"Gue lagi bayangin kalau pertemanan kita sampai di pelaminan."
"Maksudnya lo mau nikahin gue?" Nandra mengangguk penuh semangat. "Iya, Ra. Setelah itu gue janji bakal bahagiain lo," katanya, sepertinya nadanya terdengar sungguh-sungguh. Namun Zahra belum pernah memikirkan pernikahan terlebih dahulu. "Udahlah, Ndra. Jangan bercanda terus. Kita ini masih sekolah, kejar dulu cita-cita, setelah itu boleh mikirin nikah!" kata Zahra yang tak mau membahas soal pernikahan. "Cita-citaku pengin nikah sama kamu, Ra." Ucapan itu, walaupun dengan nada gurauan, tetapi langsung membuat hati Zahra tersentuh. Perkataan Nandra membuat ia teringat kepada seseorang. Seseorang yang pernah mengatakan hal yang sama, namun beda orang, beda suasana dan bahkan hatinya berbeda. "Cita-cita kamu apa?" "Cita-citaku pengin nikah sama kamu, Ra." Kalimat-kalimat itu memenuhi isi pikirannya. Gadis itu juga membayangkan kenangan manis bersama seseorang yang mungkin tak pernah lagi bersama. 'Aku kangen sama kamu, Rez...' "Zahra? Lo kenapa?" tanya Nandra panik saat melihat Zahra diam dengan bola mata yang mulai berkaca-kaca. "Gue gapapa kok, Ndra." Jawabnya setelah kembali tersadar kalau kenangan itu tak mungkin kembali lagi. Mungkin bisa, tapi dengan orang yang berbeda. Nandra mengangguk, lalu menarik pergelangan tangan Zahra dengan lembut. Setelah itu, ia meraih helm dan memakaikannya di kepala Zahra. Melihat perlakukan Nandra yang begitu perhatian. Zahra kembali teringat tentang seorang pria yang nama panggilannya 'Rez'. Pria yang sama-sama memperlakukan dirinya dengan baik, sama seperti apa yang dilakukan Nandra. "Loh, kok gue yang pake helm? Lo enggak?" tanya Zahra heran kepada Nandra. Kenapa dirinya yang pakai helm? Padahal ia hanya membonceng Nandra. "Gue nggak mau lo kenapa-kenapa. Udah, nurut aja, ya?" Deg! Kata-kata itu...Zahra masih teringat dengan kata-kata yang diucapkan oleh pria lain. 'Ternyata aku belum bisa lupain kamu, Rez...kenangan kita masih membekas di ingatanku.' batin Zahra sambil teringat dengan kenangan bersama pria itu. "Jangan lupa pakai helm. Biar kepala kamu nggak terbentur!" "Terus kamu gimana? Masa yang bonceng pake helm, sedangkan kamu enggak?" "Udah, nurut aja. Yang penting kamu nggak kenapa-kenapa." "Aneh banget kamu, Rez!" "Apapun aku lakukan, demi melindungi Perempuanku." " Emang siapa perempuanmu?" "Kamu." Zahra tersenyum kala mengingat moment yang paling berkesan di hatinya. Tanpa gadis itu sadari, Nandra yang melihat Zahra tersenyum, pemuda itu mengira kalau Zahra salting. 'Ini beneran kan? Zahra senyum karena perlakukan gue? Itu artinya dia juga ada rasa. Cuma saja gengsi untuk ungkapin duluan.' batin Nandra kegirangan. Bahkan ia sampai tersenyum begitu lebar. "Zahra?" panggil Nandra, suaranya mengalun lembut. "Iya sayang?" Deg! ••• 'Zahra panggil gue sayang? Omg!!! Ini kejadian yang langka banget! Harus gue abadikan pokoknya!' batin Nandra dengan senyuman yang tak pernah luntur dari wajahnya. Sedangkan di jok belakang, Zahra hanya diam, tatapannya kosong, tak mengarah ke mana-mana. Tangannya masih menyentuh ringan pundak Nandra, pikirannya sibuk sendiri. "Pegangan, Ra!" seru Nandra sambil sedikit menoleh ke belakang. Nandra melirik spion motor yang mengarah ke wajah Zahra. Ia merasa heran karena gadis itu tak memberikan reaksi sedikitpun. "Zahra? Lo nggak tidur kan?" tanyanya yang mulai khawatir. Namun Zahra masih diam. Pikirannya melayang-layang entah kemana. Ia memikirkan hubungan keluarganya yang semakin renggang, memikirkan sosok pria yang hampir satu tahun lebih menemaninya, namun sekarang tersisa kenangan. 'Andai dulu kita paksakan terus bersama. Mungkin aku sedikit merasa lebih bahagia, walaupun keluargaku tak harmonis, tapi aku masih punya kamu. Tetapi sekarang...hati kamu sudah bukan menjadi milikku lagi, Rez..' "Hellooo?? Zahra lo dengar nggak sih??" Nandra kembali memanggil, kali ini dengan nada cemasnya. Karena merasa khawatir kalau gadis itu terluka, akhirnya Nandra menepikan motornya ke pinggir jalan yang cukup lenggang. Saat motor itu berhenti, Zahra baru tersadar dari lamunannya. "Kenapa berhenti?" tanyanya pelan dan bingung. Ia turun dari boncengan, lalu berdiri di samping Nandra yang masih sibuk mengurus motornya. Selepas itu, Nandra menatap Zahra dengan napas lega. "Syukurlah. Gue kira lo tidur," katanya sambil menghela napas lega. Melihat kondisi Zahra yang ternyata baik-baik saja. Zahra menaikkan alisnya. "Tidur? Gue nggak tidur, Ndra." Nandra memandangi wajah Zahra dengan ekspresi tak percaya. "Tapi kenapa lo diam aja? Gue panggil juga nggak ada jawaban. Jadi gue pikir lo tidur atau lagi mikirin sesuatu?" "Lo kenapa panggil gue?" tanya Zahra menautkan alisnya, pertanda bahwa ia tak mengerti. "Nggak ada apa-apa sih. Cuma pengin pastiin Lo nggak kenapa-kenapa." Zahra mengangguk kecil. "Owh. Kirain kenapa." Nandra melihat wajah Zahra yang tanpa murung, penida itu mencoba membaca ekspresi Zahra dengan tatapan terfokuskan kepada wajah cantik gadis ini. "Lo lagi mikirin sesuatu, ya?" Zahra menggeleng. "Enggak. Gue cuma kecapean aja kok," jawabnya, tentu saja ia berbohong. Nandra merasa tak yakin dengan jawaban dari Zahra. Pemuda itu mengambil kedua tangan Zahra, menggenggamnya erat-erat, seraya menatap manik kecoklatan milik gadis ini. "Beneran?" tanya Nandra memastikan. Pandangannya terkunci ke sorot mata indah milik Zahra. "Iya, Ndra. Lebih baik kita pulang, Ndra. Gue pengin cepat sampai rumah," jawab Zahra sambil menghindari tatapan itu dan mencoba melepaskan tangannya dari genggaman Nandra. "Iya, kita pulang. Tapi kalau lo butuh teman curhat, Lo bisa curhat ke gue. Gratis, nggak ada biaya apapun." kata Nandra lembut, ia juga mengusap kepala Zahra dengan penuh kasih sayang. Zahra hanya mengangguk pelan sambil berusaha untuk menjaga ekspresi wajahnya. Ia tak ingin menunjukkan ke Nandra kalau dirinya sedang banyak pikiran. ••• Sesampainya di depan rumah, Zahra titik perlahan dari atas motor Nandra. Rumah bercat kuning cerah itu berdiri tenang di tengah halaman taman yang ditumbuhi berbagai macam umbi-umbian dan sayuran. Dari luar, rumah itu terlihat seperti rumah yang nyaman dan teduh. Tetapi bagi Zahra, rumah itu tak seindah yang dibayangkan oleh orang-orang. "Makasih ya, Ndra. Udah mau anterin gue pulang," kata Zahra sambil tersenyum ramah, sebagai ucapan terima kasih kepada pria itu. Nandra tersenyum sambil menatap gadis itu sejenak. "Sama-sama, Ra. Ingat, kalau ada apa-apa, bisa langsung kabari gue. Jangan sungkan, ya?" Zahra tersenyum sambil mengangguk. "Iya, Ndra. Sekali lagi makasih banyak." Zahra menatap punggung Nandra yang sudah menghilang di balik tikungan. Ia menghela nafas panjang sebelum membuka gerbang rumahnya. Begitu Zahra masuk ke dalam rumah, lelahnya semakin terasa sejak perjalanan pulang. Hawa ringan ini juga terasa berbeda, lebih tegang dah lebih sempit. Begitu Zahra melanjutkan langkahnya, tiba-tiba terdengar suara seorang wanita paruh baya yang membuat hatinya kembali bergejolak. "Siapa itu? Pacar kamu?" Suara ketus itu menyambar dari arah ruang tengah. Tante Sinta, kakak kandung ayahnya, muncul dari ambang pintu dengan wajah yang mencibir. Zahra menarik nafas dalam-dalam, mencoba untuk menahan letupan emosi yang mulai mendesak keluar. "Bukan, Tan. Cuma taman," jawabnya singkat, tak ingin berlama-lama mengobrol bersama Tantenya, yang merasa paling benar. Sinta menyipitkan matanya, tatapannya penuh dengan kecurigaan. "Alah! Ngaku aja deh! Masih Ama kok udah pacaran. Nggak malu apa?!" Nada bicaranya tajam, seperti pisau yang baru diasah, bukan untuk memotong buah, melainkan hati Zahra. "Dia temanku, Tan. Nggak lebih, apalagi pacar!" Tetapi ucapannya tak dipercaya oleh Sinta. Perempuan itu melangkah mendekat dengan tangan bersedekap di dada. "Jadi kamu pulang telat karena cowok itu? Jangan-jangan keluyuran dulu sama dia?" "Aku pulang telat karena nggak ada yang jemput. Nandra cuma nganterin aku pulang. Kebetulan rumah kita searah." Nada suara Zahra mulai meninggi, bukan karena mereka saja, melainkan rasa lelah karena terus dituduh oleh Tantenya sendiri.“Oh, jadi lo bohongin gue? Mana pura-pura pingsan lagi!” Akhirnya Zahra sadar jika ini semua hanyalah sebuah sandiwara Fathan semata. “Kalau iya emangnya kenapa?” tanya Fathan sambil menaik turunkan alisnya, menatap Zahra, bahkan ia sambil mengedipkan sebelah matanya. Saat ini ia sudah duduk dengan sempurna, sedangkan tatapan matanya terus tertuju kepada Zahra. “Ihhhh! Ngeselin banget siiii!!!” Karena gemas, Zahra langsung mencubit perut Fathan, tujuannya hanya satu. Ingin menumpahkan kekesalan yang ada di hatinya. “Ampun, Ra...ampun, aku minta maaf...” “Nggak ada kata maaf buat orang ngeselin kayak lo!” Bukannya berhenti, Zahra kembali menggelitiki Fathan. Ada rasa puas ketika melihat Fathan terpaksa tertawa. “Ngeselin tapi khawatir , kan? Apalagi waktu aku denger suara kamu yang panik banget. Takut kehilangan aku, yaaa?” bukannya berhenti, Fathan terus meledek Zahra. Bahkan wajahnya semakin dimajukan ke depan, dengan pandangan mata tetap tertuju ke wajah cantik mantan pacarnya.
Namun, dari dalam kamar, Zahra sama sekali tak menggubris ucapan dari Fathan. Gadis itu duduk di atas lantai sambil bersandar di dinding kamarnya. Menenggelamkan wajahnya sambil terisak pelan. "Bukan gue nggak mau ketemu lo lagi, Fathan..tapi ucapan lo itu masih terasa di dada ini.." lirihnya sambil menyembunyikan kepalanya di antara kedua kakinya. "Gue tetap di sini, gue nggak akan pulang sebelum lo keluar dan temui gue!""Fathan, mending lo pergi saja. Gue pengin sendiri!" balas Zahra dari dalam kamarnya, tubuhnya masih dalam posisi yang sama. Masih meringkuk di pojokan. "Gue nggak pulang sebelum lo temui gue, titik!""Lo bandel banget sih! Di luar hujan, Fathan! Mending lo pulang, daripada nanti sakit, malah gue yang disalahkan!" "Biarin! Biarin gue sakit! Gue gak peduli! Yang terpenting sekarang lo mau temui gue, sebentar saja, Ra..." suara Fathan bercampur dengan rintikan air hujan yang jatuh membasahi bumi. Semakin lama, suara hujan itu semakin terdengar dengan kerasnya. "D
"Guys, gue sama Zahra duluan ya," ujar Triani tiba-tiba begitu mereka berdua telah kembali ke mejanya masing-masing. Semua teman seangkatannya seketika langsung menoleh ke arah Zahra dan Triani. Mereka semua saling pandang setelah mendengar perkataan Triani yang sangat tiba-tiba itu. "Loh, kenapa? Ada masalah?""Lo yang ngajak kita, terus lo juga yang ninggalin kita di sini? Ada apa sih?""Sorry, guys. Sebenarnya gue pengin banget ngumpul bareng kalian. Tapi saat ini yang jauh lebih penting itu kondisinya Zahra." Perkataan Triani langsung membuat semua orang kembali mengalihkan pandanganya ke arah Zahra, yang sedang berdiri di sampingnya Triani. "Lo kenapa, Ra? Nggak enak badan?""Apa ada masalah lain?""Udah nanti saja tanyanya. Yang penting sekarang Zahra harus pergi dulu dari tempat ini," sela Triani supaya mereka tak bertanya lagi kepada zahra. "Ayo, Ra!" ajak Triani sambil melirik Zahra, kemudian gadis itu menarik pergelangan tangan Zahra dan berjalan pergi meninggalkan cafe t
“Kalau Zahra nggak mau ya jangan dipaksa dong!” Tiba-tiba terdengar suara yang nyaring dari arah belakang. Sontak mereka berdua langsung menoleh ke arah sumber suara dan mendapati Triani sedang berdiri dengan ekspresi wajah yang mengkerut.Triani melangkahkan kakinya menghampiri mereka berdua, tatapannya terus tertuju kepada mereka, seolah tak ada hal menarik lainnya, selain Zahra dan Fathan. Melihat tatapan tajam yang dilontarkan Triani, sontak langsung membuat Zahra dan Fathan seketika menundukkan kepalanya.PLAK!Tanpa basa-basi, Triani mendaratkan salah satu tangannya tepat di pipi kiri Fathan, gerakannya begitu tiba-tiba sehinggga Zahra dan Fathan langsung melebarkan bola matanya, terutama Fathan.“Triani!”“Biarin aja, Ra. Orang kayak dia pantas ditampar, bahkan kalau bisa dihajar habis-habisan juga gapapa,” karena sudah begitu muak dengan tampang Fathan, membuat Triani berkata asal-asalan, tanpa memikirkan perasaan orang lain saja.“Ya gue tau kalau Fathan salah, tapi jangan ma
“Ngapain sih lo ajak gue ke sini?" tanya Zahra yang langsung terus terang, gadis itu tak suka berbasa-basi apalagi dengan cowok yang dulu pernah menyakitinya.Fathan tak menjawab, pria itu menatap Zahra dengan tatapan sendu, seolah menyesal telah membuat keputusan yang ternyata malah menyakitinya. Perlahan, ia mengambil tangan Zahra, menyentuh tangan mulus itu sambil menatap dalam-dalam bola mata kecoklatan milik gadis itu."Zahra..."Deg!Mendengar suara lembut dari Fathan, seketika membuat jantung gadis itu berpancu lebih cepat dari biasanya. Dengan refleks, ia menatap balik bola mata Fathan, keduanya saling bertatapan satu sama lain."Apa kamu mau tau perasaanku setelah kita putus?"Entah keberanian apa yang membuat Zahra menganggukkan kepalanya. Melihat hal itu, Fathan mengulum senyum tipis, nyaris tak terlihat."Jujur, Ra...setelah kita putus waktu itu, namamu masih tersematkan di hatiku, Ra..."Deg!Zahra menatap Fathan dalam-dalam, mencoba untuk mencermati gerak-gerik dari Fath
"Sorry guys, kita telat ya? Tadi macet soalnya."Begitu mobil Triani sudah terparkir rapi di area parkir dan mereka berdua sudah masuk kedalam cafe. Ternyata temen-temen yang lain sudah datang terlebih dahulu. "Gapapa kok lagian masih ada yang belum datang," sahut Fariza sambil menyeruput minuman miliknya. Setelah berjabat tangan layaknya seorang teman, Triani dan Zahra duduk di kursi dan bergabung bersama mereka. Candaan ringan terdengar di malam hari, sehingga membuat suasananya terasa menghangat. Hingga beberapa detik kemudian, pintu cafe terdengar, seolah ada yang baru saja melangkah masuk. Pandangan mereka langsung teralihkan oleh sosok tampan yang sedang berjalan ke arahnya. "Akhirnya lo datang juga, bro!" sahut Kevin setelah mengetahui siapa yang baru datang. Fathan tak menjawab, lelaki itu hanya mengangguk sambil tersenyum tipis, itupun hanya beberapa detik sebelum kembali ke muka datarnya. Lelaki itu menarik kursi dan ikut bergabung bersama mereka. Sementara Zahra, gadi