Beranda / Romansa / Cinta Tanpa Isyarat / 02. Andai Mereka Tahu...

Share

02. Andai Mereka Tahu...

Penulis: Zafar_Zahra
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-12 21:44:58

~ Keesokan harinya...

Langit pagi masih berwarna kelabu, seolah enggan mengucapkan selamat pagi. Udaranya masih dingin, menyelimuti lingkungan sekolah yang mulai ramai dengan siswa yang berdatangan. Di tengah lalu-lalang paga siswa, ada seorang gadis cantik berseragam putih abu-abu, sedang duduk sendirian di bawah pohon. Tatapan matanya kosong, pikirannya sedang terbang entah kemana. Bahunya sedikit merosot, dan wajahnya tak memancarkan semangat.

"Ngelamun aja. Kesambet baru tahu rasa!"

Suara lantang itu memecah lamunannya. Zahra refleks menoleh ke samping. Matanya langsung mengenali sosok yang tengah duduk di sampingnya, sambil merangkul bahunya.

"Triani?"

Triani Kirana Lestari. Gadis berwajah manis dengan lesung pipi yang terlihat saat dirinya tersenyum. Aura wajahnya cerah, dan semangat yang begitu membara.

"Ngapain ngelamun, Ra?" tanya Triani sambil merangkul pundak Zahra. Mereka berdua begitu akrab, tanpa jarak dan penuh ketulusan.

"Apa lo lagi mikirin sesuatu?" tanyanya lagi. Kali ini suaranya lebih pelan. Matanya menatap lekat wajah sang sahabat yang tanpa murung, tak seperti biasanya.

Zahra terdiam untuk sesaat, hatinya sempat bergetar. Namun dengan cepat, ia memasang topeng senyum. Sekaan sedang berusaha keras menutupi apa yang sebenarnya menganggu pikirannya.

"Enggak kok, Tri. Gue lagi lemas aja, mungkin kurang tidur," jawabnya berusaha terdengar lebih santai. Bibirnya mengulum senyum tipis, namun jelas ada kepalsuan di balik senyuman itu.

Triani tak langsung menanggapi. Gadis itu memandangi wajah Zahra dengan seksama. Ia merasakan kalau ada sesuatu yang berbeda dari balik wajah Zahra yang tersenyum. Ia merasa kalau Zahra sedang menyembunyikan sesuatu yang tak mau diketahui olehnya.

Karena tak mau mendesak Zahra untuk bercerita, akhirnya ia memilih untuk mengajak Zahra masuk kelas. "Yaudah, yuk masuk! Nanti keburu bel!" ajak Triani sambil mengalihkan perhatian.

Zahra tersenyum kecil sambil mengangguk. "Ayo." katanya berusaha tetap semangat.

Akhirnya, dua gadis itu pun berjalan berdampingan, sambil melewati koridor sekolah yang mulai penuh dengan para siswa. Suasana di sekitar mereka penuh semangat. Namun, di antara keramaian itu, langkah Zahra terasa begitu berat. Meskipun senyuman di wajahnya tak pernah luntur, namun di balik itu semua, ada badai kecil yang sedang ia simpan sendiri, di dalam hatinya.

*****

~ Sekolah telah usai...

Bel pulang berdering begitu nyaring, pertanda bahwa sekolah hari ini telah usai. Semua murid berbondong-bondong keluar kelas, selepas guru yang mengajar keluar terlebih dahulu. Keceriaan di wajah mereka begitu terlihat jelas, bahkan langkah kaki mereka terbilang begitu semangat dan penuh dengan kegembiraan.

Waktu pulang sekolah adalah hal yang paling dinanti-nanti oleh anak sekolah yang terus berkeinginan untuk segera pulang, dan inilah waktu yang mereka tunggu. Mereka dapat bersantai setelah pembelajaran yang berlangsung selama kurang lebih 8 atau 9 jam lamanya.

Di halte, ada dua gadis sedang duduk anteng menunggu jemputan. Keduanya saling mengobrol untuk menghilangkan rasa bosan, karena sudah menunggu jemputan cukup lama.

"Ra, lo tau yang namanya Fathan nggak?" tanya Triani, ekspresi wajahnya serius saat membicarakan sosok lelaki bernama Fathan.

Zahra mengangguk. "Tau, emangnya kenapa?" tanyanya balik.

Sebelum menjawab, Triani menengok kanan kiri, seakan memastikan kalau tak ada orang lain yang mendengar percakapan mereka. "Dia ganteng banget, ya nggak si, Ra?" katanya sambil mesem-mesem tak jelas.

Zahra tertawa kecil saat melihat tingkah sahabatnya yang memuji Fathan. "Ciee, lo suka ya??" godanya, membuat pipi Triani merah merona, bak tomat yang sudah matang.

Triani memukul lengan Zahra dengan sedikit malu-malu. "Tau aja kalau gue naksir sama dia," jawabnya lirih, hampir seperti bisikkan. Mungkin saja ia tak ingin orang lain mengetahui kalau dirinya naksir sama Fathan.

Deg!

'Triani suka sama Fathan? Tapi kenapa?'

"Ra? Zahra?! Ini anak hobi banget ngelamun apa?!" gerutu Triani saat menyadari kalau Zahra sedang melamun untuk yang kesekian kalinya.

"Woy!" teriak Triani sambil mengagetkan Zahra. Sedangkan tubuh Zahra sedikit terangkat karena terkejut.

"Kenapa, Tri?"

"Gapapa. Gue cuma mau bilang kalau kamu beruntung banget," kata Triani yang tak ingin membahas tentang rasa ketertarikannya dengan Fathan.

"Beruntung? Maksudnya?"

"Lo beruntung banget deh. Punya keluarga yang harmonis, kalau diajak ngobrol asyik, orangnya royal-royal. Bahkan kemarin gue lihat Tante Sinta membagikan makan siang buat orang-orang yang membutuhkan. Pokoknya keluarga lo the best deh! Pasti lo bahagia kan punya keluarga seperti mereka? Gue aja iri lihatnya," cerocos Triani, ia semangat memuji keluarga Zahra yang begitu baik di mata orang-orang.

Zahra, gadis itu mendadak diam. Ia tersenyum tipis, berusaha untuk menutupi hatinya yang tengah bersedih. Sebenarnya ia senang jika orang lain memuji keluarganya. Namun, ucapan-ucapan dari mereka tak sesuai dengan kenyataan.

'Kalau aku jujur tentang keluargaku ke Triani, apa dia bakal percaya? Kalau keluargaku nggak seperti yang dia pikirkan.' Batin Zahra, antara senang dan sedih. Senang karena Triani menuju keluarganya baik. Sedih karena mereka semua telah dibohongi oleh Tantenya sendiri.

"Ra? Kenapa diam?" Triani membuyarkan Zahra yang sedang melamunkan sesuatu.

"Kenapa?"

"Lo ngelamun lagi? Lo hobi banget ngelamun deh!" kata Triani saat tahu kalau gadis yang duduk di sampingnya hobi banget melamun. Ia jadi penasaran, apa si yang membuat Zahra sampai segitunya?

"Enggak kok, gue cuma lagi kepikiran sesuatu," jawab Zahra lirih, pandangannya menatap depan, seakan mencari sesuatu di depan sana yang bisa membuatnya bahagia. Memang terlalu aneh, tapi inilah keinginan terbesar gadis tersebut.

Ingin merasakan kebahagiaan, bukan dari pertemanannya saja, tetapi juga hubungan keluarga yang harmonis, dan...asmaranya.

"Mikirin apa si? Ngapain ngelamun, Ra. Hidup lo itu beruntung banget! Punya keluarga yang sayang sama lo, harmonis, baik lagi. Jadi ngapain lo mikirin sesuatu yang buat lo begini?" tanya Triani, gadis itu heran kepada Zahra. Karena menurutnya kehidupan Zahra terlihat begitu bahagia. Padahal kenyataannya tidak seperti yang dibayangkan oleh Triani.

'Sepertinya mereka melihat aku dari luarnya saja, itulah mengapa mereka tak tahu apa yang kurasa.' Zahra membatin demikian dengan sorot mata menatap depan. Sorot matanya begitu kosong.

Ia berharap dapat berbagi rasa sedihnya kepada sahabatnya itu. Namun apalah daya, jika ia tak bisa bercerita tentang keluarganya yang jauh dari kata harmonis kepada sahabat yang duduk disampingnya itu.

"Gapapa kok. Gue duluan, ya." Zahra mengalihkan topik pembicaraan. Karena tak mau lagi mendapatkan pertanyaan yang aneh-aneh dari Triani. Gadis itu dengan cepat beranjak dari tempat duduknya, kemudian pamit pergi.

"Lo pulang jalan kaki? Bukannya dijemput?" tanya Triani dengan posisi yang masih duduk. Gadis itu menatap Zahra yang sudah berdiri, tepat di sampingnya.

Zahra menatap Triani sambil tersenyum begitu tipis, seakan ucapan Triani menusuk hatinya. "Mereka nggak bakal jemput gue. Duluan ya, Triani!" jawabnya, ia membalikan badannya, bersiap untuk pergi dari tempat tersebut. Namun sebelum pergi, ia melambaikan tangannya kepada Triani.

Triani yang sedang duduk itu tersenyum sambil membalas lambaian dari Zahra. Setelah melihat Zahra yang benar-benar menghilang dari pandangannya. Gadis itu bergumam dengan nada yang cukup pelan.

"Apa ada yang disembunyikan oleh Zahra? Kenapa setiap kali gue bahas tentang keluarganya, dia malah seperti menghindar," gumamnya pelan. Sepertinya ia mulai curiga dengan sikap Zahra yang terasa aneh baginya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Cinta Tanpa Isyarat    07. Teringat Masa Lalu

    Selang beberapa menit, Zahra tak lagi mendengar suara sang Ibu. Mungkin saja Ibunya sudah letih menyuruh dirinya makan. Ia tak peduli sama sekali. Pandangan Zahra kembali menyapu seisi kamar. Mata indahnya berhenti di antara foto-foto yang tak jauh dari meja belajarnya. Tanpa pikir panjang, tangan lentiknya meraih bingkai foto itu. Menatapnya dalam-dalam sambil mengusap lembut wajah-wajah orang yang berada di dalam foto. "Kalau boleh memilih, aku lebih baik tinggal bersama kalian. Walau sederhana, tapi bisa buat hatiku nyaman..." Zahra terisak sambil terus mengusap lembut foto tersebut. Selepas itu, Zahra memeluk bingkai itu erat-erat. Memejamkan mata seraya mengingat kenangan yang dulu pernah ia rasakan. Kenangan indah sebelum merubah hidupnya. Di saat ia memejamkan mata, kenangan itu kembali muncul. Ia melihat dirinya sewaktu kecil sedang bermain bersama anak lelaki berambut ikal. Dalam pandangannya, Zahra kecil terlihat begitu bahagia, tertawa puas saat berhasil menjahili an

  • Cinta Tanpa Isyarat    06. Mengurung Diri

    Zahra tak menggubris ucapan dari sang Ayah. Ia memutuskan untuk masuk ke dalam kamar, sebelum emosinya semakin meletup. Dengan gerakan perlahan, Zahra membuka pintu kamar, lalu menutupnya kembali dengan cukup keras. Seakan emosinya ia lampiaskan ke pintu yang tak bersalah. Di balik pintu kamar, lebih tepatnya di ruang tamu, Zahra kembali mendengar suara Sinta yang terus saja menyalahkan Fatim, Ibunya. "Jadi Ibu itu yang becus dong! Masa kamu ajari buat melawan orang yang lebih tua? Itu namanya nggak sopan! Dan lagi, jadi Ibu harus tegas, jangan manja-manjain anak, jadinya nggak kurang ajar begini!" Sinta berucap dengan nada santai dan ceplas-ceplos. Ia sama sekali tak memperdulikan perasaan orang lain. "Oh iya, maklum lah. Kan Ibumu cuma tamatan SD, mana bisa didik anak yang baik," lanjutnya lagi, kali ini ia berucap sambil menutup mulutnya, seakan sedang menganggap remeh adik iparnya. "Cukup, Kak! Selama ini Fatim selalu didik Zahra dengan baik. Aku nggak suka lihat kakak t

  • Cinta Tanpa Isyarat    05. Emosi yang Meledak

    "Sekarang bilangnya cuma teman lah, cuma searah lah. Besok-besok kamu bilang satu rumah juga cuma teman?" cibirnya, lolos keluar dengan tawa ringan. Zahra menunduk, menggenggam tas ranselnya erat-erat. Ini bukan pertama kalinya sang Tante seperti ini. Ia sudah berkali-kali adu mulut dengan wanita paruh baya yang ada di hadapannya ini. Muak! Jelas yang Zahra rasakan! Mau semakin melawan, tapi ia sadar kalau Sinta itu Tantenya sendiri. Sinta membalikan badan, ia berniat ingin mengadukan kelakuan Zahra ke Faisal, adiknya. "Saya adukan kamu ke Ayahmu! Biar kamu dihukum!" katanya cepat, tanpa menoleh sedikitpun. Buru-buru, Zahra mencekal lengan sang Tante. "Jangan, Tan! Aku sama Nandra nggak ada hubungan apa-apa!" Tetapi Sinta sama sekali tak memperdulikan suara keponakannya. Bahkan dengan begitu tega, ia menghempaskan tangan Zahra dengan gerakan cepat dan kasar. Lalu, ia melangkah untuk mencari adiknya. "Faisal! Anak kamu berulah lagi!" Suara Sinta menggema di seluruh sudut r

  • Cinta Tanpa Isyarat    04. Perlakuan yang Sama

    "Gue lagi bayangin kalau pertemanan kita sampai di pelaminan." "Maksudnya lo mau nikahin gue?" Nandra mengangguk penuh semangat. "Iya, Ra. Setelah itu gue janji bakal bahagiain lo," katanya, sepertinya nadanya terdengar sungguh-sungguh. Namun Zahra belum pernah memikirkan pernikahan terlebih dahulu. "Udahlah, Ndra. Jangan bercanda terus. Kita ini masih sekolah, kejar dulu cita-cita, setelah itu boleh mikirin nikah!" kata Zahra yang tak mau membahas soal pernikahan. "Cita-citaku pengin nikah sama kamu, Ra." Ucapan itu, walaupun dengan nada gurauan, tetapi langsung membuat hati Zahra tersentuh. Perkataan Nandra membuat ia teringat kepada seseorang. Seseorang yang pernah mengatakan hal yang sama, namun beda orang, beda suasana dan bahkan hatinya berbeda. "Cita-cita kamu apa?" "Cita-citaku pengin nikah sama kamu, Ra." Kalimat-kalimat itu memenuhi isi pikirannya. Gadis itu juga membayangkan kenangan manis bersama seseorang yang mungkin tak pernah lagi bersama. 'Aku ka

  • Cinta Tanpa Isyarat    03. Mencoba Bersyukur

    Di bawah langit biru cerah, Zahra sedang berjalan seorang diri di sepanjang trotoar yang sempit. Kepalanya menunduk, wajahnya begitu lelah. Langkahnya pelana, tatapan matanya kosong. Ia menunduk, membiarkan pikirannya kembali tenggelam oleh kesedihan. "Gue ngerti kalau mereka nggak tahu apa-apa tentang keluargaku. Makanya tadi Triani bilang kalau gue gadis yang beruntung. Tapi.. kenyataannya enggak." Zahra bergumam di sepanjang perjalanan. "Mungkin gue gadis yang jauh dari kata beruntung." Lanjutnya lagi, kali ini kepalanya masih menunduk. Kata-katanya begitu lirih, namun tajam dan terdengar kelas. Ucapannya terus berputar dalam kepalanya, seperti suara yang menggema. Zahra menatap jalanan beraspal, seolah ingin mencari jawaban di antara aspal itu. "Tak ada manusia yang tak beruntung di dunia ini." Suara itu barat, namun terdengar lembut. Suara laki-laki yang begitu tegang, tetapi mengandung arti tersembunyi di balik kata-kata yang terucap. "Semua manusia beruntung, asalkan

  • Cinta Tanpa Isyarat    02. Andai Mereka Tahu...

    ~ Keesokan harinya...Langit pagi masih berwarna kelabu, seolah enggan mengucapkan selamat pagi. Udaranya masih dingin, menyelimuti lingkungan sekolah yang mulai ramai dengan siswa yang berdatangan. Di tengah lalu-lalang paga siswa, ada seorang gadis cantik berseragam putih abu-abu, sedang duduk sendirian di bawah pohon. Tatapan matanya kosong, pikirannya sedang terbang entah kemana. Bahunya sedikit merosot, dan wajahnya tak memancarkan semangat. "Ngelamun aja. Kesambet baru tahu rasa!"Suara lantang itu memecah lamunannya. Zahra refleks menoleh ke samping. Matanya langsung mengenali sosok yang tengah duduk di sampingnya, sambil merangkul bahunya. "Triani?" Triani Kirana Lestari. Gadis berwajah manis dengan lesung pipi yang terlihat saat dirinya tersenyum. Aura wajahnya cerah, dan semangat yang begitu membara. "Ngapain ngelamun, Ra?" tanya Triani sambil merangkul pundak Zahra. Mereka berdua begitu akrab, tanpa jarak dan penuh ketulusan. "Apa lo lagi mikirin sesuatu?" tanyanya la

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status