Share

Cinta Suci Kupu-Kupu Malam
Cinta Suci Kupu-Kupu Malam
Author: Jun desember

Bab 1

"Tolong saya, Mas. Bawa saya pergi dari tempat ini!" Pinta Kenang Kinanti, perempuan berusia 27 tahun kepada Devan Angkasa, laki-laki yang baru ditemuinya yang usianya juga sepertinya sama dengannya, seorang vokalis band.

Devan yang sedang membasuh wajahnya di wastapel toilet klub malam, terlihat bingung dan tak tahu apa yang harus dilakukannya, begitu dihampiri Kenang. Perempuan asing yang tiba-tiba hadir dan meminta bantuan kepadanya. 

"Tolong, Mas." Kenang kembali memohon kepada Devan sambil memegang erat tangannya.

Dalam ketakutan yang menaungi wajah Kenang, terdengar sayup-sayup dari arah luar seorang pria bersuara berat dan serak berteriak memanggil-manggil namanya.

"Cewek sialan, jangan kabur. Saya sudah bayar kamu mahal." teriak orang itu.

"Tolong saya." pinta kenang meratap kepada Devan yang masih terpaku dalam kebingungannya. Suara Kenang lirih dan  melemah seiring air mata yang jatuh.

Langkah orang itu semakin dekat dan suaranya semakin therdengar jelas, ia tak berhenti meracau.

Akhirnya Devan tersadar dari kebingungannya, langsung ia menarik lengan Kenang, membawanya masuk ke dalam toilet yang berada di samping mereka. 

"Sayang, keluarlah. Mari kita bersenang-senang." kata orang itu sambil mendobrak satu persatu pintu toilet.

Kenang menengelamkan tubuhnya di punggung Devan dengan wajah yang masih diselimuti ketakutan. Laki-laki itu belum mengeluarkan sepatah kata pun sejak Kenang menghampirinya.

"Saya tahu kamu di sini, perempuan jalang. Mau keluar sendiri atau saya hancurkan pintu ini." suara orang itu persis berada dihadapan pintu toilet yang menjadi tempat persembunyian Kenang dan Devan.

"Baiklah, saya hancurkan pintu ini." teriak orang itu setelah tidak ada jawaban dari dalam toilet.

"Tunggu." Devan berseru dari dalam. Kenang menggelengkan kepalanya dengan raut mata yang sayu meminta kepada laki-laki itu untuk tidak membuka pintunya.

"Kamu tenang, ya." kata Devan memegang kedua bahu Kenang.

Dibukalah pintu toilet oleh Devan. Terlihat seorang pria yang usianya sekitar 45 tahun, rambutnya hampir diselimuti uban dan memiliki perut buncit. Perlahan Devan dan Kenang berjalan ke luar, masih dengan raut wajah yang sama di balik punggung Devan. kenang menundukkan pandangannya.

"Cepat serahkan dia sama saya. Saya sudah bayar dia mahal." kata pria itu. Mulutnya bau minuman keras.

"Jangan, Mas. Tolong saya. Bawa saya pergi." bisik Kenang kepada Devan.

"Mbak tenang, ya." Devan berkata pelan, berusaha menenangkan tanpa melihat lawan bicaranya.

Dengan langkah gontai pria dengan perut bucit itu mendekat, mengulurkan satu tangannya ke depan. Hati-hati Devan menggerakan langkah kakinya menjauh dari pria itu sebelum akhirnya melakukan tendangan keras ke alat vitalnya.

"Ayo, Mbak." Devan membawa Kenang lari keluar dari toilet. Sementara pria paruh baya itu tergeletak dilantai sambil menahan linu di bawah perutnya.

Begitu tiba di parkiran, saat Devan hendak melajukan mobilnya, ia dihadang oleh dua pria berpakaian serba hitam dengan postur tubuh tinggi besar. Satu berkepala plontos satunya lagi berambut gondrong. Mereka sepertinya masih ada hubungan dengan pria yang ditoilet tadi. Dari tampilannya mereka semacam pengawal.

"Turun." kata pria berambut gondrong sambil memukul-mukul kaca depan.

Devan pun turun, keluar dari mobilnya dan menghampiri dua orang itu. Sementara Kenang masih terbenam dalam ketakutannya di dalam mobil. 

"Siapa kalian? Ada urusan apa sama saya?" tanya Devan.

"Serahkan wanita itu pada Bos saya kalau tidak anda tidak akan selamat." jawa pria berambut gondrong

"Kalau saya tidak mau." kata Devan.

"Hajar saja sudah." kata pria yang berkepala plontos.

Mereka pun berkelahi. Beberapa kali Devan terjatuh tapi ia mampu bangkit kembali. Meski tubuhnya tak sebesar dua orang ini, ia cukup menguasai pertarungan yang terjadi. Pukulan dan tendangan berhasil Devan lesakkan sebelum ia mengeluarkan jurus pamungkasnya, sebuah tendangan maut yang membuat linu alat vital. Kedua orang itu akhirnya terkapar juga. Devan buru-buru masuk ke dalam mobil lalu melajukan mobilnya keluar dari area parkir. Bertemulah mobil yang mereka tumpangi dengan jalan raya yang tak terlalu ramai. Mobilnya meluncur dengan mulus di jalan aspal. Berderet gedung-gedung, pusat perbelanjaan, dan mini market.

"Mbak, sudah aman." kata Devan kepada wanita yang duduk disampingnya, tubuhnya bergetar seperti orang menggigil. "Kita cari minum dulu ya. Devan membelokkan mobilnya ke mini market. Lalu ia turun sendiri untuk membeli air mineral.

"Ini, Mbak." Devan menyerahkan sebotol air mineral.

"Makasih." kata Kenang.

"Saya Devan. Nama Mbak?" Devan memberikan tangannya untuk bersalaman setelah Kenang meneguk air.

"Kenang," ucap Kenang mengabaikan salam perkenalan. "Kenang Kinanti." tambahnya.

Devan mendekatkan tubuhnya kepada Kenang yang membuatnya replek mendorong tubuhnya kebelakang dan tangan membentuk pertahanan.

"Saya akan memasangkan sabuk pengaman." kata Devan "Tenang ya, Mbak saya bukan orang jahat." sambungnya sambil memasangkan sabuk pengaman pada Kenang.

"Bisa antar saya ke rumah sakit?" kata Kenang pelan.

"Boleh, rumah sakit mana?" jawab Devan yang sedang fokus menyetir mobil.

"Nanti saya tunjukin, Mas ikutin arahan dari saya saja."

"Baik."

Mobil itu melaju deras di tengah lorong malam dengan arahan dari Kenang. Setelah sampaidan memarkirkan mobilnya di area parkir rumah sakit, Kenang langsung bergegas berlari menuju dalam rumah sakit. Devan mengekor di belakang. Ia tiba di sebuah kamar dimana sang ibu dirawat. seorang wanita memeluk Kenang dari belakang sambil menangis.

"Ibu harus disegera dioperasi, Mbak." kata perempuan itu lirih. Namanya Tiara, adiknya Kenang. 

"Tapi Mbak belum ada uangnya, Dek."

"Kasian Ibu, Mbak." pecah lagi tangis Tiara.

Mereka berpelukan erat dalam tangis. Dalam dinginnya lorong rumah sakit. 

"Bagaimana Ibu saya, Dok?" tanya Dokter kepada Kenang yang baru saja memeriksa Bu Fatma, ibunya Kenang.

"Ibu Fatma harus segera dioperasi. Kankernya sudah menyebar."

"Iya Dok, saya usahakan segera."

"Ya sudah, kalau gitu saya permisi."

"Iya, Dok makasih."

Kakak beradik itu pun masuk ke dalam ruangan, melihat kondisi ibunya yang sudah beberapa hari menginap di rumah sakit karena penyakit kanker otak yang dideritanya. Kondisinya sangat memprihatinkan. Tubuhnya kurus, rambutnya sudah habis akibat kemo.

"Ibu, maafin Kenang ya." 

"Sayang, nggak apa-apa. Ini sudah takdir Ibu. Ibu Ikhlas menerima semua ini. Sini peluk Ibu. Ibu kangen banget sama kalian" pintanya merentangkan kedua tangan dalam pembaringannya.

Mereka pun merasuk dalam pelukan ibunya. Bersama air mata yang mengalir tak terbendung. 

"Jangan nangis, dong." kata Fatma sedangkan diwajahnya sendiri mengalir air mata.

"Ibu pasti bisa sembuh. Kita akan kumpul bareng-bereng lagi seperti dulu." balas Kenang.

Begitu Kenang keluar dari ruang ibunya dirawat. Ia kaget begitu melihat Devan, laki-laki yang telah menolongnya semalaman ini ternyata masih berada di area rumah sakit. Ia tertidur pulas di bangku tunggu dengan tangan yang terlipat di dada dan kepala yang tersender di tembok. Lelah, terlihat dari wajahnya.

"Mas," Kenang menepuk lengan Devan untuk membangunkan. Devan pun terperanjat dan terbangun dari tidurnya.

"Eh, maaf saya ketiduran." kata Devan.

"Saya yang minta maaf karena sudah buat repot, Masnya."

"Gak apa-apa, Mbak. Sesama manusia kan kita harus saling tolong-menolong. Oh, iya gimana kondisi ibunya?." tanya Devan

"Beliau harus segera dioperasi, Mas." jawab Kenang sambil duduk di samping Devan.

"Kalau boleh tahu sakit apa?"

"Kanker otak, stadium 4."

"kenapa gak langsung saja dioperasi?"

"Saya belum punya uang, Mas."

"Mbak yang sabar, Ya."

"Iya, mas."

"Ada yang bisa saya bantu lagi?"

"Nggak Mas, ini sudah lebih dari cukup. Mas pulang saja, takut istri dan anak Mas nyariin."

"Saya belum menikah, Mbak."

"Orang tua Mas pasti nyariin."

"Orang tua saya sudah gak ada. Waktu saya SMA, kecelakan."

"Maaf ya Mas, saya gak bermaksud."

"Iya, gak apa-apa Mbak. Ya sudah kalau gitu, saya pamit." Devan bangkit dari duduknya, disusul kenang yang juga ikut berdiri.

"Iya Mas, sekali lagi terima kasih."

"Sama-sama, Mbak."

Devan melangkahkan kakinya. Tapi baru beberapa pijakan, lahkahnya terhenti. Tubuhnya mematung sejenak. Lalu ia membalikkan badannya kembali kepada Kenang yang sedang duduk dengan wajah tertunduk lesu.

"Apa kita akan bertemu lagi?" tanya Devan.

Kenang menegakkan kepalanya, menyoroti wajah Devan. Lalu bangkit berdiri. Mensejajarkan tubuhnya.

"Mas bisa datang ke sini, jika ingin ketemu." jawab Kenang.

"Pasti saya akan datang lagi. Kalau gitu saya pamit pulang dulu." kata Devan sambil tersenyum tipis.

Bersambung...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status