Share

Cinta Tersembunyi Paman Jorge
Cinta Tersembunyi Paman Jorge
Penulis: Laura Pohan

Janji Lelaki Sejati

Aku miris melihat dia yang terdiam di sudut kamar. Ternyata hati yang patah dapat membuat seseorang seperti kosong. Berhari-hari aku menolongnya untuk pulih dari trauma akan pria itu. Namun dia selalu meracau karena takut. Aku bahkan siap di sampingnya untuk menolong tapi dia masih ketakutan – Jorge

Bruakkk!!!

Badan pria itu menghantam lantai saat Jorge memukul dengan kepalan tangannya yang keras. Preman di jalanan yang kemarin melecehkan keponakan angkatnya itu di depan matanya sendiri, menatap Jorge dengan ketakutan. Sementara temannya yang satu lagi sudah kabur entah ke mana.

Jorge yang baru saja dapat laporan dari keponakannya kalau ada dua orang yang bersiul saat dia jalan sementara yang satu lagi berani mencolek pantatnya, dan mereka hanya tertawa saat Calista menatap marah lalu berjalan pulang ke rumah dengan sedikit berlari.

“Ampun ... ampun, Bang,” ucap preman itu yang sebetulnya berbadan jauh lebih kecil daripada Jorge, hanya saja badannya penuh dengan tato dan berambut panjang.

“Kamu tahu, jangan pernah sekali-kali mengganggu keponakan saya!” ucap Jorge dengan raut wajah berang. Emosi menguasai diri pria itu, membuat kedua tangannya mengepal dengan keras seakan-akan siap untuk menghantam preman jalanan itu lagi.

“Awas kalau kamu ganggu gadis itu lagi! Aku nggak segan untuk membuatmu menyesal hidup!” bentak Jorge sambil menggertakkan giginya.

“Iya, siap ... siap Bang!” ucap preman itu yang beringsut mundur lalu berlari ketakutan meninggalkan Jorge yang berdiri dengan tegap. Wajahnya penuh dengan aura kemarahan yang mendominasi, seakan siap untuk menerkam siapa saja yang datang mendekat.

Awas kalau ada yang berani mengganggu Calista! gumam Jorge dalam hati. Teringat akan janjinya pada almarhum kakak angkatnya bertahun-tahun yang lalu.

*Flash Back On*

Sinar matahari menyeruak masuk ke bangsal rumah sakit. Sinarnya membuat Jorge sedikit mengecilkan mata karena silau dan berpindah duduk semakin dekat ke kakak angkatnya yang sedang terbaring sakit. Penyakit kanker dalam hitungan bulan membuat badan kakaknya yang tinggi tegap terlihat ringkih karena kurusnya. Matanya yang dulu berkilat tajam dan disegani anak buahnya  terlihat meredup karena sakit. Walau masih terlihat binar senyumnya, Pak  Alexus menatap Jorge lama  dengan tatapan yang sulit diartikan.

“Kenapa kak?”

“Jorge, aku tahu hidupku tak akan lama lagi. Maukah kamu menjaga Calista menggantikanku?” tanyanya lirih.

Jorge memandang kakak angkatnya dengan sedih. “Nggak kak, kakak akan hidup lama. Jangan menyerah!” Dia mengenggam tangan sang kakak yang terpaut jauh usianya itu dengan erat. Tangan yang jadi terasa kecil dan ringkih.

Jorge masih berusia tujuh belas tahun saat itu, sedangkan Pak Alexus sudah berusia tiga puluh lima tahun. Jorge diadopsi oleh kakek Adriano, ayah Pak Alexus untuk menjadi anaknya waktu Jorge masih berusia sepuluh tahun. Kakek Adriano jatuh hati melihat Jorge saat di Panti Asuhan Kasih, dengan mata besar dan hidung mancungnya. Seperti anak blasteran katanya. Nyatanya memang Jorge tumbuh menjadi seorang pria yang tampan dan gagah. Hanya saja dia sangat dingin kepada para wanita, entah kenapa.

Pak Alexus menggelengkan kepalanya dengan lemah sembari tersenyum. “Nggak Jorge, kalian tidak bisa membohongiku. Aku bisa merasakan kalau hidupku nggak akan lama lagi,” katanya lirih. “Aku sudah berusaha dan aku bukan orang yang pantang menyerah. Namun...”

“Sudah, kak. Jangan diteruskan! Kakak jangan berpikir macam-macam. Istirahatlah dulu,” kata Jorge sambil mengusap bahu kakaknya. “Aku akan menemanimu malam ini.”

“Berjanjilah dulu, Jorge,” potong Pak Alexius dan memegang tangan Jorge dengan lemah. “Kamu akan menggantikanku menjaga dan mengawasi Calista. Bantu Kak Emily ya, Jorge? Kamu laki-laki dewasa. Mereka hanya dua perempuan yang mestinya selalu ada di bawah perlindunganku, kalau aku masih ada di sini.”

Jorge seperti tak kuasa ingin meneteskan air mata namun ditahannya kuat-kuat. Sebagai seorang lelaki, dia tak mau tampak cengeng. Maka dia menganggukkan kepalanya dan berkata lirih, “Iya kak, aku janji.”

Pak Alexius tersenyum pada Jorge sambil sedikit meremas tangan Jorge dengan sisa kekuatan yang masih dia punya. “Itu baru janji lelaki sejati. Jorge, aku percaya padamu.”

Pak Alexius melepaskan pegangan tangannya dari Jorge lalu meluruskan badannya. “Ngantuk. Aku mau tidur Jorge.”

Jorge membantu merapikan selimut kakaknya. “Aku pulang sebentar ya, kak. Ada kak Emily di luar sebentar lagi juga masuk. Aku kembali lagi nanti untuk jaga malam.”

Pak Alexus tersenyum lemah pada Jorge, matanya berbinar menatap adik angkatnya itu. “Jangan terlalu lelah, Jorge. Entah bagaimana kami kalau kamu nggak ada.”

“Kakak ngomong apa sih?” ucap Jorge menghela nafas. “Aku ini adikmu, nggak usah ngomong apa pun lagi.”

“Bilang Calista,” lanjut Pak Alexus lagi dengan suara pelan. “ Jangan lupa janji sama Papa-nya.”

Jorge menatap mata kakaknya dalam-dalam, lalu mengacungkan jempol sembari tersenyum. Lalu melangkah keluar dari ruangan itu. Dia berpapasan dengan istri Alexus, Emily yang dianggap seperti kakaknya sendiri juga. Berpamitan pulang dan memesan mobil online.

Baru saja mobil pesanan Jorge sampai di halaman rumah mereka, ponsel di saku Jorge berdering. Jorge membuka layar kunci dan melihat nama kak Emily yang sedang menghubunginya. Feeling Jorge sungguh tidak enak, segera diangkatnya telepon itu yang langsung disambut suara isakan.

“Jorge, Jorge!! Cepat kemari lagi dan bawa Calista. Alex ... ” Emily berhenti sebentar dan hanya terdengar suara isakan lagi.

“Kak Alex kenapa, kak?” tanya Jorge cemas bercampur sedih. Pikiran kalutnya bercampur baur dengan rasa takut, mengingat kakak kesayangannya itu.

“ ... Alex sudah pergi ... ”

Jorge terdiam, menutup kedua mukanya dengan tangan lalu meneteskan air mata. Telepon dari Emily pun sudah terputus. Dia terdiam cukup lama di mobil, padahal sudah seharusnya dia turun. Untunglah supirnya bapak tua yang cukup pengertian dan sepertinya dia bisa mendengarkan percakapan Jorge di telepon.

“Maaf pak, saya ... saya hendak turun. Kakak saya meninggal,” ucapnya terbata-bata dengan mata yang masih sembap.

Bapak tua itu mengangguk dengan wajah prihatin. “Saya turut berdukacita, Pak,” ucapnya.

“Kalau boleh ... apa bisa tunggu di sini sebentar, Pak? Saya dan ponakan mau kembali ke rumah sakit,” tanya Jorge lagi, setelah memulihkan pikirannya yang masih kaget dengan kepergian sang kakak.

Supir itu mengangguk dan Jorge pun turun, berusaha mencari cara untuk membawa Calista ke rumah sakit dan menenangkan gadis yang masih berusia tujuh tahun itu.

Jorge membersihkan sisa-sisa air mata di depan rumah dengan sapu tangan, lalu memutar kunci rumah. Di rumah ada bik Inah, asisten rumah tangga mereka yang juga menjaga Calista selama ayahnya di rumah sakit.

“Paman! Udah pulang? Mana papa? Kok janji mau pulang tapi nggak balik-balik,” tanya Calista yang sedang duduk di depan televisi sambil menjilati permen lolly pop. Bik Inah ada di samping Calista sambil ikut menonton televisi.

“Iya, gimana keadaan Bapak, den?” tanya bik Inah ikut menatap Jorge.

“Calista, ikut Paman ya. Kita ke rumah sakit,” kata Jorge berusaha mengontrol keadaan dengan nada tetap tenang. Biarlah Calista tahu semuanya di sana saja. Dia tak sanggup untuk mengatakannya.

Bik Inah menatap dengan pandangan bertanya, berbeda dengan Calista yang langsung bersemangat kegirangan. “Asyik!! Mau ketemu papa!” Calista langsung berlari ke kamarnya untuk berganti pakaian. “Sebentar Paman, Calista cepat kok ganti pakaiannya!”

Bik Inah menatap Jorge yang sudah duduk dengan lesu sambil menundukkan kepalanya, “Den, Bapak kenapa?”

“Bapak sudah pergi, Bik,” jawab Jorge dengan mata sedihnya. “Saya belum bisa mengatakannya ke Calista.”

Bik Inah menutup mulutnya karena kaget, lalu ikut meneteskan air mata. Dia mengambil tissue dan membalikkan badannya karena Calista sudah keluar lagi.

“Bibi kenapa?” tanya Calista dengan polosnya. Dia sudah tampak manis dengan rok dan kaus Minnie Mouse. Hadiah dari ayahnya sepulang dari Hongkong tahun lalu.

“Bibi kelilipan debu,” jawab Bi Inah mengelap air matanya, lalu mengeluarkan air dari hidungnya. Wajah Bi Inah merah sekarang. Bi Inah sudah bekerja puluhan tahun di rumah keluarga Ardhias. Dia bahkan sudah kenal Pak Alexus sedari dia masih remaja, maka tidak lah heran kalau Bi Inah sudah seperti keluarga sendiri.

“Ayo berangkat, Calista, supirnya sudah menunggu.” Jorge menggandeng tangan kecil Calista yang menurutinya keluar dari rumah. Tangan kecil yang hendak dijaga sesuai janji pada almarhum kakak kesayangannya.

“Hati-hati ya, Den, Non Calista,” kata Bik Inah lalu air matanya menetes lagi tanpa dilihat mereka berdua sampai keduanya masuk ke mobil dan menghilang di kejauhan.

*Flash Back Off*

Hallo readers, jangan lupa simpan cerita ini di rak dan tinggalkan review ya. Semoga suka cerita ini dan selamat membaca, xoxo. Laura MTP  

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status