Srek! Srek! Srek! Suara langkah itu pun semakin mendekat. Membuat rasa takut Natasha kembali bangkit.
"Siapa disana? Tolong jangan mendekat!!" ujar Natasha setengah berteriak. Namun, orang itu seakan tidak mau memperdulikan ucapan Natasha. Ia terus saja melangkah mendekati tubuh Natasha yang sudah meringkuk ketakutan. Hingga saat badan orang itu terkena sorot lampu jalan. Mata Natasha pun seketika membulat sempurna.
"Kamu?!!" ujar Natasha saat pandangannya menatap sosok bocah berumur tiga tahun di hadapannya. "Kamu kenapa ada disini?" tanya Natasha sambil merangkul putri semata wayangnya itu.
"Dia sedang saya ajak mencari makan. Sekalian jalan-jalan," ujar Haji Boim dari belakang Natasha.
"Oh, sama Pak Haji. Saya kira dia sendirian sampai disini," balas Natasha pada pemilik kosan yang terkenal baik itu. Apalagi pada anak kecil seperti Karen. Dia sangat menyayanginya. Maklum, Pak Haji Boim hanya tinggal berdua dengan sang istri. Keempat anaknya sudah menikah dan tinggal bersama suami masing-masing. Makanya, Haji Boim sering mengajak Karen ke rumahnya.
"Kalau ada Karen rumah jadi ramai. Saya dan istri saya jadi terhibur," ujar lelaki yang sudah beruban itu beberapa saat yang lalu.
"Enggak dong. Tadi saya tanya dia pengen makan apa? Lalu dia bilang mau nungguin Bunda saja. Makanya saya ajak jalan-jalan sekalian cari makan. Biar dia nggak kepikiran kamu terus. Eh, nggak taunya malah ketemu disini," jelas lelaki yang umurnya sudah kepala lima itu.
"Ih, anak Bunda mau maem sama Bunda ya?" tanya Natasha pada Karen. Anak berwajah imut dengan bulu mata lentik dan pipi chubby itu pun langsung menganggukkan kepalanya beberapa kali.
"Iya, Bun. Habisnya Bunda nggak pulang-pulang. Bunda kan janjinya mau pulang lebih awal," ucap Karen dengan logat bocahnya yang lucu tapi tidak cadel. Natasha pun tersenyum kecut mengingat kejadian hari ini.
"Sayang, maafin Bunda ya. Bunda janji besok-besok Bunda akan menepati janji Bunda untuk pulang awal," kata Natasha.
"Tapi, nggak papa kok. Kata Kong Haji. Bunda itu keluar cari uang untuk Karen. Jadi, Karen harus setia nungguin Bunda. Bunda jangan khawatir. Ada Kong Haji, ada Nenek Imah dan juga teman-teman Karen yang selalu jagain Karen," kata anak yang baru masuk umur tiga tahun itu. 'Dia memang pintar, pandai bergaul dan menggemaskan. Makanya orang-orang di sekitar tempat kosan sangat menyayangi Karen,' batin Natasha sambil tersenyum manis. Bahkan tak terasa setitik air bening pun mengumpul di pelupuk mata Natasha sambil terus menatap anak gadisnya itu.
"Ya, sudah. Ayo kita pulang. Nanti satenya keburu dingin lho," ucap Pak Haji membuyarkan lamunan Natasha.
"Karen minta beliin Engkong sate?" tanya Natasha pada sang anak. Walau ia tau Pak Haji sangat menyayangi Karen, tapi ia merasa tidak enak jika terus menerus merepotkannya. Apalagi, ia tidak bisa membalas kebaikan Pak Haji.
"Iya," balas Karen sambil mengangguk mantap.
"Aduh. Harusnya kan Karen nungguin Bunda pulang saja kalau pengen sate. Kasihan dong sama Engkong kamu repotin terus," ujar Natasha.
"Hahaha. Kamu ini bicara apa Mbak Natasha. Karen ini kan cucu Engkong. Jadi, wajar saja kalau minta beli sate sama Engkong. Iya kan, Karen?"
"Iya, Kong. Kong Haji itu bai…k banget, Bun sama aku." Karen pun merangkul lutut Pak Haji dengan penuh kasih sayang.
"Iya deh. Bunda percaya. Ya, udah. Ayo kita pulang!" Natasha pun mencoba beranjak setelah sedari tadi hanya terduduk di atas setapak.
"Bunda aku mau bopong. Aku mau bopong," rengek Karen dengan manjanya. Namun, saat Natasha hendak berdiri sempurna. Kaki kanannya yang terkilir pun kembali terasa nyeri.
"Aw," pekik Natasha sambil memegangi lutut kanannya.
"Bunda kenapa?" tanya Karen cemas.
"Mbak Natasha. Kamu tidak apa-apa?" ujar Pak Haji tak kalah khawatir. Natasha pun berusaha menarik kedua ujung bibirnya.
"Nggak papa kok. Tadi Bunda hanya terkilir sedikit saat di kerja. Yuk! Kita pulang saja. Karen Bunda gendong besok ya."
"Kalau begitu Karen naik ke punggung Engkong. Biar Bunda yang bawain satenya." Pak Haji pun menurunkan badannya setelah memberikan bungkusan plastik yang ia tenteng sejak tadi.
"Yeee…. Karen dibopong Engkong," sorak Karen penuh bahagia.
"Makasih ya Pak Haji."
"Iya, Mbak Natasha. Sama-sama."
Sekitar empat puluh lima menit kemudian. Ketiga orang itu sudah berada di dalam ruang tamu kosan Natasha. Di depan Natasha Karen sedang makan sate plus lontong khas Madura dengan disuapi Kong Haji. Dia memang sudah sangat dekat dengan lelaki tua itu. Bahkan, kadang Pak Haji tidak boleh pergi sebelum Karen tertidur nyenyak.
"Ayo satu lagi lontongnya," ujar Pak Haji sambil menyodorkan potongan terakhir lontong yang ada di atas piring makan Karen.
"Huwaaa…." Karen malah menguap lebar-lebar. "Karen udah kenyang Kong. Karen udah ngantuk," tambahnya dengan lemas.
"Yah…. Terus yang habisin satenya siapa dong. Engkong?" goda Pak Haji sambil menguyah satu bagian sate yang baru ia gigit dari tusuknya.
"Eh, jangan dong. Kan ini buat sarapan Bunda sama Karen besok," balas Karen dengan polosnya. Natasha pun hanya tersenyum sekilas melihat sikap anaknya itu. Tanpa ada niat untuk membuka mulutnya.
"Iya, deh. Engkong tau. Ya, udah. Engkong tau kamu udah ngantuk? Jadi, ayo kita tidur. Nanti Engkong ceritain kisah Nabi. Mau?"
"Mau???" sahut Karen dengan penuh semangat.
"Ya, udah. Ayo kita tidur," ajak Pak Haji sambil membopong anak Natasha itu.
"Yeee…. Dadah Bunda aku tidur dulu ya," pamit Karen sambil dadah-dadah ria ke arah Natasha.
"Iya, sayang. Langsung tidur ya."
Beberapa menit pun berlalu Natasha masih duduk termenung di ruang tamu. Lalu tak lama kemudian Pak Haji keluar dari kamarnya.
"Udah tidur, Pak?" tanya Natasha.
"Iya. Sepertinya dia kelelahan. Karena seharian ini saya ajak dia main di empang. Duh, seneng sekali dia melihat ikan yang besar-besar," cerita Pak Haji panjang lebar.
"Hahaha. Dia memang sangat suka dengan binatang," balas Natasha dengan senyum yang mengembang dan menganggukkan kepalanya beberapa kali.
"Benar." Hening. Keduanya pun terdiam. Sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Ems…. Maaf, Mbak Natasha. Kalau boleh saya tau. Apa yang sebenarnya terjadi sama Mbak Natasha seharian ini?" tanya Pak Haji pelan-pelan. Selain sudah menganggap Karen sebagai cucunya. Pak Haji juga sudah menganggap Natasha sebagai anaknya sendiri. Makanya, ia sangat tau seperti apa sikap Natasha. Dia bukan wanita yang mudah menyerah dan mandiri.
"Ems…. Sebenarnya tadi Bos saya mau…." Kata-kata Natasha pun terhenti. 'Rasanya tak pantas juga kalau gue ceritain hal tadi kepada Pak Haji. Nanti dia mikir yang enggak-enggak lagi sama gue,' batin Natasha. "Tadi Bos saya memecat saya Pak Haji," jawab Natasha singkat.
"Dipecat? Kenapa?"
Pagi itu Natasha masuk ke dalam ruang makan untuk mengambil jatah makanannya. Namun, mendadak langkahnya terhenti saat melihat Jo tengah melahap sarapannya dengan begitu nikmat. Natasha yang teringat akan kejadian semalam jadi merasa canggung. Makanya ia memilih memutar badannya untuk segera meninggalkan tempat itu."Natasha," panggil Jo yang sudah melihat wanita itu duluan sebelum badannya berhasil pergi. Natasha pun tak punya pilihan lain selain menoleh."Ada apa?" tanya Natasha dengan suara bergetar."Bukannya loe selalu sarapan sebelum berangkat ke sekolah. Kenapa loe malah pergi?" sindir Jo."Ehms…. Gue… gue cuma mau liat Eriko. Kayaknya dia udah jemput gue di luar. Jadi, gue mau langsung be
"Heh. Gue nggak mau! Kalau dia udah nggak kuat punya murid kayak gue. Ngundurin diri aja. Gampang kan?" Jo kembali berjalan ke arah yang sama. Dan pada detik itu pula, Natasha kembali menarik kerah baju Jo dengan cukup kuat. Saking kesalnya.Jo pun melangkah mundur beberapa langkah. Dan tanpa disadari kakinya sudah melewati batas kolam renang. Sedetik kemudian….Byur!!! Tak bisa dielakkan lagi. Jo pun terjatuh ke dalam kolam renang itu."To… tolong!!! Tolong!!! Gue nggak bisa berenang!!" teriak Jo sambil berusaha mengangkat kepalanya ke permukaan air."Heh. Loe pikir gue bodoh. Loe punya kolam renang, tapi nggak bisa berenang. Ck. Ck. Ck. Kali ini loe bener-bener pinter ngeles." Natasha membalikkan badannya lalu berniat pergi. Tetapi, langk
Pulang dari sekolah Natasha tak langsung pulang. Ia menyempatkan diri untuk menjenguk Karen di rumah sakit khusus jantung yang baru beberapa minggu ini merawat Karen. Natasha merasa senang melihat kondisi Karen yang jauh lebih baik dari pertemuan terakhir mereka beberapa hari lalu."Gimana enak?" tanya Natasha saat melihat sang anak memakan sate lontong Madura yang dibawanya. Karen langsung mengangguk mantap."Enak banget Bunda. Karen suka," balasnya dengan mulut penuh. Senyum Natasha semakin mengembang. Tangan kanannyanya terulur untuk mengacak rambut putri semata wayangnya itu."Kalau lagi makan, jangan sambil ngomong ya sayang. Nanti kamu tersedak." Natasha mengingatkan dengan pelan. Karen pun segera mengunyah lalu menelannya dengan cepat.
Jo berdiri tegap di tengah-tengah lapangan basket. Kedua tangannya melipat di depan dadanya yang bidang dan terlihat kokoh. Wajahnya yang putih bersih dan berkharisma, menunjukkan raut wajah siap mengalahkan lawan tandingnya. Sedangkan mata elangnya, menatap lurus sosok wanita berbusana formal dengan blazer dan celana katun yang berwarna sama dengan guru-guru di sekolahan ini.Di seberang sana Natasha berdiri dengan raut wajah tak kalah serius. Matanya yang bening menatap Jo dari balik kacamata tebal. Sementara kedua tangannya juga terlipat di depan dada."Bu. Bu Natasha yakin, beneran bisa main basket?" tanya Bu Elena tepat di depan telinga Natasha. Wanita yang terlihat anggun dengan rambutnya yang digelung itu pun menoleh."Bu Elena nggak usah khawatir. Saya sudah berlatih cukup keras," balas Natasha sambil men
Pagi ini Jo mengemas dirinya dengan begitu rapi. Entah mengapa ia ingin sekali tampil maksimal di pertandingannya dengan Natasha nanti. Saat sedang menyisir rambutnya sambil bersiul-siul riang. Tiba-tiba di benaknya terlintas sesuatu."Ehms…. Apa nanti gue pura-pura kalah aja ya sama Natasha?" gumamnya sambil mengetuk-ngetukkan sisir ke dagunya yang terbelah. Senyumnya pun mengembang saat ia teringat kejadian semalam.Tin…. Tin….Senyuman Jo pun menghilang saat mendengar sebuah klakson mobil berada tak jauh dari rumahnya. Segera Jo pun mendekati jendela. Disibaknya tirai yang masih menghalangi sinar mentari masuk ke dalam kamarnya."Mobil siapa itu?" tanya Jo pada dirinya sendiri. Matanya pun me
Tepat pukul sebelas malam Natasha baru saja sampai di rumah Jo. Badannya terasa sangat letih sekali. Sampai-sampai jalannya pun sempoyongan tak tentu arah. Untung saja ia membawa kunci sendiri. Jadi, dia bisa pulang sewaktu-waktu. Krek! Krek! Krek! Natasha memutar kunci itu di dalam lubangnya. Hingga tak butuh waktu lama pintu pun langsung terbuka lebar dan menampakkan kegelapan ruangan karena semua lampu sudah dimatikan.Sejenak Natasha menahan langkahnya. Tiba-tiba saja rasa takut menggelayuti wanita berparas cantik itu. Bahkan, bulu kuduknya berdiri seketika. Dan reflek tangan kanannya pun mengusap tengkuknya begitu saja. 'Aduh. Kok gelap banget ya,' batinnya sambil mengedarkan pandangannya ke dalam ruangan. Huft. Ia pun menghembuskan nafas beratnya."Nggak ada papa, Natasha. Jangan takut! Nggak punya uang itu hal yang lebih
"Huhuhu…. Gimana dong Shel kalau gue kalah. Huhuhu…. Gue bakal kehilangan gaji dan jaminan pengobatan Karen. Huhuhu…." Natasha pun menangis sesenggukan sambil menenggelamkan wajahnya di atas meja restoran yang sedang didatanginya untuk menemui Shelin."Ck. Elo juga sih, Nat. Udah tau kalau loe nggak bisa main basket. Kenapa langsung iyain aja permintaan aneh tuh anak songong," cibir Shelin yang langsung membuat Natasha mengangkat kepalanya."Terus gue harus gimana dong?" tanyanya nelangsa. Sambil menunjukkan tampangnya yang amburadul.Huft. Shelin pun menghembuskan nafas beratnya. Lalu ia meraih pundak Natasha agar masuk ke dalam pelukan."Loe juga sih. Kenapa sih nggak bilang aja sama gue. Kala
"Aaarghh…," teriak Natasha. Para siswi pun berteriak histeris. Sedangkan hampir semua Guru menutup matanya dengan takut. Hanya ada satu orang yang berani berlari. Lalu segera menangkap tubuh Natasha sebelum terjatuh ke lantai. "Kamu tidak apa-apa?" tanya Pak Guru itu dengan suara bass-nya yang sangat khas. Merasa badannya tidak jadi jatuh ke atas tatanan paving yang keras. Natasha pun perlahan membuka matanya satu per satu. Matanya pun langsung terpaku menatap sosok laki-laki berwajah tampan dengan hiasan alis tebal, hidung mancung, lesung pipi, rahang tegas serta jambang halus yang membuatnya semakin terlihat maskulin. "Kamu tidak apa-apa?" ulang lelaki itu yang lang
Hari ini Jo berniat bolos sekolah. Dia benar-benar tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi teman-temannya melihat Natasha tidak jadi mengundurkan diri. Ditambah lagi, sekarang dia juga menjadi pengasuhnya di rumah."Huh. Ini semua gara-gara bokap sialan itu," gerutunya lalu menggebrak setir mobilnya sendiri. Ia yang sedang berada di pertigaan menuju SMA Bunga Bangsa pun memutuskan berhenti di pinggir jalan. Bisikan setan pun mengajaknya bolos sekolah daripada harus menanggung malu pada semua anak-anak di sekolah. 'Tapi, sampai kapan gue mau lari dari kenyataan ini. Besok-besok juga tuh Guru nggak akan pergi dari hidup gue. Jadi, walaupun gue bolos hari ini. Besok gue tetap jadi bahan tertawaan di sekolahan. Apa bedanya? Cuma menunda penderitaan yang tidak mungkin terlewatkan,' cibir Jo dalam hati.Huft. Jo pun menghembuskan nafas beratnya.