“Sepuluh ….” “Se-belas ….” Keringat Kinanti mulai bercucuran. “Dua … argghh.” Kinanti melepas kedua tangan di belakang tempurung kepala. Mulutnya terbuka, mengambil udara sebanyak mungkin. Seakan-akan lubang hidungnya tak cukup untuk menghirup udara. “Cas-sandra, ka … pan terakhir kali kamu berolahraga? Kenapa begitu berat dan kaku semua otot-ototmu?” Kinanti menyeka keringat di wajahnya. Dengan terengah-engah Kinanti berbicara pada tubuh yang ditempatinya. Setelah itu dia mengalah, merebahkan tubuhnya di atas lantai. Menatap langit biru yang penuh kapas putih. “Lihatlah Cassandra, langitnya indah. Apa kamu pernah menikmati langit seperti ini?” Kinanti mengangkat tangan kanannya, menarik segaris senyuman, “Mungkin suatu saat nanti kalo kita bertemu, aku akan mengajakmu bersantai di bawah langit seperti ini.” “Tapi … aku saja tidak tahu cara keluar dari tubuhmu, lalu kamu bagaimana? Jika aku menempati ragamu, di mana ruhmu? Apa kamu masih hidup? Dimana kamu sekarang?” “Sampai
Cinta. Satu kata beribu makna. Ini adalah sebuah kisah tentang menemukan cinta. Sebuah kisah panjang, dengan jalanan terjal yang akan membuat hatimu porak poranda.Cinta bagi Giovani Agusta, hanya seperti sebuah permen. Saat masih bisa dinikmati ia akan terus menghisap permen itu. Namun, saat sudah tak ada rasa manis lagi, ia akan membuangnya.Cinta bagi Kinanti Nur Cahyani, adalah sesuatu yang sangat agung. Ia berusaha mendapatkan ketulusan cinta pada ke lima belas lelaki yang berusaha dijodohkan oleh Ayahnya. Namun, ke lima belas lelaki itu mundur. Hanya karena melihat fisik Kinanti.Tak sadar author sudah menulis tiga paragraf berawalan Cinta. Semoga kalian tak muntah atau bosan."Aku bukanlah pilihan terbaik bagimu. Ayahmu tak akan memilihku dan aku juga bukan pilihan terakhir di hidupmu. Karena di luar sana masih banyak pria, yang mungkin akan mencintaimu, yang belum sempat kau temukan!"Giovani Agusta, berkata dengan menundukkan mata. Tak be
Terdengar suara musik yang disetel begitu keras. Volume yang mengganggu pada jam tidur. Beberapa orang mulai keluar dari pintu apartemennya. "Siapa yang memutar musik di jam dua dini hari seperti ini?" Haidar, ayah Kinanti keluar terlebih dahulu dari kamar apartemennya. Ia masih menggunakan sarung dan kaos oblong. Melemparkan pandangan ke kamar di depan dan samping miliknya. "Iya, berisik sekali!" timpal Pak Burhan yang masih mengerjapkan mata di depan kamarnya. Tampak Burhan membuka pintu kamarnya. Sepertinya lelaki dengan kumis tebal itu baru saja bangun, matanya terlihat berwarna merah dan berair. Beberapa penghuni apartemen kemudian berkumpul di lorong, saling pandang lalu menengok ke kiri dan kanan. Mereka merasa terganggu dengan suara musik dengan keras di jam dua malam. Suara musik itu terdengar sangat jelas dari kamar nomor 5076. Haidar yang emosi segera mengetuk pintunya. Beberapa kali mengetuk dengan sopan, nyatanya pintu kamar itu tak terbuka. Kini, Ayah Kinanti me
"Amiin!" Kinanti menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Ada setitik air bening yang hampir jatuh di sudut mata sayu itu. Haidar, sang ayah membalikkan badan ke belakang. Mengulurkan tangan pada sang istri. Sang istri dengan takzim meraih punggung telapak tangan sang suami dan menciumnya. Kini, giliran Kinanti yang mencium telapak tangan Ayahnya. "Cepatlah bersiap-siap, setelah ini keluarga Imran akan datang," titah sang Ayah. "Iya, Ayah. Sebentar lagi, Kinanti masih ingin membaca qur'an." Haidar membalikkan badannya kembali, menatap sajadah di hadapannya. Kinanti meraih sesuatu di atas sajadahnya, segera memakai kacamata dan membuka sebuah buku. Mirip buki tulis namun lebih tebal. Ia mencium sampul qur'an di tangannya. Mulai membuka lembar demi lembar halaman. Mencari pembatas berwarna kuning, penanda halaman terakhir yang dibacanya. "Ibu, masih banyak pekerjaan di dapur. Tolong lipatkan sajadah ibu nanti, ya, Kinanti." Kinanti menoleh ke arah suara lalu mengangguk, "I
"Tunggu sampai kakakmu, mendapatkan seorang lelaki. Apa kamu tak kasihan dengan, Kinanti? Apa kamu mau kakakmu jadi perawan tua, karena kamu melangkahinya?" gerutu sang ibu. "Ya allah, ini sudah lelaki ke lima belas yang dicarikan Ayah untuknya, Ibu. Mungkin ada yang salah dengan Kakak. Suruh dia mengganti gaya berpakaiannya!" protes Karenina. "Diam kamu Karenina, jangan menambah masalah. Coba bayangkan jika kamu yang berada di posisi, Kinanti!" "Aahhh, kalian pilih kasih!" sungut Karenina. Adik Kinanti berdiri dari sofa ruang tamu. Ia berjalan menuju kamarnya. Menutup pintu dengan keras. "Ini tidak bisa dibiarkan! Mau sampai kapan Kakak tak punya pacar, apalagi calon suami untuk diajak menikah?!" "Kalau Kakak, tak mendapatkan calon suami. Kapan aku akan menikah? Bram akan meninggalkanku," gumam Karenina lagi. Karenina berjalan hilir mudik di dalam kamarnya. Alisnya berkerut, ia sedang berpikir dengan keras. "Aha!" Dua sudut bibir Karenina terangkat ke atas. Adik Kinanti menda
"Tolong cepat ya, Pak!" perintah Kinanti yang disusul oleh anggukan kepala sang supir."Kemana ini, Neng tujuannya?""Ke Kebayoran Baru. Gedung perpustakaan kota, Pak."Lelaki di balik kemudi mobil itu mengangguk. Menekan pedal gas dan mengarahkan taxinya menuju pusat kota Jakarta Selatan. Ada sebuah gedung perpustakaan besar berlantai dua di sana.Kinanti terdiam, tak ada guratan senyum di wajahnya. Gadis cantik berkacamata itu melemparkan pandangan ke luar jendela. Merenungi nasib cintanya. Ia ingin memiliki seorang kekasih, kalau bisa langsung menikah karena umurnya yang sudah tak muda lagi. Namun, para lelaki tak ada yang melirik gadis itu.
Pov Kinanti Nur Cahyani.Aahhh … aku tak bisa tidur. Memikirkan janji bertemu dengan rekan kerja kekasih Karenina, besok. Entah kenapa membayangkan bertemu dengan seorang lelaki yang tak kukenal membuat jantungku berdebar-debar.Kembali aku merubah posisi tidur. Miring ke kiri lalu miring ke kanan. Semoga saja semuanya berjalan lancar. Lelaki itu tertarik dan mau melanjutkan hubungan ke arah yang lebih serius. Berta'aruf lalu segera menikah. Amiin.Aku harus segera tidur. Besok ada janji bertemu dengan seseprang. Malam makin larut tetapi kenapa mataku rasanya tak ingin terpejam.Kenapa hanya membayangkan bertemu dengan seorang lelaki saja membuat pipiku terasa panas?Salahkah aku berharap? Aku tahu saat berharap terlalu tinggi, kekecewaan yang didapat akan semakin besar. Sudah banyak lelaki kutemui. Namun, mereka semua mundur tak ingin melanjutkan proses ta'aruf.
Pov KinantiAku termenung sendirian di dalam kamar. Duduk menatap keluar jendela kamar. Anging berhembus perlahan menggerakkan pepohonan. Sinar lampu berwarna kuning di pinggir jalan itu tertutup dedaunan. Terkesan remang-remang."Tiga bulan lagi?"Bagaimana ini? Bisakah aku mendapatkan seorang lelaki yang mau menikahiku sebelum tiga bulan?Selama dua puluh tujuh tahun umurku ini belum pernah aku merasakan pacaran. Lalu bagaimana caranya mengajak seorang lelaki menikah?Ah, iya, lelaki bertato di kamar 5076 pasti bisa menolongku. Kekasihnya adalah konsultan kecantikan, pasti Gisella Parawansa itu bisa membuatku tampil cantik. N