Share

05 - Mimpi Buruk

Gadis kecil berusia 8 tahun itu meringkuk di pojok kamar bersama dengan adiknya yang baru berusia 2 tahun. Sebagai kakak, gadis itu menutup rapat telinga adiknya supaya tidak mendengar teriakan Ayah dan Ibu yang sedang bertengkar. Sejak pulang sekolah tadi suasana rumahnya sudah berbeda. Ibu hanya berkata singkat menyuruhnya ke kamar dan menutup pintunya rapat-rapat. Dan ketika Ayah pulang kerja Ibu langsung berkata dengan nada marah dan keras.

“Aku kurang apa, Mas? Cepet bilang aku kurang apa sampai kamu tega menghamili perempuan lain,” rintih Ibu.

Gadis kecil yang dikenal dengan nama Ona itu memejamkan matanya, air mengalir di kedua pipinya mendengar pertengkaran Ibu dan Ayah.

“Sejak dulu aku gak cinta sama kamu, akau menuruti perjodohan orang tua kita karena Ibu sakit keras,” jelas Ayah pelan. Ona paham betul kedua orang tuanya bersatu atas dasar perjodohnya, tetapi selama ini yang Ona lihat Ibu dan Ayah saling mencintai. Setiap hari Ibu dan Ayah tampil romantis, bersama-sama memberi banyak cinta untuk Ona dan Mela. Tetapi apa yang terjadi hari ini, Ona benar-benar tidak tahu, apa selama ini keromantisan kedua orang tuanya palsu?

“Kenapa kamu gak bilang kalau sudah punya anak, Mas? Kenapa! Kenapa kamu jadikan akau pelampisan? Gimana dengan anak kita? Kamu lupa?” cecar Ibu keras.

“Aku akan ceraikan kamu, hak asuh kedua anak kita aku serahkan padamu,” ucap Ayah kemudian terdengar pintu dibanting keras. Ibu menjerit sambil mengeluarkan sumpah serapah pada Ayah.

Ona semakin erat menutup telinga adik kecilnya sambil menangis. Dia tidak tahu betul apa yang terjadi dengan kedua orang tuanya, yang dia tahu mereka akan segera berpisah. Ona akan kehilangan Ayah yang selama ini dia banggakan.

Setelah dirasa cukup tenang, Ona melepas kedua tangannya dari telinga Mela yang ternyata sudah tidur. Pelan-pelan Ona mengangkat tubuh mungil adiknya dan memindahkan ke tempat tidur. Setelah memastikan Mela masih tidur. Ona menuju pintu dan memutar kuncinya pelan-pelan.

Mata gadis kecil itu mengintip ke ruang tamu yang sudah gelap dan kacau, kursi yang biasanya tertata rapi kini berantakan, kaca besar di salah satu dinding juga pecah berserakan. Ona melihat Ibu menangis di ujung ruangan dan terlihat sangat kacau. Pelan-pelan Ona berjalan mendekati Ibu yang masih memangis keras.

Tetapi Ibu tidak menyadari kedatangan Ona dan malah meraih salah satu serpihan kaca di dekatnya duduk. Ibu mengenggam erat pecahan kaca tersebut dan berniat mengiris pergelangan tangannya. Ona segera berlari ke arah Ibu dan mengambil kaca tersebut sebelum mengenai pergelangan tangan Ibu. Gadis kecil itu merebut paksa pecahan kaca sampai membuat tangannya terluka dan darah segar mengalir dari tangan mungil itu.

Mata sendu Ibu menatap Ona kaget, sedangkan Ona menatap tangannya yang mengalir banyak darah. Tiba-tiba kepala gadis kecil itu pusing, dunia di matanya tampak berputar-putar, dan sebelum kesadarannya hilang dia mendengar teriakan Ibu yang memanggil namanya. Setelah itu yang ada hanya gelap. Ona tidak bisa membuka matanya tetapi telinganya masih berfungsi dengan baik, dia mendengar suara tangisan Ibu dan juga orang-orang yang berdatangan.

Kemudian Ona tidak ingin membuka matanya, karena dunia yang dia lihat benar-benar kacau.

Ona bangkit dengan peluh mengalir dan nafas terenggah-enggah. Matanya beredar mengamati sekitar dan Nafa yang tidur pulas di sampingnya. Jam diding masih menunjukkan pukul 2 dini hari. Ona menghela napas, mimpi buruk lagi. Ona hampir setiap hari memimpikan hal sama, tentang kejadian 17 tahun lalu, tentang Ayah, tentang gelap dan misteri malam yang selalu menghampirinya.

Perempuan itu kemudian bangkit dan membawa gelas ke dapur umum untuk mengambil minum. Kebetulan air minum di kamarnya habis tadi malam dan karena terlalu malas untuk mengganti gallon, akhirnya Ona dan Nafa memutuskan untuk besok saja.

Sesampainya di dapur, Ona duduk di salah satu kursi sambil memandang air di gelasnya yang masih setengah. Di air tersebut Ona seperti kembali melihat kilasan masa lalu yang selalu hadir di mimpinya. Ditambah dengan pertanyaan Mela kemarin tentang Ayah. Sejak kejadian 17 tahun lalu, Ona tidak pernah melihat Ayah lagi selain surat terakhir yang berkata bahwa Ayah sangat menyayanginya dan minta maaf atas kejadian tersebut.

Ona kecil waktu itu tidak paham apa yang sebenarnya terjadi dan fokus pada kesembuhan Ibu yang tiba-tiba sakit. Ona masih menyimpan surat itu hingga pada akhirnya membakarnya dan menutup rapat-rapat ingatan tentang Ayah.

Ketika Ona berumur 13 tahun, sepulang sekolah Ona melihat Ibu menangis lagi setelah pertengkarannya dengan Ayah beberapa tahun lalu. Kemudian Ibu berkata bahwa dia baru saja bertemu dengan Ayah bersama dengan istri barunya. Ibu bercerita bahwa Ayah sudah memiliki anak dari perempuan lain sebelum mereka menikah, atas sebab itu lah Ibu bertengkar hebat dengan Ayah yang kemudian berakhir dengan perceraian. Sejak saat itu Ibu terus bercerita tentang keburukan Ayah yang semakin lama membuat Ona semakin muak dan membenci Ayah.

Sejak saat itu Ona juga menutup hati untuk setiap lelaki yang mendekatinya, Ona yang semula terkenal dengan gadis ramah dan murah senyum kini berubah menjadi gadis dingin tak tersentuh. Aisyah menyadari perubahan sikap adik keponakannya dan terus berusaha membuat Ona kembali seperti sebelumnya. Namun, usahanya selalu gagal.

Ona menghela napas, masa lalunya begitu kelam dan juga menyedihkan. Mata bulatnya menatap talapak tangan yang dulu terkena pecahan kaca. Ini semua karena Ayah! ujar Ona dalam hati.

Kemudian tanpa sadar air mata mulai mengalir di pipinya, pertahanan yang sudah dia bangun bertahun-tahun pada akhirnya akan tetap rapuh dan runtuh. Kecewa, marah, sedih, semua menyatu jadi satu menimbulkan semuah emosi yang tidak Ona pahami. Tanpa bisa dicegah ingatan tentang kebersamaannya dengan Ayah berputar di benaknya. Ayah yang dengan sabar mengajarinya bermain sepeda, Ayah yang selalu mencium keningnya ketika akan berangkat kerja, Ayah yang selalu membelikan mainan baru ketika habis gajian, senyum hangat Ayah, dan tatapan teduh lelaki yang selalu dia banggakan memenuhi kepalanya.

Ona mengerang pelan berusaha membuang jauh-jauh ingatan itu. Ona berusaha mati-matian mengubur kenangan itu, tetapi di sela-sela kesibukannya kenangan itu selalu hadir, menganggunya, menggoyahkan hatinya, kemudian menimbulkan rasa rindu yang begitu dalam. Ona tidak bisa menolak takdir bahwa biar bagaimana pun Ayah, dia akan tetap menjadi ayahnya. Darah Ayah mengalir di tubuhnya.

Dada Ona semakin sesak, sakit yang selama ini dia pendam tidak bisa dia lampiaskan selain dengan air mata. Tiba-tiba Ona merasa ada yang memeluknya dari samping. Dengan beruraian air mata Ona melihat Nafa yang memeluknya dengan erat. Temannya itu pasti menyadari bahwa Ona sudah tidak berada di sampingnya, dan dengan mudah juga Nafa akan menemukannya di dapur. Bertahun-tahun satu kamar dengan Ona cukup membuat Nafa paham bahwa temannya itu sering mimpi buruk dan nangis sendirian di dapur atau balkon kamar.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status