Aku membuka mataku, di sampingku ada Naka yang masih terpejam. Aku langsung duduk, selimut yang menutupi tubuhku hingga dadaku melorot, aku membolakan mataku kaget.
Aku berteriak kencang, "Aaah!"Mata Naka langsung terbuka, pemuda itu langsung duduk di sampingku dan berkata, "Hei, ada apa, Alice?"Aku menatapnya, badanku bergetar tak karuan. Aku berkata terbata-bata, "N-naka a-apa yang sudah kita l-lakukan?"Naka langsung menutupi tubuh telanjangku dengan selimut. Pemuda itu mengacak-acak rambutnya, napasnya berembus berat. Ia memegang bahuku pelan, "Alice, tidak apa-apa, kamu percaya sama aku, 'kan?"Aku menggeleng, aku bingung tak tahu harus bersikap apa, "N-naka, aku tidak tahu harus apa? A-aku bingung, aku tidak tahu ...."Naka membekap mulutku dengan meletakkan tangannya di bibirku, Naka menggeleng pelan, "Kamu percaya sama aku, 'kan, Alice?"Aku langsung memeluk Naka erat, aku berbisik di telinganya, "Naka aku tidak tahu, tapi aku berusWajah Naka yang begitu ceria membuat hatiku bergetar hebat. Naka sedang memasak makanan untukku, gerakkan tangannya begitu seksi, sial aku ingin memeluknya.Aku mendekati Naka yang sedang menggoreng nasi, tangannya begitu lihai bak chef handal kelas dunia. Aku meneguk ludahku begitu kakiku berhenti tepat di belakangnya, Naka membalikkan badannya. Tangannya secara otomatis mengelus puncak kepalaku dengan lembut.Aku menatapnya senang, Naka tertawa menampilkan deretan gigi putihnya. Aku berkata, "Naka, kamu terlihat seksi,"Sedang bibir tipis Naka tersungging manis, aku memegang wajahnya dan kembali berseru, "Kenapa wajahmu sangat indah, Naka!"Naka menggelengkan kepalanya, "Aku memang tampan, sayang. Sudahlah, duduk di sana sebentar lagi nasi goreng akan segera tiba di depanmu."Naka kembali mengaduk nasi di atas wajan panas, aku belum beranjak pergi. Tanganku melingkari tubuhnya, kepalaku menyenderkan pada punggung lebarnya. Aku berseru pelan, "Tempat paling
Aku memegangi kepalaku yang pening, pandanganku masih menghadap pada ponsel berharap ponsel Naka segera aktif. Aku begitu khawatir pada pemuda itu dan sedikit mengesampingkan rasa peningku.Aku menghembuskan napas kasarku, sampai sekarang ponsel Naka belum juga bisa dihubungi. Sebenarnya, ada apa dengan pemuda itu? Atau jika memang tidak ingin diganggu kebersamaan dengan teman-temannya, hubungi aku, beri tahu aku agar aku tidak perlu menunggu tanpa kepastian seperti ini.Rasanya benar-benar kesal campur khawatir. Aku kembali mengirimi pemuda itu pesan singkat, dan lagi-lagi pesan itu tidak terkirim karena Naka menonaktifkan ponselnya.Aku menyerah, aku menghempaskan ponsel di atas kasur. Badanku pun segera kurebahkan, mataku mulai kupejamkan dengan paksa. Rasa pening di kepalaku tak bisa kukesampingkan lagi, kepalaku tak sekuat itu.Namun tak bertahan lama, aku kembali memandangi ponsel. Aku tak bisa tenang, hatiku, pikiranku selalu saja tertuju pada Naka. Apa yang sedan
Aku membuka mataku, aroma makanan langsung tercium di hidungku. Aku beranjak dari tempat tidur, mendatangi sumber bau makanan. Dari harumnya saja, sudah pasti makanannya sangatlah lezat.Aku duduk dengan santai menanti makanan tersedia di meja makan. Naka yang memasak makanan tak menyadari kehadiranku di meja makan. Begitu makanan selesai di masak, pemuda itu berseru, “Astaga, sejak kapan kamu di sini, Alice?”Aku terbahak saja, wajah Naka sedikit lucu nan menggemaskan hingga aku tak tahan untuk tidak mencubitnya.Aku mendatangi pemuda itu, tanganku dengan cekatan mengambil makanan yang Naka masak, tak lupa kecupan di pipinya aku berikan. Naka hanya terkekeh gemas, pemuda itu berjalan pelan di belakangku.“Apa kamu sudah tidak pusing? Demammu sudah turun, ‘kan?” aku mengangguk santai.Naka berdehem, aku mengalihkan tatapanku. “Ada apa, Naka?” seruku.Naka menggeleng, senyuman di bibirnya masih saja m
Pandanganku masih terfokus pada Alma dan Dean di depan sana, hingga tanpa sadar aku mengabaikan Naka yang berada di sampingku.Badanku bergetar hebat saat mataku tak sengaja bertatapan dengan mata Dean, bayangan tentang hubungan gelapku bersamanya menari-nari di kepalaku tanpa bisa kucegah. Aku memejamkan mataku berusaha menghapus berbagai bayangan itu.Tangan kucengkeramkan dengan kuat, dadaku naik turun, napasku berhembus tak beraturan.“Alice ….” Aku membuka mataku saat suara Naka masuk melewati gendang telingaku.Aku memandangnya dengan mata berkaca-kaca, Naka berucap pelan, “Astaga, Alice tidak usah memikirkan tentang hadiah lagi. Mama tidak akan mempermasakahkan itu, percayalah.”Aku mengangguk samar, “I-iya, Naka ….”Naka membawa lenganku pelan, pemuda itu berbicara pelan sembari berjalan, “Mari menemui mama dulu, setelah itu kita bisa bebas menikmati pesta malam ini, setuju?&rdq
Rina membawaku duduk bersamanya, wanita itu memperkenalkanku pada teman-teman sosialitanya. Suara Rina begitu bangga memperkenalkanku membuat hatiku menghangat karena diterima di keluarga Naka. Aku tak mengira ini terjadi.Aku menatap Rina dari samping, mungkinkah jika wanita ini melupakan masalahku dengan Dean? Atau justru Rina tidak mengetahui itu?Pikiran itu membuat badanku bergetar, aku menoleh dan menganggukkan kepala begitu Rina menanyakan sesuatu."Nama kamu Alice, 'kan, sayang?"Rina tersenyum membelai kepalaku lembut, "Baiklah, coba ceritakan bagaimana pertemuan pertama kalian? Bagaimana Naka mengajakmu berkencan, sayang?"Aku menatap Rina kaku, sedang Rina mendesakku untuk menjawab. Aku tersenyum tipis dan berkata, "Alice tidak berkencan dengan Naka, tante ...."Rina membelalakkan matanya kaget dan langsung berkata, "Astaga, jadi Naka tidak memberikan kamu kepastian, ya?"Aku menggeleng tersenyum tipis, "Alice dan Naka hanya berteman, ta
Suasana menjadi begitu hening setelah perkataan dari Rina. Aku menghembuskan napas beratku, mataku masih memandang ujung sepatu yang kukenakan."Bersihkan wajahmu sebelum menemui Naka! Dengar, jangan pernah membahas ini bersamanya, kamu mengerti?" Aku mengangguk samar.Rina dan Alma telah pergi di hadapanku. Badanku merosot ke lantai, suara tangisan yang kutahan sejak tadi keluar. Aku memukuli dadaku, rasanya aku sangat bodoh. Terjebak ke dalam hubungan percintaan yang begitu rumit, sulit untuk dideskripsikan.Menghirup udara saja begitu sulit rasanya, dadaku dipenuhi dengan rasa sesak. Rasa bersalah dan membenci diri sendiri begitu mendominasi. Sulit untuk dikendalikan, bahkan aku tak bisa mengendalikan perasaan ini.Aku melirik ponselku yang bergetar, nama Naka terpampang di sana. Aku menghapus sisa-sisa air mata di wajahku segera, menetralkan suara sebaik mungkin dan segera beranjak menghampiri pemuda itu.Begitu tiba di sana, aku hanya menunduk dan berpu
Aku memandangi Naka dari samping, pemuda itu sedang fokus menyetir mobil. Kami sedang dalam perjalanan menuju kampus.Dilihat dari samping sekalipun, wajah Naka tetap saja tampan, hatiku kembali berdebar. Pandanganku turun menuju tangan kami yang saling bertautan, sekarang aku yakin, perasaanku telah sempurna. Tak ada keraguan lagi di dalam hatiku, aku begitu mencinta pemuda di sampingku.Aku menatapnya dengan pandangan bahagia, entah bagaimana kehidupanku setelah ini, untuk sekarang aku ingin selalu bersama Naka, menghabiskan sisa waktuku bersamanya. Saling berpelukan, berciuman, dan melakukan kegiatan yang lebih intim.Karena ... aku sudah mencintanya terlalu dalam."Ada apa, Alice?" ucapan Naka membuatku tersadar bahwa sedari tadi aku memandanginya terus menerus.Aku tersenyum hangat, "Tidak ada ....""Ada apa dengan senyumanmu, hei?" aku menggeleng dengan diam, memilih untuk tidak menjawabnya.Naka terkekeh, mobilnya ia tepikan, pemuda itu menarik tengkukku
Naka mengalihkan pandangannya, ia meantapku dengan pandangan hangatnya. Tangannya yang berada di pundakku ia lepaskan. Aku menatap itu dengan perasaan yang sesak.Kemudian Naka berkata dengan sedikit kekehan, "Tidak, kami hanya berteman. Iya, 'kan, Alice?"Aku menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca, walau aku dari awal sadar jika kalimat itulah yang akan ia katakan, namun tetap saja mendengarnya langsung dari mulut Naka membuat hatiku nyeri.Aku mengangguk patah-patah, terkekeh pelan menutupi perasaanku yang patah berkeping-keping. "Iya, kami hanya berteman, Rio ...." Ujarku membenarkan.Naka terkekeh, ia memegang tanganku melanjutkan perjalanan menuju kelas. Naka berkata pelan, "Kenapa semua orang menganggap kalau kita berkencan? Bukankah itu terlalu berlebihan, Alice?"Aku lagi-lagi hanya mengangguk, wajahku kubuat seceria mungkin agar Naka tak menyadari hatiku yang sakit mendengar perkataannya."Kamu benar, ini terlalu berlebihan ...."Naka menangguk semang