~ Keesokan harinya...
Langit pagi masih berwarna kelabu, seolah enggan mengucapkan selamat pagi. Udaranya masih dingin, menyelimuti lingkungan sekolah yang mulai ramai dengan siswa yang berdatangan. Di tengah lalu-lalang paga siswa, ada seorang gadis cantik berseragam putih abu-abu, sedang duduk sendirian di bawah pohon. Tatapan matanya kosong, pikirannya sedang terbang entah kemana. Bahunya sedikit merosot, dan wajahnya tak memancarkan semangat. "Ngelamun aja. Kesambet baru tahu rasa!" Suara lantang itu memecah lamunannya. Zahra refleks menoleh ke samping. Matanya langsung mengenali sosok yang tengah duduk di sampingnya, sambil merangkul bahunya. "Triani?" Triani Kirana Lestari. Gadis berwajah manis dengan lesung pipi yang terlihat saat dirinya tersenyum. Aura wajahnya cerah, dan semangat yang begitu membara. "Ngapain ngelamun, Ra?" tanya Triani sambil merangkul pundak Zahra. Mereka berdua begitu akrab, tanpa jarak dan penuh ketulusan. "Apa lo lagi mikirin sesuatu?" tanyanya lagi. Kali ini suaranya lebih pelan. Matanya menatap lekat wajah sang sahabat yang tanpa murung, tak seperti biasanya. Zahra terdiam untuk sesaat, hatinya sempat bergetar. Namun dengan cepat, ia memasang topeng senyum. Sekaan sedang berusaha keras menutupi apa yang sebenarnya menganggu pikirannya. "Enggak kok, Tri. Gue lagi lemas aja, mungkin kurang tidur," jawabnya berusaha terdengar lebih santai. Bibirnya mengulum senyum tipis, namun jelas ada kepalsuan di balik senyuman itu. Triani tak langsung menanggapi. Gadis itu memandangi wajah Zahra dengan seksama. Ia merasakan kalau ada sesuatu yang berbeda dari balik wajah Zahra yang tersenyum. Ia merasa kalau Zahra sedang menyembunyikan sesuatu yang tak mau diketahui olehnya. Karena tak mau mendesak Zahra untuk bercerita, akhirnya ia memilih untuk mengajak Zahra masuk kelas. "Yaudah, yuk masuk! Nanti keburu bel!" ajak Triani sambil mengalihkan perhatian. Zahra tersenyum kecil sambil mengangguk. "Ayo." katanya berusaha tetap semangat. Akhirnya, dua gadis itu pun berjalan berdampingan, sambil melewati koridor sekolah yang mulai penuh dengan para siswa. Suasana di sekitar mereka penuh semangat. Namun, di antara keramaian itu, langkah Zahra terasa begitu berat. Meskipun senyuman di wajahnya tak pernah luntur, namun di balik itu semua, ada badai kecil yang sedang ia simpan sendiri, di dalam hatinya. ***** ~ Sekolah telah usai... Bel pulang berdering begitu nyaring, pertanda bahwa sekolah hari ini telah usai. Semua murid berbondong-bondong keluar kelas, selepas guru yang mengajar keluar terlebih dahulu. Keceriaan di wajah mereka begitu terlihat jelas, bahkan langkah kaki mereka terbilang begitu semangat dan penuh dengan kegembiraan. Waktu pulang sekolah adalah hal yang paling dinanti-nanti oleh anak sekolah yang terus berkeinginan untuk segera pulang, dan inilah waktu yang mereka tunggu. Mereka dapat bersantai setelah pembelajaran yang berlangsung selama kurang lebih 8 atau 9 jam lamanya. Di halte, ada dua gadis sedang duduk anteng menunggu jemputan. Keduanya saling mengobrol untuk menghilangkan rasa bosan, karena sudah menunggu jemputan cukup lama. "Ra, lo tau yang namanya Fathan nggak?" tanya Triani, ekspresi wajahnya serius saat membicarakan sosok lelaki bernama Fathan. Zahra mengangguk. "Tau, emangnya kenapa?" tanyanya balik. Sebelum menjawab, Triani menengok kanan kiri, seakan memastikan kalau tak ada orang lain yang mendengar percakapan mereka. "Dia ganteng banget, ya nggak si, Ra?" katanya sambil mesem-mesem tak jelas. Zahra tertawa kecil saat melihat tingkah sahabatnya yang memuji Fathan. "Ciee, lo suka ya??" godanya, membuat pipi Triani merah merona, bak tomat yang sudah matang. Triani memukul lengan Zahra dengan sedikit malu-malu. "Tau aja kalau gue naksir sama dia," jawabnya lirih, hampir seperti bisikkan. Mungkin saja ia tak ingin orang lain mengetahui kalau dirinya naksir sama Fathan. Deg! 'Triani suka sama Fathan? Tapi kenapa?' "Ra? Zahra?! Ini anak hobi banget ngelamun apa?!" gerutu Triani saat menyadari kalau Zahra sedang melamun untuk yang kesekian kalinya. "Woy!" teriak Triani sambil mengagetkan Zahra. Sedangkan tubuh Zahra sedikit terangkat karena terkejut. "Kenapa, Tri?" "Gapapa. Gue cuma mau bilang kalau kamu beruntung banget," kata Triani yang tak ingin membahas tentang rasa ketertarikannya dengan Fathan. "Beruntung? Maksudnya?" "Lo beruntung banget deh. Punya keluarga yang harmonis, kalau diajak ngobrol asyik, orangnya royal-royal. Bahkan kemarin gue lihat Tante Sinta membagikan makan siang buat orang-orang yang membutuhkan. Pokoknya keluarga lo the best deh! Pasti lo bahagia kan punya keluarga seperti mereka? Gue aja iri lihatnya," cerocos Triani, ia semangat memuji keluarga Zahra yang begitu baik di mata orang-orang. Zahra, gadis itu mendadak diam. Ia tersenyum tipis, berusaha untuk menutupi hatinya yang tengah bersedih. Sebenarnya ia senang jika orang lain memuji keluarganya. Namun, ucapan-ucapan dari mereka tak sesuai dengan kenyataan. 'Kalau aku jujur tentang keluargaku ke Triani, apa dia bakal percaya? Kalau keluargaku nggak seperti yang dia pikirkan.' Batin Zahra, antara senang dan sedih. Senang karena Triani menuju keluarganya baik. Sedih karena mereka semua telah dibohongi oleh Tantenya sendiri. "Ra? Kenapa diam?" Triani membuyarkan Zahra yang sedang melamunkan sesuatu. "Kenapa?" "Lo ngelamun lagi? Lo hobi banget ngelamun deh!" kata Triani saat tahu kalau gadis yang duduk di sampingnya hobi banget melamun. Ia jadi penasaran, apa si yang membuat Zahra sampai segitunya? "Enggak kok, gue cuma lagi kepikiran sesuatu," jawab Zahra lirih, pandangannya menatap depan, seakan mencari sesuatu di depan sana yang bisa membuatnya bahagia. Memang terlalu aneh, tapi inilah keinginan terbesar gadis tersebut. Ingin merasakan kebahagiaan, bukan dari pertemanannya saja, tetapi juga hubungan keluarga yang harmonis, dan...asmaranya. "Mikirin apa si? Ngapain ngelamun, Ra. Hidup lo itu beruntung banget! Punya keluarga yang sayang sama lo, harmonis, baik lagi. Jadi ngapain lo mikirin sesuatu yang buat lo begini?" tanya Triani, gadis itu heran kepada Zahra. Karena menurutnya kehidupan Zahra terlihat begitu bahagia. Padahal kenyataannya tidak seperti yang dibayangkan oleh Triani. 'Sepertinya mereka melihat aku dari luarnya saja, itulah mengapa mereka tak tahu apa yang kurasa.' Zahra membatin demikian dengan sorot mata menatap depan. Sorot matanya begitu kosong. Ia berharap dapat berbagi rasa sedihnya kepada sahabatnya itu. Namun apalah daya, jika ia tak bisa bercerita tentang keluarganya yang jauh dari kata harmonis kepada sahabat yang duduk disampingnya itu. "Gapapa kok. Gue duluan, ya." Zahra mengalihkan topik pembicaraan. Karena tak mau lagi mendapatkan pertanyaan yang aneh-aneh dari Triani. Gadis itu dengan cepat beranjak dari tempat duduknya, kemudian pamit pergi. "Lo pulang jalan kaki? Bukannya dijemput?" tanya Triani dengan posisi yang masih duduk. Gadis itu menatap Zahra yang sudah berdiri, tepat di sampingnya. Zahra menatap Triani sambil tersenyum begitu tipis, seakan ucapan Triani menusuk hatinya. "Mereka nggak bakal jemput gue. Duluan ya, Triani!" jawabnya, ia membalikan badannya, bersiap untuk pergi dari tempat tersebut. Namun sebelum pergi, ia melambaikan tangannya kepada Triani. Triani yang sedang duduk itu tersenyum sambil membalas lambaian dari Zahra. Setelah melihat Zahra yang benar-benar menghilang dari pandangannya. Gadis itu bergumam dengan nada yang cukup pelan. "Apa ada yang disembunyikan oleh Zahra? Kenapa setiap kali gue bahas tentang keluarganya, dia malah seperti menghindar," gumamnya pelan. Sepertinya ia mulai curiga dengan sikap Zahra yang terasa aneh baginya.“Oh, jadi lo bohongin gue? Mana pura-pura pingsan lagi!” Akhirnya Zahra sadar jika ini semua hanyalah sebuah sandiwara Fathan semata. “Kalau iya emangnya kenapa?” tanya Fathan sambil menaik turunkan alisnya, menatap Zahra, bahkan ia sambil mengedipkan sebelah matanya. Saat ini ia sudah duduk dengan sempurna, sedangkan tatapan matanya terus tertuju kepada Zahra. “Ihhhh! Ngeselin banget siiii!!!” Karena gemas, Zahra langsung mencubit perut Fathan, tujuannya hanya satu. Ingin menumpahkan kekesalan yang ada di hatinya. “Ampun, Ra...ampun, aku minta maaf...” “Nggak ada kata maaf buat orang ngeselin kayak lo!” Bukannya berhenti, Zahra kembali menggelitiki Fathan. Ada rasa puas ketika melihat Fathan terpaksa tertawa. “Ngeselin tapi khawatir , kan? Apalagi waktu aku denger suara kamu yang panik banget. Takut kehilangan aku, yaaa?” bukannya berhenti, Fathan terus meledek Zahra. Bahkan wajahnya semakin dimajukan ke depan, dengan pandangan mata tetap tertuju ke wajah cantik mantan pacarnya.
Namun, dari dalam kamar, Zahra sama sekali tak menggubris ucapan dari Fathan. Gadis itu duduk di atas lantai sambil bersandar di dinding kamarnya. Menenggelamkan wajahnya sambil terisak pelan. "Bukan gue nggak mau ketemu lo lagi, Fathan..tapi ucapan lo itu masih terasa di dada ini.." lirihnya sambil menyembunyikan kepalanya di antara kedua kakinya. "Gue tetap di sini, gue nggak akan pulang sebelum lo keluar dan temui gue!""Fathan, mending lo pergi saja. Gue pengin sendiri!" balas Zahra dari dalam kamarnya, tubuhnya masih dalam posisi yang sama. Masih meringkuk di pojokan. "Gue nggak pulang sebelum lo temui gue, titik!""Lo bandel banget sih! Di luar hujan, Fathan! Mending lo pulang, daripada nanti sakit, malah gue yang disalahkan!" "Biarin! Biarin gue sakit! Gue gak peduli! Yang terpenting sekarang lo mau temui gue, sebentar saja, Ra..." suara Fathan bercampur dengan rintikan air hujan yang jatuh membasahi bumi. Semakin lama, suara hujan itu semakin terdengar dengan kerasnya. "D
"Guys, gue sama Zahra duluan ya," ujar Triani tiba-tiba begitu mereka berdua telah kembali ke mejanya masing-masing. Semua teman seangkatannya seketika langsung menoleh ke arah Zahra dan Triani. Mereka semua saling pandang setelah mendengar perkataan Triani yang sangat tiba-tiba itu. "Loh, kenapa? Ada masalah?""Lo yang ngajak kita, terus lo juga yang ninggalin kita di sini? Ada apa sih?""Sorry, guys. Sebenarnya gue pengin banget ngumpul bareng kalian. Tapi saat ini yang jauh lebih penting itu kondisinya Zahra." Perkataan Triani langsung membuat semua orang kembali mengalihkan pandanganya ke arah Zahra, yang sedang berdiri di sampingnya Triani. "Lo kenapa, Ra? Nggak enak badan?""Apa ada masalah lain?""Udah nanti saja tanyanya. Yang penting sekarang Zahra harus pergi dulu dari tempat ini," sela Triani supaya mereka tak bertanya lagi kepada zahra. "Ayo, Ra!" ajak Triani sambil melirik Zahra, kemudian gadis itu menarik pergelangan tangan Zahra dan berjalan pergi meninggalkan cafe t
“Kalau Zahra nggak mau ya jangan dipaksa dong!” Tiba-tiba terdengar suara yang nyaring dari arah belakang. Sontak mereka berdua langsung menoleh ke arah sumber suara dan mendapati Triani sedang berdiri dengan ekspresi wajah yang mengkerut.Triani melangkahkan kakinya menghampiri mereka berdua, tatapannya terus tertuju kepada mereka, seolah tak ada hal menarik lainnya, selain Zahra dan Fathan. Melihat tatapan tajam yang dilontarkan Triani, sontak langsung membuat Zahra dan Fathan seketika menundukkan kepalanya.PLAK!Tanpa basa-basi, Triani mendaratkan salah satu tangannya tepat di pipi kiri Fathan, gerakannya begitu tiba-tiba sehinggga Zahra dan Fathan langsung melebarkan bola matanya, terutama Fathan.“Triani!”“Biarin aja, Ra. Orang kayak dia pantas ditampar, bahkan kalau bisa dihajar habis-habisan juga gapapa,” karena sudah begitu muak dengan tampang Fathan, membuat Triani berkata asal-asalan, tanpa memikirkan perasaan orang lain saja.“Ya gue tau kalau Fathan salah, tapi jangan ma
“Ngapain sih lo ajak gue ke sini?" tanya Zahra yang langsung terus terang, gadis itu tak suka berbasa-basi apalagi dengan cowok yang dulu pernah menyakitinya.Fathan tak menjawab, pria itu menatap Zahra dengan tatapan sendu, seolah menyesal telah membuat keputusan yang ternyata malah menyakitinya. Perlahan, ia mengambil tangan Zahra, menyentuh tangan mulus itu sambil menatap dalam-dalam bola mata kecoklatan milik gadis itu."Zahra..."Deg!Mendengar suara lembut dari Fathan, seketika membuat jantung gadis itu berpancu lebih cepat dari biasanya. Dengan refleks, ia menatap balik bola mata Fathan, keduanya saling bertatapan satu sama lain."Apa kamu mau tau perasaanku setelah kita putus?"Entah keberanian apa yang membuat Zahra menganggukkan kepalanya. Melihat hal itu, Fathan mengulum senyum tipis, nyaris tak terlihat."Jujur, Ra...setelah kita putus waktu itu, namamu masih tersematkan di hatiku, Ra..."Deg!Zahra menatap Fathan dalam-dalam, mencoba untuk mencermati gerak-gerik dari Fath
"Sorry guys, kita telat ya? Tadi macet soalnya."Begitu mobil Triani sudah terparkir rapi di area parkir dan mereka berdua sudah masuk kedalam cafe. Ternyata temen-temen yang lain sudah datang terlebih dahulu. "Gapapa kok lagian masih ada yang belum datang," sahut Fariza sambil menyeruput minuman miliknya. Setelah berjabat tangan layaknya seorang teman, Triani dan Zahra duduk di kursi dan bergabung bersama mereka. Candaan ringan terdengar di malam hari, sehingga membuat suasananya terasa menghangat. Hingga beberapa detik kemudian, pintu cafe terdengar, seolah ada yang baru saja melangkah masuk. Pandangan mereka langsung teralihkan oleh sosok tampan yang sedang berjalan ke arahnya. "Akhirnya lo datang juga, bro!" sahut Kevin setelah mengetahui siapa yang baru datang. Fathan tak menjawab, lelaki itu hanya mengangguk sambil tersenyum tipis, itupun hanya beberapa detik sebelum kembali ke muka datarnya. Lelaki itu menarik kursi dan ikut bergabung bersama mereka. Sementara Zahra, gadi