แชร์

03. Mencoba Bersyukur

ผู้เขียน: Zafar_Zahra
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-07-12 21:49:07

Di bawah langit biru cerah, Zahra sedang berjalan seorang diri di sepanjang trotoar yang sempit. Kepalanya menunduk, wajahnya begitu lelah. Langkahnya pelana, tatapan matanya kosong. Ia menunduk, membiarkan pikirannya kembali tenggelam oleh kesedihan.

"Gue ngerti kalau mereka nggak tahu apa-apa tentang keluargaku. Makanya tadi Triani bilang kalau gue gadis yang beruntung. Tapi.. kenyataannya enggak." Zahra bergumam di sepanjang perjalanan. "Mungkin gue gadis yang jauh dari kata beruntung." Lanjutnya lagi, kali ini kepalanya masih menunduk.

Kata-katanya begitu lirih, namun tajam dan terdengar kelas. Ucapannya terus berputar dalam kepalanya, seperti suara yang menggema. Zahra menatap jalanan beraspal, seolah ingin mencari jawaban di antara aspal itu.

"Tak ada manusia yang tak beruntung di dunia ini." Suara itu barat, namun terdengar lembut. Suara laki-laki yang begitu tegang, tetapi mengandung arti tersembunyi di balik kata-kata yang terucap.

"Semua manusia beruntung, asalkan mereka bisa mensyukuri apa yang sudah diberikan oleh Tuhan. Mungkin kamu merasa tak beruntung dalam hal keluarga, tetapi lihatlah dari sisi yang lain. Kamu masih hidup, kamu diberi kesehatan, kamu bisa bersekolah, itu semua keberuntungan. Yang mungkin tak bisa dirasakan oleh orang lain. Jadi jangan pernah merasa kalau kamu gadis yang jauh dari kata beruntung."

Sontak Zahra langsung menghentikan langkahnya. Jantung gadis itu berdegup lebih kencang. Ia terdiam, nyaris tak bersuara. Kata-kata itu seperti menangis dinding pikirannya yang gelap, menghadirkan cahaya kecil yang hangat dan menyentuh hatinya.

Perlahan, ia menoleh ke belakang, penasaran sekaligus sedikit cemas. Namun, saat ia menoleh, tak ada siapa pun di sana. Jalanan itu kosong, hanya berisi kendaraan yang berlalu lalang.

Zahra diam seribu bahasa. Wajahnya memucat, matanya sedikit membesar. Ia masih berdiri di tempat, sama sekali tak bergerak. Kedua bola matanya menyapu ke kiri dan ke kanan, memastikan dirinya tak sedang diikuti.

"Kok nggak ada orang?" bisiknya dengan suara nyaris tak terdengar. "Masa iya gue salah dengar?" lanjutnya lagi, mencoba untuk meyakinkan dirinya sendiri. Meskipun suara itu terdengar jelas dan terasa begitu nyata.

Zahra mengusap tengkuknya yang tiba-tiba meremang. Bulu kuduknya berdiri tegak, jantungnya masih berdetak tak karuan. "Jangan-jangan suara itu penunggu jalanan ini?" gumamnya pelan, nadanya berubah menjadi gugup dan takut. Ia melirik sekitar, setelah itu kembali mempercepat langkahnya meninggalkan tempat itu.

Namun, tanpa sepengetahuan Zahra, di balik pepohonan besar yang tak jauh dari tempat gadis itu berdiri. Mungil sosok leleki muda, sepertinya leleki itu seumuran dengan Zahra. Ia mengenakan jaket kulit hitam, rambutnya sedikit berantakan. Namun ada sebuah senyum kecil di sudut bibirnya. Entah senyuman kebahagiaan ataupun senyuman yang mengandung makna tersirat.

Ia menatap gadis berseragam putih abu-abu yang semakin menjauh dari pandangan matanya. Tatapan matanya tertuju kepada Zahra yang mulai menghilang dari pandangannya. Lalu, ia tersenyum lagi, kali ini senyuman itu semakin jelas. Ada rasa puas, seolah kalimat yang ia ucapkan tadi memang sengaja ia tunjukkan unjuk Zahra. Untuk menyadarkan hati kecil gadis itu.

*****

Zahra menghela nafas panjang, mata indahnya menatap bangunan yang sekarang sudah terpampang jelas di depan matanya. Gerbang berwarna coklat tua itu tampak begitu kokoh di hadapan Zahra. Di atas gerbang itu, terdapat tulisan "SMA Nusantara" dengan tulisan yang cukup besar.

Kemudian, gadis cantik nan mungil itu berjalan dengan langkah pelan. Melewati gerbang yang dijaga oleh satpam. Zahra terus melangkah masuk, dengan tangan menggenggam erat tas ranselnya. Pandangannya menatap sekeliling, seakan ia merasa bersyukur dengan hidupnya.

"Benar kata orang itu. Seharusnya aku lebih bersyukur lagi dengan apa yang sudah diberikan Tuhan kepadaku," gumamnya dengan pandangan mata menatap sekolah besar yang berada di depan matanya.

Setelah bergumam, dari arah belakang, muncul sosok gadis cantik dengan balutan seragam yang senada dengannya. Gadis itu menyapa Zahra dan menghampiri sahabatnya.

"Zahra!"

Zahra, gadis itu menoleh, ia mendapati Triani sedang berjalan ke arahnya. Senyumannya begitu ceria, seperti suasana pada pagi ini.

"Yuk masuk!"Ajak Triani yang tak lupa merangkul pundak Zahra. Mengajaknya masuk kelas.

Setelah sampai di kelas, Zahra dan Triani berjalan menuju tempat duduk mereka. Kedua gadis itu berbincang sebentar, sampai pada akhirnya, gitu mata pelajaran memasuki kelas. Dan pelajaran pun dimulai.

*****

~ Bel Pulang...

Bel pulang sekolah berbunyi, nyaring, menandakan waktu belajar telah usai. Para siswa yang tadinya mengantuk, kini kembali bersemangat setelah mendengar bel berbunyi. Para siswa siswi berantusias, menata peralatan tulis dan menggendong tas punggungnya.

"Berdoa dulu, baru boleh pulang!" titah sang guru sambil menatap murid-muridnya yang begitu antusias saat mendengar bel pulang.

Dengan semangat, ketua kelas memimpin doa, selepas itu, mereka pun keluar kelas setelah sang guru keluar terlebih dahulu. Berjalan dengan riang, menuju tempat parkir, lalu bergegas pulang ke rumahnya masing-masing.

"Zahra, pulang bareng yuk!"

Disaat Zahra hendak melangkah keluar kelas, tiba-tiba terdengar suara ajakan dari arah belakang. Ia pun menoleh, mendapati sosok pemuda yang baru saja beranjak dari tempat duduknya. Pemuda itu berjalan menghampiri Zahra dengan senyuman tipis di wajahnya.

"Gue dijemput, Ndra. Next time aja." Zahra menolak tawaran dari Nandra. Karena memang dirinya akan segera dijemput oleh orang rumah, atupun supirnya.

"Yakin? Nggak mau bareng? Rumah kita kan searah, jadi sekalian bareng aja." Nandra terus membujuk Zahra supaya mau pulang bersamanya.

Lagi-lagi, Zahra hanya menggeleng pelan. "Makasih tawarannya, tapi gue nunggu jemputan aja," kata Zahra kembali menolak ajakan dari Nandra. Selepas itu, ia pun pamit dan berjalan menuju halte untuk menunggu jemputan.

•••••

~ Satu jam berlalu...

Sudah satu jam lamanya Zahra menunggu jemputan, namun tak kunjung datang. Ia melirik jam yang ada di pergelangan tangannya, raut wajahnya gelisah. Semua murid sudah pulang, hanya tersisa dirinya. Ia duduk sambil menunggu jemputan datang, raut wajahnya gelisah, sesekali ia menengok kanan kiri, berharap Pak Heru segera datang.

"Apa pak Heru lupa jemput?" gumam Zahra dengan pandangan terus mengamati sekitar, berharap yang ditunggu-tunggu datang. Namun, harapan itu sirna, karena mobil yang ia tunggu tak kunjung datang.

"Mana ponselku mati lagi! Benar-benar sial hari ini!" gerutu Zahra sambil menatap ponselnya kesal.

"Masih mau nolak tawaranku?"

Zahra menengok samping, mendapati Nandra yang sedang duduk santai di atas jok motor. Nandra menatap Zahra sambil menaik turunkan alisnya. Seakan sedang meledek gadis itu. "Bareng gue aja, Ra. Gue anterin sampai depan rumah, kalau bisa ke pelaminan. Itupun kalau lo mau," katanya sambil mengulum senyum tipis.

"Apaan si, Ndra."

Nandra terkekeh saat mendengar suara Zahra yang terdengar ketus. Lalu, pria itu turun dari atas motornya, menghampiri Zahra dengan langkah tegap. "Lo mau kan?" tanyanya lagi.

"Mau apa?"

"Mau gue anterin ke pelaminan?"

"Emang lo mau anterin gue?" tanya Zahra, mencoba untuk membalas gurauan dari Nandra.

"Tanpa lo tanya, gue mau kok."

"Yaudah, kalau suatu saat nanti gue nikah, lo anterin gue ke pelaminan ya? Itung-itung lo jadi bridesmaids." kata Zahra sambil tertawa puas saat melihat ekspresi wajah Nandra yang berubah menjadi masam.

"Gue penginnya jadi calon pengantin pria, Ra. Bukan bridesmaids!" protes Nandra, raut wajahnya kusut, bibirnya melengkung ke bawah seperti bulan sabit yang terbalik.

"Makanya jangan gombal, Ndra! Nggak mempan gombalan lo ke gue!"

"Garing ya?" tanya Nandra, tatapan matanya polos, seperti bayi yang baru lahir.

"Iya. Kayak muka Lo yang garing kayak kanebo kering!"

Mendengar ledekan dari Zahra, seketika Nandra terdiam. Zahra yang melihat itu semua, ia pun merasa bersalah dan akhirnya kembali bersuara.

"Gue bercanda! Jangan baper dong!" Akhirnya Zahra berkata jujur saat melihat wajah Nandra yang semakin kusut, seperti tak bersemangat untuk hidup.

"Beneran? Jadi gue punya kesempatan buat jadi calon suami lo?" Mendengar kata 'Bercanda' yang keluar dari mulut Zahra. Nandra kembali bersemangat lagi untuk terus mendapatkan hati gadis itu.

"Hmm."

'Yes! Gue akan gunakan waktu ini untuk bahagiain Zahra dan akan selalu ada di sisinya. Setelah itu, pasti dia nggak nolak gue lagi,' batin Nandra sambil tersenyum misterius. Bukan senyum ramah, melainkan seyuman yang mengandung makna tertentu.

Plak!

Zahra memukul lengan Nandra dengan ekspresi wajah kebingungan bercampur rasa takut. "Ndra! Lo jangan nakut-nakutin gue dong!" ujar Zahra yang sedikit takut dengan senyuman yang ditunjukkan oleh Nandra.

Mendengar suara pukulan dan ucapan dari Zahra, sontak Nandra pun tersadar dan menatap ke arah Zahra. "Kenapa, Ra?"

"Tadi kenapa lo senyum-senyum?"

"Gue lagi mikirin sesuatu."

"Mikirin apa?" tanya Zahra sambil menyatukan alisnya dan menatap Nandra serius.

"Gue lagi bayangin kalau pertemanan kita sampai di pelaminan."

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Cinta Tanpa Isyarat    Bab 34

    Keesokan harinya, mentari pagi telah bersinar, meneragi bumi dengan kehangatan sinarnya. Sinar itu berhasil masuk di celah-celah jendela kamar milik seorang gadis.Di balik selimut tebal berwarna pink itu, terapat seorang gadis yang baru saja terbangun dari tidur lelapnya. Ia terbangun ketika mendengar alarm ponselnya yang berbunyi begitu nyaring, bahkan suara itu menggema di penjuru kamarnya. Ia menggerakan tubuhnya, meregangkan otot-otot yang semula sedikit tegang. Setelah nyawanya sudah terkumpul sepenuhnya, ia mengambil ponsel itu kemudian mematikan alarm yang masih terus menyala.“Astaga! Udah jam tujuh!” pekiknya keras, saat tak sengaja melihat jam yang terpampang di layar ponselnya.Seketika itu rasa kantuknya perlahan menghilang begitu saja. Tanpa banyak bicara, Zahra melompat dari kasur dan langsung bergegas ke kamar mandi. Sebelum benar-benar masuk ke kamar mandi, ia menyambar handuk. Seakan ia tak peduli dengan rambutnya yang masih berantakan......Sementara di ruang kelua

  • Cinta Tanpa Isyarat    Bab 33

    "Kita mau ke mana, Ndra?" Zahra bertanya, suaranya sedikit bergetar, sesaat motor milik Nandra sudah berhenti. Gadis itu mengedarkan pandangannya ke arah sekitar. Semuanya terasa gelap, asing, dan sunyi. Hanya ada mereka berdua ditemani oleh dinginnya angin malam dan bayangan pepohonan yang semakin terasa menyeramkan. Di depannya, berdiri rumah tua dengan jendela yang berdebu, atapnya dipenuhi oleh daun kering. Semuanya terasa begitu mencekam di mata Zahra. Tengkuk Zahra terasa begitu dingin, gadis itu refleks merapatkan tubuhnya, memeluk lengan Nandra erat-erat. Melihat sikap Zahra yang terasa aneh, Nandra pun berucap. "Nggak usah takut, Ra. Kan ada aku." Jawaban Nandra terdengar lembut, namun jawaban itu tak mampu membuat rasa takut yang ada di dalam diri Zahra menghilang begitu saja.Zahra tak mampu menjawab. Ia memejamkan mata sambil memeluk erat lengan Nandra. Menyembunyikan wajahnya di balik bahu leleki itu. Ia tak sanggup melihat pemandangan rumah tua yang begitu menyeramka

  • Cinta Tanpa Isyarat    Bab 32

    “Kamu ngapain kamu ke sini?”“Gue ada tugas buat lo.”“Tugas apaan?”Orang bertopeng itu mendekatkan tubuhnya, kemudian membisikan sesatu tepat di telinga orang yang menjadi lawan bicaranya. Terlihat di sana, lawan bicaranya hanya mengangguk pelan, pertanda bahwa ia mengerti apa yang sedang dibicarakan.Setelah hampir tiga menit mereka membisikan sesuatu, orang bertopeng itu menatap lawan bicaranya sambil mengangkat kedua alisnya. “Gimana?” tanyanya dengan nada datar dan tanpa ekspresi sama sekali.“Boleh. Tapi boleh lah itunya ditambahin lagi.”Orang bertopeng itu mengangguk sambil tersenyum tipis. “Masalah uang aman. Yang penting lo kerjakan dulu apa yang gue suruh. Kalau sampai gagal, gue nggak akan bayar lo, paham?!” Ujarnya menekan mata ‘paham’ di akhir kalimat yang ia ucapkan.“Kalau sama gue, semuanya beres. Lo tinggal duduk manis sambil denger kabar baik dari gue,” jawabnya sambil nmenunjukkan bahwa ia mudah untuk dipercaya.“Oke. Gue tunggu kabar baik dari lo!” Kata orang ber

  • Cinta Tanpa Isyarat    Bab 31

    “Sayang,” Suara Fathan sedikit meninggi, melawan suara deru motor dan angin yang menerpa wajahnya. Ia menolah sekilas ke kaca spion, mencoba menatap wajah Zahra yang tersembunyi di balik helm yang gadis itu kenakan. “Tadi kamu lihat mukanya Triani nggak?” lanjutnya sambil bertanya.“Aku nggak merhatiin, emangnya kenapa?” tanya Zahra, suaranya terdengar samar. Karena efek dari suara berising yang ada di sekitarnya. Ia kemudian bergerak, memajukan sedikit kepalanya melewati bahu kanan Fathan. Ia berusaha mendekatkan wajahnya agar bisa mendengar suara sang kekasihnya, dengan angin yang menerpa wajah cantiknya.“Eh, tunggu-tunggu.” Fathan dengan refleks merendahkan kecepatan motornya. Melihat Zahra yang seperti itu. “Jangan kayak gitu, sayang.”“Kenapa?” tanya Zahra lagi. Kini posisinya sudah kembali normal, tetapi posisi tubuhnya masih tetap sama.“Geser dikit, sayang. Bahaya kalau kamu kayak tadi,” kata Fathan dengan nada mengalun lembut, tapi sedikit tegas. Sesekali ia melirik kaca spi

  • Cinta Tanpa Isyarat    Bab 30

    Seketika itu Triani mengikuti arah pandang Zahra. Matanya membulat, jantngnya berdebar cepat, serta tangan kanannya mengetuk keningnya sendiri. “Dia? Tipe gue? Iyuhhh amit-amit! Cowok kayak dia bukan tipe gue banget, Ra!”“Tapi menurut gue Nandra tipe lo banget loh. Masa iya cowok sesempurna Nandra nggak masuk tipe lo?” tanya Zahra dengan kedua alis yang bertaut. Ia cukup heran dengan keputusan Triani yang sering kali berubah pikiran.“Sempurna? Nggak ada kata sempurna di kamus gue untuk dia! Lihat mukanya aja gue enek!” ujar Triani sambil memutar bola matanya malas. Apalagi saat ini orang yang sedang ia bicarakan berjalan menuju ke arah mereka.“Hai, Zahra!” Nandra menyapa Zahra ringan sambil melambaikan tangannya, serta senyuman manis yang ditunjukannya.“Hai juga, Ndra!” Zahra juga membalas ucapan Nandra dengan senyuman khasnya.“Ekhmm! Gue nggak disapa?”“Loh ternyata ada lo, Tri. Kirain cuma ada Zahra doang. Makanya gue nggak nyapa lo,” kata Nandra sambil menoleh, menyadari kalau

  • Cinta Tanpa Isyarat    Bab 29

    Dunia Nandra seakan berhenti berputar. Jantungnya berdebar cepat, bukan karena senang, tapi karena kata diakhir kalimat yang baru saja keluar dari mulut gadis itu. ‘Ada hati yang sedang gue jaga’ Tanpa Zahra sadari, ternyata selama ini Nandra menaruh peraaan terhadap gadis cantik itu. Panggilan ‘sayang’ yang selalu ia ucapkan kepada Zahra adalah bukti kalau selama ini ia menaruh rasa terhadap gadis tersebut.“Oh, selamat ya. Kamu udah balikan lagi sama mantan kamu itu...”“Ndra...maaf gue nggak bisa nerima lo. Gue harap lo ngerti, ya? Dan makasih banyak, karena selama ini lo selalu ada untuk gue. Gue berharap, setelah ini pertemanan kita jangan asing, ya? Jujur, gue nyaman temenan sama lo.” Walaupun berat hati, Zahra terpaksa mengucapkan kalimat tersebut. Ia berharap, Nandra bisa mengerti dan memakluminya.“Iya. Lo tenang aja, pertemanan kita nggak mungkin asing, Ra,” Kata Nandra yang langsung merubah panggilan dari ‘aku, kamu’ menjadi ‘gue, lo’“Ya sudah. Gue duluan, ya. Ingat janga

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status