Share

Bab 4

Setelah kematian ibunya. Kenang terlihat sangat terpukul, hidupnya dihabiskan di dalam kamar dengan air mata dan lamunan. Nafsu makannya dicuri oleh kesedihan yang menimpanya. Ketegarannya menipis bagai kabut disiram hujan badai.

Devan lantas mencoba mengajak Kenang pergi ke luar. Dengan menggunakan motor, sebab mobilnya sudah dijual karena sepi job manggung. Mereka melaju ke sebuah danau yang indah dan tenang jauh dari hiruk pikuk keramaian. Siapa tahu Kenang bisa melepaskan sejenak kesedihannya. Selain itu, Devan memiliki tujuan lain selain ingin membuat Kenang sedikit tersenyum dan ini harus segera disampaikan kepada Kenang. Masalah perasaan.

"Bagaimana, kamu suka tempat ini?" tanya Devan membuka obrolan, begitu mereka duduk di bangku panjang mengarah ke danau.

"Indah." jawab Kenang sambil menatap langit biru dihiasi awan-awan cerah. Matahari pukul 4 sore terasa teduh. Di bawah langit yang beranjak senja. 

"Aku sengaja ajak kamu ke sini supaya kamu gak terus-terusan bersedih. Aku mengerti apa yang kamu rasakan."

"Mengapa hidup seakan tidak adil padaku, Van."

"Tuhan gak mungkin memberikan masalah diluar kemampuan hambanya. Dan pasti dari musibah yang kita dapat ada hikmah di baliknya.

"Aku sudah gak sanggup lagi menangung semua ini. Aku menyerah, Van."

"Kalau kamu menyerah. Kasihan adik kamu. Ia masih membutuhkan kamu. Aku pun berpikir sama seperti kamu, saat kedua orantuaku meninggal. Rasanya hidup sudah gak berarti lagi. Tapi setelah aku pikir-pikir mengakhiri hidup bukanlah sebuah jalan keluar.

"Memangnya masih ada jala keluar atas masalah-masalah yang kuhadapi ini, Van. Aku seperti daun kering yang tinggal menunggu dihempas angin."

"Kalau kamu jatuh, aku akan menjadi rumput yang menangkapmu."

"Biarkan saja aku terjatuh, Van."

"Aku tidak sanggup membiarkan kamu sendiri, Kenang."

"Tapi hidupku sudah hancur yang kepingannya mustahil disatukan lagi."

"Aku akan membantumu untuk membuatnya utuh kembali. Aku jatuh cinta sama kamu, Kenang." 

"Aku sudah tidak suci lagi, Van. Kamu tahu itu."

"Aku tidak peduli, Kenang. Aku tidak peduli masa lalu kamu. Semua orang berhak punya kesempatan kedua, berhak memiliki hidup yang lebih baik."

Dengan kepergian ibunya, mungkin Kenang tidak akan lagi menjalani hari-harinya sebagai kupu-kupu malam. Sesuatu yang diperjuangkannya sudah tiada, ia sudah tidak perlu lagi menjual kesuciannya.

"Maaf, Van. Aku belum bisa menjawabnya."

Kenang mengangtung cinta laki-laki yang tulus dan menerima ia apa adanya. Tak peduli akan masa lalu yang buruk.

"Aku akan menunggu kamu. Berapa pun lamanya."  

Sore mengelincir dengan cepat. Matahari berpamitan dengan awan- awan. Langit menyambut kedatangan rembulan. Mereka pun beranjak dari percakapan-percakapan yang berakhir pada penantian. Langit malam tumpah di dalam perjalan Devan mengantar Kenang pulang. 

Saat sampai di rumah, terpakir sebuah mobil di halaman rumah Kenang. Keluar pemiliknya begitu Kenang Dan Devan turun dari motor dan ia adalah Shaga. Kenang kaget bukan kepalang. Dari mana laki-laki itu tahu rumahnya. Devan memilih pamit terlebih dulu.

"Ada apa, Mas?" kata Kenang kepada Shaga.

"Sebelumnya saya minta maaf karena gak sempat hubungi kamu lebih dulu. Oh, iya saya tahu alamat rumah kamu dari mami."

"Iya gak apa-apa. Mari masuk." Kenang mengajak Shaga untuk masuk, tapi ia menolaknya.

"Saya gak lama, saya ke sini cuma mau bilang kamu bisa gak malam ini temani saya. Saya cuma butuh teman ngobrol."

"Maaf Mas saya gak bisa. Saya sudah berhenti. Saya sudah gak kerja lagi di tempat Mami."

"Oke saya mengerti Kok. Kalu begitu saya pamit dulu ya."

"Iya, Mas."

Shaga melajukan mobilnya pergi dari hadapan Kenang. Setelah itu, Kenang masuk ke dalam rumah. Lalu menuju ke dalam kamar Tiara yang sedang belajar.

"Kamu dapat laptop dari mana?" tanya Kenang begitu melihat Laptop di meja belajar adiknya.

"Dari Kak Shaga, Mbak." jawab Tiara

"Maksudnya? Kamu jelasin sama Mbak." Kenang mengambil bangku lalu duduk di sampingnya.

"Tadi Kak Shaga datang ke sini cari Mbak. Dia lihat HP aku yang rusak itu waktu aku hubungi Mbak. Terus dia ngajak aku ke Mall buat beli Hp, laptop sama beli pakaian baru. Mbak juga dibeliin pakaian Kok. Aku taruh di kamar Mbak.

"Kamu kok mau, sih. Kamu kan belum kenal sama dia, Dek. Kalau terjadi sesuatu sama kamu gimana? Kita kembalikan barang-barang ini, ya!

"Tenang aja Mbak aku udah gede kok. Aku bisa jaga diri. Emangnya Mba lupa kalau aku ikut Estra kurikuler pencak silat di sekokah. Kalau ada yang macam-macam aku tinggal pukul aja" jawab tiara sambil melakukan gerakkan silatnya

"Iya, Mbak tahu. Tapi lain kali bilang dulu sama Mbak."

"Tadi aku udah telpon mbak, tapi gak dijawab. Aku chat juga gak di balas"

"Iya Hp Mbak tadi mati."

"Jadi gak usah dikembalikan, ya. Aku butuh banget Hp dan laptop ini untuk belajar. Sebentar lagi kan Aku juga bakal kukiah Mba."

"Doain Mba ya supaya uangnya ada untuk kamu kuliah."

"Iya Mbak, aku selalu doain yang terbaik buat Mbak."

"Ya sudah Mbak ke kamar dulu."

"Iya, Mbak."

Kenang keluar dari kamar adiknya. Lalu masuk ke dalam kamarnya. Ia mencari nomor Shaga dari daftar kontak di HP nya setelah mengisi daya baterainya dan mengirimkan pesan singkat kepadanya.

[Mas, lain kali gak usah beliin apa pun ya untuk saya atau pun adik saya.]

[Its ok, Kenang. Saya cuma gak tega lihat adik kamu pakai HP rusak. Dan dia perlu itu, kan]

Setelah mengobrol dengan Shaga lewat chat. Kenang merasakan mual dalam perutnya. Berlalulah ia ke kamar mandi untuk memuntahkan isi dalam perutnya. Meredakan mualnya.

Malam itu juga ia membeli tespek sebab dugaanya sudah mencuat dikepalanya karena ia juga sudah telat menstruasi. Dan hasilnya sesuai firasatnya, ia positif hamil.

Kenang belum pernah berhubungan layaknya suami istri selain dengan Shaga. Tak salah lagi ini anak hasil dari buah cintanya dengan Shaga. Dan malam itu juga Kenang meminta untuk bertemu dengan Shaga. Bertemulah di sebuah taman.

"Aku hamil." kata Kenang.

"Lalu?" jawab Shaga.

"Aku belum pernah berhubungan badan dengan siapa pun selain dengan kamu."

"Maksud kamu, ini anak saya.?"

"Iya."

"Ya sudah saya akan nikahi kamu, besok."

"Kamu serius."

Kenang tak menyangka jika Shaga mau semudah itu menikahinya.

"Iya, sudah dong jangan sedih lagi. Besok, kan, kita mau nikah. Aku akan tanggung jawab dan akan selalu disamping kamu."

Senyum perlahan terbit di wajah Kenang. Mendung itu telah lepas dari hatinya dan berganti langit biru yang cerah.

"Aku antar pulang, ya." kata Shaga. Balas Kenang dengan mengangguk kecil.

Setelah Shaga mengantar kenang pulang. Ia pun lalu pamit. Begitu Shaga takbterlihat lagi, Kenang masuk dan ia menghubungi Devan.

[Halo, Van.] kata Kenang.

[Iya, tumben malam-malam telpon] jawab Devan.

Tanpa basa-basi Kenang memberitahukan Kepada Devan bahwa besok ia akan menikah bersama Shaga.

[Besok aku akan menikah.] kata Kenang

[Selamat, ya. Semoga lancar pernikahannya.] jawab Devan setelah beberapa detik terdiam.

[Makasih, Van. Kalau ada waktu datang, ya. Ya sudah aku tutup dulu telponnya. Selamat malam] 

[Iya. Malam.]

Kenang bisa merasakan kesedihan yang dirasakan Devan. Tapi tidak mungkin Kenang menerima cintanya Devan. Ini tidak adil untuknya, Devan pantas mendapatkan yang lebih baik. 

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status