Jauh sebelum pertemuan malam itu terjadi.
Semenjak keberangkatan Asha ke kota, kehidupan Afi nampak carut-marut. Dia bisa saja menahan rindu kepada kekasihnya di saat menjalani hubungan jarak jauh seperti yanag biasa dia lakukan, tapi kali ini bukan sebatas itu. Afi putus harapan. Mungkin ketika kepulangan Asha berikutnya bukan menjadi haknya lagi untuk menuntut waktu bersama, sekedar melepas rindu. Afi terlihat begitu tertekan setelah berpisah dengan perempuan kesayangannya. Karena hal itu, dia menjadi laki-laki yang tempramen, emosinya menggila tak terkendali. Hal sepele saja cukup mampu menyulut amarahnya dan seringkali dia melampiaskannya dengan berbuat kasar kepada orang-orang terdekat.
Terlebih ketika ibunya memutuskan untuk menjodohkannya dengan anak seorang juragan bernama Sheli. Sosok perempuan yang tidak kalah cantik dengan perempuan dambaannya. Sayangnya, Sheli adalah jenis manusia yang hanya diam saja ketika seseorang berbuat sesuatu terhadapnya. Dengan beg
“Apa Zaki berbuat sesuatu kepadamu?” Asha bertanya sekenanya. Dia hampir kehabisan topik. Sementara Aris dari bangku sopir hanya terlihat melempar senyum miring, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Asha menggigit jarinya begitu menyaksikan raut wajah Aris, apa pertanyaanku salah? Dalam benaknya dia bertanya.“Sesuatu seperti apa yang kamu maksud?” Akhirnya ada tanda kehidupan disana, mengundang Asha untuk segera menoleh. Semula dia berpikir tidak akan bertanya lagi jika Aris masih mengabaikannya.“Kamu lebih banyak diam hari ini, jadi aku mencoba menebak. Jangan-jangan Zaki juga meracunimu supaya tidak berhubungan denganku lagi. Atau kamu sedang sariawan sehingga malas bicara?”Lagi-lagi Aris hanya menyeringai. Detik itu juga, Asha bertekad untuk tidak bertanya lagi sebelum Aris yang terlebih dahulu memulai percakapan.Mobil box sudah kembali terparkir di kandangnya. Tepat sebelum mereka turun dari mobil, Aris menyem
1996, Pasar Kebumen.Peluh kian mengucur. Liar melumat pelipis hingga ke pipi yang sedikit berisi dan berhasil meninggalkan jejak bulatan basah di kemeja lengan pendek bermotif garis-garis vertikal. Selaras dengan kembang kempis diafragmanya, cukup kasar, sekali-dua kali mengibaskan tangan berniat memberi sedikit kesegaran. Seperti tengah berusaha menemukan sesuatu atau seseorang lewat ekor matanya. Dari balik punggung para pengunjung pasar, seorang pria menunggangi sepeda membelah keramaian. Tercekat, saat tak sengaja matanya saling beradu dengan pria bersepeda itu. Butuh sepersekian detik untuk memastikan apakah dia adalah pria yang sedang diumpatnya habis-habisan, setelah melewatkan dua puluh delapan detiknya hanya untuk menunggu jemputan yang sebenarnya tidak ada dalam rencana kepulangannya ke kampung halaman. Benar saja, kini pria dengan perawakan tidak terlalu tinggi dan tidak juga pendek, kulit kuning langsat, gigi rata, yang paling spesial adalah potongan rambutnya, t
Mengerjap-ngerjap. Asha baru saja kembali dari perjalananya ke pulau Dewata bersama Afi. Di alam Mimpi. Kalau saja tidak ada suara gaduh yang mengganggu, mungkin sekarang mereka berdua sedang asik berselancar menaklukkan ombak.Dengan pandangan yang masih kabur, sedikitnya Asha bisa menangkap bayangan perempuan perut besar tengah berdiri di depan lemari."Mau diapakan lemariku, Bu?"."Ah ini, ibu mau mengambil kain jarik yang sudah lama sekali tersimpan. Tapi pintu lemarinya sulit sekali dibuka"."Pantas saja aku mengira ada gempa. Minta tolong paman saja suruh mencongkel, pintunya sudah berkarat. Mungkin karena sudah lama tidak pernah dibuka". Asha memberi saran sebelum akhirnya kembali melaut. Anisah, Ibu Asha, mengerti kondisi Asha yang baru saja melakukan perjalanan jauh sehingga butuh banyak waktu istirahat.**&nb
Awan gelap tersemat di ruang luas yang terbentang di atas bumi, beriringan dengan sapuan angin yang memporak-porandakan daun kering. Sepasang kekasih tengah duduk saling menyender dibawah Pohon Ketapang, matanya bebas menjelajah setiap jengkal keindahan Waduk Sempor. Ketika menyadari langit akan segera memuntahkan air, orang-orang beranjak menghentikan aktivitasnya. Beberapa perahu getek mulai menepi, seorang kakek yang memancing dengan tiga alat pancing sekaligus, segera membenahi satu persatu peralatannya. Pemilik warung kerepotan menggulung tikar yang sengaja disediakan untuk para pengunjung, dan sepasang kekasih itu terpaksa beranjak karena alas duduknya sudah diminta oleh si pemilik. Pria gagah yang diketahui bernama Afi itu hanya mengangkat bahunya, pasrah."Seperti mereka, kita juga harus pulang kan, Fi?". Suaranya amat lirih, sehingga Afi harus mendekatkan telinganya di bibir yang baru saja mengajukan pertanyaan. Sekali mengembuskan napas berat, sembari melempar
Jutaan rintik hujan telah lepas dari tempat persemayamannya. Afi terpaksa membopong tubuh Asha yang sudah tak berdaya. Tidak sampai lima menit, tubuh kekarnya berhasil membawa Asha sampai di area dimana dia memarkirkan Astrea, dibantunya Asha mencapai jok belakang. Mereka tak berniat mencari tempat berteduh, melihat keadaan Asha yang harus segera istirahat dan membersihkan diri. Kabut berbondong-bondong mulai turun sehingga menghalangi jarak pandang, suara anjing tanah yang memekakkan telinga terdengar di sisi kanan-kiri jalan. Sayup-sayup terdengar dari arah belakang suara gigi yang bergesekan, ternyata Asha menggigil. Diraihnya tangan gadis malang itu hingga melingkari pinggangnya. Tak peduli dengan mata yang sudah memerah karena sabetan air hujan, Afi terus menambah kecepatan."Tidak apa-apa kalau mau menyender, badanmu pasti lemas kan?". Pinta Afi khawatir."Sebentar lagi sampai, tidak enak kalau dilihat orang"."Badanmu panas, kamu pasti sakit
Menyadari akan malam yang semakin larut, Asha mendorong kepala afi dari dekapannya tiba-tiba. Khawatir kalau saja ada orang yang menduga buruk setelah melihat mereka berdua. Sontak membuat Afi yang sudah sempat mengatupkan matanya terbelalak."Orang-orang sudah tertidur, Sha. Mana sempat mereka memergoki kita, untuk buang air saja mereka enggan bangun." Suaranya parau, khas orang mengantuk. Tepat setelah Asha berhasil mencapai posisi berdiri, masih menghadap pria yang kini terlihat kelimpungan. Jika bukan kepergok warga, maka angin malam menjadi hal kedua yang juga membahayakan. Untuk itu, Asha masih tetap pada pendiriannya. Bergegas pulang."Tidakkah kamu merasa kalau ini waktu yang tepat untuk melepas rindu?" Afi berlagak ingin di melas."Kita sudah bertemu selama tujuh hari, Afi. Bagaimana bisa kamu bicara seperti baru bertemu saja.""Aku akan masuk dan istirahat. Aku harap kamu pun begitu. Melihatmu seperti ini, tidak kalah menyakitkannya
Afi menyodorkan salah satu botol yang digenggamnya tersebut. Tatapannya bebas menjelajahi setiap sudut di wajah Asha. Guratan kecewa tergambar jelas dari pancaran matanya. "Duduklah sedikit lebih lama. Cara melupakan seseorang yang cukup berarti bagi kita itu ibarat tobatnya perokok hebat. Mereka tidak bisa serta merta menghentikan kebiasaan merokok hanya dalam sekali percobaan. Melainkan mengurangi satu per satu setiap jumlah yang biasa dikonsumsi setiap hari, sampai mereka benar-benar kehilangan selera untuk merokok." Sambil menunjuk sebuah tempat dibawah bayangan pohon kelapa, berharap Asha bersedia duduk bersamanya di sana. Afi mencoba memberi pesan tersirat dibalik kalimat yang baru saja terucap dari bibirnya. Mudah saja bagi Asha menangkap pesan itu, sehingga genangan air sudah menyebar di muara matanya. Dia tak mengucapkan sepatah kata pun, melirik botol yang sudah teracung padanya pun tidak. Asha segera membalikkan badan, menuju tempat yang dimaksud
Cinta merupakan sepenggal kata yang selalu basah dalam benak setiap insan. Ia melunakkan hati yang semula batu. Ia memberi udara pada gurun yang semula gersang. Ia mengembalikan yang semula hilang. Namun ia juga menjadi tajam yang semula tumpul. Menghunus yang semula mendekap erat. Membakar habis yang semula menerangi jalan. Asha selamat dari niat buruk seseorang yang mengaku cinta. ** Asha menggeleng-gelengkan kepala, mengusir bayang-bayang dua orang yang sedang bertarung di dalam pikirannya. Walau bagaimanapun, itu hanya dugaan yang belum tentu kebenarannya. Dia tidak mau dengan berbekal tebakan semata justru membuat dirinya salah tingkah pada orang yang salah. Hanya betapa beruntungnya dia, jika bisa dekat dengan orang itu. Mengerjap-ngerjap mata, meraih kembali seluruh fokus, saatnya menghadap papan ketik. Lembaran demi lembaran telah tersusun dengan rapi. Dia beranjak ke pabrik setelah menyelesaikan lembaran terakhirnya. Asha ak