Share

04 - Curhat

Perempuan dengan kaus dan celana pendek itu meregangkan ototnya, pinggangnya terasa seperti akan patah setelah mencuci baju. Setelah dirasa cukup reda, dia mengangkat ember berisi pakaian bersih ke lantai 1 untuk dijemur. Hari libur adalah hari bermalas-malasan, tetapi sialnya dia lupa mencuci baju sejak 4 hari lalu.

“Udah selesai belum, Na?” teriak Nafa dari depan kamarnya. Ona mendongak menatap Nafa kesal, temannya itu sengaja bertanya untuk mengejek Ona. “Kalau udah cepetan naik, ya, ada yang mau gue ceritain.”

Setelah itu Nafa kembali masuk ke kamarnya. Ona menghela napas memandang banyaknya baju yang dia cuci dan sinar matahari yang mulai panas. Ona ingin segera rebahan di kasur dan tidur.

Lima belas menit kemudian, Ona sudah selesai menjemur baju. Langkah kakinya berjalan cepat ke kamar. Namun, ketika membuka pintu kamar Ona melihat banyak tisu berserakan di lantai. Sedangkan Nafa duduk di tempat tidur dan menatap Ona nelangsa, mata Nafa yang biasanya berbinar-binar kini redup dan air mata terus mengalir di pipi tembamnya. Ona mendekat ke Nafa dengan air muka khawatir.

“Lo kenapa, Naf? Ada masalah?” tanya Ona sambil mengelus bahu Nafa. Di saat seperti ini lah Ona terlihat lebih ekspresif, di balik sikap Ona yang dingin dan sulit dijangkau dia memiliki hati yang lembut. Dan hanya orang-orang tertentu yang bisa melihat itu, Nafa salah satunya. Makanya Nafa bisa bertahan dengan Ona meski seringkali diabaikan dan seperti bicara sendiri.

Ona masih mengelus bahu Nafa dan menunggu perempuan itu menghentikan tangisnya. Melihat Nafa menangis memang bukan hal asing bagi Ona, teman sekamarnya itu sering tiba-tiba memangis. Ona juga pernah menemani Nafa menangis semalaman penuh karena putus dengan pacarnya.

Jika Ona bersikap dingin dengan lelaki, maka Nafa kebalikannya. Nafa terlalu welcome dengan lelaki dan terlalu royal jika sudah pacaran. Nafa akan mengorbankan apa pun untuk lelaki itu, dan sikap tersebut seringkali dimanfaatkan oleh lelaki tidak bertanggung jawab. Akhirnya Nafa sering patah hati. Sudah tahu begitu, satu bulan kemudian Nafa akan melakukan hal yang sama dan berakhir sama juga.

Nafa memang cukup menarik dengan kulit putih bersih dan gigi gingsul, apalagi pipi tembamnya yang membuat orang lain gemas. Wajah Nafa yang baby face menjadi daya tarik tersendiri.

Setelah cukup tenang, Ona mengambilkan Nafa minum dan menunggu perempuan itu untuk buka mulut. Bagi Nafa, Ona adalah teman yang paling sabar menghadapi sikapnya yang masih labil di usia 24 tahun.

“Ternyata Abi udah punya tunangan, Na,” ujar Nafa beruraian air mata.

Abi adalah lelaki yang sejak 2 minggu lalu mendekati Nafa, dan tentu saja Nafa menerima kehadiran Abi dengan senang hati seperti yang biasa dia lakukan. Nafa memang selalu dikelilingi lelaki, tetapi dia tidak pernah mengajak lelaki mana pun untuk datang ke kondangan karena ingin menemani Ona yang jomblo. Nafa juga suka mengaku tidak punya pasangan setiap kali ada yang bertanya, padahal Nafa punya. Kalau Ona tanya apa alasan dia melakukan ini, Nafa akan dengan mudah menjawab supaya tidak menutup kesempatan orang lain untuk datang dan mendekatinya.

Ona menghela napas, sebenarnya dia sendiri bingung dengan Nafa. Kalau Nafa dibilang buaya betina itu ada benarnya, sangat berbanding terbalik dengan Nafa yang sekarang Ona lihat. Rapuh dan cengeng. Dan yang membuat Ona semakin bingung adalah Nafa selalu mengulang fase yang sama. Apa dia tidak capek patah hati dan menangis?

“Gue merasa dibohongin, kenapa di gak sejak awal bilang punya tunangan, sih?” Nafa bercerita dengan sesengukan. “Terus tadi tunangannya telepon gue dan marah-marah, ngatain gue pelakor padahal gue gak tahu kalau dia udah punya tunangan.”

Ona menyodorkan tisu ke Nafa. Dia sama sekali tidak berniat menimpali atau akan memperburuk suasana karena Ona sama sekali tidak pandai menghibur.

“Kenapa cinta gue selalu berakhir tragis ya Tuhan. Kapan jodoh gue dateng.”

Nafa meraih ponselnya yang bergetar kemudian mematikan ponsel itu tanpa melihat siapa yang menelponnya. Ona menghela napas dan mulai membersihkan tisu yang berserakan. Ona tahu betul Nafa tidak benar-benar mencintai Abi, dia hanya kecewa pada Abi yang berbohong. Dan Ona juga tahu betul Nafa tidak benar-benar mencintai lelaki yang mendekatinya dan menjadi pacarnya, dia memberikan apa yang mereka minta hanya supaya mereka senang. Nafa juga selalu menangis setiap semua kisahnya berakhir, tetapi dari apa yang Ona lihat Nafa tidak menangisi hubungannya yang sudah berakhir, Nafa menangis untuk hal lain yang belum Ona ketahui. Yang jelas Nafa hanya menjadikan semua lelaki itu pelampiasan. Di balik sikap dingin Ona, dia adalah pengamat yang baik.

Udara siang hari masuk melalui jendela yang Ona buka lebar supaya Nafa tidak merasa gerah. Ona juga membuka pintu balkon untuk bersantai sambil menunggu Nafa tidur, setelah puas menangis akhirnya Nafa bisa tertidur pulas. Ona sama sekali tidak berniat tidur padahal tadi setelah mencuci dia berencana tidur seharian.

Es di gelasnya sudah mulai mencair ketika ponsel Ona bergetar. Ona melihat nama yang tertera di layar ponselnya dan menghela napas. Setelah tadi menerima curhat dari Nafa, sekarang dia harus siap menerima curhatan dari Mela, adiknya.

“Ada apa?” tanya Ona to the point.

“Mbak cepet pulang, dong, Ibu tanya terus, nih,” adu Mela kesal.

“Kenapa?”

“Ibu kebelet Mbak nikah. Kupingku panas setiap hari denger tetangga bilang kalau Mbak perawan tua, makanya Ibu jadi kebakaran jenggot.”

Ona menghela napas, selalu seperti itu. Ayolah dia baru 25 tahun, belum juga 35 tahun. Dan kenapa pula Ibu harus mendengarkan kata tetangga yang suka julid. Kalau Ona bilang tidak ingin menikah bisa-bisa Ibu pingsan.

“Iya, nanti Mbak pulang.” Ona mencari jawaban aman supaya Mela tidak terus mendesaknya.

“Beneran ya?”

“Iya.”

“Mbak,” panggil Mela pelan. Jika sudah begini pasti ada hal serius yang ingin dia katakan. “Kangen Ayah.”

Ona menegang, tidak biasanya Mela berkata seperti itu. Adiknya yang baru duduk di bangku SMA itu jelas tahu hubungan mereka dengan Ayah tidak baik. Ona bahkan tidak tahu di mana sekarang ayahnya tinggal.

“Tadi aku lihat temenku diantar ayahnya ke sekolah. Katanya cinta pertama seorang anak perempuan itu ayahnya. Kalau kita gak ada Ayah, gimana dengan cinta pertama kita, Mbak?” tanya Ona polos.

***

Terik matahari sore ini tidak menghalangi niat Ona untuk mengangkat jemuran yang banyaknya minta ampun. Sekelebat pertanyaan Mela siang tadi masih berputar-putar di benaknya. Tujuh belas tahun lalu Mela tidak benar-benar tahu apa yang terjadi. Setelah besar dia hanya tahu kalau Ayah dan Ibu berpisah dengan tidak baik-baik.

“Ngalamun aja,” celetuk seorang lelaki dari belakang tubuhnya. Ona tersentak dan memutar tubuhnya. Rey lagi Rey lagi. Ona memutar bola matanya dan melanjutkan mengangkat jemuran.

“Ngalamunin apa, sih?”

Ona masih tidak menjawab pertanyaan Rey, tetapi lelaki itu terus mengikuti langkahnya membuat Ona kesal. “Kenapa, sih?”

Mata bulat Ona mengamati tingkah Rey yang mengambil baju dari keranjangnya. Ona menatap Rey tajam. “Lo kenapa ngambil baju dari keranjang gue!”

Rey menatap Ona polos. “Emang ini baju lo?” tanyanya sambil menunjukkan boxer yang dia ambil dari ranjang Ona.

Ona melotot dan mengamati baju yang sedari tadi dia ambil. Astaga, karena terlalu asyik melamun Ona sampai tidak sadar sudah mengambil deretan jemuran yang bukan punyanya lagi. Wajah Ona merah paham karena malu.

Sialan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status