Langkah kecil Ona menuruni tangga dengan tergesa, kedua tangannya sibuk merapikan rambut yang masih basah. Mulut mungilnya tidak berhenti menggerutu kesal menyalahkan Nafa, karena kemarin Nafa memaksanya nonton drama korea sampai jam 3 pagi. Alhasil dia jadi bangun kesiangan dan yang membuat Ona semakin dongkol adalah Nafa sengaja tidak membangunkannya dan berangkat ke kantor duluan.
Jam di pergelangan tangan Ona sudah menunjukkan pukul 7.55 yang artinya 5 menit lagi akan memasuki jam kerja. Ona tidak akan terlambat kalau dia segera menyalakan sepeda motornya dan melaju ke kantor yang hanya berjarak beberapa meter saja dari indekos. Namun, nasip baik tidak berpihak padanya. Ketika Ona siap menyalakan sepeda motor ponsel di tas kecilnya berbunyi nyaring, Ona mendengus dan mengambil ponsel yang berkedip dengan nama Ibu itu.
Ona sudah sering menolak panggilan dari Ibu, dan kalau hari ini dia abaikan panggilan dari Ibu lagi maka nanti ketika dia pulang ke rumah Ibu akan memberinya ceramah panjang. Dengan terpaksa Ona mengangkat panggilan itu sambil memutar sepeda motornya ke keluar parkiran indekos.
“Halo, Bu?”
“Akhirnya kamu angkat telepon Ibu,” jawab Ibu lega dari seberang telepon.
“Ada apa, Bu? Aku buru-buru berangkat kerja, udah hampir telat.” Ona kembali melirik jam di pergelangan tangannya yang sudah menunjukkan pukul 7.57.
“Kapan pulang? Ibu kangen.”
Oke, ini bukan saatnya kangen-kangenan atau Ona akan terlambat dan kena marah Bu Dama yang galaknya minta ampun, apalagi analisnya itu sedang hamil yang mana mood-nya sering berubah-ubah tanpa sebab. Ona mematikan sambungan telepon dengan sepihak, Ibu pasti sudah marah-marah pada Mela—adiknya yang sering kali menjadi sasaran kemarahan Ibu karena sikap Ona.
Namun, lagi-lagi nasip baik tidak berpihak pada Ona. Ketika dia menyalakan motornya, motor buntut itu tak kunjung menyala. Berkali-kali Ona coba belum juga menyala. Ona semakin panik.
“Motornya mogok?” tanya seorang lelaki dari depan salah satu pintu kamar indekos. Ona mengalihkan pandangan dan menatap lelaki itu. Sejenak Ona terpana, lelaki itu mengenakan kemeja putih dengan celana kain berwarna mocca. Rambut lebatnya disisir rapi dan masih basah. Rapi dan menawan. Rey. Ona menggelengkan kepalanya dan segera mengalihkan pandangan, dia benar-benar malu dengan kejadian tadi malam.
“Mau bareng saya?” tawar Rey sambil mengeluarkan motor besarnya, Ona menggelengkan kepala tidak berani menatap lelaki itu.
“Yakin gak mau bareng saya? Satu menit lagi mulai jam kerja,” sambung Rey sambil melihat jam di pergelangan tangannya.
Kemudian Ona menatap motornya yang malang, dia ingin menolak tawaran Rey tetapi kalau dia jalan kaki ke kantor jelas akan terlambat. Selain karena gengsi, Ona masih malu dengan lelaki itu karena kejadian tadi malam yang membuatnya canggung. Tetapi apa lelaki itu tidak merasa canggung sama sekali? Ona menghela napas, tidak ada pilihan lain maka Ona kembali memasukkan motornya ke parkiran dan menaiki motor Rey tanpa kata.
Lelaki itu tersenyum tipis dan segera melajukan motornya sebelum terlambat. Tidak ada percakapan sampai kantor. Perempuan itu bahkan tidak mengucapkan terima kasih dan segera menuju ke mesin absensi yang bertepatan dengan jam 8.00. Rey mengikuti langkah Ona dan setelah absensi mereka berjalan bersamaan menuju laboratorium pengujian obat yang terletak di lantai 2.
***
“Cieee yang tadi berangkat bareng Pak Rey,” goda Nafa dengan mata mengerling jahil, binar mata Nafa masih menunjukkan misteri tentang kejadian tadi malam. Ona harus menyogok Nafa supaya perempuan itu bisa diam dan tidak memberi tahukan kejadian itu pada Habib, karena kalau Habib sampai tahu itu akan menjadi masalah besar bagi Ona.
“Cie cie Ona yang mulai suka cowok,” tambah Habib. “Ona seleranya tinggi ya, sejenis Pak Rey gitu, ganteng-ganteng ramah.”
“Apaan, sih!” sahut Ona kesal kemudian memasukkan sesuap nasi ke mulutnya. Kabar kedatangannya dengan Rey pagi tadi sudah menyebar ke seluruh karyawan laboratoium. Padahal hanya berangkat bersama itu pun sudah masuk jam kerja, kenapa bisa seheboh ini? Belum lagi Ona harus menutup kupingnya dari nyiyiran Airin yang cemburu buta dengannya. Padahal Ona sama sekali tidak berniat untuk bersaing dengan Airin.
Saat ini saja banyak yang curi-curi pandang pada Ona kemudian berbisik pada teman di sampingnya. Antrian panjang di setiap stan makanan juga melakukan hal sama membuat Ona risih. Kantor tempat Ona kerja memang menyediakan kantin untuk para karyawannya, setiap awal bulan para karyawan akan diberi voucher makan senilai Rp. 7000 khusus untuk lauk, sedangkan untuk nasi dan minum gratis. Di kantin ini ada 6 stan makanan dengan menu yang berbeda-beda dan semua stan itu selalu memiliki antrian panjang setiap istirahat datang.
“Tadi malam makan bareng, pagi ini berangkat bareng, nanti malam ngapain, ya?” sindir Nafa cekikikan. Ona menatap Nafa tajam, tetapi perempuan itu tetap tertawa tanpa beban.
“Makan bareng? Akhirnya Ratu Es kita bisa buka hati,” sahut Habib. “Wah, kayaknya gue harus pindah ke tempat indekos kalian, nih, biar gak ketinggalan info terus.”
“Nah, iya, Bib. Lo bisa satu kamar sama Pak Rey sekalian mata-matain dia.” Nafa terbahak sampai menarik perhatian dari karyawan lain yang sedang makan di kantin. “Kalau lo beneran pindah indekos bakalan seru, nih.”
Tiba-tiba semua pasang mata tertuju pada pintu masuk kantin, Ona mengikuti arah padang Nafa dan Habib. Terlihat Rey memasuki kantin diikuti Airin yang terus menempel dan mengajak Rey bicara. Lelaki itu hanya menanggapi seperlunya dan terlihat tidak nyaman dengan sikap agresif Airin.
Ona mengalihkan padangan dan kembali fokus pada makanannya, sama sekali tidak peduli dengan Rey. Ponsel di samping makanan Ona berkedip-kedip tanda pesan masuk. Ona segera membuka pesan itu yang ternyata dari Ibu.
Ibu
Kamu cepet pulang. Aisyah mau menikah, kamu jangan kalah sama dia. Atau mau Ibu kenalkan ke anak temen Ibu?
Bola mata Ona berputar kesal, dia ingin berteriak di depan Ibu dan mengatakan bahwa dia tidak ingin menikah. Tetapi Ibu tidak peduli dengan hal itu, Ibu selalu berkata tentang umurnya yang sudah menginjak usia 25 tahun dan tidak pernah mengenalkan seorang lelaki padanya. Hal itu membuat Ibu khawatir.
“Ada masalah?” tanya Rey yang sudah duduk di depan Ona, di samping Rey ada Airin yang menatap Ona sinis. Ona tersentak sampai ponselnya hampir jatuh ke sup yang dia makan.
“Hati-hati, dong, Na,” ujar Nafa sambil mengambil tisu.
“Cewek ceroboh,” sindir Airin.
Ona hanya diam dan melanjutkan makan, tetapi tidak dengan pikirannya yang berkelana. Sebenarnya selama ini Ona ingin lebih sering pulang ke rumah seperti yang dilakukan Nafa. Ona ingin pulang tanpa ada beban pertanyaan harus menikah kapan? Kenapa perempuan selalu dituntut untuk menikah diusia muda? Kenapa perempuan harus dituntut untuk memiliki anak dan melanjutkan keturunan?
“Ona!” panggil Nafa tepat di telinga Ona. Untuk kedua kalinya Ona tersentak dan menatap Nafa bingung. Nafa bangkit sambil membawa piring yang sudah kosong diikuti oleh Habib. Ona ikut bangkit meskipun makanannya belum habis, dia hanya tidak ingin satu meja dengan Rey dan Airin.
“Itu makanannya belum habis,” ujar Rey. Namun, Ona kembali mengabaikannya dan terus berjalan menyusul kedua temannya. Rey menghela napas, berbicara dengan Ona seperti bicara dengan tembok, tidak pernah ada respon selain tatapan datar.
“Ngomong sama Ona kayak ngomong sama angin, ya,” ujar Airin sengaja mengiring opini Rey untuk illfeel dengan Ona.
Rey tidak menanggapi ucapan Airin dan melanjutkan makannya dengan cepat, dia ingin segera pergi menyusul Ona.
***
Setelah makan di kantin, Ona bersama kedua temannya berjalan ke masjid untuk menunaikan ibadah salat zuhur. Ketika Ona selesai wudu, ponsel Ona di sakunya kembali bergetar. Pesan dari Ibu lagi.
Ibu
Minggu depan kamu pulang, ya, Ibu kenalkan sama anak teman Ibu.
Sejak pulang dari kondangan dua jam yang lalu, Ona belum keluar kamar. Hal tersebut membuat Ibu dan Mela khawatir, apa terjadi sesuatu selama datang ke kondangan sampai Ona mengurung diri seperti itu?Setiap kali Ibu dan Mela bertanya, Ona akan menjawab capek dan ingin tidur lebih awal. Akhirnya Ibu dan Mela hanya bisa diam membiarkan Ona sendiri.Perempuan yang masih mengenakan kebaya itu masih duduk di depan cermin dengan tatapan kosong. Rambut yang semul rapi sudah acak-acakan sama kacaunya dengan wajahnya. Berkali-kali jari lentiknya menyentuh bibir yang pucat.Ingatan Ona kembali pada kejadian beberapa jam yang lalu. Setelah selesai menghadiri pernikahan Selin yang berjalan lancar, Ona mampir lagi ke rumah Rey. Kebetulan Ibu dan Ayah Rey sedang tidak ada di rumah, pasangan suami istri itu pergi ke rumah nenek Rey yang berada tidak jauh dari rumah Rey, hanya berjarak beberapa rumah saja.Awalnya tidak ada yang aneh antara interaksi Ona dan Rey, lelaki
Udara pagi berembus pelan masuk ke kamar Ona melalui celah jendela yang sengaja tidak dia tutup rapat. Perempuan itu berdiri di depan cermin kamarnya sambil mematut dirinya sendiri. Wajah yang biasanya polos tanpa make up sedikit dia kenakan bedak dan lipstik, tentu saja atas bantuan Mela. Rambutnya dia tata serapi mungkin karena nanti dia akan mengenakan helm ke rumah Rey.Entah mengapa sejak tadi malam perasaan Ona tidak tenang, segala kemungkinan memenuhi kepalanya. Ona ingin semua ini segera berakhir, dia tidak ingin lagi berhubungan dengan Rey lagi karena hal itu tidak baik untuk kesehatan jantungnya. Ona harus segera menjauh sebelum jatuh terlalu dalam, baginya semua lelaki itu sama saja. Pada akhirnya para lelaki itu akan meninggalkannya jika sudah mendapat apa yang dia cari. Seperti ayahnya yang meninggalkan keluarganya setelah mendapatkan apa yang diinginkan dari Ibu. Hal tersebut membuat Ona berpikir setiap lelaki selalu memiliki tujuan tersendiri ketika me
Memasuki jam 09.00 pagi adalah jam sibuk di laboratorium pengujian bagian quality control. Jam 9 adalah waktu sampel datang dan para asisten analis seperti Ona segera melakukan preparasi karena jam 11 sudah ada sampel lagi kloter 2. Kalau tidak mau lembur maka harus bekerja dengan cepat. Adanya anak PKL sangat membantu Ona, anak PKL itu sudah bekerja dengan Ona selama 1 bulan dan Rara sudah kebal dengan sikap dingin Ona. Rara akan menghabiskan waktu 3 bulan untuk PKL di Konimex.Akhir bulan ini juga cukup menguras tenaga, sampel yang datang selalu 10 batch dan minta selesai dalam waktu 2 jam. Tidak hanya asisten analis, analis juga tidak kalah kalang kabut mengejar target. Tidak ada waktu untuk sekedar gosip atau basa-basi, semua sibuk dengan job desk-nya masing-masing.Kedua tangan Ona bergerak cepat melakukan pengenceran dibantu oleh Rara. Rara memang tidak pernah santai jika bekerja dengan Ona, dan Ona menikmati hal tersebut. Karena dengan
Mati lampu! Tangan Ona bergetar hebat ketika lampu di indekosnya tiba-tiba mati tanpa ada pemberitahuan sebelumnya, biasanya jika akan ada pemadaman listrik Ona akan mempersiapkan diri, entah tidur lebih awal atau tetap di kamar bersama Nafa. Saking paniknya Ona tidak sengaja menjatuhkan gelas yang ada di meja, kompornya masih menyala dan itu satu-satunya sumber cahaya yang ada.Keringat mulai membasahi tubuh ramping Ona, ingatan masa lalu kembali berputar di benaknya, sekarang apa yang harus dia lakukan? Tidak ada yang bisa menolongnya selain dirinya sendiri, tetapi Ona tidak berdaya, tubuhnya benar-benar lemas.“Kamu gak papa?”Ona berbalik cepat ketika suara seorang lelaki masuk ke indra pendengarannya. Lelaki itu berdiri di belakangnya, Ona menyipitkan matanya berusaha menebak siapa lelaki yang kini berdiri di depannya.“Airnya udah mendidih, kalau kamu gak matiin kompornya airnya bisa habis,” ujar lelaki itu sambil mematikan k
Setelah melalui serangkaian acara pernikahan adat jawa, akhirnya memasuki sesi foto bersama. Para tamu undangan yang ingin foto bersama bisa antre ke pelaminan sekalian dengan salaman. Sebenarnya Ona malas melakukan hal tersebut, namun atas paksaan Nafa dan Habib akhirnya Ona hanya bisa mengangguk. Sedangkan Rey menjadi tim netral, sejak kedatangannya tadi Rey terus senyum pada Ona, tidak jarang juga Ona menangkap basah Rey yang menatapnya.Banyak tetangga Ona yang menyapa Rey dengan tatapan kagum, dan Ona benar-benar berharap semoga dengan ini bisa membungkam mulut mereka meskipun kemungkinannya kecil. Para remaja di desanya juga menatap Rey kagum membuat Ona yang selalu berada di samping Rey risih karena dia tidak terbiasa menjadi pusat perhatian.Setelah menunggu antrean cukup panjang akhirnya tiba saatnya Ona dan teman-temannya untuk foto bareng dengan sepa
Musik gamelan khas hajatan pernikahan daerah Jawa Tengah memenuhi indra pendengaran perempuan yang sudah rapi dengan kebaya dusty pink dan berdiri malas di depan rumahnya. Dia baru saja mendapat kabar bahwa Nafa, Habib, dan Rey sedang dalam perjalanan ke rumahnya. Ibu dan Mela juga menemaninya menunggu dengan wajah penasaran dan sumringah yang membuatnya memutar bola mata.Sejak kepulangan Ona kemarin, dia langsung berkata pada Ibu akan mengenalkan seorang lelaki. Ona berkata mereka hanya sekedar teman dan memperingatkan Ibu supaya tidak terlalu berharap dengan hubungan Ona dan Rey seperti hubungan Ona dan Habib beberapa tahun lalu. Tetapi tetap saja Ibu mengabaikan perkataan Ona karena terlalu senang, setelah ini semoga Ibu tidak akan mendengar nyiyiran dari tetangga lagi.Reaksi Mela tidak jauh beda dengan Ibu, ketika mendengar Ona akan mengenalkan Rey dan menunjukkan foto Rey pada Mela. Mata adik perempuannya itu langsung berbinar senang, apalagi wajah tamp
“Lo kenapa?” tanya Ona sambil mendekat ke Rey tanpa ragu.Rey menatap Ona lemah sambil menahan sakit di perutnya. Ona meraih lengan Rey dan membantu lelaki itu melepaskan jas lab dan sepatu khusus untuk masuk laboratorium. Rey mengikuti gerakan Ona dengan pelan, perutnya benar-benar sakit dan Rey baru ingat dia tadi tidak sempat makan siang karena banyaknya sampel. Ditambah sekarang lembur sampai jam setengah 11 malam.Setelah selesai, Ona segera mencari loker bernama Rey dan mengeluarkan ponsel yang ditinggalnya. Rey tidak membawa apa pun selain ponsel dan dompet yang berada di sakunya. Benar-benar simpel. Ona menatap wajah pucat Rey panik, dalam hati Rey tersenyum, baru kali ini dia melihat wajah Ona yang panik, biasanya perempuan itu selalu menunjukkan wajah dingin dan tidak bersahabat.“Kamu be
Tatapan dingin perempuan itu mengamati sekitar, teman-teman dan karyawan lainnya sedang sibuk mengerjakan sampelnya. Tidak jauh beda dengan para analis yang berjuang mengejar target bulan ini, akhir bulan memang selalu menjadi hari-hari sibuk laboratorium. Perempuan itu menghela napas dan mulai memasukkan daftar sampelnya ke komputer di depannya menggantikan Dena yang sedang mencuci alat-alat gelas.Anak PKL titipan Bu Dama sedang dia suruh untuk mengeringkan alat-alat karena akan digunakan lagi, di satu baris meja yang berisi Ona, Habib, dan Nafa ada 2 anak PKL SMK. Satu laki-laki yang sekarang sedang membantu Habib menimbang sampel dan satu cewek yang kini sedang Ona suruh menggeringkan alat. Adanya anak PKL memang sangat membantu, tetapi sayangnya anak PKL tidak boleh lembur, padahal di akhir bulan begini banyak sekali lembur.Perempuan itu menghela napas memandang banyaknya sampel yang akan datang besok. Hari ini adalah hari pertama Bu Dama cuti melahirkan dan sial
“Gimana persiapan pernikahan Mbak Aisyah?”Ona memutar bola matanya mendengar pertanyaan itu keluar dari mulut Rey, sejak kapan dia merasa begitu dekat dengannya sampai menanyakan perihal pernikahan Mbak Aisyah? Dan sejak kapan Rey dengan percaya dirinya memanggil Aisyah dengan sebutan Mbak, padahal jelas tua Rey daripada Aisyah.Merasa Ona tidak akan menjawab pertanyaannya, Rey menghela napas dan kembali fokus mengendarai sepeda motor menuju gedung II untuk melakukan safety meeting bagian quality control. Safety meeting dilakukan sebulan sekali yang membahas perihal perkembangan bagian serta ramah taman antar karyawan. Di safety meeting juga akan ada perkenalan anak magang dan PKL yang akan meringankan beban para karyawan tetap yang gila lembur.Nafa dan Habib sudah berangkat lebih dulu, dan hal itu lah yang membuat Ona kesal karena harus barengan lagi dengan Rey. Mata Ona menatap punggung tegap Rey yang berbalut