Kinanti berjalan dengan langkah ringan, sesekali dia meloncat. Dia menaikkan jemari tangan kiri. Melihat cincin emas yang melingkar di jari manis. Hati yang bahagia membuat senyum selalu terukir di wajahnya. "Ternyata Gio Romantis juga, dia serius mau menikahiku?"Kinanti bermonolog seorang diri dalam kamarnya. Cincin emas di jari pemberian Gio, sukses membuat hatinya berbunga-bunga.Rasanya Kinanti tak perlu makan atau bernapas, dengan melihat cincin di tangannya saja dia bisa merasa kenyang. Kinanti masih bersandar di belakang pintu sambil tersenyum. "Aduh, aku lupa! Kartu debitku?""Tapi, biarlah! Toh, Gio meminjamnya untuk merencanakan pernikahan kami!"Kinanti berjalan menuju ranjang. Untuk pertama kali dalam hidupnya perempuan berusia dua puluh tujuh tahun itu merasa sangat senang. "Andainya bisa dipercepat, aku ingin menikah dengan Gio malam ini," ucap Kinanti sembari menatap langit-langit kamarnya. Seakan-akan berbicara dengan Tuhan. Sesuatu jatuh tepat di atas kepala Kina
Keesokan harinya ….Senyum tersungging di wajah Kinanti. Hari ini dia tampil seperti biasa, tidak lagi mencoba merubah penampilan. Diangkatnya jemari tangan kanan. Pintu lift terbuka. Seringaian senyuman naif disodorkan padanya. Manik hitam mata Chika sudah menyorot cincin emas. Kinanti refleks segera menurunkan jemari. "Ada cincin emas di jemarimu?"Kinanti menarik segaris senyuman, "Iya.""Dari siapa? Pacar lo? Atau disematin tukang jual emasnya?" Satu sudut bibir Chika terangkat naik. Dia tersenyum puas. Kinanti terlalu bahagia untuk meladeni sindiran Chika. Menurutnya tidak ada gunanya berdebat dengan orang yang tidak menyukainya. Sebenar dan sebanyak apapun bukti yang diberikan, pembenci tetap tidak akan menyukainya. Percuma. "Dasar cupu! Malah pergi." Nada bicara Chika meninggi. Kinanti melangkah dengan ringan ke ruang kantor perpustakaan. Ada beberapa data yang harus diserahkan juga buku-buku baru yang harus diberi data. Dia sangat sibuk. Setelah mengambil buku baru juga
Rasa marah memenuhi rongga dada Kinanti. Dia merasa akan meledak. Tangannya meremas kertas berisi data buku baru yang masuk, "Ba**ngan itu!""Kinanti, kamu kenapa?" Kak Fatma menoleh dengan raut wajah penuh tanya. "Ah, enggak Kak. Aku mau ke kamar mandi dulu."Kinanti bangkit dari kursi. Berjalan menuju sudut ruang, kamar mandi wanita tujuannya. Air matanya sudah menetes lebih dulu sebelum dia sampai. Brukgh! "Kenapa dia bisa sejahat itu padaku? Setelah apa yang kulakukan padanya, kenapa dia masih main-main. Apa baginya aku ini hanya permainan? Persinggahan sementara saat dia lelah dari kekasihnya?""Astaga! Sakit sekali!"Kinanti memukul-mukul dadanya. Tangisannya terus berderai tanpa bisa dihentikan. Dia telah berkorban, memberikan seluruh yang dia punya termasuk mahkotanya. Namun, Gio masih saja terus mempermainkannya. "Bagaimana dia bisa memberikan cincin Gisela padaku?"Lama Kinanti berada di dalam kamar mandi. Dia berusaha meredam sedih dan rasa kecewa di sana. Menunggu hing
Di atas ranjang, Gio sedang menghisap sesuatu. Hidungnya mengendus dengan sangat dalam. Kinanti berjalan cepat, menghempaskan barang yang diduga Kinanti adalah sejenis narkoba, sabu. "Apa yang kamu lakukan? Kamu sudah gila?"Gio di atas ranjang berusaha membuka matanya yang sangat merah seperti hidungnya, nyaris mengeluarkan lendir. Wajahnya terlihat sangat menakutkan. Dia sakau! Calon suami Kinanti itu meraba-raba ranjang, berusaha menemukan butiran sabu. Kinanti sudah menghempasnya jauh ke lantai. "Sejak kapan kamu menggunakan barang haram ini? Jangan katakan jika uangku kamu gunakan untuk membeli barang haram ini?""Jawaaaab!" Kinanti menghentakkan kaki ke lantai. Dia sangat emosi. Belum selesai persoalan cincin emas mereka, Gio malah sedang mabuk sabu. "Mana …." Gio merangkak turun dari ranjang. Kembali meraba lantai. Berharap menemukan butiran sabu. "Berheeenti! Diam di sana!" Kinanti menarik kaos bagian belakang Gio. "Aku pulang lebih cepat mau menyelesaikan masalah kita,
Bruakgh!Kinanti marah, benar-benar muak pada sikap Gio. Dia sudah lelah dibohongi. Tak mendengarkan permintaan lelaki itu, Kinanti tetap pergi. Dia membanting pintu saat sudah berada di luar. Sengaja melampiaskan semua rasa kesal di hatinya. Berharap Gio tahu, Kinanti benar-benar sakit hati, marah, kecewa padanya. "Dia pikir dia itu siapa? Walaupun tidak ada yang mau menikahiku, aku masih bisa menemukan orang lain. Hidup sendiri jauh lebih baik daripada terus dibohongi seperti ini! Huh!"Kinanti segera menaiki lift. Menekan tombol di dindingnya, menuju lantai dasar. Di bahkan belum berganti baju sejak pulang bekerja. Berharap bisa menyelesaikan masalah dengan Gio, tetapi justru kemelut baru tercipta.Selain pengangguran, Gio juga seorang pecandu narkoba. Apa yang diharapkan Kinanti dari lelaki seperti itu?Ting! Lift sudah berhenti. Kinanti berada di lantai dasar. Dia masih mematung beberapa saat, bingung kemana akan pergi. "Sekarang aku harus kemana?"Entah sudah berapa kali Kin
Tak p akal. Kinanti segera mengejar kedua penjambret tadi. Dia berjongkok mengambil batu sekepalan tangan, cukup berat untuk diangkat. Kinanti mengambil ancang-ancang, melempar batu tadi pada lelaki yang membawa tasnya. Terdengar suara mengaduh disertai suara benda jatuh ke tanah. "Good Job! Gak sia-sia aku selalu ada di urutan teratas lempar lembing waktu sekolah." Kinanti tersenyum penuh kemenangan. Kinanti segera berlari menuju lelaki yang tersungkur di tanah, kesakitan. Memegangi kepala sambil memiringkan tubuh. Langsung ditarik tas kerjanya. Kedua tangan lelaki itu memegangi bagian belakang kepalanya. Cairan berwarna merah kental melumuri jemarinya. "Awas kamu, ya!" Lelaki yang menodongkan pisau pada Kinanti memelotot, mencoba mengancam Kinanti. Lampu penerangan di jalan mulai dinyalakan. Dalam remang-remang cahaya bayangan tubuh Kinanti terlihat utuh. Dia mulai berubah menjadi wanita kuat dari masalah yang datang."Ada apa ini?""Dia mau menjambret saya, Pak!"Pengemudi ken
Suara baritone yang sangat dikenal Kinanti. Sekian lama Kinanti merindukan suara itu. Dia terkejut dan segera berbalik, "Ayah?"Abimanyu Permana refleks melepas tangannya dari pundak Kinanti. Menjauh dari anak sulung Haidar Baskoro. Di belakang mereka lelaki dengan setelan celana kain hitam dan kemeja putih itu membelalakkan mata. "Kinanti, sekarang apa lagi yang kamu perbuat? Belum selesai kasusmu yang kemarin, sekarang kamu sudah bersama lelaki lain?""Tidak Ayah, biar Kinanti jelaskan dulu. Kami tidak ada hubungan apa-apa."Kinanti mencoba meriah tangan Ayahnya. Haidar Baskoro terlanjur kecewa padanya. Setiap kata atau penjelasan yang keluar dari mulut Kinanti hanya dianggapnya kemunafikan. "Apa kamu tidak bosan buat malu keluarga, hah?""Dengarkan Kinanti dulu Yah," teriak Kinanti. Dia tahu lelaki tua itu selalu menang dalam perdebatan, jalan satu-satunya adalah meninggikan intonasi, mencoba mendominasi."Keributan yang Ayah lihat tadi, karena ada dua orang penjambret mencoba me
Kinanti yang sekarang sudah berbeda. Mahkota juga hatinya telah dia serahkan pada Gio. Nama lelaki itu telah diukir dalam hatinya. Namun, semua yang terjadi tidak seindah bayangannya. "Kinanti mencintainya Yah, tidak bisa meninggalkannya.Dia … dia pembohong Yah, dia berjanji akan menikahiku, tetapi dia masih berhubungan dengan mantan kekasihnya. Gio, dia …."Mulut Kinanti tertutup. Tak sanggup mengatakan kelanjutan cerita. Dia berhenti sebentar, menarik napas dalam lalu mengembuskannya pelan."Gio seorang pemakai narkoba, dia bahkan sakau kemarin. Tabungan Kinanti digunakan hanya untuk membeli barang itu.""Apaaa? Sakau? Jadi selain bertato dia juga pemakai narkoba? Bukankah dia mencintaimu? Saat terakhir bertemu dia bilang akan bertanggung jawab dan segera menikahimu. Wajah dan cara berbicaranya terlihat sangat meyakinkan." Haidar Baskoro duduk di sofa. Keningnya berkerut mendengar penjelasan Kinanti. "Itu awalnya Yah, aku juga tertipu." Kinanti mulai menangis terisak. Hidupnya ki