Share

Sudah Bukan Anak Kecil Lagi

Hari sudah sore saat Calista sampai di rumah. Netra cokelatnya menangkap sang Ibu, Emily, yang sedang sibuk bercocok tanam di halaman rumah. Aroma segar pepohonan langsung menyergap saat ia masuk ke halaman rumah. Ia menyapa Emily lalu duduk di bangku teras sembari melepaskan kaos kaki dan sepatu. 

          Tidak lama berselang, mobil hitam berhenti di depan garasi rumah keluarga Ardhias. Calista pura-pura tidak melihat Pamannya yang baru saja turun dari mobil. Pria itu membuka pintu garasi lalu memasukkan mobil. 

          “Lain kali kalau pulang agak sore, bilang ke Ibu atau Paman agar kami tidak khawatir, Calista,” tegur Jorge melihat keponakannya yang masih ada di teras. 

          “Aku ada ekskul dan Arabel tadi minta diantar ke toko buku, Paman." 

          Calista menjawab dengan malas. Ia sudah lelah dikhawatirkan terus. Masalahnya, ini kan masih jam lima sore!! Ini bukan main-main, ia sudah bukan anak kecil lagi!

          “Kenapa aku harus lapor terus ke Paman Jorge, Bu? Aku juga nggak pernah pulang malam. Ini hanya beda satu jam saja dari jam pulang sekolahku,” 

          Calista mengadu pada sang Ibu yang baru saja berdiri sambil membuka glove dari tangannya. Emily hanya menghela nafas, lalu melihat putri tunggalnya.

          “Calista, semua ini kan untuk kebaikan kamu. Paman Jorge hanya membantu Ibu mengawasi kamu,” Emily membela Jorge membuat Calista terdiam. Selalu begini. Pada akhirnya ia yang memang anak baik-baik hanya bisa menurut saja dan tak bisa berkata apa-apa.

          “Hey, Paman juga tidak melarangmu ke mana pun asal bilang Calista!” tegur Jorge tapi tidak dijawab oleh Calista. Gadis remaja itu malah melengos lalu masuk ke dalam rumah. Paling tidak, ia hanya bisa merespon seperti itu.

          “Anak itu!” Emily berjalan ke teras. Ia kemudian tampak berpikir sejenak sebelum melihat ke Jorge. “Mungkin ia butuh kebebasan sedikit, Jorge. Kamu juga jangan berlebihan begini.”

          “Tidak apa kak Emily. Pergaulan anak jaman sekarang agak mengkhawatirkan. Aku hanya menjaga Calista,” 

          Jorge duduk, mengambil pisang goreng yang diletakkan di meja teras, buatan Emily. Emily sudah seperti Kakaknya, dan Calista … Apa yang dirasakannya terhadap Calista? Keponakan angkatnya itu sudah beranjak makin dewasa dan menjadi gadis yang mempesona.

          Sementara gadis yang dipikirkan, berjalan masuk ke dalam kamar dengan wajah cemberut. Ia segera mencuci mukanya, lalu mengganti seragam putih abunya dengan daster, rambut panjangnya dikuncir tinggi-tinggi. Untuk kedisiplinan, Calista ini sungguh sangat teratur. Pulang sekolah, ia selalu membaca agenda sekolah untuk melihat apa tugas yang harus dikerjakan. 

          Saat mengerjakan tugas, Calista malah tergoda untuk membuka laptop dan melihat akun media sosialnya. Ia mengulum senyum, membaca dan memperhatikan semua postingan temannya hari ini. Ada kalanya ia menulis komen, memberi tanda like atau hanya diam dan membaca. Calista menghentikan jemarinya saat melihat satu foto, yang ternyata di antara banyak siswa, ada siswa baru itu, Eden, sedang duduk di tengah lapangan basket. 

          Betul juga kata Arabel. Cowok ini cute, batin Calista dalam hati mulai memperhatikan lebih detail paras tampan Eden dengan seksama. Ia bahkan mulai men-zoom wajahnya lalu jadi malu sendiri. Ya ampun, Calista, apa sih yang kamu pikirkan? Belajar, Calista, belajar!!

          Ia mengeluarkan buku dan mulai mengerjakan tugas. Penurut dan rajin, ya itulah Calista. Walau kadang ada rasa jenuh dalam hati untuk selalu jadi anak yang baik, apalagi Pamannya sangat kaku. Pulang agak malaman sedikit, Jorge bisa menelepon berkali-kali dan membuat dirinya sangat senewen! 

          “Ayah, aku rindu. Paman Jorge kaku sekali,” Calista berucap lirih seraya mengambil foto Alexius dalam bingkai frame. “Memang sih, Ayah menitip aku padanya, tapi …”

          Netra cokelat Calista terus memandang foto Alexius, seakan ia masih bisa melihat Ayahnya yang sedang tersenyum sambil menggandeng lengan Ibunya. Hanya sekejap sebelum ia kembali mengerjakan tugas dan jatuh tertidur di atas meja, dengan banyak tumpukan buku di depan. Wajah Calista menumpu pada kedua lengannya yang terlipat.

          Pintu kamarnya terbuka sedikit, membuat Jorge yang hendak lewat jadi berhenti dan memperhatikan. Keponakan angkatnya tertidur pulas di atas meja belajar. Jorge masuk dan hendak membangunkan, tapi melihat paras gadis itu yang tertidur dengan pulasnya, ia jadi tidak tega.

          Jorge menghela nafas dan tersenyum, lalu menatap kakak angkatnya, Alexius di dalam foto. “Udah sepuluh tahun ya, Kak. Aku berjanji untuk menjaga Calista dan kak Emily sesuai permintaanmu, tapi entah kenapa … kadang aku berlebihan.” Jorge mengalihkan matanya ke Calista dan menatap sendu.

          Sampai kapan aku bisa menahan perasaan? Waktu kamu beranjak makin dewasa, aku jadi tak bisa mengalihkan perhatianku ke wanita lain, batin Jorge dalam hati dengan frustasi.

          Jorge mengambil selimut Calista yang ada di tempat tidur dan memakaikannya ke punggung gadis itu. “Biarlah aku tetap menjadi Paman Jorge yang menyebalkan, asal aku bisa tetap melindungimu,” bisik Jorge nyaris tak terdengar, lalu meninggalkan Calista dan menutup pintu perlahan.

          Satu jam kemudian, mata Calista mengerjap dan ia bangun dengan perasaan kaget. “Astaga! Aku ketiduran di meja!” ucapnya lirih lalu memegang selimut yang menutupi sekujur punggung dan bahunya dengan bingung.

           Ini pasti Ibu yang masuk ke kamar, batin Calista dengan sangat yakin sambil beranjak berdiri. Calista mengambil ponsel dan melihat ada permintaan pertemanan di akun sosial media-nya.

          Eden Hariyanto.

          Senyum terukir di wajah Calista sebelum ia menekan tombol konfirmasi pertemanan. Baru saja ia mencuri-curi pandang ke foto Eden. Calista meninggalkan ponselnya karena Emily sudah memanggilnya untuk makan malam.

          Hallo, Calista. Makasih ya udah di-add.

          Iya, sama-sama, balas Calista. Ia baru saja mengecek ponselnya lagi setelah kembali ke kamar, dan melihat Eden langsung mengirimkannya pesan.

          Eden mengirimkannya pesan lagi dan Calista menjawab, terus menerus, hingga tidak terasa hampir satu jam lebih! Hanya percakapan di fitur chatting. Foto-foto Eden kembali dilihat Calista dan itu membuatnya jadi penasaran. Ada foto Eden di Surabaya bersama teman-temannya, tapi bukan itu yang membuat Calista tertarik. Di antara sekian banyak itu, ada juga foto Eden di dalam klub malam, dan beberapa botol miras di tengah meja. 

          Baginya kehidupan Eden adalah sesuatu yang belum pernah dirasakan. Calista jadi terpesona dengan kehidupan Eden yang dilihatnya penuh kebebasan. Berbeda dengan dia dan … ergh, hidupnya yang monoton. Pulang sekolah langsung pulang, ke mana-mana harus laporan. Gadis baik-baik, raport selalu di tiga besar semenjak kecil, tidak pernah bermasalah. Jadi ada sesuatu dalam kehidupan Eden yang membuat dirinya tertarik.

***

          Sinar matahari pagi secerah bandana kuning yang dipakai Calista, membuat paras cantiknya terlihat semakin cerah. Mobil hitam Jorge seperti biasa melaju ke arah sekolah Calista. Pria itu memang selalu berangkat lebih pagi untuk mengantar, semata-mata karena arah sekolah Calista tidak satu arah dengan kantornya. 

          Mengetahui itu, pernah Calista mengatakan agar sang Paman tak perlu repot karena ia bisa berangkat sendiri, yang tentu saja ditolak mentah-mentah oleh Jorge. Pernah juga beberapa kali Calista mencoba pergi ke sekolah sendiri di saat Jorge tidak melihat, tapi tetap saja berhasil disusul. Seperti pagi ini …

          “Sudahlah, Calista, jangan merengut. Kamu harusnya bersyukur, banyak anak malah ingin diantar jemput. Kamu malah ingin pergi ke sekolah naik bus!” tegur Jorge melihat keponakannya yang merengut sepanjang perjalanan. 

          “Aku ingin sama-sama teman-temanku, Paman!”

          Jorge tidak menjawab, yang membuat Calista makin meradang. Alhasil, ia turun dari mobil tanpa mengucapkan salam pada Pamannya dan langsung berjalan meninggalkan pria itu begitu saja di dalam mobil. Moodnya buruk sebelum melihat Eden di kejauhan yang tersenyum dan melambaikan tangan.

          Ibarat air dingin, api emosi Calista langsung mereda berganti perasaan yang mulai membuncah. Calista balas melambaikan tangan dan tertawa kecil waktu Eden memberikan gestur seperti orang telepon dan mengedipkan mata, sebelum kembali ke kelasnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status