Share

Bab 2

Malam telah berlalu dengan segala kelam dalam hati Kenang Kinanti. Kini, pagi menyelinap hangat di antara langkah Kenang menuju Klub tempatnya bekerja, Klub itu bernama Flower Garden atau taman bunga yang memiliki makna sebagai seolah klub itu adalah sebuah taman dengan bunga-bunga indah yang bermekaran di dalamnya yang tak lain bunga-bunga itu adalah para wanita yang siap menarik kumbang-kumbang atau para pria yang haus akan kasih sayang agar jatuh ke dalam pelukan sang bunga.

"Maaf Mam, saya belum siap." kata Kenang kepada perempuan yang senantiasa dipanggilnya Mami. Namanya Mami Rose, usianya sekitar 40 tahun namun tetap terlihat cantik dan juga kulitnya tetap kencang di usianya yang segitu sebab perawatan mahal yang kerap dilakukannya.

"Duduk." kata Mami Rose yang tengah memegang gelas berisikan minuman beralkohol dengan kaki menyilang. "Ini sudah kedua kalinya kamu kabur. Kalau kamu memang gak butuh uang, lebih baik kamu pergi saja. Gak usah lagi kerja di sini." 

"Gak Mam, saya butuh pekerjaan ini." jawab Kenang.

"Jelas kamu butuh pekerjaan ini untuk berobat ibu kamu. Tapi kalau caranya seperti ini,  kamu perlahan akan merusak nama baik usaha yang sudah saya bangun sejak lama yang saya bangun dengan segala keringat, air mata bahkan darah. Lebih baik selesai saja sampai di sini. Kamu pergi cari pekerjaan lain di luar sana yang bisa membayar kamu dengan gaji besar dalam waktu singkat sementara kamu cuma lulusan SMA"

"Saya janji Mam, saya gak akan kabur lagi."

"Sudah dua kali kamu patahkan kepercayaan yang saya berikan."

"Maaf, Mam."

"Kamu sayang kan sama ibu kamu?"

Kenang mengangguk pelan.

"Kamu di sini berjuang untuk ibu kamu, untuk penyembuhan wanita yang sudah melahirkan dan merawat kamu selama ini. Jadi Mami mohon jangan kecewakan Mami lagi terutama ibu dan adik Kamu sebagai tulang punggung keluarga."

"Iya, Mam."

"Oke, saya kasih kamu kesempatan satu kali lagi. Malam ini kamu temenin seseorang. Nanti Mami kirim alamatanya. Dan jangan buat Mami kecewa untuk ketiga kalinya.

"Baik Mam. Saya tidak akan buat Mami kecewa."

"Ini kesempatan terakhir kamu, Kenang." Mami Rose meletakkan minumannya di meja lalu pergi bangkit dari duduknya, dan melangkah meninggalkan Kenang sendiri di Sopa.

Malam datang begitu cepat, waktu berlalu seakan hanya sekejap. Sebelum pergi, Kenang menyempatkan pamit terlebih dulu kepada adiknya yang sedang terlelap disamping sang ibu yang juga tertidur. 

"Dek," Tak tega Kenang membangunkan adiknya yang terlelap begitu pulas.

Terbangunlah Tiara dari tidurnya setelah panggilan dan tepukan yang kesekian kali. "Iya, Mbak."

"Mbak pergi dulu, ya. sebentar."

"Mbak, mau kemana?" tanya Tiara.

"Mau cari uang buat operasi Ibu."

"Cari kemana?" tiara bertanya lagi.

"Jagain Ibu, ya. Mbak pergi dulu." Kenang tak menjawab pertanyaan adiknya.

Dalam kebimbangan ini. Mau tidak mau, suka tidak suka ia harus merobohkan ketakutan dan kekhawatirannya, harus melangkah dengan pasti tanpa keraguan satu titik pun. Demi kesembuhan ibunya, untuk senyum di wajah adiknya yang sudah lama tidak terbit.

Setelah berpamitan, lalu berganti pakaian di toilet rumah sakit dengan gaun yang elegan dan seksi. Begitu langkahnya berpijak  meninggalkan ibu dan adiknya, ia melepaskan pakaian ketakutannya. Melajulah Kenang pada alamat yang diberikan Mami Rose. segalanya sudah siap dilakukan, menjual harga dirinya. 

Tibalah Kenang di sebuah rumah mewah yang didominasi oleh cat berwarna putih yang disisipkan warna abu-abu muda dan krem. Lalu, ia diarahkan oleh seorang penjaga yang sudah menantinya di pintu gerbang saat ia turun dari taksi. Langkahnya digiring halus masuk ke dalam rumah, bak putri kerajaan yang akan menemui pangerannya. Tapi, ia hanyalah seorang dayang yang harus patuh kepada sang raja. 

Begitu di hadapan tangga meliuk yang menghubungakan ke lantai dua. Langkahnya di lepas sendiri. Penjaga itu mempersilakan Kenang untuk naik. Perlahan Kenang menaiki anak tangga dengan sepatu hels nya, gaun merah yang belah di satu sisinya memperlihatkan jenjang kakinya yang mulus. Riasan wajahnya terlihat pas, malam ini ia sangat cantik dan menggoda.

Di s***k pintu kamar oleh kedua tangannya, terdapat seorang laki-laki di sana memakai bath robe sedang duduk di atas kasur. Dengan langkah anggun, Kenang menghampiri laki-laki itu. Beberapa langkah kemudian, tibalah Kenang di hadapan Laki-laki itu. Namanya Shaga Narendra, pengusaha muda. Terlanjur kaya.

Jari telunjuk Kenang yang lentik sangat berani mengangkat dagu lancipnya Shaga yang membuatnya harus mendongak dan merasa tertantang. Jari-jari tangannya lihai meraba setiap lekuk wajah pria berwajah tampan dan memiliki tatapan yang tegas. Napas Shaga berhembus resah. Kenang telah menantangnya.

Lalu, ia medekatkan wajahnya ke wajah Shaga. Tatapan mereka bertemu, hidung mereka sedikit lagi bertaut, dan bibir keduanya satu gerakkan lagi berlabuh.

"Wait." kata Shaga menyodorkan jari telunjuknya ke bibir Kenang, memberi sekat. 

Kenang kembali menegakkan tubuhnya. Memberi ruang untuk pria itu mengatur deru napasnya, mempersilakan Shaga melangkah. Shaga pun bangkit, berjalan ke arah meja. Dituangkanlah bir ke dalam gelas. Lalu membawanya, satu untuk dirinya satu lagi untu kenang.

"For you." kata Shaga memberikan segelas minuman beralkohol.

"Saya gak minum." kata Kenang meraih  genggaman Shaga yang tengah mencengkeram gelas itu lalu mengelusnya dengan tempo pelan.

"Are you serious?"

"Iya"

"Tapi setidaknya kita bersulang."

"Ok." Kenang menerima gelas yang diberikan Shaga.

"Cheers" Shaga menabrakkan gelas miliknya dan gelas milik Kenang, sehingga menciptakan bunyi yang memecah kesunyian.

Setelah kedua gelas itu beradu, Shaga langsung menenggaknya habis. Sementara gelas Kenang masih utuh.

"I'm ready." kata Shaga setelah menaruh gelas kembali ke meja.

Perlahan angin berhembus dari ciuman-ciuman yang digelontarkan Shaga dari leher sampai tibalah di bibir Kenang yang ranum. Berguguran kecup. Keduanya menikmati itu, tapi sepertinya hanya Shaga seorang. Kenang hanya melakukan tugasnya dan sebatas propesional saja.

Desir angin meluruhkan seluruh pakaian kenang. Bibir Shaga menjelajah tubuh kenang dengan perlahan dan lihai menemukan pusat-pusat sensitipnya. Pecinta yang ulung. 

Terdamparlah keduanya di sebuah pulau tak berpenghuni. Tak ada yang mengganggu. Tak ada yang mengusik perjalanan mereka menuju puncak hasrat. Shaga berharap tersesat selama-lamanya di pulau ini bersama kenang. Tenang dan sunyi, hanya ada desah keduanya yang terdengar indah.

Perlayaran keduanya berakir begitu telah sampai puncaknya. Mereka harus pulang dan menyudahi petualang-petualangan yang menghanyutkan. 

Saat membuka HP, banyak pesan dan panggilan tak terjawab dari adiknya, Tiara.  Kenang lantas buru-buru meninggalkan Shaga  untuk ke rumah sakit dan begitu sampai dirumah sakit ternyata ada Devan juga di sana.

"Cepat, Dok. Lakukan operasi untuk Ibu saya."

"Baik." kata Dokter kepada Kenang. "suster tolong siapkan operasi untuk Ibu Fatma." sambung Dokter itu kepada para perawat.

Dilakukanlah operasi. Kenang, Tiara dan Devan menunggu dengan cemas. Berharap operasinya bisa berjalan dengan lancar.

"Mbak, dapat uang dari mana?" tanya Tiara.

"Kamu doain, ya. Semoga operasi ibu berjalan lancar." Kenang tak menjawab pertanyaan adiknya  dan lalu melabuhkan dekap.

Setelah dilakukan operasi dan berjalan

Lancar. Malam tenang sejenak, di bawah tabur bintang Kenang dan Devan duduk di taman rumah sakit beralaskan rumput.

Kenang membuka tanggul air matanya, deras mengalir tak tertahan lagi membanjiri wajahnya. Tubuhnya tertekuk dengan tangan terlipat. Tangisnya semakin menjadi. 

"Saya gak ada pilihan lain selain menjual diri saya sendiri. Kalau saya gak cepat dapat uang kasihan ibu saya." Tanpa diminta cerita, Kenang tiba-tiba berkata seperti itu.

"Andai saya punya uang yang banyak. Saya gak akan membirakanmu mengorbankan dirimu sendiri seperti ini." Devan terlihat sangat sedih.

Pekerjaannya sebagai penyanyi hanya cukup membayar kontrakan dan kebutuhannya sehari-hari. Terlebih ia baru merintis. Belum banyak yang mengenal Band nya.

"Gak apa-apa Mas. Ini hidup yang harus saya jalani."

Malam kian memberi ruang untuk dingin dan kesunyian merasuk lebih dalam lagi, bebas menjelajahi hati. Devan pun pulang membawa setumpuk kesedihan, penyesalan dan kecewa.

Bersambung...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status