Di bawah langit biru cerah, Zahra sedang berjalan seorang diri di sepanjang trotoar yang sempit. Kepalanya menunduk, wajahnya begitu lelah. Langkahnya pelana, tatapan matanya kosong. Ia menunduk, membiarkan pikirannya kembali tenggelam oleh kesedihan.
"Gue ngerti kalau mereka nggak tahu apa-apa tentang keluargaku. Makanya tadi Triani bilang kalau gue gadis yang beruntung. Tapi.. kenyataannya enggak." Zahra bergumam di sepanjang perjalanan. "Mungkin gue gadis yang jauh dari kata beruntung." Lanjutnya lagi, kali ini kepalanya masih menunduk. Kata-katanya begitu lirih, namun tajam dan terdengar kelas. Ucapannya terus berputar dalam kepalanya, seperti suara yang menggema. Zahra menatap jalanan beraspal, seolah ingin mencari jawaban di antara aspal itu. "Tak ada manusia yang tak beruntung di dunia ini." Suara itu barat, namun terdengar lembut. Suara laki-laki yang begitu tegang, tetapi mengandung arti tersembunyi di balik kata-kata yang terucap. "Semua manusia beruntung, asalkan mereka bisa mensyukuri apa yang sudah diberikan oleh Tuhan. Mungkin kamu merasa tak beruntung dalam hal keluarga, tetapi lihatlah dari sisi yang lain. Kamu masih hidup, kamu diberi kesehatan, kamu bisa bersekolah, itu semua keberuntungan. Yang mungkin tak bisa dirasakan oleh orang lain. Jadi jangan pernah merasa kalau kamu gadis yang jauh dari kata beruntung." Sontak Zahra langsung menghentikan langkahnya. Jantung gadis itu berdegup lebih kencang. Ia terdiam, nyaris tak bersuara. Kata-kata itu seperti menangis dinding pikirannya yang gelap, menghadirkan cahaya kecil yang hangat dan menyentuh hatinya. Perlahan, ia menoleh ke belakang, penasaran sekaligus sedikit cemas. Namun, saat ia menoleh, tak ada siapa pun di sana. Jalanan itu kosong, hanya berisi kendaraan yang berlalu lalang. Zahra diam seribu bahasa. Wajahnya memucat, matanya sedikit membesar. Ia masih berdiri di tempat, sama sekali tak bergerak. Kedua bola matanya menyapu ke kiri dan ke kanan, memastikan dirinya tak sedang diikuti. "Kok nggak ada orang?" bisiknya dengan suara nyaris tak terdengar. "Masa iya gue salah dengar?" lanjutnya lagi, mencoba untuk meyakinkan dirinya sendiri. Meskipun suara itu terdengar jelas dan terasa begitu nyata. Zahra mengusap tengkuknya yang tiba-tiba meremang. Bulu kuduknya berdiri tegak, jantungnya masih berdetak tak karuan. "Jangan-jangan suara itu penunggu jalanan ini?" gumamnya pelan, nadanya berubah menjadi gugup dan takut. Ia melirik sekitar, setelah itu kembali mempercepat langkahnya meninggalkan tempat itu. Namun, tanpa sepengetahuan Zahra, di balik pepohonan besar yang tak jauh dari tempat gadis itu berdiri. Mungil sosok leleki muda, sepertinya leleki itu seumuran dengan Zahra. Ia mengenakan jaket kulit hitam, rambutnya sedikit berantakan. Namun ada sebuah senyum kecil di sudut bibirnya. Entah senyuman kebahagiaan ataupun senyuman yang mengandung makna tersirat. Ia menatap gadis berseragam putih abu-abu yang semakin menjauh dari pandangan matanya. Tatapan matanya tertuju kepada Zahra yang mulai menghilang dari pandangannya. Lalu, ia tersenyum lagi, kali ini senyuman itu semakin jelas. Ada rasa puas, seolah kalimat yang ia ucapkan tadi memang sengaja ia tunjukkan unjuk Zahra. Untuk menyadarkan hati kecil gadis itu. ***** Zahra menghela nafas panjang, mata indahnya menatap bangunan yang sekarang sudah terpampang jelas di depan matanya. Gerbang berwarna coklat tua itu tampak begitu kokoh di hadapan Zahra. Di atas gerbang itu, terdapat tulisan "SMA Nusantara" dengan tulisan yang cukup besar. Kemudian, gadis cantik nan mungil itu berjalan dengan langkah pelan. Melewati gerbang yang dijaga oleh satpam. Zahra terus melangkah masuk, dengan tangan menggenggam erat tas ranselnya. Pandangannya menatap sekeliling, seakan ia merasa bersyukur dengan hidupnya. "Benar kata orang itu. Seharusnya aku lebih bersyukur lagi dengan apa yang sudah diberikan Tuhan kepadaku," gumamnya dengan pandangan mata menatap sekolah besar yang berada di depan matanya. Setelah bergumam, dari arah belakang, muncul sosok gadis cantik dengan balutan seragam yang senada dengannya. Gadis itu menyapa Zahra dan menghampiri sahabatnya. "Zahra!" Zahra, gadis itu menoleh, ia mendapati Triani sedang berjalan ke arahnya. Senyumannya begitu ceria, seperti suasana pada pagi ini. "Yuk masuk!"Ajak Triani yang tak lupa merangkul pundak Zahra. Mengajaknya masuk kelas. Setelah sampai di kelas, Zahra dan Triani berjalan menuju tempat duduk mereka. Kedua gadis itu berbincang sebentar, sampai pada akhirnya, gitu mata pelajaran memasuki kelas. Dan pelajaran pun dimulai. ***** ~ Bel Pulang... Bel pulang sekolah berbunyi, nyaring, menandakan waktu belajar telah usai. Para siswa yang tadinya mengantuk, kini kembali bersemangat setelah mendengar bel berbunyi. Para siswa siswi berantusias, menata peralatan tulis dan menggendong tas punggungnya. "Berdoa dulu, baru boleh pulang!" titah sang guru sambil menatap murid-muridnya yang begitu antusias saat mendengar bel pulang. Dengan semangat, ketua kelas memimpin doa, selepas itu, mereka pun keluar kelas setelah sang guru keluar terlebih dahulu. Berjalan dengan riang, menuju tempat parkir, lalu bergegas pulang ke rumahnya masing-masing. "Zahra, pulang bareng yuk!" Disaat Zahra hendak melangkah keluar kelas, tiba-tiba terdengar suara ajakan dari arah belakang. Ia pun menoleh, mendapati sosok pemuda yang baru saja beranjak dari tempat duduknya. Pemuda itu berjalan menghampiri Zahra dengan senyuman tipis di wajahnya. "Gue dijemput, Ndra. Next time aja." Zahra menolak tawaran dari Nandra. Karena memang dirinya akan segera dijemput oleh orang rumah, atupun supirnya. "Yakin? Nggak mau bareng? Rumah kita kan searah, jadi sekalian bareng aja." Nandra terus membujuk Zahra supaya mau pulang bersamanya. Lagi-lagi, Zahra hanya menggeleng pelan. "Makasih tawarannya, tapi gue nunggu jemputan aja," kata Zahra kembali menolak ajakan dari Nandra. Selepas itu, ia pun pamit dan berjalan menuju halte untuk menunggu jemputan. ••••• ~ Satu jam berlalu... Sudah satu jam lamanya Zahra menunggu jemputan, namun tak kunjung datang. Ia melirik jam yang ada di pergelangan tangannya, raut wajahnya gelisah. Semua murid sudah pulang, hanya tersisa dirinya. Ia duduk sambil menunggu jemputan datang, raut wajahnya gelisah, sesekali ia menengok kanan kiri, berharap Pak Heru segera datang. "Apa pak Heru lupa jemput?" gumam Zahra dengan pandangan terus mengamati sekitar, berharap yang ditunggu-tunggu datang. Namun, harapan itu sirna, karena mobil yang ia tunggu tak kunjung datang. "Mana ponselku mati lagi! Benar-benar sial hari ini!" gerutu Zahra sambil menatap ponselnya kesal. "Masih mau nolak tawaranku?" Zahra menengok samping, mendapati Nandra yang sedang duduk santai di atas jok motor. Nandra menatap Zahra sambil menaik turunkan alisnya. Seakan sedang meledek gadis itu. "Bareng gue aja, Ra. Gue anterin sampai depan rumah, kalau bisa ke pelaminan. Itupun kalau lo mau," katanya sambil mengulum senyum tipis. "Apaan si, Ndra." Nandra terkekeh saat mendengar suara Zahra yang terdengar ketus. Lalu, pria itu turun dari atas motornya, menghampiri Zahra dengan langkah tegap. "Lo mau kan?" tanyanya lagi. "Mau apa?" "Mau gue anterin ke pelaminan?" "Emang lo mau anterin gue?" tanya Zahra, mencoba untuk membalas gurauan dari Nandra. "Tanpa lo tanya, gue mau kok." "Yaudah, kalau suatu saat nanti gue nikah, lo anterin gue ke pelaminan ya? Itung-itung lo jadi bridesmaids." kata Zahra sambil tertawa puas saat melihat ekspresi wajah Nandra yang berubah menjadi masam. "Gue penginnya jadi calon pengantin pria, Ra. Bukan bridesmaids!" protes Nandra, raut wajahnya kusut, bibirnya melengkung ke bawah seperti bulan sabit yang terbalik. "Makanya jangan gombal, Ndra! Nggak mempan gombalan lo ke gue!" "Garing ya?" tanya Nandra, tatapan matanya polos, seperti bayi yang baru lahir. "Iya. Kayak muka Lo yang garing kayak kanebo kering!" Mendengar ledekan dari Zahra, seketika Nandra terdiam. Zahra yang melihat itu semua, ia pun merasa bersalah dan akhirnya kembali bersuara. "Gue bercanda! Jangan baper dong!" Akhirnya Zahra berkata jujur saat melihat wajah Nandra yang semakin kusut, seperti tak bersemangat untuk hidup. "Beneran? Jadi gue punya kesempatan buat jadi calon suami lo?" Mendengar kata 'Bercanda' yang keluar dari mulut Zahra. Nandra kembali bersemangat lagi untuk terus mendapatkan hati gadis itu. "Hmm." 'Yes! Gue akan gunakan waktu ini untuk bahagiain Zahra dan akan selalu ada di sisinya. Setelah itu, pasti dia nggak nolak gue lagi,' batin Nandra sambil tersenyum misterius. Bukan senyum ramah, melainkan seyuman yang mengandung makna tertentu. Plak! Zahra memukul lengan Nandra dengan ekspresi wajah kebingungan bercampur rasa takut. "Ndra! Lo jangan nakut-nakutin gue dong!" ujar Zahra yang sedikit takut dengan senyuman yang ditunjukkan oleh Nandra. Mendengar suara pukulan dan ucapan dari Zahra, sontak Nandra pun tersadar dan menatap ke arah Zahra. "Kenapa, Ra?" "Tadi kenapa lo senyum-senyum?" "Gue lagi mikirin sesuatu." "Mikirin apa?" tanya Zahra sambil menyatukan alisnya dan menatap Nandra serius. "Gue lagi bayangin kalau pertemanan kita sampai di pelaminan."“Oh, jadi lo bohongin gue? Mana pura-pura pingsan lagi!” Akhirnya Zahra sadar jika ini semua hanyalah sebuah sandiwara Fathan semata. “Kalau iya emangnya kenapa?” tanya Fathan sambil menaik turunkan alisnya, menatap Zahra, bahkan ia sambil mengedipkan sebelah matanya. Saat ini ia sudah duduk dengan sempurna, sedangkan tatapan matanya terus tertuju kepada Zahra. “Ihhhh! Ngeselin banget siiii!!!” Karena gemas, Zahra langsung mencubit perut Fathan, tujuannya hanya satu. Ingin menumpahkan kekesalan yang ada di hatinya. “Ampun, Ra...ampun, aku minta maaf...” “Nggak ada kata maaf buat orang ngeselin kayak lo!” Bukannya berhenti, Zahra kembali menggelitiki Fathan. Ada rasa puas ketika melihat Fathan terpaksa tertawa. “Ngeselin tapi khawatir , kan? Apalagi waktu aku denger suara kamu yang panik banget. Takut kehilangan aku, yaaa?” bukannya berhenti, Fathan terus meledek Zahra. Bahkan wajahnya semakin dimajukan ke depan, dengan pandangan mata tetap tertuju ke wajah cantik mantan pacarnya.
Namun, dari dalam kamar, Zahra sama sekali tak menggubris ucapan dari Fathan. Gadis itu duduk di atas lantai sambil bersandar di dinding kamarnya. Menenggelamkan wajahnya sambil terisak pelan. "Bukan gue nggak mau ketemu lo lagi, Fathan..tapi ucapan lo itu masih terasa di dada ini.." lirihnya sambil menyembunyikan kepalanya di antara kedua kakinya. "Gue tetap di sini, gue nggak akan pulang sebelum lo keluar dan temui gue!""Fathan, mending lo pergi saja. Gue pengin sendiri!" balas Zahra dari dalam kamarnya, tubuhnya masih dalam posisi yang sama. Masih meringkuk di pojokan. "Gue nggak pulang sebelum lo temui gue, titik!""Lo bandel banget sih! Di luar hujan, Fathan! Mending lo pulang, daripada nanti sakit, malah gue yang disalahkan!" "Biarin! Biarin gue sakit! Gue gak peduli! Yang terpenting sekarang lo mau temui gue, sebentar saja, Ra..." suara Fathan bercampur dengan rintikan air hujan yang jatuh membasahi bumi. Semakin lama, suara hujan itu semakin terdengar dengan kerasnya. "D
"Guys, gue sama Zahra duluan ya," ujar Triani tiba-tiba begitu mereka berdua telah kembali ke mejanya masing-masing. Semua teman seangkatannya seketika langsung menoleh ke arah Zahra dan Triani. Mereka semua saling pandang setelah mendengar perkataan Triani yang sangat tiba-tiba itu. "Loh, kenapa? Ada masalah?""Lo yang ngajak kita, terus lo juga yang ninggalin kita di sini? Ada apa sih?""Sorry, guys. Sebenarnya gue pengin banget ngumpul bareng kalian. Tapi saat ini yang jauh lebih penting itu kondisinya Zahra." Perkataan Triani langsung membuat semua orang kembali mengalihkan pandanganya ke arah Zahra, yang sedang berdiri di sampingnya Triani. "Lo kenapa, Ra? Nggak enak badan?""Apa ada masalah lain?""Udah nanti saja tanyanya. Yang penting sekarang Zahra harus pergi dulu dari tempat ini," sela Triani supaya mereka tak bertanya lagi kepada zahra. "Ayo, Ra!" ajak Triani sambil melirik Zahra, kemudian gadis itu menarik pergelangan tangan Zahra dan berjalan pergi meninggalkan cafe t
“Kalau Zahra nggak mau ya jangan dipaksa dong!” Tiba-tiba terdengar suara yang nyaring dari arah belakang. Sontak mereka berdua langsung menoleh ke arah sumber suara dan mendapati Triani sedang berdiri dengan ekspresi wajah yang mengkerut.Triani melangkahkan kakinya menghampiri mereka berdua, tatapannya terus tertuju kepada mereka, seolah tak ada hal menarik lainnya, selain Zahra dan Fathan. Melihat tatapan tajam yang dilontarkan Triani, sontak langsung membuat Zahra dan Fathan seketika menundukkan kepalanya.PLAK!Tanpa basa-basi, Triani mendaratkan salah satu tangannya tepat di pipi kiri Fathan, gerakannya begitu tiba-tiba sehinggga Zahra dan Fathan langsung melebarkan bola matanya, terutama Fathan.“Triani!”“Biarin aja, Ra. Orang kayak dia pantas ditampar, bahkan kalau bisa dihajar habis-habisan juga gapapa,” karena sudah begitu muak dengan tampang Fathan, membuat Triani berkata asal-asalan, tanpa memikirkan perasaan orang lain saja.“Ya gue tau kalau Fathan salah, tapi jangan ma
“Ngapain sih lo ajak gue ke sini?" tanya Zahra yang langsung terus terang, gadis itu tak suka berbasa-basi apalagi dengan cowok yang dulu pernah menyakitinya.Fathan tak menjawab, pria itu menatap Zahra dengan tatapan sendu, seolah menyesal telah membuat keputusan yang ternyata malah menyakitinya. Perlahan, ia mengambil tangan Zahra, menyentuh tangan mulus itu sambil menatap dalam-dalam bola mata kecoklatan milik gadis itu."Zahra..."Deg!Mendengar suara lembut dari Fathan, seketika membuat jantung gadis itu berpancu lebih cepat dari biasanya. Dengan refleks, ia menatap balik bola mata Fathan, keduanya saling bertatapan satu sama lain."Apa kamu mau tau perasaanku setelah kita putus?"Entah keberanian apa yang membuat Zahra menganggukkan kepalanya. Melihat hal itu, Fathan mengulum senyum tipis, nyaris tak terlihat."Jujur, Ra...setelah kita putus waktu itu, namamu masih tersematkan di hatiku, Ra..."Deg!Zahra menatap Fathan dalam-dalam, mencoba untuk mencermati gerak-gerik dari Fath
"Sorry guys, kita telat ya? Tadi macet soalnya."Begitu mobil Triani sudah terparkir rapi di area parkir dan mereka berdua sudah masuk kedalam cafe. Ternyata temen-temen yang lain sudah datang terlebih dahulu. "Gapapa kok lagian masih ada yang belum datang," sahut Fariza sambil menyeruput minuman miliknya. Setelah berjabat tangan layaknya seorang teman, Triani dan Zahra duduk di kursi dan bergabung bersama mereka. Candaan ringan terdengar di malam hari, sehingga membuat suasananya terasa menghangat. Hingga beberapa detik kemudian, pintu cafe terdengar, seolah ada yang baru saja melangkah masuk. Pandangan mereka langsung teralihkan oleh sosok tampan yang sedang berjalan ke arahnya. "Akhirnya lo datang juga, bro!" sahut Kevin setelah mengetahui siapa yang baru datang. Fathan tak menjawab, lelaki itu hanya mengangguk sambil tersenyum tipis, itupun hanya beberapa detik sebelum kembali ke muka datarnya. Lelaki itu menarik kursi dan ikut bergabung bersama mereka. Sementara Zahra, gadi