Kinanti tersenyum seperti bulan sabit di langit malam, sangat indah. Dia menatap seorang lelaki yang duduk di samping kursinya. Gio mengantarnya, mereka naik bus bersama. Jemari lentik Kinanti digenggam erat oleh Gio. Situasi seperti itu adalah hal yang lama dimimpikan Kinanti. Hari itu Kinanti tidak memakai kacamatanya. Dia mencoba menggunakan lensa mata. Sedikit perubahan yang membuatnya tampil beda, cantik. "Kamu pulang jam berapa nanti? Mau kujemput?"Kinanti tersenyum, "Aku pulang seperti biasa, mungkin di jam enam sudah sampai apartemen." Kinanti berhenti berbicara. Dia memandang wajah Gio sebentar lalu melanjutkan, "Carilah pekerjaan!" Gio menatapnya sebentar, lalu ke arah depan, "Setelah mengantarmu aku akan coba menemui temanku. Mencari pekerjaan adalah sesuatu yang sulit dengan titelku, mantan narapidana."Terlihat keputusasaan di mata Gio. Kinanti membaca keraguan dan keengganan di balik kata-kata Gio. "Apa-apa lihat-lihat?" Suara dingin penuh ketidaksukaan Gio terdeng
Di tempat lain. Sebuah angkutan umum berwarna biru berhenti di depan gedung berlantai tiga. Dindingnya terbuat dari kaca tebal, memperlihatkan pemandangan di dalam. Gio turun dari bus. Sejenak mendongak, menatap lantai atas. Matanya mengisyaratkan kerinduan sekaligus keengganan saat menatap. Dia telah lama tidak datang ke sana. Gio mengembuskan asap nikotin terakhir dari mulutnya. Setelah itu membuang puntung rokok di sela jari. Berjalan cepat melewati papan nama. 'Jakarta Lawyer.' Memasuki lobby ada banyak pasang mata meminda penampilan Gio. Lelaki berkemeja putih selengan itu tidak ambil pusing, segera menuju lift naik ke lantai ke dua. Berjalan menyusuri lorong. Gio mendorong sebuah pintu dengan keras. Masuk dengan percaya diri. "Siapa yang ….""Gio?"Seorang lelaki dengan balutan jas abu dan dasi hitam menoleh ke arah pintu. Matanya tidak berkedip, tampak kaget. "Hai Paman, lama tidak bertemu."Lelaki di belakang meja menutup lembaran berkas yang sedang dibacanya, "Apa yang
Kilatan amarah juga dendam di mata klien Gio masih diingatnya sampai saat ini. Memiliki harta dan tahta membuat manusia lupa diri. Kesombongan adalah topeng setan yang dipinjamkan pada manusia. Kliennya segera pergi usai mendapat pukulan Gio. Tidak berapa lama sebuah surat panggilan dari kepolisian datang. Klien Gio tadi menuntut Gio dengan hukuman lima tahun penjara, "Gila! Dia menggugat dengan bukti visum kekerasan juga tangkapan rekaman vidio amatir pemukulan di ruang sidang.""Kamu gegabah! Bisa-bisanya melakukan tindak kekerasan pada klien sendiri di depan banyak orang," marah ayah Gio saat itu. "Tiga tahun. Aku mendekam di penjara selama tiga tahun karena klienku itu! Pekerjaanku hilang, dasar sial!"Gio menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, mukanya suram penuh penyesalan. Seharusnya yang terjadi di kantor pengacara bukan seperti tadi. "Jadi ayah meminjam uang sebagai ganti memotong masa tahananku?""Paman, tidak seharusnya mengambil alih kantor itu?"Gio terus berbic
"Aku ingin pulang, kangen kalian semua."Tentu saja itu adalah hal yang ada dalam hati Kinanti. Tidak mungkin dia mengurai permasalahannya pada sang adik. Kinanti mencuri pandang ke dalam apartemen Haidar Baskoro. Tempat itu selalu rapi, letak perabotan yang selama berpuluh tahun tetap sama. Tidak ada yang berubah. Hanya dengan melihat perabotan dia merasa nyaman. "Ah, ngapain pulang. Ayah sama Ibu pasti pilih kasih lagi. Kalau ada Kak Kinanti, semuanya pasti lebih sayang dan perhatian ke Kakak!""Apa?" Kinanti mengernyit tidak begitu mendengar gumaman yang keluar dari mulut Karenina. "Ah, nggak! Masuk Kak, duduk." Karenina membukakan pintu. Saat berbalik menuju sofa bibirnya mengerucut. Kinanti masuk ke dalam apartemen ayahnya lagi. Rumah itu selalu hangat dan nyaman. Sama seperti matahari pagi. Dia tersenyum lebar. Karenina sudah lebih dulu duduk. Menatap Kinanti dengan tajam. Dia tidak suka senyuman di wajah kakaknya itu. Adik Kinanti terpaksa tersenyum dengan satu sudut bibir
***Kinanti langsung menoleh ke arah suara. Karenina dengan tergesa keluar dari kamarnya menuju kamar mandi. Dia menaruh ponselnya di meja, tanpa dimatikan. "Karenina, apa kamu sakit? Ada apa denganmu?" Ditaruhnya gelas air minum yang kosong. Berlari menuju Karenina. Sampai di kamar mandi, Kinanti bisa melihat Karenina berjongkok di dekat closed. Ada sisa air di dekat mulutnya. Wajahnya pucat, seperti kehabisan tenaga. "Ka-kak!""Apa kamu hamil?"Belum sempat Karenina menjawab pertanyaan Kinanti dia kembali mendekat ke closed. "Huekkk …." Karenina memuntahkan makanan dari perutnya. Kinanti dengan sigap mengelus-elus tengkuk adiknya. Wajahnya berubah cemas, khawatir Karenina kenapa-kenapa."Huekk!" Di muntahan terakhirnya hanya air liur yang keluar. Karenina menyeka mulut, bersandar ke dekat dinding. "Kakak bantu ke kamarmu." Kinanti memapah Karenina menuju kamar. Setelah mendudukkan Karenina di pinggir ranjang, Kinanti kembali ke dapur. Mengambil gelas dan menuangkan air hangat
Begitu membuka pintu angin berembus dari arah koridor apartemen, sedikit pengap bercampur debu. "Non Kinanti? Kebetulan ini mah!""Iya, Pak Sanip. Ada apa?""Ini kemarin penghuni kamar 5076, calon suaminya Non, kasih ini. Maaf, kemarin saya lupa."Pak Sanip security apartemen memberikan secarik kertas. Setelah itu dia pergi ke lantai bawah, kembali ke pos jaga. "Apa ini?"Kinanti masih berada di luar apartemen Haidar Baskoro. Dia membuka kertas itu. Di dalamnya ada pesan singkat dan sebuah nomor ponsel. 'Aku harus pergi. Ini nomorku 0812xxxxxxxx'Di bagian bawah pesan singkat itu ada nama Gio. Tentu saja orang cuek dan dingin seperti dia pasti irit kata saat menulis pesan. Hanya bagian penting dari apa yang ingin disampaikan yang ditulis. Dua sudut bibir Kinanti seketika mengembang. Secarik kertas itu laksana angin surga yang berembus di hatinya yang galau. "Dasar Gio, kenapa tidak dari kemarin!"Kinanti segera masuk dan menutup pintu apartemen. Dia berjalan cepat dan riang, menu
"Ha-halo, Assalamualaikum?"Terlalu senang dan bersemangat membuat Kinanti tidak dapat mengontrol nada bicaranya. "Gio? Apa ini kamu?"Untuk beberapa saat hening di seberang panggilan. Kinanti kesal setengah mati, si penelepon di seberang panggilan seperti mengajaknya bercanda. Jadi dia berteriak, "Giooo!""Kamu siapa, ya? Kenapa menelepon ke nomor ini?"Indera pendengaran Kinanti sangat hapal, tidak mungkin lupa. Suara di seberang panggilan bukan milik Gio, lebih berat, tenang dan dalam. Kinanti malu setengah mati. Mau bagaimana lagi? Dia tidak bisa menarik ucapan yang sudah keluar dari mulutnya. "Ma-maaf! Ini dengan siapa, ya?""Kamu yang menelepon ke nomor ini, malah balik bertanya.""Tidak Pak, sebelumnya nomor ini yang menghubungi saya dulu. Jadi saya kira ini nomor seseorang yang saya kenal.""Apa kamu mengenal Gio?"Mata Kinanti melebar demi mendengar orang di seberang panggilan menyebut nama calon suaminya. Artinya dia juga mengenal Gio. Siapa lelaki di seberang panggilan it
Detak jantung Karenina berlompatan mendengar suara menggelegar dari Haidar Baskoro. Dia masih sangat ingat ketika ayahnya mengetahui Kinanti tertangkap basah dalam kamar pemilik kamar 5076. Haidar Baskoro adalah tipe orang yang tidak mau disinggung atau dipermalukan. Kakaknya, Kinanti saja sampai diusir dari rumah, tidak dianggap anak gara-gara kedapatan sekamar dengan seorang lelaki. "Karenina, Jawab!" Sentakan keras dari Haidar Baskoro membuat seluruh tubuh Karenina melemas. Dia pikir anak dalam perutnya pasti sampai melonjak kaget. Ulu hatinya terasa sangat nyeri. "Ma-maafkan Karen, Yah," ucap Karenina dengan sangat pelan. Dia menunduk, tidak berani menatap wajah apalagi mata Haidar Baskoro, ketakutan. Haidar Baskoro merapat ke dinding. Lelaki tua itu kaget dan tidak menyangka kenyataan yang terjadi. "Bagaimana bisa, kalian berdua mempermalukanku sampai serendah ini? Putri-putri kecil yang kudidik dengan sangat baik kenapa semua berakhir seperti ini? Apa salah Ayah?" Ki