Share

Eden yang Menyenangkan

Kantin sekolah cukup ramai di jam istirahat siang saat Calista masuk bersama Arabel dan Inneke. Netra cokelatnya beradu pandang dengan Eden sebelum anak baru itu menyunggingkan senyumannya. 

Tampan, batin Calista dalam hati tanpa disadari. Begitu kagum dengan pesona seorang Eden Hariyanto.

“Hai Calista," sapa Eden menyadarkan Calista akan lamunannya.

“Hai juga, Eden. Gimana film yang kamu tonton kemarin?" tanya Calista dengan segera, mengingat lelaki muda itu sedang di bioskop bersama teman-temannya kemarin.

“Filmnya bagus. Mau nonton bareng aku, Calista? Kamu juga boleh ajak teman-temanmu. Aku ada tiket gratis,” Eden melihat ke Arabel dan Inneke sambil tersenyum.

“Oh ya? Wah, tentu mau dong. Ya kan guys??” Calista begitu bersemangat, ia melihat ke arah kedua temannya.

“Iya, makasih ya Eden," Arabel memperlihatkan wajah sumringah, tapi ia segera menggelayutkan tangannya di lengan Inneke. “Kami pesan makanan duluan ya, Calista, Eden. Yuk ah, Inneke.”

“Mereka udah akrab aja ya, Bel,” Inneke diam-diam menoleh dan melihat sahabat mereka sudah duduk berdua dengan Eden dan berbicara dengan asyiknya.

“Bel, bukannya aku gosip ya, tapi kudengar dari temanku yang di sekolah lama Eden,” Inneke berbisik agar tidak didengar oleh siapa pun. Keduanya masih berdiri di pojokan sembari menunggu pesanan bakso dari Ibu kantin. 

“Eden itu anak badung, makanya dipindah kemari. Dia buat masalah di sana dan Ayahnya yang pindahkan Eden dari Surabaya ke Jakarta," lanjut Inneke lagi dengan wajah super serius.

“Jadi maksudnya gimana, Inne? Kita harus hati-hati sama dia?”tanya Arabel waswas.

“Yah, hati-hati aja Bel. Ya sebetulnya bukan buat kita, tapi teman kita. Calista yang polos itu sepertinya sudah mulai jatuh cinta.” Inneke mengedikkan dagunya, menunjuk ke arah Calista dan Eden yang duduk berdua di pojokan.

Arabel ikut memperhatikan wajah malu-malu Calista, bahkan kadang ia tersenyum tersipu mendengarkan Eden. Namun, beberapa saat kemudian ia tertawa mendengar lelucon Eden. Betul-betul seperti gadis kasmaran. Calista itu seperti kotak transparan. Rasa jengkel, kesal, suka atau sangat sukanya dapat terlihat sangat jelas dari sorot mata dan gestur tubuhnya. Selama ini pula, dengan sepengetahuan Arabel dan Inneke, ia selalu menghindari lelaki yang sudah mulai menunjukkan gejala menyukai dia.

“Kalau memang Calista suka dia, kita bisa buat apa?” Arabel menghela nafas lalu membawa baki dengan mangkuk bakso di atasnya, keduanya berjalan ke meja kosong di sebelah meja Eden dan Calista.

“Iya juga sih. Ya, mudah-mudahan baik-baik saja,” tukas Inneke dan keduanya terdiam saat duduk dekat Calista.

“Besok sore kita mau nonton film baru launching di bioskop. Kalian bisa ikut nggak?” tanya Calista dengan sangat bersemangat. “Eden juga datang bersama teman-temannya.”

“Sorry, aku ke lapangan basket dulu ya, Calista. Nanti kabari aja lagi," Eden beranjak berdiri, tersenyum pada Calista dan kedua kawannya. Ia melangkah keluar dengan cepat dari kantin.

“Ta, aku besok nggak bisa. Ada kursus piano,” kata Inneke dengan segera.

“Yah, nggak bisa ijin Ke, sekali aja?” bujuk Calista dengan wajah memelas. “Arabel gimana? Paman Jorge cuma ijinin aku kalau jalan bareng kalian atau teman perempuan yang ia kenal.”

“Ya ampun, Calista! Paman Jorge-mu itu memang dari dulu nggak berubah, ya. Kamu kan udah gede, Calista."

Inneke menggeleng-gelengkan kepala. Ia yang sudah berkawan dengan Calista dari jaman masih memakai rok merah putih, tahu persis bagaimana disiplin-nya Jorge.

“Makanya, aku nggak mau masa mudaku hilang kesenangannya karena Paman terlalu berlebihan menjagaku! Aku tahu Paman Jorge menjaga Ibu dan aku setelah Ayah tidak ada, tapi …” Calista menggantungkan kalimat, wajahnya terlihat sangat putus asa. “Nggak gitu-gitu juga kali ya.”

“Ulang tahun teman kita tahun lalu, Calista dijemput Paman-nya. Katanya sampai jam sebelas malam kok nggak bilang-bilang,” Arabel tersenyum geli. “Aku ikut mobil Paman Jorge dan melihat Calista cemberut sepanjang jalan.”

“Aku mau pulang sama-sama Ardian waktu itu, cowok yang lagi mendekati aku. Akhirnya, dia mundur teratur dan lama-lama menghilang setelah mengenal Paman Jorge,” keluh Calista dengan wajah malas.

“Untung kamu nggak sama dia, Ta. Dasar pengecut! Hanya dipelototi dan diinterogasi sama Pamanmu aja, dia udah nggak punya nyali!” Inneke membela Jorge. “Kalau memang suka dan sayang, mestinya dia berani!”

“Ah, udahlah. Jangan dibicarakan lagi. Bikin bete aja," Calista berucap dengan muram lalu mengalihkan matanya ke Arabel. “Pokoknya kamu ikut ya, Bel. Kalau aku sendirian, dijamin nggak akan diijinin sama Paman Jorge, apalagi sama cowok nggak dikenalnya,” bujuknya terus menerus.

“Kamu mau lihat filmnya atau karena sama-sama Eden sih? Nanti aku jadi kambing congek, nggak enak Ta!” protes Arabel langsung. “Apa aku bawa Koko, boleh nggak?”

“Boleh. Nanti aku bilang Eden ya.” 

Bel berdering tanda pelajaran sudah dimulai. Calista dan kedua kawannya pun segera masuk kelas. Tanpa terasa beberapa jam sudah berlalu, Calista berjalan keluar dari pintu gedung menuju gerbang sekolah. 

“Calista!!” panggil Eden membuat gadis itu menoleh, melihat pria itu berlari-lari ke arahnya.

“Tumben sendirian? Mana teman-temanmu?”

“Arabel lagi ada keperluan, Inneke juga, jadi aku pulang duluan."

“Mau diantar? Aku bawa motor. Rumahmu di mana?"

“Nggak usah repot-repot. Aku biasa naik bus, itu ada sedang parkir di ujung jalan,” tunjuk Calista ke arah jalanan. “Tapi makasih ya tawarannya.”

“Loh kok begitu? Duh sedihnya, aku ditolak,” Eden memalingkan wajahnya dengan mata sedih, membuat Calista merasa bersalah. 

“Bukan begitu. Aku sudah biasa naik bus sekolah. Nanti kamu repot sendiri kalau mengantarkan aku,” jawab Calista yang pertahanannya mulai sedikit goyah. 

“Siapa bilang repot? Aku malah senang sekali kalau bisa antar kamu pulang ke rumah,” Eden berucap dengan sangat manis, membuat Calista kembali tersipu.

“Ya, baiklah kalau begitu.”

“Yes! Aku ambil motor dulu ya!” 

Eden segera melangkah ke arah parkiran motor, sementara Calista duduk manis di kursi dekat gerbang sekolah. Dari kejauhan, ia melihat motor Eden mulai melaju ke arahnya dengan perlahan. Pria itu langsung memberikan helm hingga Calista memakainya dan naik ke jok belakang motor besar Eden. 

Ada sedikit debaran di dada saat tangannya memegang jaket Eden untuk berpegangan. Harum samar-samar Eden memenuhi indera penciumannya.

Motor besar Eden meluncur, membelah jalanan yang ramai. Lonjakan motor karena jalanan rusak membuat Calista kaget hingga ia secara refleks memeluk Eden dengan erat di pinggangnya.

“Enak juga dipegang erat sama perempuan cantik,” goda Eden membuat Calista tertawa.

Angin berhembus keras, pemandangan sepanjang jalan dan lelucon-lelucon Eden membuat ia merasa sangat bebas dan … lepas. Sungguhan, ini pengalaman pertama Calista dibonceng lelaki yang disukainya dan ternyata sangat menyenangkan.

 Bukannya Calista tidak ada yang mau mengantarkan, tentu saja. Banyak yang suka Calista, tapi banyak yang mundur karena Paman Jorge, atau alasan lain … tidak disukai Calista. Jadi untuk alasan kedua, sudah pasti tidak berlaku karena dari awal … Calista sangat menyukai Eden! Bahkan melebihi cokelat kesukaannya!

Ia masih tertawa-tawa sepanjang jalan mendengar lelucon Eden. Calista menuntun Eden ke rumahnya. Mereka melewati jalanan sempit, keluar dari gang, hingga melewati deretan mobil-mobil yang tak bergerak karena terjebak macet. 

Ia masih tertawa, beberapa saat sebelum dirinya terkesiap. Netra cokelatnya beradu pandang dengan tatapan mata sedingin es yang sangat dikenalnya, melalui kaca depan mobil yang berhenti karena terjebak macet. 

Paman Jorge!!

Perasaan takut seketika menyergap, walaupun dirinya ingin sekali memberontak terhadap sang Paman yang keterlaluan protektif! Ia masih belum mau cari masalah. Calista kemudian membuang muka ke arah berlawanan, berharap pria itu tidak melihatnya, hingga motor Eden terus menjauh dan meninggalkan jalanan itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status