Tangan Naka mengarah ke kepalaku dan mengacak rambutku dengan gemasnya. Aku biarkan saja walaupun jantungku berdetak di atas rata-rata dengan perlakuan Naka barusan. Naka berbicara lagi, “Jangan takut, Alice aku pasti bantu kamu, kok!” Naka menampilkan senyuman yang menawan.
Wajahku cukup memerah mendapatkan perlakuan seperti itu. Jantungku berdegub dengan kencangnya, aku dan Naka saling memandangi satu sama lain, lalu tawa Naka yang menggelegar memutuskan tatapan diantara kami.
Aku menunduk, rasanya sangat malu. Wajahku pasti sudah memerah saat ini. Entah mengapa saat bersama Naka suasana hatiku selalu saja bahagia.
Suara pintu terbuka mengalihkan perhatianku. Dean berada di sana, ia mendekati Kenzo dan mengendong anak lelaki itu lalu mengecup pipinya.
Aku tanpa sadar memandangi Dean terlalu intens membuat Naka menyadarinya. Aku tersenyum tak enak dan menatap Dean dengan canggung.
“Kamu ngerasa aneh ya liat Pak Dean kayak gitu sama Ken. Pak Dean itu sebenernya nggak galak kok, di Kampus Pak Dean cuma sok galak aja.” Ucap Naka santai.
Aku mengangguk dan menyembunyikan wajahku dengan membiarkan rambut menutupi wajahku.
Dean berbicara membuatku menegakkan badanku dan menatapnya, “Jadi Alice yang akan jagain Ken, Naka? Kenapa kamu pinter banget cari pengasuh buat Ken, Haha.”
Badanku meremang mendengar suara tawa Pak Dean dan Naka yang saling menyaut. Aku memandangi mereka bergantian, dan mereka masih tertawa santai. Mereka tak menyadari jika aku merasa tak nyaman dengan gurauan mereka.
Dean sengaja tersenyum menggoda ke arahku, bahkan Naka tak menyadari itu. Aku meremas ujung gaunku, badanku tiba-tiba saja panas dingin.
Dean kembali berkata, “Naka tolong ajak Ken minum ke belakang. Mas mau bicara sebentar dengan Alice.”
Naka dengan santai membawa Ken di gendongannya dan meninggalkanku bersama Dean, hanya berdua. Aku menatap Naka yang juga sedang menatapku. Aku menampilkan wajah keberatan jika ditinggalkan berdua dengan Dean di sini. Naka hanya menampilkan senyum hangat dan meninggalkanku.
Aku menunduk, Dean mendekatiku dan langsung memelukku erat. Ia membisikkan sesuatu padaku, “Kamu pasti akan kembali, Alice. Dan terbukti, kamu sendiri yang datang.”
Aku menjawab dengan suara yang bergetar, “Pak Dean … tolong jangan seperti ini.”
Pak Dean mengecup leherku, badanku kembali meremang, “P-pak D-dean ….”
Pria dewasa ini tak memperdulikan peringatan dariku, jemari Dean memegangi pahaku yang terbuka. Ia mendekati bibirnya dan mengecupi pahaku.
Aku memejamkan mata, aku tak bisa berbohong bahwa aku menyukai segala bentuk sentuhan Dean.
Jemari Dean berjalan naik menuju pusat diriku, namun aku tak bisa membiarkan itu. Aku menepisnya dengan cepat. Aku berdiri dan meninggalkan Dean.
Aku keluar dari rumah Dean sambil menghapus air mataku. Aku menghentikan langkahku saat teringat jika aku belum berpamitan dengan Naka. Apakah pemuda itu akan khawatir padaku?
Aku tak mempedulikan itu lagi dan kembali melanjutkan langkahku. Aku menangisi nasibku yang tak kunjung membaik. Aku menangisi Dean yang selalu menjadikanku tempat pelampiasan nafsunya, aku menangisi diriku karena menyukai setiap sentuhan yang diberikan oleh Dean.
Aku menyeberangi jalan tanpa melihat sekeliling. Badanku terpental jauh saat sebuah mobil menabrak badanku. Rasanya sangat sakit sampai aku tak bisa menahannya lagi. Aku memejamkan mataku, sesaat kemudian aku kembali membuka mataku saat sadar aku harus melindungi perutku.
Sepertinya aku telat, cairan berwarna merah mengalir dari inti tubuhku. Badanku bergetar, aku ketakutan. Aku tak bisa menahan mataku lagi untuk terpejam. Akhirnya, kesadaranku benar-benar hilang.
*****
Indera penciumanku menangkap bau-bau khas rumah sakit. Aku membuka mataku perlahan, pandanganku sedikit memburam dan tak jelas, aku kembali memejamkan mataku berharap pandanganku bisa membaik.
Pintu kamar inapku terbuka, seseorang duduk di samping brangkar yang aku tempati. Tangannya yang lembut menyentuh jemariku, ia beralih mengelus puncak kepalaku dengan lembut.
Orang itu berkata, “Aku pikir kamu nggak punya pacar, Alice. Milik siapa janin yang kamu kandung? Jujur aja, aku khawatir dengan kondisi kamu, gimana reaksi kamu saat tahu janin kamu nggak bisa diselamatkan? Aku takut kalo kamu sedih, Alice ….”
Aku langsung membuka mataku dan langsung dihadapkan dengan Naka, “Maksud kamu apa, Naka? Aku keguguran?”
Terlihat jelas jika Naka terkejut ketika aku langsung membuka mata, ia langsung mengecup tanganku. Aku dapat merasakan jika tanganku basah dengan tetesan air yang berasal dari mata Naka.
Aku sedikit terenyuh, sebegitu khawatirkah Naka padaku?
Aku kembali menanyakan itu, tapi tertunda saat Naka langsung berdiri dan langsung memanggil nama Dokter dengan suara serak khas orang menangis.
Dokter langsung datang dan memeriksaku seolah menunda segala bentuk pertanyaan yang ingin kutanyakan. Aku diam saja dengan pandangan kosong, jadi, janinku sudah tiada?
Bukankah harusnya aku senang? Salah satu bebanku sudah diangkat. Beban? Apa aku menganggap janin itu sebagai beban?
Aku menangis. Dadaku terasa sesak, rasanya aku sangat berdosa karena menganggap anak yang suci sebagai beban.
Dokter yang memeriksaku menjelaskan kondisiku, “Nona tak sadarkan diri sejak sebulan yang lalu. Bagaimana keadaan Nona saat ini? Apa Anda merasa nyeri di kepala?”
Aku menggeleng pelan, “Tidak, Dokter. Tapi, selama itukah mata saya tidak terbuka, Dokter?”
Dokter mengangguk, “Betul, Nona tapi syukurlah jika Nona sudah kembali sadar. Saya akan melakukan pemeriksaan pada tubuh Nona karena Nona sudah lama tak bergerak dan beraktivitas.”
Aku mengangguk saja karena aku paham akan itu, “Baik, Dokter,”
Tempat tidur yang kutiduri langsung didorong oleh beberapa perawat menuju ke ruangan tempat pemeriksaan. Aku diperiksa oleh Dokter yang menangani kasusku dan dijelaskan secara rinci bagaimana kondisiku saat ini.
Aku memandangi Naka yang bersamaku sambil mendengarkan perkataan Dokter tentang kondisiku saat ini. Pada intinya, aku akan dirawat selama seminggu di Rumah Sakit.
Naka masih bersamaku, pemuda itu selalu memegangi tanganku hingga tiba di kamar inap. Beberapa perawat sudah pergi menyisakan aku dan Naka.
Naka mengelus puncak kepalaku, ia bahkan memberikan kecupan sayang pada keningku. Aku diam saja, aku tak tahu harus mengekspresikan wajahku seperti apa.
Apakah Naka akan menganggapku sebagai gadis kotor karena sudah tidak perawan lagi? Pikiran-pikiran itu seolah berdemo di otakku hingga membuatku pusing.
Aku memejamkan mataku, namun Naka berbicara dengan suara rendah, “Kamu pasti baik-baik aja, Alice. Kamu jangan takut, aku pasti akan jaga kamu.”
Aku menatap Naka, “Kamu nggak penasaran milik siapa yang ada di perut aku, Naka?”
Naka tersenyum tipis, ia mengelus tanganku yang tak terlepas dari tautan tangannya. “Aku tau kamu pasti sedih, Alice. Jadi, kenapa aku harus bikin kamu sedih demi memenuhi rasa penasaran aku? Kondisi kamu lebih penting dari segalanya.”
Aku terdiam, aku tak pernah bertemu pemuda sebaik dan setulus Naka. Apakah aku seberuntung itu karena bisa bertemu dengan Naka?
“Naka … kenapa kamu masih baik sama aku? Cewek yang jelas-jelas udah kotor.”
“Kenapa aku harus jahat sama kamu, Alice? Kamu gadis yang baik.”
Jawaban yang Naka lontarkan membatku terdiam. Naka menarik selimut yang berada di ujung kakiku, ia menutupi kaki hingga dadaku dengan selimut. Kemudian, Naka berkata pelan, “Kamu harus istirahat, Alice. Tidurlah ….”
Aku menurut dan memejamkan mataku. Kesadaranku hilang dan hidup dalam dunia mimpi yang indah.
Pintu kamar inapku terbuka, aku menatap temanku yang membuka pintu tersebut. Aku tersenyum padanya, namun Diva langsung saja memelukku dengan erat. Diva bahkan meneteskan air matanya melihat kondisiku sekarang.Aku hanya bisa tersenyum, aku tersenyum karena masih Diva mengkhawatirkanku. Di sela-sela tangisannya yang belum berhenti, Diva memukul lenganku pelan, ia berbicara dengan nada jengkel khasnya, “Siapa yang bikin kamu kayak gini, Alice? Siapa pelaku yang bikin kamu hamil, hah?”Pikiranku langsung tertuju pada Dean, tentu saja tak mungkin aku mengatakan pada Diva jika Dosen yang bernama Deanlah ayah dari janin yang sedang kukandung. Aku tak bisa membayangkan bagaimana reaksi yang akan Diva tunjukkan, atau bagaimana Naka bisa memandangku sebagai gadis penghancur rumah tangga orang lain atau sebagai gadis yang baik seperti yang Naka bilang beberapa waktu yang lalu.Aku tersenyum tipis, tak menjawab pertanyaannya, hanya diam saja yang bisa kulakuka
Hubunganku dengan Naka menjadi lebih dekat karena kami tinggal satu atap. Aku benar-benar merasa gila karena berdekatan dengan Naka membuat wajahku selalu saja memanas, karena Naka benar-benar tampan bak pangeran di negeri dongeng, tidak sejujurnya Naka lebih tampan dari pangeran manapun.Mataku menatap Naka yang keluar dari kamarnya, pemuda itu melemparkan senyuman manisnya padaku yang kusambut dengan senyum malu-malu.“Pagi, Alice. Kamu kelihatan lebih sehat dan tambah cantik aja, hehe.” Aku menundukkan kepalaku mendengarkan godaan receh dari Naka, walau aku tahu jika itu hanyalah godaan receh, tetapi aku begitu menyukainya.“Pagi, Naka!” jawabku pelan. Aku menuangkan segelas susu dan memberikannya pada Naka.“Minum dulu, Naka!” segelas susu itu disambut Naka dengan senyuman indah bagai bunga mawar yang mekar di pagi hari. Sial, aku selalu saja terpesona akan senyuman indah itu.Naka meletakkan gelas begitu sus
Minuman yang Naka tuangkan sudah habis kutegak. Aku hendak mengambil sekaleng soda, jaraknya cukup jauh dari tempatku. Melihat aku kesulitan, Naka berinisiatif mengambil soda itu untukku.Aku menunggu Naka membukakan kaleng soda, namun Naka tak memberikannya padaku. Naka meminumnya, “Aku mau soda, Naka.”Naka memandangiku kemudian pemuda itu menggeleng singkat, “Kamu baru keluar dari rumah sakit, Alice. Nggak boleh minum soda dulu, okay?”Aku memanyunkan bibirku tanda tak setuju, “Ayolah, aku lagi pengen minum soda, Naka,”Naka tetap tidak memberikan soda walau seteguk saja, “Tidak, Alice kamu masih sakit, nggak boleh minum soda dulu.”Mendengar jawaban dari Naka, bibirku secara otomatis merengut. Aku tak lagi berbicara, aku menjadi pendnegar saja saat teman-teman lainnya mulai berbicara ringan satu sama lain.“Teman-teman, ayo kita memainkan permainan yang seru!” ucap Diva dengan s
Aku tengah duduk di meja ditemani setumpuk jurnal, cukup membuat kepalaku berdenyut. Aku berdengus sebal tatkala suara-suara bising menggangu konsentrasiku. Aku menahan diriku untuk sedikit bersabar, lagipula aku sedang duduk di tempat umum, wajar saja ada banyak kebisingan.Sedang di sampingku, tadi ada Naka yang sekarang sedang izin ke toilet. Aku menunggunya yang cukup lama belum juga kembali.Aku menarik gelas yang berisi jus jeruk dan kutegak saja untuk mengurangi dahaga. Aku cukup sebal karena aku ditinggal sendiri tetapi mau bagaimana lagi, tidak mungkin aku mengikuti Naka hingga ke toilet.Aku menatap ke arah sumber suara yang lagi-lagi memecah konsentrasiku. Pintu kafe terbuka, muncul Diva dan Anna yang mendatangiku. Diva langsung mencomot makanan ringan yang ada di meja, aku menatapnya sedikit malas. Tak berbeda dnegan Diva, Anna juga mengambil gelasku yang berisi jus jeruk, langsung saja ditegak hingga tak bersisa.Aku memandangi mereka b
Aku berjalan melintasi koridor yang ramai, ucapan-ucapan tak mengenakkan terdengar di telingaku. Aku meremas gaun yang kukenalan, mataku kupejamkan berharap berbagai perkataan yang membuatku sakit hati segera hilang.Aku memandang ke depan, ada Naka dan Diva yang berjalan mendatangiku. Naka langsung memelukku erat, Diva berdiri saja di sampingku.Naka berkata dengan nada khawatir, "Astaga, Alice kamu tidak apa-apa, 'kan? Apa mereka menyakitimu?"Aku menggeleng, "Aku tidak apa, tapi ...."Diva langsung menyelang percakapanku dan Naka, "Alice, kamu pulang ke kos aku!"Naka menggeleng tegas, "Apa-apaan Diva, Alice tetap tinggal di Apartemenku!"Diva tertawa remeh memandang Naka, "Naka, semua ini terjadi karena kamu memaksa Alice untuk tinggal di Apartemen kamu! Kamu itu biang masalah, sadar dong!"Naka tak mendengarkan perkataan Diva, pergelangan tanganku ditarik oleh Naka dan dibawa ke dalam mobilnya. Naka berkata pelan, "Kamu akan tetap tinggal di A
Matahari telah kembali pada tempatnya, tetapi Naka belum juga kembali. Perasaan dongkol nan kecewa menguasai diriku, aku berjalan sembari menyiapkan beberapa barang untuk kubawa ke kampus sambil menghentak-hentakkan kaki."Brengsek, aku pengen banget gigit orang!" ucapku yang sebenarnya kutujukan pada Naka."Sial, nyebelin banget sih jadi cowok!""Udahlah, mending ke kampus sekarang aja, semoga aku nggak ketemu sama wajah Naka." Aku mengumpulkan buku dan jurnal menjadi satu lalu kumasukkan ke dalam tas yang biasa kupakai saat ke kampus.Tibalah di kampus setelah aku menaiki transportasi umum. Jarak Apartemen Naka sebenarnya tak terlalu jauh, hanya 15 menit saja. Namun tetap saja akan terasa lama jika ditempuh dengan berjalan kaki.Aku melintasi gedung dan masuk ke dalam gedung Fakultas. Saat berjalan telingaku tak sengaja menangkap para gadis yang sedang membicarakanku. Hatiku kembali menjadi dongkol.Aku berjalan dengan cepat, aku berusaha
Sedang mobil telah berhenti di tengah pemandangan hutan dan suasana yang sepi. Aku menatap Naka takut lalu bertanya, "Kamu yakin ini tempat rahasiaku, Naka? Kamu mau ngapain aku, hei!?"Naka menarik pergelangan tanganku, jemari Naka langsung saja melingkari perutku erat. Bibirnya terasa dekat di telingaku, Naka berbisik, "Lihatlah ke sana, ada danau yang sangat indah. Mau melihatnya, Alice?"Aku menatap arah yang ditunjukkan oleh Naka. Aku mengangguk saat memandangi danau yang begitu indah. Di sana ada dermaga yang terbuat dari kayu, aku berlari pelan untuk menjangkau dermaga kecil itu.Naka berteriak, aku tak mempedulikan, "Jangan berlari, Alice kamu bisa terpeleset!”Aku pun ikut berteriak, "Tidak akan, cepatlah kesini air danau terasa dingin dan sejuk, Naka!"Naka tertawa singkat, pemuda itu ikut bergabung bersamaku. Kaki kami sengaja dimasukkan ke dalam air. Terasa begitu sejuk.Dengan sengaja, aku menciprat air ke wajah Naka. Aku tertaw
Diva tertawa pelan, "Ayo kita nongkrong nanti malam, Alice sebagai gantinya aku akan memberikan buku ini. Bukankah isi buku ini sesuai dengan tugas kuliahmu, sayang?"Aku menghela napas, "Jika aku belum bilang iya, kamu tidak bakal berhenti membujuk."Diva memelukku dari samping, bibirnya dimanyunkan dengan sengaja, "Jadi, mari kita nongkrong nanti malam, ya!"Aku mengangguk terpaksa, "Iya, Diva sayang,"Senyuman Diva langsung merekah sempurna. Buku yang Diva pegang langsung diberikan padaku. Diva mendorongku menuju kasir, gadis itu berbisik pelan, "Cepatlah bayar, malam sebentar lagi tiba,"Aku mengibas-ibaskan tanganku, "Ya-ya,"*****Aku sudah berada di Apartemen Naka. Aku mendekatkan bagian mataku saat pensil alis sudah tergambar dengan rapi. Huh, rasanya memang sedikit terpaksa, tetapi aku tetap akan merias diri secantik mungkin.Begitu pakaian yang kukenakan terasa pas di tubuhku, aku mendatangi pintu dan menariknya. Aku keluar ber