Home / Romansa / Cinta Tanpa Isyarat / 04. Perlakuan yang Sama

Share

04. Perlakuan yang Sama

Author: Zafar_Zahra
last update Last Updated: 2025-07-12 21:53:48

"Gue lagi bayangin kalau pertemanan kita sampai di pelaminan."

"Maksudnya lo mau nikahin gue?"

Nandra mengangguk penuh semangat. "Iya, Ra. Setelah itu gue janji bakal bahagiain lo," katanya, sepertinya nadanya terdengar sungguh-sungguh. Namun Zahra belum pernah memikirkan pernikahan terlebih dahulu.

"Udahlah, Ndra. Jangan bercanda terus. Kita ini masih sekolah, kejar dulu cita-cita, setelah itu boleh mikirin nikah!" kata Zahra yang tak mau membahas soal pernikahan.

"Cita-citaku pengin nikah sama kamu, Ra." Ucapan itu, walaupun dengan nada gurauan, tetapi langsung membuat hati Zahra tersentuh.

Perkataan Nandra membuat ia teringat kepada seseorang. Seseorang yang pernah mengatakan hal yang sama, namun beda orang, beda suasana dan bahkan hatinya berbeda.

"Cita-cita kamu apa?"

"Cita-citaku pengin nikah sama kamu, Ra."

Kalimat-kalimat itu memenuhi isi pikirannya. Gadis itu juga membayangkan kenangan manis bersama seseorang yang mungkin tak pernah lagi bersama.

'Aku kangen sama kamu, Rez...'

"Zahra? Lo kenapa?" tanya Nandra panik saat melihat Zahra diam dengan bola mata yang mulai berkaca-kaca.

"Gue gapapa kok, Ndra." Jawabnya setelah kembali tersadar kalau kenangan itu tak mungkin kembali lagi. Mungkin bisa, tapi dengan orang yang berbeda.

Nandra mengangguk, lalu menarik pergelangan tangan Zahra dengan lembut. Setelah itu, ia meraih helm dan memakaikannya di kepala Zahra.

Melihat perlakukan Nandra yang begitu perhatian. Zahra kembali teringat tentang seorang pria yang nama panggilannya 'Rez'. Pria yang sama-sama memperlakukan dirinya dengan baik, sama seperti apa yang dilakukan Nandra.

"Loh, kok gue yang pake helm? Lo enggak?" tanya Zahra heran kepada Nandra. Kenapa dirinya yang pakai helm? Padahal ia hanya membonceng Nandra.

"Gue nggak mau lo kenapa-kenapa. Udah, nurut aja, ya?"

Deg!

Kata-kata itu...Zahra masih teringat dengan kata-kata yang diucapkan oleh pria lain. 'Ternyata aku belum bisa lupain kamu, Rez...kenangan kita masih membekas di ingatanku.' batin Zahra sambil teringat dengan kenangan bersama pria itu.

"Jangan lupa pakai helm. Biar kepala kamu nggak terbentur!"

"Terus kamu gimana? Masa yang bonceng pake helm, sedangkan kamu enggak?"

"Udah, nurut aja. Yang penting kamu nggak kenapa-kenapa."

"Aneh banget kamu, Rez!"

"Apapun aku lakukan, demi melindungi Perempuanku."

" Emang siapa perempuanmu?"

"Kamu."

Zahra tersenyum kala mengingat moment yang paling berkesan di hatinya. Tanpa gadis itu sadari, Nandra yang melihat Zahra tersenyum, pemuda itu mengira kalau Zahra salting.

'Ini beneran kan? Zahra senyum karena perlakukan gue? Itu artinya dia juga ada rasa. Cuma saja gengsi untuk ungkapin duluan.' batin Nandra kegirangan. Bahkan ia sampai tersenyum begitu lebar.

"Zahra?" panggil Nandra, suaranya mengalun lembut.

"Iya sayang?"

Deg!

•••

'Zahra panggil gue sayang? Omg!!! Ini kejadian yang langka banget! Harus gue abadikan pokoknya!' batin Nandra dengan senyuman yang tak pernah luntur dari wajahnya.

Sedangkan di jok belakang, Zahra hanya diam, tatapannya kosong, tak mengarah ke mana-mana. Tangannya masih menyentuh ringan pundak Nandra, pikirannya sibuk sendiri.

"Pegangan, Ra!" seru Nandra sambil sedikit menoleh ke belakang.

Nandra melirik spion motor yang mengarah ke wajah Zahra. Ia merasa heran karena gadis itu tak memberikan reaksi sedikitpun. "Zahra? Lo nggak tidur kan?" tanyanya yang mulai khawatir.

Namun Zahra masih diam. Pikirannya melayang-layang entah kemana. Ia memikirkan hubungan keluarganya yang semakin renggang, memikirkan sosok pria yang hampir satu tahun lebih menemaninya, namun sekarang tersisa kenangan.

'Andai dulu kita paksakan terus bersama. Mungkin aku sedikit merasa lebih bahagia, walaupun keluargaku tak harmonis, tapi aku masih punya kamu. Tetapi sekarang...hati kamu sudah bukan menjadi milikku lagi, Rez..'

"Hellooo?? Zahra lo dengar nggak sih??" Nandra kembali memanggil, kali ini dengan nada cemasnya.

Karena merasa khawatir kalau gadis itu terluka, akhirnya Nandra menepikan motornya ke pinggir jalan yang cukup lenggang. Saat motor itu berhenti, Zahra baru tersadar dari lamunannya.

"Kenapa berhenti?" tanyanya pelan dan bingung.

Ia turun dari boncengan, lalu berdiri di samping Nandra yang masih sibuk mengurus motornya. Selepas itu, Nandra menatap Zahra dengan napas lega.

"Syukurlah. Gue kira lo tidur," katanya sambil menghela napas lega. Melihat kondisi Zahra yang ternyata baik-baik saja.

Zahra menaikkan alisnya. "Tidur? Gue nggak tidur, Ndra."

Nandra memandangi wajah Zahra dengan ekspresi tak percaya. "Tapi kenapa lo diam aja? Gue panggil juga nggak ada jawaban. Jadi gue pikir lo tidur atau lagi mikirin sesuatu?"

"Lo kenapa panggil gue?" tanya Zahra menautkan alisnya, pertanda bahwa ia tak mengerti.

"Nggak ada apa-apa sih. Cuma pengin pastiin Lo nggak kenapa-kenapa."

Zahra mengangguk kecil. "Owh. Kirain kenapa."

Nandra melihat wajah Zahra yang tanpa murung, penida itu mencoba membaca ekspresi Zahra dengan tatapan terfokuskan kepada wajah cantik gadis ini. "Lo lagi mikirin sesuatu, ya?"

Zahra menggeleng. "Enggak. Gue cuma kecapean aja kok," jawabnya, tentu saja ia berbohong.

Nandra merasa tak yakin dengan jawaban dari Zahra. Pemuda itu mengambil kedua tangan Zahra, menggenggamnya erat-erat, seraya menatap manik kecoklatan milik gadis ini.

"Beneran?" tanya Nandra memastikan. Pandangannya terkunci ke sorot mata indah milik Zahra.

"Iya, Ndra. Lebih baik kita pulang, Ndra. Gue pengin cepat sampai rumah," jawab Zahra sambil menghindari tatapan itu dan mencoba melepaskan tangannya dari genggaman Nandra.

"Iya, kita pulang. Tapi kalau lo butuh teman curhat, Lo bisa curhat ke gue. Gratis, nggak ada biaya apapun." kata Nandra lembut, ia juga mengusap kepala Zahra dengan penuh kasih sayang.

Zahra hanya mengangguk pelan sambil berusaha untuk menjaga ekspresi wajahnya. Ia tak ingin menunjukkan ke Nandra kalau dirinya sedang banyak pikiran.

•••

Sesampainya di depan rumah, Zahra titik perlahan dari atas motor Nandra. Rumah bercat kuning cerah itu berdiri tenang di tengah halaman taman yang ditumbuhi berbagai macam umbi-umbian dan sayuran. Dari luar, rumah itu terlihat seperti rumah yang nyaman dan teduh. Tetapi bagi Zahra, rumah itu tak seindah yang dibayangkan oleh orang-orang.

"Makasih ya, Ndra. Udah mau anterin gue pulang," kata Zahra sambil tersenyum ramah, sebagai ucapan terima kasih kepada pria itu.

Nandra tersenyum sambil menatap gadis itu sejenak. "Sama-sama, Ra. Ingat, kalau ada apa-apa, bisa langsung kabari gue. Jangan sungkan, ya?"

Zahra tersenyum sambil mengangguk. "Iya, Ndra. Sekali lagi makasih banyak."

Zahra menatap punggung Nandra yang sudah menghilang di balik tikungan. Ia menghela nafas panjang sebelum membuka gerbang rumahnya.

Begitu Zahra masuk ke dalam rumah, lelahnya semakin terasa sejak perjalanan pulang. Hawa ringan ini juga terasa berbeda, lebih tegang dah lebih sempit. Begitu Zahra melanjutkan langkahnya, tiba-tiba terdengar suara seorang wanita paruh baya yang membuat hatinya kembali bergejolak.

"Siapa itu? Pacar kamu?"

Suara ketus itu menyambar dari arah ruang tengah. Tante Sinta, kakak kandung ayahnya, muncul dari ambang pintu dengan wajah yang mencibir.

Zahra menarik nafas dalam-dalam, mencoba untuk menahan letupan emosi yang mulai mendesak keluar.

"Bukan, Tan. Cuma taman," jawabnya singkat, tak ingin berlama-lama mengobrol bersama Tantenya, yang merasa paling benar.

Sinta menyipitkan matanya, tatapannya penuh dengan kecurigaan. "Alah! Ngaku aja deh! Masih Ama kok udah pacaran. Nggak malu apa?!" Nada bicaranya tajam, seperti pisau yang baru diasah, bukan untuk memotong buah, melainkan hati Zahra.

"Dia temanku, Tan. Nggak lebih, apalagi pacar!"

Tetapi ucapannya tak dipercaya oleh Sinta. Perempuan itu melangkah mendekat dengan tangan bersedekap di dada.

"Jadi kamu pulang telat karena cowok itu? Jangan-jangan keluyuran dulu sama dia?"

"Aku pulang telat karena nggak ada yang jemput. Nandra cuma nganterin aku pulang. Kebetulan rumah kita searah." Nada suara Zahra mulai meninggi, bukan karena mereka saja, melainkan rasa lelah karena terus dituduh oleh Tantenya sendiri.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cinta Tanpa Isyarat    Bab 34

    Keesokan harinya, mentari pagi telah bersinar, meneragi bumi dengan kehangatan sinarnya. Sinar itu berhasil masuk di celah-celah jendela kamar milik seorang gadis.Di balik selimut tebal berwarna pink itu, terapat seorang gadis yang baru saja terbangun dari tidur lelapnya. Ia terbangun ketika mendengar alarm ponselnya yang berbunyi begitu nyaring, bahkan suara itu menggema di penjuru kamarnya. Ia menggerakan tubuhnya, meregangkan otot-otot yang semula sedikit tegang. Setelah nyawanya sudah terkumpul sepenuhnya, ia mengambil ponsel itu kemudian mematikan alarm yang masih terus menyala.“Astaga! Udah jam tujuh!” pekiknya keras, saat tak sengaja melihat jam yang terpampang di layar ponselnya.Seketika itu rasa kantuknya perlahan menghilang begitu saja. Tanpa banyak bicara, Zahra melompat dari kasur dan langsung bergegas ke kamar mandi. Sebelum benar-benar masuk ke kamar mandi, ia menyambar handuk. Seakan ia tak peduli dengan rambutnya yang masih berantakan......Sementara di ruang kelua

  • Cinta Tanpa Isyarat    Bab 33

    "Kita mau ke mana, Ndra?" Zahra bertanya, suaranya sedikit bergetar, sesaat motor milik Nandra sudah berhenti. Gadis itu mengedarkan pandangannya ke arah sekitar. Semuanya terasa gelap, asing, dan sunyi. Hanya ada mereka berdua ditemani oleh dinginnya angin malam dan bayangan pepohonan yang semakin terasa menyeramkan. Di depannya, berdiri rumah tua dengan jendela yang berdebu, atapnya dipenuhi oleh daun kering. Semuanya terasa begitu mencekam di mata Zahra. Tengkuk Zahra terasa begitu dingin, gadis itu refleks merapatkan tubuhnya, memeluk lengan Nandra erat-erat. Melihat sikap Zahra yang terasa aneh, Nandra pun berucap. "Nggak usah takut, Ra. Kan ada aku." Jawaban Nandra terdengar lembut, namun jawaban itu tak mampu membuat rasa takut yang ada di dalam diri Zahra menghilang begitu saja.Zahra tak mampu menjawab. Ia memejamkan mata sambil memeluk erat lengan Nandra. Menyembunyikan wajahnya di balik bahu leleki itu. Ia tak sanggup melihat pemandangan rumah tua yang begitu menyeramka

  • Cinta Tanpa Isyarat    Bab 32

    “Kamu ngapain kamu ke sini?”“Gue ada tugas buat lo.”“Tugas apaan?”Orang bertopeng itu mendekatkan tubuhnya, kemudian membisikan sesatu tepat di telinga orang yang menjadi lawan bicaranya. Terlihat di sana, lawan bicaranya hanya mengangguk pelan, pertanda bahwa ia mengerti apa yang sedang dibicarakan.Setelah hampir tiga menit mereka membisikan sesuatu, orang bertopeng itu menatap lawan bicaranya sambil mengangkat kedua alisnya. “Gimana?” tanyanya dengan nada datar dan tanpa ekspresi sama sekali.“Boleh. Tapi boleh lah itunya ditambahin lagi.”Orang bertopeng itu mengangguk sambil tersenyum tipis. “Masalah uang aman. Yang penting lo kerjakan dulu apa yang gue suruh. Kalau sampai gagal, gue nggak akan bayar lo, paham?!” Ujarnya menekan mata ‘paham’ di akhir kalimat yang ia ucapkan.“Kalau sama gue, semuanya beres. Lo tinggal duduk manis sambil denger kabar baik dari gue,” jawabnya sambil nmenunjukkan bahwa ia mudah untuk dipercaya.“Oke. Gue tunggu kabar baik dari lo!” Kata orang ber

  • Cinta Tanpa Isyarat    Bab 31

    “Sayang,” Suara Fathan sedikit meninggi, melawan suara deru motor dan angin yang menerpa wajahnya. Ia menolah sekilas ke kaca spion, mencoba menatap wajah Zahra yang tersembunyi di balik helm yang gadis itu kenakan. “Tadi kamu lihat mukanya Triani nggak?” lanjutnya sambil bertanya.“Aku nggak merhatiin, emangnya kenapa?” tanya Zahra, suaranya terdengar samar. Karena efek dari suara berising yang ada di sekitarnya. Ia kemudian bergerak, memajukan sedikit kepalanya melewati bahu kanan Fathan. Ia berusaha mendekatkan wajahnya agar bisa mendengar suara sang kekasihnya, dengan angin yang menerpa wajah cantiknya.“Eh, tunggu-tunggu.” Fathan dengan refleks merendahkan kecepatan motornya. Melihat Zahra yang seperti itu. “Jangan kayak gitu, sayang.”“Kenapa?” tanya Zahra lagi. Kini posisinya sudah kembali normal, tetapi posisi tubuhnya masih tetap sama.“Geser dikit, sayang. Bahaya kalau kamu kayak tadi,” kata Fathan dengan nada mengalun lembut, tapi sedikit tegas. Sesekali ia melirik kaca spi

  • Cinta Tanpa Isyarat    Bab 30

    Seketika itu Triani mengikuti arah pandang Zahra. Matanya membulat, jantngnya berdebar cepat, serta tangan kanannya mengetuk keningnya sendiri. “Dia? Tipe gue? Iyuhhh amit-amit! Cowok kayak dia bukan tipe gue banget, Ra!”“Tapi menurut gue Nandra tipe lo banget loh. Masa iya cowok sesempurna Nandra nggak masuk tipe lo?” tanya Zahra dengan kedua alis yang bertaut. Ia cukup heran dengan keputusan Triani yang sering kali berubah pikiran.“Sempurna? Nggak ada kata sempurna di kamus gue untuk dia! Lihat mukanya aja gue enek!” ujar Triani sambil memutar bola matanya malas. Apalagi saat ini orang yang sedang ia bicarakan berjalan menuju ke arah mereka.“Hai, Zahra!” Nandra menyapa Zahra ringan sambil melambaikan tangannya, serta senyuman manis yang ditunjukannya.“Hai juga, Ndra!” Zahra juga membalas ucapan Nandra dengan senyuman khasnya.“Ekhmm! Gue nggak disapa?”“Loh ternyata ada lo, Tri. Kirain cuma ada Zahra doang. Makanya gue nggak nyapa lo,” kata Nandra sambil menoleh, menyadari kalau

  • Cinta Tanpa Isyarat    Bab 29

    Dunia Nandra seakan berhenti berputar. Jantungnya berdebar cepat, bukan karena senang, tapi karena kata diakhir kalimat yang baru saja keluar dari mulut gadis itu. ‘Ada hati yang sedang gue jaga’ Tanpa Zahra sadari, ternyata selama ini Nandra menaruh peraaan terhadap gadis cantik itu. Panggilan ‘sayang’ yang selalu ia ucapkan kepada Zahra adalah bukti kalau selama ini ia menaruh rasa terhadap gadis tersebut.“Oh, selamat ya. Kamu udah balikan lagi sama mantan kamu itu...”“Ndra...maaf gue nggak bisa nerima lo. Gue harap lo ngerti, ya? Dan makasih banyak, karena selama ini lo selalu ada untuk gue. Gue berharap, setelah ini pertemanan kita jangan asing, ya? Jujur, gue nyaman temenan sama lo.” Walaupun berat hati, Zahra terpaksa mengucapkan kalimat tersebut. Ia berharap, Nandra bisa mengerti dan memakluminya.“Iya. Lo tenang aja, pertemanan kita nggak mungkin asing, Ra,” Kata Nandra yang langsung merubah panggilan dari ‘aku, kamu’ menjadi ‘gue, lo’“Ya sudah. Gue duluan, ya. Ingat janga

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status