Share

BAB 6| Perihal Pekerjaan

Aku menjauhkan tangan yang menutupi wajahku, aku tak memikirkan apapun lagi, karena fokusku sudah hancur akibat perutku yang meronta-ronta minta diisi. Aku menganggukkan kepalaku saja, dan senyuman Naka merekah dengan sempurna.

Langsung saja Naka membawaku ke Kedai Makan dekat kampus. Setelah makanan tiba di hadapanku, aku menyantapnya langsung dengan cepat. Seketika, aku melupakan kehadiran Naka, aku tak lagi memikirkan apakah Naka akan merasa jijik dengan caraku makan saat ini. Benar-benar tak mempedulikan itu lagi.

Setelah makanan yang ada di dalam piringku bersih tak bersisa, aku tak sengaja bersendawa dengan kencang. Cepat-cepat aku menutupi mulutku dan memukul-mukul kepalaku karena begitu tak memiliki etika. Aku berkata pelan sambil menyembunyikan wajahku, “Naka, maaf … kamu pasti jijik sama aku, ya?”

Naka tertawa lagi, ia hanya menjawab, “Bersendawa itu normal, Alice. Aku juga kalo selesai makan pasti bersendawa, kamu hebat karena nggak makan kayak Tuan Putri di depan aku.”

Ucapan Naka berhenti, pemuda itu menyedot jus jeruk sejenak lalu kembali berbicara pelan, “Banyak gadis yang makan kayak Tuan Putri, lama banget! Sampe bosen aku nunggunya. Sedangkan kamu, Alice makanan aku belum habis tapi kamu udah habis aja. Keren!”

Aku memandangnya marah, “Kamu ngejek aku ya, Naka? Kamu mau bilang kalo aku itu nggak ada sopan santun, iya, ‘kan?”

Naka menggeleng dengan cepat, “Aku ngomong jujur, Alice kamu keren banget!”

Aku masih menatapnya dengan raut tak suka. Namun Naka tak peduli dengan tatapanku ia masih fokus pada piringnya yang belum bersih dari makanan.

Naka berkata pelan, “Kamu bisa habisin semuanya nggak, Alice? Aku kenyang banget! Ini makanannya masih banyak banget, nggak sopan rasanya kalo ditinggalin gitu aja.”

Aku kembali menatapnya dengan marah, “Kamu sengaja biar aku ngerasa kalo makan aku banyak, ya? Kamu ngeselin tau nggak, Naka!”

Aku hendak berdiri karena merasa sangat kesal dengan Naka, namun aku urungkan saat jemari lembut Naka menahan lenganku. Aku memandangnya kesal sedangnya Naka menatapku dengan sendu. Naka berkata dengan suara lembutnya, “Tunggu bentar, kamu nggak boleh kabur. Ingat, kamu harus bayar aku dengan 3 permintaan.”

Aku kembali duduk di hadapannya. Dengan cepat Naka menghabiskan makanan yang ada di piringnya lalu berdiri. Aku ikut berdiri dan mengikuti langkah kaki Naka yang membawa menuju Halte Bus.

Aku dan Naka naik Bus dan duduk di kursi secara berdampingan. Langsung saja Naka mengatakan, “Alice, kakak aku bilang dia lagi dinas ke Luar Kota. Tapi, kalo kamu butuh banget sama kerjaan itu, kamu boleh ketemu sama suami kakak aku. Kamu keberatan nggak, Alice? Aku jadi nggak enak sama kamu.”

Aku terdiam, Naka kembali melanjutkan perkataanya, “Kakak aku tiba-tiba banget berangkatnya. Kalo kamu sungkan buat ketemu sama suami kakakku, kamu bisa kerja mulai besok. Lagian, keponakkan aku pasti butuh banget pengasuh. Kasihan, sendirian di rumah, orang tuanya sibuk terus sama kerjaan masing-masing. Tapi, kakak aku minta kalo kamu nginap di rumahnya. Kamu keberatan nggak, Alice?”

Aku masih terdiam, aku tak tahu harus bagaimana. Aku tak pernah bekerja, apalagi mengurus anak kecil. Aku menatap Naka, “Aku nggap pernah ngurus anak kecil, Naka. Aku takut ….”

Naka tersenyum, “Aku yakin kamu bisa, Alice. Kamu … benar-benar butuh pekerjaan ini, ‘kan?”

Aku mengangguk singkat, Naka kembali melengkungkan bibirnya membentuk senyuman yang sangat manis. Aku seketika merasa tenang melihat senyuman semanis itu di hadapanku. Naka kembali berbicara, “Aku pasti bantu kamu, Alice. Jangan takut, okay?”

Aku menganggukkan kepalaku tanpa sadar. Naka tersenyum hangat membuat jantungku meleleh dengan cepat. Aku menundukkan kepalaku saat merasakan wajahku mulai memanas, sedangkan Naka fokus pada ponselnya seolah membiarkanku dengan perasaan aneh yang membuatku bingung, tapi disisi lain membuatku tersenyum cukup sering hari ini.

Bus berhenti, Naka langsung menarik lenganku dan membawaku ke rumah yang tak asing untukku. Aku berhenti melangkah saat menyadari ini adalah rumah pria yang sangat ingin aku jauhi.

Aku mengerjapkan mataku saat Naka meremas lenganku pelan, aku menatapnya bingung, “kenapa, Naka?”

Naka terseyum tipis, “Kamu nggak denger ya? Sebenernya, kamu bakal kerja di rumahnya Pak Dean. Kamu cukup kenal, ‘kan sama Pak Dean? Sebenernya beliau adalah kakak ipar aku.”

Aku mengangguk kaku, dan tersnyum dengan wajah yang cukup masam, “I-iya, Naka,”

Naka mengelus rambutku pelan, “Kamu pasti kaget, ya? Maaf, kamu pasti kurang nyaman dengan fakta ini ya, Alice?”

Aku menggeleng tak enak hati. Aku pun menampilkan senyum manisku, “Nggak kok, Naka. Aku kayaknya bakal suka kerja di sini ….”

Naka tertawa pelan, “Kenapa kamu seyakin itu? Pak Dean galak lo.”

Aku tersenyum tipis, aku memandang wajah Naka dari samping, “Mungkin karena aku udah kenal sama majikan aku.”

“Kamu benar. Mungkin karena kamu cukup dekat sama Pak Dean, Alice.”

Ucapan Naka cukup menggangguku, aku tertawa pelan walaupun di dalam pikiran, aku ingin menangis saja jika Naka menyadari siapa aku sebenarnya.

“Cukup dekat gimana maksud kamu, Naka?”

Naka menatapku, ia berjalan dan membuka pintu yang tak dikunci. Aku mengikutinya dari belakang. Naka menjawab pertanyaanku tadi dengan suara yang ia pelankan, “Karena kamu mahasiswa yang aktif di organisasi dan cukup dikenal oleh dosen-dosen.”

Aku menatapnya heran, “Darimana kamu tau kalo aku aktif organisasi, Naka?”

Naka tertawa, ia mempersilahkan aku duduk di sofa, “Siapa yang nggak tau tentang kamu Alice? Gadis paling cantik di Fakultas dan cukup berprestasi.”

Aku cukup tersanjung dengan pujian yang disampaikan oleh Naka. Ia memberikanku minuman kaleng lalu pergi ke belakang.

Selagi Naka tak ada di sini, aku menatap sekitar karena cukup penasaran dengan detail rumah Dean. Aku pernah ke rumah Dean sekali, namun tak cukup memperhatikan secara mendetail. Melihat rumah ini, aku tiba-tiba merindukan Ibuku dan kedua Adikku.

Mataku mulai berkaca-kaca, tapi kutahan saat Naka datang dan menggandeng seorang anak laki-laki tampan. Naka mendekatkan anak laki-laki itu ke arahku, aku tersenyum memandangnya. Sudah lama aku tak berjumpa dengan Kenzo. Tanganku terulur begitu saja, aku mengelusnya dengan penuh kasih sayang.

Naka berbicara menghentikan pergerakkan tanganku, “Namanya Kenzo, Alice. Dia putra tunggal di rumah ini, jadi sedikit manja.”

Aku masih tersenyum menatap kenzo, “Aku tau,”

“Maksud kamu apa, Alice?”

Aku baru menyadari jika aku tak sadar mengatakan itu. Aku menetralkan mimik wajahku lalu menatap Naka, “Sebenernya, Pak Dean pernah cerita sedikit tentang anaknya, hehe.”

Naka tak menghiraukan jawaban dariku, ia kembali menceritakan tentang segala hal tentang anak laki-laki ini. Aku menyimaknya sambil memperhatikan wajah Naka.

“Ken punya alergi debu sama bulu kucing, Alice. Dia dilarang keras buat makan-makanan seafood, setiap pagi dia wajib untuk minum susu. Nanti aku bakal kasih jadwal lesnya Ken. Tugas kamu antar jemput Ken, entah mau berangkat TK atau berangkat les. Setelah pulang les, kamu bisa bantu dia untuk mandi, makan, setelah itu kamu bisa bantu Ken belajar.”

Aku tercengang dengan tugas yang harus kulakukan, sebanyak itu? Bagaimana dengan jadwal kuliahku?

Naka menatapku tak enak, ia berkata, “Kerjaannya banyak ya, Alice?”

Aku menggelengkan kepalaku cepat. Aku menjawab cepat, “Nggak kok, Naka.” Aku tersenyum untuk menutupi hatiku yang tiba-tiba khawatir.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status