Share

Gelisah

Tak perlu membuang banyak waktu, tepat setelah Rahadian mengetahui perihal Sera, dia langsung bergegas meminta anak buahnya untuk mencari keberadaan sang anak.

Sebuah foto menjadi satu-satunya petunjuk. Dengan di imingi bayaran lebih besar bagi siapa saja yang dapat membawa anaknya kembali ke rumah dalam waktu kurang dari 24 jam, beberapa anak buah Rahadian sontak berlomba untuk mencari dimanakah kiranya sang putri itu berada.

Mereka bukanlah sembarang orang. Keahlian mereka dalam mencari informasi jelas tidak di ragukan lagi. Dan ya, tepat pukul 2 dini hari, mereka berhasil menemukan tempat dimana mereka bisa menggali informasi lebih.

Sebuah rumah kecil di lingkungan yang jauh dari kata elit menjadi tujuan pertama mereka. Tak peduli pada waktu dan keadaan sekitar, mereka tak segan untuk menggedor pintu rumah itu dengan brutal.

*clack.

Suara kunci pintu terdengar sebelum pintu tersebut di buka dari dalam.

"S-siapa kalian?"

Si Tuan rumah gemetaran. Seolah tahu bahwa sekarang dirinya sedang ada dalam bahaya.

"Dimana Nona Seraphina?"

Bi Siti—si tuan rumah—menelan ludahnya susah payah. Sesungguhnya sebelum orang-orang berjas hitam itu datang dia sudah memiliki firasat atas keadaan ini.

"N-Nona Sera? B-bukannya dia sudah pulang ke rumah Tuan sejak kemarin?" Bi Siti coba menjawab semeyakinkan mungkin. Berharap mereka langsung mempercayainya tanpa rasa curiga.

Tapi...

Ketiga pria itu malah saling pandang satu sama lain. Hingga sedetik kemudian sebuah kode di berikan salah satunya dan sisanya tiba-tiba merengsak masuk ke rumah Bi Siti tanpa izin.

"Hei! Mau apa kalian?"

Bi Siti panik sambil mengikuti kedua pria yang kini dengan lancang menggeledah isi rumahnya.

"Nona Sera tidak ada disini! Kenapa kalian tidak percaya?" Seru Bi Siti. Namun tak ada satupun dari mereka yang peduli.

Rasa takut mulai menggerayangi Bi Siti. Untuk sekarang, mungkin dia dan Sera bisa lolos dari kejaran pria-pria ini. Tapi nanti...

Tidak menutup kemungkinan mereka akan dengan mudah menemukan Nonanya di tempat lain dan Bi Siti akan masuk ke dalam daftar orang yang terlibat dengan upaya pelarian Sera.

"Ya Tuhan... semoga Non Sera selamat..." Batinnya dalam kegelisahan.

•••

Sera terbangun dengan wajah penuh peluh. Nafasnya tersenggal seolah tercekik sesuatu. Ia pun lantas beringsut bangun dari pembaringan dan mendudukan diri dengan perlahan. Menjaga agar tidak terlalu membuat guncangan yang bisa saja membangunkan Ibunya Harsa.

Entah kenapa, di tengah kebahagiaan Sera saat ini, yang mana bisa berkumpul dengan keluarga Harsa dan jauh dari keluarganya, mimpi buruk tiba-tiba muncul merusak ketenangan tidurnya.

Mimpi itu menggambarkan bagaimana kejamnya sang Ayah yang bersikeras memisahkan Harsa dari Sera dengan cara yang ia bisa.

"Tidak, Sera...ini cuma mimpi.." Sera bergumam menenangkan dirinya sendiri. Tangannya bergerak menyugar rambut panjangnya dengan perasaan kalut.

"Ayah gak akan mungkin bisa nemuin aku di sini."

Maniknya sontak melirik pada ponsel yang sengaja di matikan. Sera sangat yakin bahwa Ayahnya tidak akan bisa sampai di tempat ini dengan mudah.

"Iya..gak mungkin..." Meski begitu tetap saja ada secuil keraguan di dalam keyakinan tersebut.

Sejauh ini Sera tidak benar-benar tahu sebesar apa power yang di miliki Ayahnya.

"Ya Tuhan...."

Ia menjatuhkan kening di atas tangan yang bersidekap di kedua lututnya. Berharap bisa kembali tenang lalu melanjutkan tidurnya yang tertunda.

•••

"Dimana Sera? Apa dia belum di temukan?"

Laura—Ibu Sera— yang semalam di beri tahu oleh Rahadian tentang pelarian anaknya langsung bergegas kembali dari luar kota. Tak peduli pada kesibukan yang masih menumpuk untuk di kerjakan. Yang terpenting sekarang anaknya harus terlebih dulu cepat di temukan.

"Belum.."

"Sayang...memangnya apa yang buat Sera sampai kabur dari rumah?"

Laura tahu bahwa hubungan suami dan anaknya tidak terlalu baik belakangan ini. Tapi sampai kabur??

"Anak mu berusaha ingkar janji, itulah alasan kenapa dia kabur dari rumah." Jawab Rahadian menahan geram.

"Janji?"

"Janji setelah 2 tahun aku biarkan dia hidup seperti apa yang dia mau."

A—ah..

Sekarang Laura mengerti.

Sudah lama sekali sejak perjanjian itu di buat. Dan Laura tidak menyangka bahwa suaminya akan seserius itu.

"Sayang...kenapa kamu—"

"Lebih baik kita percepat saja perjodohan Sera dengan Jason. Biar anak itu tahu kalau dia tidak akan pernah bisa main-main dengan aturan ku."

Perkataan yang tadinya hendak di lontarkan Laura mendadak tercekat di tenggorokannya. Kalau sudah begini dia pun tidak punya nyali untuk sekedar membela putri semata wayangnya.

"Jangan terlalu keras padanya."

"Dia sendiri yang buat ku jadi sekeras ini!"

Membuang nafas pasrah, Laura berjalan mendekat dan mengelus lengan suaminya supaya bisa lebih tenang.

•••

Tama menatap segerombol karyawan yang tampak sedang berghibah. Seakan mereka sedang membicarkan tentang misi rahasia. Sesekali salah satu dari mereka terlihat mencuri pandang ke ruang manajer tak jauh dari sana.

"Ngerumpi apa sih bu?" Tama memutuskan untuk bertanya karena rasa penasarannya yang sudah tak terbendung.

"Eh, Tama.. ngapain kamu di sini?" sahut salah satu karyawan wanita tersebut.

"Abis benerin mesin di land 4. Pas lewat sini kebetulan liat ibu-ibu lagi pada asyik ngerumpi. Padahal udah waktunya istirahat loh."

"Oh..."

Lah, Oh doang..

"Lagi pada liatin apa sih bu?" Tanya Tama lagi tak pantang menyerah.

"Itu...ada tiga orang pake jas hitam di ruang manajer..katanya nyariin Seraphina."

"Sera?"

—Bukannya Sera lagi cuti ya, bareng Harsa?— batin Tama yang sempat di beri tahu Harsa sebelum temannya itu cuti.

"Kira-kira mereka siapanya Sera ya? masa iya suruhan rentenir buat nagih hutang."

"Gak mungkin Sera ngutang. Dia itu anaknya baik loh, gak mungkin ah sampi terjerat hutang begitu." Bela karyawan yang lain. Buat Tama yang disana hanya bisa menggelengkan kepalanya tak habis pikir.

Bisa-bisanya mereka mikir Sera berurusan sama rentenir.

"Eh ngomong-ngomong. Kok kamu yang benerin mesin ke sini, biasanya kan Harsa."

"Harsanya lagi cuti bu.."

"Oooh...eh kok kebetulan ya...Sera juga kan lagi cuti.."

Tama nyaris saja menimpali ucapan karyawan itu kalau saja pintu ruangan manajer tidak lebih dulu terbuka.

"Terimakasih atas kerja sama anda."

Tama bisa melihat raut wajah sang manajer yang tampak canggung dan tak nyaman.

Sepertinya ada yang tidak beres.

•••

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status