Aku memegangi kepalaku yang pening, pandanganku masih menghadap pada ponsel berharap ponsel Naka segera aktif. Aku begitu khawatir pada pemuda itu dan sedikit mengesampingkan rasa peningku.
Aku menghembuskan napas kasarku, sampai sekarang ponsel Naka belum juga bisa dihubungi. Sebenarnya, ada apa dengan pemuda itu? Atau jika memang tidak ingin diganggu kebersamaan dengan teman-temannya, hubungi aku, beri tahu aku agar aku tidak perlu menunggu tanpa kepastian seperti ini.Rasanya benar-benar kesal campur khawatir. Aku kembali mengirimi pemuda itu pesan singkat, dan lagi-lagi pesan itu tidak terkirim karena Naka menonaktifkan ponselnya.Aku menyerah, aku menghempaskan ponsel di atas kasur. Badanku pun segera kurebahkan, mataku mulai kupejamkan dengan paksa. Rasa pening di kepalaku tak bisa kukesampingkan lagi, kepalaku tak sekuat itu.Namun tak bertahan lama, aku kembali memandangi ponsel. Aku tak bisa tenang, hatiku, pikiranku selalu saja tertuju pada Naka. Apa yang sedanAku membuka mataku, aroma makanan langsung tercium di hidungku. Aku beranjak dari tempat tidur, mendatangi sumber bau makanan. Dari harumnya saja, sudah pasti makanannya sangatlah lezat.Aku duduk dengan santai menanti makanan tersedia di meja makan. Naka yang memasak makanan tak menyadari kehadiranku di meja makan. Begitu makanan selesai di masak, pemuda itu berseru, “Astaga, sejak kapan kamu di sini, Alice?”Aku terbahak saja, wajah Naka sedikit lucu nan menggemaskan hingga aku tak tahan untuk tidak mencubitnya.Aku mendatangi pemuda itu, tanganku dengan cekatan mengambil makanan yang Naka masak, tak lupa kecupan di pipinya aku berikan. Naka hanya terkekeh gemas, pemuda itu berjalan pelan di belakangku.“Apa kamu sudah tidak pusing? Demammu sudah turun, ‘kan?” aku mengangguk santai.Naka berdehem, aku mengalihkan tatapanku. “Ada apa, Naka?” seruku.Naka menggeleng, senyuman di bibirnya masih saja m
Pandanganku masih terfokus pada Alma dan Dean di depan sana, hingga tanpa sadar aku mengabaikan Naka yang berada di sampingku.Badanku bergetar hebat saat mataku tak sengaja bertatapan dengan mata Dean, bayangan tentang hubungan gelapku bersamanya menari-nari di kepalaku tanpa bisa kucegah. Aku memejamkan mataku berusaha menghapus berbagai bayangan itu.Tangan kucengkeramkan dengan kuat, dadaku naik turun, napasku berhembus tak beraturan.“Alice ….” Aku membuka mataku saat suara Naka masuk melewati gendang telingaku.Aku memandangnya dengan mata berkaca-kaca, Naka berucap pelan, “Astaga, Alice tidak usah memikirkan tentang hadiah lagi. Mama tidak akan mempermasakahkan itu, percayalah.”Aku mengangguk samar, “I-iya, Naka ….”Naka membawa lenganku pelan, pemuda itu berbicara pelan sembari berjalan, “Mari menemui mama dulu, setelah itu kita bisa bebas menikmati pesta malam ini, setuju?&rdq
Rina membawaku duduk bersamanya, wanita itu memperkenalkanku pada teman-teman sosialitanya. Suara Rina begitu bangga memperkenalkanku membuat hatiku menghangat karena diterima di keluarga Naka. Aku tak mengira ini terjadi.Aku menatap Rina dari samping, mungkinkah jika wanita ini melupakan masalahku dengan Dean? Atau justru Rina tidak mengetahui itu?Pikiran itu membuat badanku bergetar, aku menoleh dan menganggukkan kepala begitu Rina menanyakan sesuatu."Nama kamu Alice, 'kan, sayang?"Rina tersenyum membelai kepalaku lembut, "Baiklah, coba ceritakan bagaimana pertemuan pertama kalian? Bagaimana Naka mengajakmu berkencan, sayang?"Aku menatap Rina kaku, sedang Rina mendesakku untuk menjawab. Aku tersenyum tipis dan berkata, "Alice tidak berkencan dengan Naka, tante ...."Rina membelalakkan matanya kaget dan langsung berkata, "Astaga, jadi Naka tidak memberikan kamu kepastian, ya?"Aku menggeleng tersenyum tipis, "Alice dan Naka hanya berteman, ta
Suasana menjadi begitu hening setelah perkataan dari Rina. Aku menghembuskan napas beratku, mataku masih memandang ujung sepatu yang kukenakan."Bersihkan wajahmu sebelum menemui Naka! Dengar, jangan pernah membahas ini bersamanya, kamu mengerti?" Aku mengangguk samar.Rina dan Alma telah pergi di hadapanku. Badanku merosot ke lantai, suara tangisan yang kutahan sejak tadi keluar. Aku memukuli dadaku, rasanya aku sangat bodoh. Terjebak ke dalam hubungan percintaan yang begitu rumit, sulit untuk dideskripsikan.Menghirup udara saja begitu sulit rasanya, dadaku dipenuhi dengan rasa sesak. Rasa bersalah dan membenci diri sendiri begitu mendominasi. Sulit untuk dikendalikan, bahkan aku tak bisa mengendalikan perasaan ini.Aku melirik ponselku yang bergetar, nama Naka terpampang di sana. Aku menghapus sisa-sisa air mata di wajahku segera, menetralkan suara sebaik mungkin dan segera beranjak menghampiri pemuda itu.Begitu tiba di sana, aku hanya menunduk dan berpu
Aku memandangi Naka dari samping, pemuda itu sedang fokus menyetir mobil. Kami sedang dalam perjalanan menuju kampus.Dilihat dari samping sekalipun, wajah Naka tetap saja tampan, hatiku kembali berdebar. Pandanganku turun menuju tangan kami yang saling bertautan, sekarang aku yakin, perasaanku telah sempurna. Tak ada keraguan lagi di dalam hatiku, aku begitu mencinta pemuda di sampingku.Aku menatapnya dengan pandangan bahagia, entah bagaimana kehidupanku setelah ini, untuk sekarang aku ingin selalu bersama Naka, menghabiskan sisa waktuku bersamanya. Saling berpelukan, berciuman, dan melakukan kegiatan yang lebih intim.Karena ... aku sudah mencintanya terlalu dalam."Ada apa, Alice?" ucapan Naka membuatku tersadar bahwa sedari tadi aku memandanginya terus menerus.Aku tersenyum hangat, "Tidak ada ....""Ada apa dengan senyumanmu, hei?" aku menggeleng dengan diam, memilih untuk tidak menjawabnya.Naka terkekeh, mobilnya ia tepikan, pemuda itu menarik tengkukku
Naka mengalihkan pandangannya, ia meantapku dengan pandangan hangatnya. Tangannya yang berada di pundakku ia lepaskan. Aku menatap itu dengan perasaan yang sesak.Kemudian Naka berkata dengan sedikit kekehan, "Tidak, kami hanya berteman. Iya, 'kan, Alice?"Aku menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca, walau aku dari awal sadar jika kalimat itulah yang akan ia katakan, namun tetap saja mendengarnya langsung dari mulut Naka membuat hatiku nyeri.Aku mengangguk patah-patah, terkekeh pelan menutupi perasaanku yang patah berkeping-keping. "Iya, kami hanya berteman, Rio ...." Ujarku membenarkan.Naka terkekeh, ia memegang tanganku melanjutkan perjalanan menuju kelas. Naka berkata pelan, "Kenapa semua orang menganggap kalau kita berkencan? Bukankah itu terlalu berlebihan, Alice?"Aku lagi-lagi hanya mengangguk, wajahku kubuat seceria mungkin agar Naka tak menyadari hatiku yang sakit mendengar perkataannya."Kamu benar, ini terlalu berlebihan ...."Naka menangguk semang
Pancaran kemarahan dapat kutangkat dari mata Naka, aku membenahi posisiku dan berdiri dengan tegap.Naka mengeratkan tangannya pada tubuhku. Ia melingkari pinggangku dengan tangannya, terkesan sedikit posesif. Aku menunduk menatap ujung sepatuku, tak berani mendongakkan wajahku walau sejenak."Ada apa ini?" Diva datang dan berbicara memecahkan raut ketegangan.Naka masih diam, ia menatap Rio tajam. Sedang Rio terkekeh pelan, ia berucap santai, "Tidak, tadi Alice hampir menabrakku dan aku hanya membantunya. Itu saja,"Diva beralih menatap Naka meminta kebenaran. Naka tak mengalihkan pandangannya, ia masih menatap Rio dengan raut tak suka, terlihat sangat kentara sekali."Jangan menyentuh Alice!"Rio menatap Naka tidak mengerti, "Apa maksudmu? Bro, aku hanya membantunya yang hampir terjatuh, apa itu salah?""Tentu saja salah, kamu menyentuh Alice dan itu kesalahanmu!" Naka menjawab dengan marah."Maaf, tapi aku merasa tidak melakukan kesalahan. Bro,
Aku sedang duduk sembari menikmati susu panas. Mataku memandang televisi yang sedang menampilkan film romantis.Bibirku tersenyum televisi menampilkan adegan romantis, aku jadi membayangkan setiap interaksiku bersama Naka. Bibirku tersungging senyuman hangat begitu kepalaku membayangkan interaksi tersebut.Aku terpekik kaget begitu tangan lembut menutupi mataku. Tanganku mulai meraba-raba ujung tangannya dengan senyuman yang merekah. Aku berkata semangat, "Naka, ada apa?"Naka berbisik pelan, "Mau ikut bersamaku, hm?"Wajahnya mulai digesek-gesekkan disepanjang batang leherku. Aku menyusuri pahanya dan berkata, "Kamu mau kemana?"Naka menarik tangannya, ia duduk di sampingku dan berkata, "Makan malam keluarga, ayo ikut, sayang ...."Aku menatapnya, ragu-ragu aku berkata, "T-tapi ...."Naka menggelengkan kepalanya, ia memeluk badanku, "Ayolah, aku ingin kamu bisa dekat dengan keluargaku. Kamu mau, ya, hm?"Aku membelai puncak kepalanya le