," jawab Adimas seraya menggeleng, "Jika ketahuan membantu, Markus akan semakin marah dan Karina mungkin menjadi sasarannya," tutur pria itu. Sorot Bibi Heni seketika melembut. Hatinya menghangat mendengar jawaban itu. "Saya tidak menyangka jika Nona Karina akan mendapatkan pria seperti Tuan. Jika orang lain yang merawatnya, keadaan pasti akan sangat berbeda," ujar Bibi Heni dengan tulus. Adimas ikut tersenyum mendengarnya, meski dalam hati ia juga merasa miris. Ia tidak tahu mengapa dirinya, yang notabene seorang pewaris konglomerat, justru menjadi pembantu di rumah mertuanya. Adimas selalu menunggu waktu yang tepat untuk pergi. Jika ia membawa Karin
Hampir genap satu bulan semenjak Adimas tinggal di kediaman Covey. Sampai sekarang, Adimas telah menghafalkan ritme aktivitas di rumah itu dan mengetahui bahwa semua orang pergi tidur pada pukul sebelas. Tidak hanya ritme tidur, ritme keamanan di rumah itu pun sudah Adimas hafal. Malam ini, Adimas memutuskan untuk pergi diam-diam menyelinap keluar rumah itu. Ia sengaja mengadakan pertemuan dadakan di Hotel Karisma. Ia berhasil keluar tanpa mendapati kesulitan. Selang beberapa meter, sudah ada sebuah mobil yang menunggunya dan berjalan dalam kesunyian malam. Tanpa menunggu lama, Adimas sudah muncul di hotel tersebut. Penampilannya sangat kontras. Jika biasanya ia hanya mengenakan kaus dan celana jins lusuh. Kali ini, tubuh atletis pria itu dibalut kemeja rapi dan jas yang kaku. Celananya pun tampak mengepas di kakinya, ditambah sepatu pantofel yang mengkilap. Adimas langsung memasuki lift. Tidak menyadari keberadaan Fero tepat di dalam lift di depannya. Ia langsung menuju lantai 56
Adimas baru tiba di rumah setelah mendampingi Siska pada menjelang sore hari. Ia baru turun dari mobilnya, belum sempat menyapa atau menghampiri Karina, saat tahu-tahu Markus berjalan ke arahnya dengan langkah tergesa. "Aku harus pergi ke suatu tempat. Segera antar aku!" perintahnya, kemudian langsung menaiki mobil tanpa mengatakan apa-apa lagi. Adimas tidak tahu apa masalah yang kembali menimpa pria itu, tetapi dia mengalah dan segera kembali ke kursi pengemudi. "Ke Hotel Karisma." Markus menyebutkan. Adimas yang semula hendak memutar kunci dan menyalakan mesin, seketika terhenti. Mengapa Markus menyebutkan nama hotel itu? "Apa yang kau lakukan? Cepat jalan!!!" Seruan Markus seketika menyentak Adimas dan pria itu kembali lanjut menyalakan mesin mobil. Tanpa menunggu lama, mobil itu meluncur mulus keluar dari kediaman Covey. Tak selang satu jam, keduanya telah tiba di hotel mewah tersebut. Tidak seperti sebelumnya, kali ini Adimas ikut turun dari mobil dan mengikuti Markus. Te
"Dasar gadis gila!! Kau harus membayar kesalahanmu!!" Fero membentak sementara tangannya menjambak rambut Karina. Gadis itu gemetar ketakutan. Matanya sudah memerah karena hampir menangis. Melihatnya, Adimas langsung mengambil langkah seribu. "Lepaskan Karina!" sergahnya, "Apa yang terjadi di sini?" Fero mengempaskan Karina ke lantai dan menyeringai tipis. "Lihat, suaminya sudah datang," ujarnya, "Rawat baik-baik istrimu yang gila ini!" Adimas langsung berlutut dan membantu Karina berdiri. Tubuh gadis itu masih gemetar karena ketakutan. Markus juga melihatnya, tetapi pria itu tidak berbuat apa pun. "Sebenarnya, apa yang terjadi di sini?" tanya Adimas seraya menatap ke arah Fero dengan kesal. "Gadis gila ini tiba-tiba masuk ke kamarku dan menghancurkan salah satu benda berharga milikku!" sergahnya seraya menunjukkan sebuah action figure yang telah terpecah-pecah. "Dasar gadis gila! Apakah kau tahu berapa harganya?! Dia harus menerima hukumannya!" sentak Fero kepada Karina. Gad
Fero benar-benar melakukan permainan itu. Bahkan, dia mengundang teman-temannya untuk turut serta. Kini, Adimas duduk di antara mereka dan memandang benci kepada Fero dan dua temannya. Bagaimana bisa mereka melakukan permainan ini, menukar Karina dengan beberapa jumlah uang?Keluarga Markus benar-benar gila. Benny juga masih berada di sana dan menyaksikan sendiri bagaimana lingkungan keluarga Covey. Pria itu langsung mengerti alasan Adimas bersikeras membela Karina. "Tuan Muda yakin akan melakukan ini?" Benny berbisik kepada Adimas. "Tuan Besar pasti akan sangat murka jika tahu Anda mempertaruhkan diri Anda sendiri." Adimas fokus memandang ke depan dan menggangguk. "Aku tahu, tapi aku harus melakukannya," tutur pria itu, "Dan, jangan memanggilku Tuan. Identitasku akan terbongkar," jawabnya sambil berbisik. "Baik, Tuan--maksudku, Adimas," jawab Benny sambil berbisik. Tenggorokannya seketika terasa aneh saat memanggil pria itu hanya dengan namanya. Itu adalah tindakan paling lancan
Fero tidak tahu dari mana asalnya pria antah-berantah itu. Satu yang pasti, jika Adimas benar hanya seorang kurir miskin, maka harga diri Fero telah diinjak-injak olehnya. Begitu permainan selesai, Fero langsung mengusir teman-temannya dengan geram. Keberadaan Adimas sudah tidak terlihat saat pria itu memasuki rumah. Alih-alih, ia bertemu dengan sang ayah. Seketika Fero terpikir untuk menanyakan sesuatu. “Bagaimana Ayah bisa bertemu dengan Adimas?” tanya Fero. Kedua alisnya sedikit bertaut, tampak masih kesal dengan hasil pertandingan sebelumnya. “Bukan Ayah yang membawanya, tetapi Bella. Katanya, mantan Adimas menikah dengan David. Karena itu, Bella memutuskan untuk menawarkan Adimas. Lagi pula, dia adalah pria miskin, jadi pasti mudah untuk dikelabui. Dia juga tidak akan membongkar rahasia keluarga ini semudah itu."Fero mengernyitkan alisnya dan rahangnya semakin mengeras saat mengingat wajah itu. “Tapi, makin lama dia terlihat aneh,” Markus menambahkan. “Aneh bagaimana?” tan
"Hati-hati terjatuh, Karina!" Adimas memperingatkan. Malam itu, tidak seperti biasanya, Karina tidak betah di kamar. Tubuh Adimas terasa remuk karena bekerja seharian, tetapi dia mengalah dan meluangkan waktu untuk mengajak Karina mengelilingi halaman luas kediaman keluarga Covey itu. Karina tampak begitu senang. Berlarian ke sana kemari dan menghirup udara ringan di malam hari, sementara Adimas hanya berjalan santai di belakangnya sambil terus memperhatikan gadis itu. Ada sebuah gazebo tertutup yang dibangun di halaman kediaman Covey yang luas. Gunanya untuk menyimpan perkakas kebun. Karina tengah berlarian di sekitarnya saat mendengar suara aneh dari salah satu gazebo. Lampu di gazebo itu padam, tetapi Karina bisa mendengar suara itu dengan amat jelas. Suara yang terdengar aneh dan janggal, tetapi sulit untuk dideskripsikan. "Mau ke mana Karina?" Adimas bertanya saat melihat Karina tampak mendekati salah satu gazebo. "Kau yakin tidak takut ketahuan, Sayang?" Terdengar gumam lir
“Apa maksudmu?!” tanya Markus dengan tidak mengerti. Begitu pula Siska yang terlihat heran seketika. “Anak konglomerat? Siapa? Adimas?” Siska ikut menghujani Fero dengan berbagai pertanyaan. Raut wajahnya terlihat tidak percaya meski sebagian dirinya juga nyaris mempercayai hal itu. Ada beberapa hal dalam diri Adimas yang terasa janggal.Fero mengabaikan komentar keduanya dan dengan cepat memanggil satpam yang berjaga di rumah mereka. “Satpam!!” serunya. Salah satu satpam bernama Garry datang. Hanya dia seorang yang berlari menghampiri Fero. “Di mana Jayson?” Fero bertanya. Kediaman mereka memang dijaga oleh dua satpam dan Fero berharap keduanya langsung datang saat dipanggil. Namun, dengan ragu, Garry melirik ke arah Markus. Seakan mencoba mencari jawaban yang tepat. “Di--dia sedang sibuk, Tuan,” jawab Garry, berbohong. Fero mengernyitkan alis. Sedikit tidak terima dengan alasan tersebut. Namun, dia tidak ingin memikirkan lebih lanjut. “Cepat! Pergi cari dan ikutin Adimas! Ja