Share

03 - Berangkat Bareng

Langkah kecil Ona menuruni tangga dengan tergesa, kedua tangannya sibuk merapikan rambut yang masih basah. Mulut mungilnya tidak berhenti menggerutu kesal menyalahkan Nafa, karena kemarin Nafa memaksanya nonton drama korea sampai jam 3 pagi. Alhasil dia jadi bangun kesiangan dan yang membuat Ona semakin dongkol adalah Nafa sengaja tidak membangunkannya dan berangkat ke kantor duluan.

Jam di pergelangan tangan Ona sudah menunjukkan pukul 7.55 yang artinya 5 menit lagi akan memasuki jam kerja. Ona tidak akan terlambat kalau dia segera menyalakan sepeda motornya dan melaju ke kantor yang hanya berjarak beberapa meter saja dari indekos. Namun, nasip baik tidak berpihak padanya. Ketika Ona siap menyalakan sepeda motor ponsel di tas kecilnya berbunyi nyaring, Ona mendengus dan mengambil ponsel yang berkedip dengan nama Ibu itu.

Ona sudah sering menolak panggilan dari Ibu, dan kalau hari ini dia abaikan panggilan dari Ibu lagi maka nanti ketika dia pulang ke rumah Ibu akan memberinya ceramah panjang. Dengan terpaksa Ona mengangkat panggilan itu sambil memutar sepeda motornya ke keluar parkiran indekos.

“Halo, Bu?”

“Akhirnya kamu angkat telepon Ibu,” jawab Ibu lega dari seberang telepon.

“Ada apa, Bu? Aku buru-buru berangkat kerja, udah hampir telat.” Ona kembali melirik jam di pergelangan tangannya yang sudah menunjukkan pukul 7.57.

“Kapan pulang? Ibu kangen.”

Oke, ini bukan saatnya kangen-kangenan atau Ona akan terlambat dan kena marah Bu Dama yang galaknya minta ampun, apalagi analisnya itu sedang hamil yang mana mood-nya sering berubah-ubah tanpa sebab. Ona mematikan sambungan telepon dengan sepihak, Ibu pasti sudah marah-marah pada Mela—adiknya yang sering kali menjadi sasaran kemarahan Ibu karena sikap Ona.

Namun, lagi-lagi nasip baik tidak berpihak pada Ona. Ketika dia menyalakan motornya, motor buntut itu tak kunjung menyala. Berkali-kali Ona coba belum juga menyala. Ona semakin panik.

“Motornya mogok?” tanya seorang lelaki dari depan salah satu pintu kamar indekos. Ona mengalihkan pandangan dan menatap lelaki itu. Sejenak Ona terpana, lelaki itu mengenakan kemeja putih dengan celana kain berwarna mocca. Rambut lebatnya disisir rapi dan masih basah. Rapi dan menawan. Rey. Ona menggelengkan kepalanya dan segera mengalihkan pandangan, dia benar-benar malu dengan kejadian tadi malam.

“Mau bareng saya?” tawar Rey sambil mengeluarkan motor besarnya, Ona menggelengkan kepala tidak berani menatap lelaki itu.

“Yakin gak mau bareng saya? Satu menit lagi mulai jam kerja,” sambung Rey sambil melihat jam di pergelangan tangannya.

Kemudian Ona menatap motornya yang malang, dia ingin menolak tawaran Rey tetapi kalau dia jalan kaki ke kantor jelas akan terlambat. Selain karena gengsi, Ona masih malu dengan lelaki itu karena kejadian tadi malam yang membuatnya canggung. Tetapi apa lelaki itu tidak merasa canggung sama sekali? Ona menghela napas, tidak ada pilihan lain maka Ona kembali memasukkan motornya ke parkiran dan menaiki motor Rey tanpa kata.

Lelaki itu tersenyum tipis dan segera melajukan motornya sebelum terlambat. Tidak ada percakapan sampai kantor. Perempuan itu bahkan tidak mengucapkan terima kasih dan segera menuju ke mesin absensi yang bertepatan dengan jam 8.00. Rey mengikuti langkah Ona dan setelah absensi mereka berjalan bersamaan menuju laboratorium pengujian obat yang terletak di lantai 2.

***

“Cieee yang tadi berangkat bareng Pak Rey,” goda Nafa dengan mata mengerling jahil, binar mata Nafa masih menunjukkan misteri tentang kejadian tadi malam. Ona harus menyogok Nafa supaya perempuan itu bisa diam dan tidak memberi tahukan kejadian itu pada Habib, karena kalau Habib sampai tahu itu akan menjadi masalah besar bagi Ona.

“Cie cie Ona yang mulai suka cowok,” tambah Habib. “Ona seleranya tinggi ya, sejenis Pak Rey gitu, ganteng-ganteng ramah.”

“Apaan, sih!” sahut Ona kesal kemudian memasukkan sesuap nasi ke mulutnya. Kabar kedatangannya dengan Rey pagi tadi sudah menyebar ke seluruh karyawan laboratoium. Padahal hanya berangkat bersama itu pun sudah masuk jam kerja, kenapa bisa seheboh ini? Belum lagi Ona harus menutup kupingnya dari nyiyiran Airin yang cemburu buta dengannya. Padahal Ona sama sekali tidak berniat untuk bersaing dengan Airin.

Saat ini saja banyak yang curi-curi pandang pada Ona kemudian berbisik pada teman di sampingnya. Antrian panjang di setiap stan makanan juga melakukan hal sama membuat Ona risih. Kantor tempat Ona kerja memang menyediakan kantin untuk para karyawannya, setiap awal bulan para karyawan akan diberi voucher makan senilai Rp. 7000 khusus untuk lauk, sedangkan untuk nasi dan minum gratis. Di kantin ini ada 6 stan makanan dengan menu yang berbeda-beda dan semua stan itu selalu memiliki antrian panjang setiap istirahat datang.

“Tadi malam makan bareng, pagi ini berangkat bareng, nanti malam ngapain, ya?” sindir Nafa cekikikan. Ona menatap Nafa tajam, tetapi perempuan itu tetap tertawa tanpa beban.

“Makan bareng? Akhirnya Ratu Es kita bisa buka hati,” sahut Habib. “Wah, kayaknya gue harus pindah ke tempat indekos kalian, nih, biar gak ketinggalan info terus.”

“Nah, iya, Bib. Lo bisa satu kamar sama Pak Rey sekalian mata-matain dia.” Nafa terbahak sampai menarik perhatian dari karyawan lain yang sedang makan di kantin. “Kalau lo beneran pindah indekos bakalan seru, nih.”

Tiba-tiba semua pasang mata tertuju pada pintu masuk kantin, Ona mengikuti arah padang Nafa dan Habib. Terlihat Rey memasuki kantin diikuti Airin yang terus menempel dan mengajak Rey bicara. Lelaki itu hanya menanggapi seperlunya dan terlihat tidak nyaman dengan sikap agresif Airin.

Ona mengalihkan padangan dan kembali fokus pada makanannya, sama sekali tidak peduli dengan Rey. Ponsel di samping makanan Ona berkedip-kedip tanda pesan masuk. Ona segera membuka pesan itu yang ternyata dari Ibu.

Ibu

Kamu cepet pulang. Aisyah mau menikah, kamu jangan kalah sama dia. Atau mau Ibu kenalkan ke anak temen Ibu?

Bola mata Ona berputar kesal, dia ingin berteriak di depan Ibu dan mengatakan bahwa dia tidak ingin menikah. Tetapi Ibu tidak peduli dengan hal itu, Ibu selalu berkata tentang umurnya yang sudah menginjak usia 25 tahun dan tidak pernah mengenalkan seorang lelaki padanya. Hal itu membuat Ibu khawatir.

“Ada masalah?” tanya Rey yang sudah duduk di depan Ona, di samping Rey ada Airin yang menatap Ona sinis. Ona tersentak sampai ponselnya hampir jatuh ke sup yang dia makan.

“Hati-hati, dong, Na,” ujar Nafa sambil mengambil tisu.

“Cewek ceroboh,” sindir Airin.

Ona hanya diam dan melanjutkan makan, tetapi tidak dengan pikirannya yang berkelana. Sebenarnya selama ini Ona ingin lebih sering pulang ke rumah seperti yang dilakukan Nafa. Ona ingin pulang tanpa ada beban pertanyaan harus menikah kapan? Kenapa perempuan selalu dituntut untuk menikah diusia muda? Kenapa perempuan harus dituntut untuk memiliki anak dan melanjutkan keturunan?

“Ona!” panggil Nafa tepat di telinga Ona. Untuk kedua kalinya Ona tersentak dan menatap Nafa bingung. Nafa bangkit sambil membawa piring yang sudah kosong diikuti oleh Habib. Ona ikut bangkit meskipun makanannya belum habis, dia hanya tidak ingin satu meja dengan Rey dan Airin.

“Itu makanannya belum habis,” ujar Rey. Namun, Ona kembali mengabaikannya dan terus berjalan menyusul kedua temannya. Rey menghela napas, berbicara dengan Ona seperti bicara dengan tembok, tidak pernah ada respon selain tatapan datar.

“Ngomong sama Ona kayak ngomong sama angin, ya,” ujar Airin sengaja mengiring opini Rey untuk illfeel dengan Ona.

Rey tidak menanggapi ucapan Airin dan melanjutkan makannya dengan cepat, dia ingin segera pergi menyusul Ona.

***

Setelah makan di kantin, Ona bersama kedua temannya berjalan ke masjid untuk menunaikan ibadah salat zuhur. Ketika Ona selesai wudu, ponsel Ona di sakunya kembali bergetar. Pesan dari Ibu lagi.

Ibu

Minggu depan kamu pulang, ya, Ibu kenalkan sama anak teman Ibu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status