Rasanya duniaku selalu saja dilanda kesialan. Seperti tak bisa menghirup ketenangan saja, selalu saja kesialan datang menghampiriku tanpa ada undangan sebelumnya, tanpa ada peringatan terlebih dahulu.
Aku menatap pria dewasa yang ada di depanku dengan sendu. Pria ini adalah salah satu dosenku, umurnya sudah menginjak kepala tiga dan sudah memiliki seorang putra tampan dan pintar. Aku pernah bertemu dengan anak kecil itu dan rasanya sangat menyenangkan.
Jemari kekar itu melingkari pinggangku yang ramping di tengah koridor yang sepi, aku mendongak dan memandangi dosenku dengan wajah yang memelas. Aku berkata dengan pelan, “Pak, tolong lepas … saya adalah murid bapak ….”
Namun, pria dewasa ini tak memberikan respon apapun, justru lebih mendekatiku dan mengelus wajahku dengan tak tahu malu. “Saya tahu, Alice tapi kamu terlalu cantik untuk dilepaskan begitu saja. Andai saya belum menikah, saya akan memperistri kamu, sayang.”
Aku memejamkan mata merasa muak, tak tersanjung sedikit pun mendengarkan respon dari Dosen ini. Hatiku sangat menyesal karena berani berjalan di tengah suasana kampus yang sudah sepi. Dan sialnya, aku harus bertemu dengan Dosen Tua ini yang menjadi kekasih gelapku.
“Pak, tolong … saya harus pulang sekarang.” Ucapku kembali dengan nada ketakutan.
Dean menatapku dengan mata mesumnya, ia berucap dengan santai dan menampilkan seringaian mesum di bibirnya, “Ke Hotel dulu ya, Alice. Kamu tahu ‘kan saya sudah bosan jika berhubungan badan dengan istri saya, rasanya tak senikmat dulu setelah bertemu dengan kamu, Alice. Saya suka badan kamu, sayang.”
“Pak, saya mohon … tolong lepaskan saya kali ini. Saya harus pulang, Pak Dean ….” Ucapku kembali. Aku menatap ujung sepatuku, rasanya tak mungkin jika aku dilepaskan oleh Dean. Aku pasti akan berakhir di Hotel dan disetubuhi dengan kasar bak hewan liar. Lalu paginya, saldo rekeningku akan terisi penuh.
“Ck, kenapa kamu nolak, Alice? Uang kamu pasti sudah habis, ‘kan, sayang? Saya sudah ngasih kamu rumah buat kamu tinggali jadi tidak usah tinggal di kosan murah itu lagi. Kamu dengar itu, Alice?” aku hanya menjawab dengan gelengan kepala.
“Pak Dean, saya nggak bisa hidup kayak gini lagi. Saya akan kembalikan semua uang bapak, tapi tolong lepaskan saya, Pak Dean. Saya capek ….”
Dean buru-buru memeriksa tubuhku, namun aku menepisnya dengan kasar. Aku berkata pelan, “Lepasin saya, Pak Dean ….”
Beliau menggelengkan kepalanya dan berkata pelan, “Kenapa kamu capek, Alice? Ayo istirahat, saya tidak akan melakukannya jika kamu capek, tapi, tolong jangan pergi, Alice. Saya sayang kamu …”
Aku tertawa sinis memandang wajahnya, “Saya capek selalu berhubungan dengan bapak. Dan saya nyesal harus terikat dengan Anda, Pak Dean.”
Aku kembali berkata, “Ayo akhiri semuanya, Pak Dean. Saya lelah ….”
Tatapan Dean berubah tajam, beliau melepaskan cekalan dari tubuhku dan meninggalkanku begitu saja. Tanpa kata, tanpa usapan-usapan lembut di kepalaku seperti sebelum-sebelumnya.
Aku memandangi tubuh Dean yang kian menjauh dan menghilang dari pandanganku. Aku menunduk, jemari tanganku meremas ujung kemeja yang kukenakan. Air mataku mengalir begitu saja, pelan-pelan aku melangkahkan kakiku dan pergi menuju tempat tinggalku.
Di sana, aku memeluk tubuhku sendiri. Rasa kehilangan tetap ada di dalam hatiku begitu Dean benar-benar meninggalkanku. Aku masih menangisi beliau, kenangan yang aku dan Dean ciptakan tidak sedikit. Kami sering bersama dan menghabiskan waktu berdua di Ranjang. Menghangatkan tubuh satu sama lain.
Awalnya aku memang dipaksa oleh Dean saat kali pertama aku masuk di kelas yang beliau ajar atau sebagai dosen pembimbing di Organisasi yang kuikuti. Namun, rayuan manis dan sentuhan lembut yang beliau berikan padaku membuatku terbuai dan akhirnya menikmati setiap sentuhannya.
Aku tahu jika Dean sudah memiliki istri yang cantik dan seorang putra yang tampan. Tak jarang, putra Dean yang bernama Kenzo pun ikut bersama saat kami kencan di Pantai.
Awalnya aku menyukai kebersamaan itu, namun tidak lagi saat Alma—istri dari Dean—menemuiku dan mengancam akan menyebarkan identitasku ke publik jika tak mengakhiri hubunganku dengan Dean.
Aku tak akan mengacaukan masa depanku demi Dean saja, namun di hatiku yang paling dalam perasaan bersalah hadir. Saat pertemuanku dengan istri Dean, Alma memang terlihat sedikit ketus padaku, namun matanya tak bisa berbohong jika wanita itu sedang terluka.
Aku seorang wanita, mengapa aku tak bisa memahami perasaan sesama wanita? Aku bahkan menikmati setiap sentuhan dari Dean padahal aku tahu jika pria yang itu sudah memiliki keluarga. Aku sesungguhnya … adalah pelacur yang sebenarnya.
Di sisi lain … bagaimana denganku. Maksudku, bagamana dengan janin yang sedang kukandung? Haruskah aku membahasnya bersama Dean?
Sepertinya hukum alam tengah bekerja untuk menghukum para penjahat. Dan kali ini, giliranku telah tiba.
Aku membuka pintu Supermarket yang jaraknya tak jauh dari tempat tinggalku. Perutku berbunyi keroncongan pagi ini, aku akan membeli beberapa makanan ringan yang bisa mengganjal isi perutku agar bisa beraktivitas dengan baik.Setelah selesai memilah makanan ringan, segera aku berjalan menuju kasir untuk menyelesaikan proses transaksi. Aku merogoh tas yang kubawa untuk mencari dompetku, setelah menemukan aku menyerahkan kartu untuk membayar belanjaanku.“Mohon maaf, kak kartunya tidak bisa dipakai.” Ucap seorang kasir yang melayaniku.Aku tersenyum malu dan kembali menyerahkan kartu yang lain, namun lagi-lagi kasir kembali berbicara, “Sepertinya kartu ini juga tidak bisa dipakai, Kak.”Jantungku mu
Aku duduk di kursiku dan tak kusangka Naka ikut duduk di sampingku. Pemuda ini berkata tepat di telingaku, “Gimana kalo kita bener-bener pacaran?”Aku menggeleng sambil tertawa pelan, “Apa sih! Kita aja nggak kenal, tau!”Naka tertawa mendengar ucapanku. Ia kembali mendekati telingaku dan membisikkan sesuatu di sana, “Tapi, aku kenal kamu udah lama, Alice.”Aku menatap wajahnya yang masih menampilkan senyuman. “Kamu kenal aku? Gimana bisa?” tanyaku heran.Naka hendak menjawab, namun Dosen sudah tiba di kelas. Tetap saja Naka tak memperdulikan pembicaraan Dosen di depan. Naka hanya memandangiku saja dan berkata pelan, “Kamu gadis tercantik di Fakultas. Siapa yang nggak kenal kamu, Alice?”Aku tertawa mendengar godaan dari Naka. “Astaga, masih banyak yang lebih cantik dari aku, Naka.”Naka menjawab lagi, tak lupa senyuman menggodanya ia tampilkan di bibirnya, “Tapi,
Aku dapat merasakan seseorang ada di hadapanku. Aku mendongak. Benar saja, Naka sedang berdiri menjulang di hadapanku. Aku membenahi posisiku dan tersenyum begitu pemuda ini duduk di hadapnku.Naka berbicara dengan pelan, “Tugas kamu udah selesai, Alice? Butuh bantuan?”Aku menjawab ragu-ragu, “Emh, udah, Naka,” setelah itu aku diam dan mulai membereskan barang-barangku.“Kata Diva kamu mau ikut main nanti malam? Mau berangkat bareng aku, Alice?” ucap Naka tiba-tiba.Aku menatapnya, “Diva ngomong gitu, ya? Sebenarnya ….” Aku diam. aku kembali mempertimbangan perkataan Diva yang mengajakku untuk bergabung nanti malam. Namun, bukannya aku tak mau, aku tak boleh boros
Aku menjauhkan tangan yang menutupi wajahku, aku tak memikirkan apapun lagi, karena fokusku sudah hancur akibat perutku yang meronta-ronta minta diisi. Aku menganggukkan kepalaku saja, dan senyuman Naka merekah dengan sempurna.Langsung saja Naka membawaku ke Kedai Makan dekat kampus. Setelah makanan tiba di hadapanku, aku menyantapnya langsung dengan cepat. Seketika, aku melupakan kehadiran Naka, aku tak lagi memikirkan apakah Naka akan merasa jijik dengan caraku makan saat ini. Benar-benar tak mempedulikan itu lagi.Setelah makanan yang ada di dalam piringku bersih tak bersisa, aku tak sengaja bersendawa dengan kencang. Cepat-cepat aku menutupi mulutku dan memukul-mukul kepalaku karena begitu tak memiliki etika. Aku berkata pelan sambil menyembunyikan wajahku, “Naka, maaf … kamu pasti jijik sama aku, ya?”
Tangan Naka mengarah ke kepalaku dan mengacak rambutku dengan gemasnya. Aku biarkan saja walaupun jantungku berdetak di atas rata-rata dengan perlakuan Naka barusan. Naka berbicara lagi, “Jangan takut, Alice aku pasti bantu kamu, kok!” Naka menampilkan senyuman yang menawan.Wajahku cukup memerah mendapatkan perlakuan seperti itu. Jantungku berdegub dengan kencangnya, aku dan Naka saling memandangi satu sama lain, lalu tawa Naka yang menggelegar memutuskan tatapan diantara kami.Aku menunduk, rasanya sangat malu. Wajahku pasti sudah memerah saat ini. Entah mengapa saat bersama Naka suasana hatiku selalu saja bahagia.Suara pintu terbuka mengalihkan perhatianku. Dean berada di sana, ia mendekati Kenzo dan mengendong anak lelaki itu lalu mengecup pipinya.Aku tanpa sadar memandangi Dean terlalu intens membuat Naka menyadarinya. Aku tersenyum tak enak dan menatap Dean dengan canggung.“Kamu ngerasa aneh ya liat Pak Dean kayak gitu sa
Pintu kamar inapku terbuka, aku menatap temanku yang membuka pintu tersebut. Aku tersenyum padanya, namun Diva langsung saja memelukku dengan erat. Diva bahkan meneteskan air matanya melihat kondisiku sekarang.Aku hanya bisa tersenyum, aku tersenyum karena masih Diva mengkhawatirkanku. Di sela-sela tangisannya yang belum berhenti, Diva memukul lenganku pelan, ia berbicara dengan nada jengkel khasnya, “Siapa yang bikin kamu kayak gini, Alice? Siapa pelaku yang bikin kamu hamil, hah?”Pikiranku langsung tertuju pada Dean, tentu saja tak mungkin aku mengatakan pada Diva jika Dosen yang bernama Deanlah ayah dari janin yang sedang kukandung. Aku tak bisa membayangkan bagaimana reaksi yang akan Diva tunjukkan, atau bagaimana Naka bisa memandangku sebagai gadis penghancur rumah tangga orang lain atau sebagai gadis yang baik seperti yang Naka bilang beberapa waktu yang lalu.Aku tersenyum tipis, tak menjawab pertanyaannya, hanya diam saja yang bisa kulakuka
Hubunganku dengan Naka menjadi lebih dekat karena kami tinggal satu atap. Aku benar-benar merasa gila karena berdekatan dengan Naka membuat wajahku selalu saja memanas, karena Naka benar-benar tampan bak pangeran di negeri dongeng, tidak sejujurnya Naka lebih tampan dari pangeran manapun.Mataku menatap Naka yang keluar dari kamarnya, pemuda itu melemparkan senyuman manisnya padaku yang kusambut dengan senyum malu-malu.“Pagi, Alice. Kamu kelihatan lebih sehat dan tambah cantik aja, hehe.” Aku menundukkan kepalaku mendengarkan godaan receh dari Naka, walau aku tahu jika itu hanyalah godaan receh, tetapi aku begitu menyukainya.“Pagi, Naka!” jawabku pelan. Aku menuangkan segelas susu dan memberikannya pada Naka.“Minum dulu, Naka!” segelas susu itu disambut Naka dengan senyuman indah bagai bunga mawar yang mekar di pagi hari. Sial, aku selalu saja terpesona akan senyuman indah itu.Naka meletakkan gelas begitu sus
Minuman yang Naka tuangkan sudah habis kutegak. Aku hendak mengambil sekaleng soda, jaraknya cukup jauh dari tempatku. Melihat aku kesulitan, Naka berinisiatif mengambil soda itu untukku.Aku menunggu Naka membukakan kaleng soda, namun Naka tak memberikannya padaku. Naka meminumnya, “Aku mau soda, Naka.”Naka memandangiku kemudian pemuda itu menggeleng singkat, “Kamu baru keluar dari rumah sakit, Alice. Nggak boleh minum soda dulu, okay?”Aku memanyunkan bibirku tanda tak setuju, “Ayolah, aku lagi pengen minum soda, Naka,”Naka tetap tidak memberikan soda walau seteguk saja, “Tidak, Alice kamu masih sakit, nggak boleh minum soda dulu.”Mendengar jawaban dari Naka, bibirku secara otomatis merengut. Aku tak lagi berbicara, aku menjadi pendnegar saja saat teman-teman lainnya mulai berbicara ringan satu sama lain.“Teman-teman, ayo kita memainkan permainan yang seru!” ucap Diva dengan s