Aris bergegas mengemasi pakaiannya, berderai keringat, nafasnya memburu tak karuan. Sementara di luar jeritan orang tertindas dan lolongan kebencian massa saling bersautan. Toko-toko dan kendaraan dibakar. Langit sedang dipenuhi asap hitam dan tangisan kaum perempuan. Di sisi lain, Asha dengan langkah yang gontai, berusaha mencari kekasihnya. Betapapun kacaunya keadaan di jalanan. Setibanya di tempat tinggal Aris, dia mendapati bahwa pintunya tergembok. Ada sedikit angin yang melegakan tenggorokan, setidaknya Aris masih ada di bumi tentu karena dia masih sempat mengunci pintu. Asha memutuskan kembali ke tempat persembunyian, alih-alih Aris sudah pergi kesana. Sayangnya segerombolan massa telah menghadang. Siap dengan segala aksinya. Asha kelimpungan, gemetar seluruh badan. Suaranya tercekat, sementara air mata terus meluncur bebas tanpa henti. kakinya seperti mati. Dalam batinnya dia menggaung pasrah, di pikirannya dia mengenang nama Aris.
Lihat lebih banyak1996, Pasar Kebumen.
Peluh kian mengucur. Liar melumat pelipis hingga ke pipi yang sedikit berisi dan berhasil meninggalkan jejak bulatan basah di kemeja lengan pendek bermotif garis-garis vertikal. Selaras dengan kembang kempis diafragmanya, cukup kasar, sekali-dua kali mengibaskan tangan berniat memberi sedikit kesegaran. Seperti tengah berusaha menemukan sesuatu atau seseorang lewat ekor matanya. Dari balik punggung para pengunjung pasar, seorang pria menunggangi sepeda membelah keramaian. Tercekat, saat tak sengaja matanya saling beradu dengan pria bersepeda itu. Butuh sepersekian detik untuk memastikan apakah dia adalah pria yang sedang diumpatnya habis-habisan, setelah melewatkan dua puluh delapan detiknya hanya untuk menunggu jemputan yang sebenarnya tidak ada dalam rencana kepulangannya ke kampung halaman. Benar saja, kini pria dengan perawakan tidak terlalu tinggi dan tidak juga pendek, kulit kuning langsat, gigi rata, yang paling spesial adalah potongan rambutnya, tengah berjuang keras menampilkan senyum terbaik lagi memikat pada wanita pemilik sepasang mata berkilat dan siap menyambar siapapun yang berada dihadapannya. Berharap kilatan itu sedikit memudar. Salah dugaan, Sambaran matanya tak selalu mengisyaratkan bahwa dia ingin memangsa korban. Seorang gadis yang kecantikannya diakui oleh Yoga, anak pak lurah yang brandalan, Supri, kakak kelas yang langganan menjadi pemimpin upacara bendera, Budi, siswa paling pintar dikelasnya, pak Muhsin, guru bahasa Indonesia yang cabul dan beberapa pria lain yang sering mengirim surat cinta semasa SMA dua tahun lalu. Eka Wiyasha, melenggang menuju sepeda yang bertengger tepat dibelakang Afdhila Maher, melempar kasar tasnya ke keranjang setelah berhasil mengabaikan senyum maut Afi.
"Kita jalan sekarang atau aku sendiri yang bawa sepedanya".
"Hm..seharusnya kamu tidak ketus sama laki-laki yang rela berpanas-panasan ria hanya untuk menyambut kedatanganmu, Asha".
Belum sempat Asha menyembur, buru-buru Afi menyodorkan telunjuknya tepat dibibir merah ranum milik Asha.
"Kita jalan sekarang". Tegas Afi.
Tidak terlalu cepat Afi mengayuh sepedanya, sengaja mengulur waktu. Atau membiarkan kesegaran udara pedesaan membayar atas ketidaknyamanan yang terjadi beberapa menit lalu. Dari belakang, diam-diam Asha terus memperhatikan setiap lekuk tubuh Afi yang kini sudah semakin kekar. Sepertinya dia bekerja keras di desa. Dengan dugaannya itu , Asha semakin lega karena Afi bisa bertanggung jawab atas diri sendiri, seperti yang pernah dia janjikan kepada Asha saat meminta izin menjadi temannya.
"Kira-kira butuh berapa hari untuk menghilangkan semua hawa capek, Sha?". Sambil menengok sedikit supaya suaranya tidak hilang terenggut angin, Afi memulai percakapan, rasanya aneh. Canggung.
"Sudah hilang. Sejak kali pertama aku melihatmu tadi".
"Syukur kamu jadi pulang bulan ini, komunitas pemuda berencana mengadakan wisata ke pulau Menganti".
"Tapi itu bukan pernyataan yang aku mau". setelah merasa gombalannya diabaikan oleh Afi.
Afi hanya terlihat menggelengkan kepala, dan tidak tau bagaimana tepatnya yang tergambar diwajahnya
"Kapan?".
"Besok!".
"Oh..kalau begitu aku tidak ikut".
"Tidak apa-apa kalau masih capek, acaranya bisa diundur besok lusa, atau besoknya lagi.
"Haaa...sejak kapan kehadiranku begitu diharapkan oleh pemuda manggala"
"Aku pikir karena aku ketuanya jadi bisa mengatur kapan saja waktunya".
"Kamu? Bagaimana bisa pria cabul dijadikan ketua?".
"Pria Cabul?".
"Hm..Yumni, kakak kelas yang punya segudang pacar, dulu bilang kalau kamu pernah dengan sengaja menyentuh payudaranya".
"Hahaha, apa se-menyenangkan itu bisa disentuh oleh tanganku yang suci. Ck.. berharap sekali. Dia yang sengaja mengambil buku kamu yang aku pinjam, aku hanya berusaha bertanggung jawab dengan merebutnya kembali, siapa suruh badannya menggeliat".
"Oo.."
"Yaaaa tidak tahu si kalau dengan pak Muhsin". Ledek Afi.
Reflek Asha mendaratkan pukulan di punggung Afi. Sepanjang perjalanan, tak luput untuk menceritakan kembali masa lalu yang amat seru. Lebih tepatnya sebagai serangan satu sama lain.
Mereka memang akrab, bahkan terhitung sejak mereka masih suka mandi di sungai. Asha dulu dikenal anak perempuan yang banyak tingkah, atau bahasa gaulnya "petakilan". Permainannya melawan maut, mandi saat sungai sedang banjir bandang, hingga pernah sekali waktu dia terbawa arus dan berhasil menggemparkan warga pesisir sungai. Namun sepertinya memang belum saatnya ajal datang, dia tersangkut diantara pohon bambu yang menjuntai ke sungai. Memanjat pohon asem, dan sekali lagi menggemparkan orang tuanya yang harus mencari tangga karena kesulitan turun. Terakhir, hampir terserempet kereta api. Kali ini bukan atas kesengajaan, raganya seperti diisi makhluk lain yang hendak mencelakai. Sehingga dirinya dibawa berjalan dengan tatapan kosong tepat di samping rel kereta api. Untungnya ada kakek-kakek penjaga palang pintu kereta api yang sigap menarik lengan Asha. Keindahan rupa tidak mencerminkan keindahan kelakuan. Begitulah tanggapan Afi ketika pertama kali mendengar cerita Asha. Namun setelahnya mereka memutuskan untuk berteman. Afi sering membiarkan Asha membonceng sepedanya ketika berangkat dan pulang sekolah. Menurut pengakuan Afi, Asha adalah satu-satunya gadis yang menjadi teman kepercayaan, termasuk untuk mengetahui sisi buruknya. Bukannya pergi, Asha justru semakin dekat dan ingin menuntun Afi. Mungkin baru sekarang dia melihat perubahannya. Meskipun tidak tahu banyak perihal sejauh mana perubahan Afi, tapi mengetahui dia dipercayai komunitas untuk mengemban jabatan ketua, Asha semakin lega. Dia sudah cukup percaya diri untuk menunjukkan sisi baiknya. Yang dulu hanya dirasakan oleh Asha. Tak sadar senyumnya mengembang sambil terus memandangi punggung Afi. Ada bulir bening yang menggenang di pelupuk mata, dan hanya dibiarkan berada di sana, buru-buru Asha menyekanya.
Plukkk.... sekali lagi tangan Asha menerkam punggung Afi.
"Sepertinya kamu tidak lupa dengan janji kita". Asha dengan suara yang seolah-olah tegas untuk menutupi sejatinya yang terjadi dengan hatinya.
"Haaa.. janji yang mana? aku pernah janji apa sama kamu, jangan mengada-ada yaaa". kilah Afi.
Asha menggeleng, dia tahu betul dengan sifat Afi yang satu ini. Tidak tidak akan membiarkan orang lain menilai dia sebagai pribadi yang baik. Karena bukan begitu hakikatnya.
"Turun".
"Haaa?".
"Kamu mau ikut ke rumahku? Ya sudah ayok lanjut".
Mendengus. Dengan paksa mengambil tas di keranjang dan berlalu tanpa sepatah kata pun. Termasuk untuk mengucap terima kasih. Tidak tahu, kali ini lupa atau sengaja. Afi abai, dan melenggang pergi. Dalam sekejap punggungnya kian hilang di telan jarak.
“Apa Zaki berbuat sesuatu kepadamu?” Asha bertanya sekenanya. Dia hampir kehabisan topik. Sementara Aris dari bangku sopir hanya terlihat melempar senyum miring, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Asha menggigit jarinya begitu menyaksikan raut wajah Aris, apa pertanyaanku salah? Dalam benaknya dia bertanya.“Sesuatu seperti apa yang kamu maksud?” Akhirnya ada tanda kehidupan disana, mengundang Asha untuk segera menoleh. Semula dia berpikir tidak akan bertanya lagi jika Aris masih mengabaikannya.“Kamu lebih banyak diam hari ini, jadi aku mencoba menebak. Jangan-jangan Zaki juga meracunimu supaya tidak berhubungan denganku lagi. Atau kamu sedang sariawan sehingga malas bicara?”Lagi-lagi Aris hanya menyeringai. Detik itu juga, Asha bertekad untuk tidak bertanya lagi sebelum Aris yang terlebih dahulu memulai percakapan.Mobil box sudah kembali terparkir di kandangnya. Tepat sebelum mereka turun dari mobil, Aris menyem
Jauh sebelum pertemuan malam itu terjadi.Semenjak keberangkatan Asha ke kota, kehidupan Afi nampak carut-marut. Dia bisa saja menahan rindu kepada kekasihnya di saat menjalani hubungan jarak jauh seperti yanag biasa dia lakukan, tapi kali ini bukan sebatas itu. Afi putus harapan. Mungkin ketika kepulangan Asha berikutnya bukan menjadi haknya lagi untuk menuntut waktu bersama, sekedar melepas rindu. Afi terlihat begitu tertekan setelah berpisah dengan perempuan kesayangannya. Karena hal itu, dia menjadi laki-laki yang tempramen, emosinya menggila tak terkendali. Hal sepele saja cukup mampu menyulut amarahnya dan seringkali dia melampiaskannya dengan berbuat kasar kepada orang-orang terdekat.Terlebih ketika ibunya memutuskan untuk menjodohkannya dengan anak seorang juragan bernama Sheli. Sosok perempuan yang tidak kalah cantik dengan perempuan dambaannya. Sayangnya, Sheli adalah jenis manusia yang hanya diam saja ketika seseorang berbuat sesuatu terhadapnya. Dengan beg
Asha berjalan gontai menuju pangkalan angkutan umum setelah bersikeras menolak tawaran Aris untuk mengantarnya pulang. Dia yang paling tahu cara untuk menyembuhkan lukanya sendiri. Aris menyerah, dia tidak mau tindakannya justru membuat Asha semakin kesulitan. Berulangkali tangannya sigap mengusap air mata yang berhasil membobol benteng pertahannannya. Dalam benaknya, dia terus bertanya-tanya, apakah Dewi melakukannya secara sadar? bahkan setelahnya pun dia tidak sedikitpun berinisiatif menemui Asha unutk sekedar meminta maaf atau memastikkan keadaan Asha, meskipun jawabannya jelas tidak baik-baik saja. Dengan begitu, sedikitnya Asha merasa lega mungkin temannya hanya tak sengaja melakukannya.Dia menarik nafas panjang, memulihakan kondisi batinnya. Dia akan bergabung dengan beberapa orang yang sudah memposisikan diri di sudut ternyamannya masing-masing di dalam angkutan umum. Beruntung sopir tidak menyalakan lampu mobil, sehingga dia bisa menyembunyikan mata sembabnya. Selam
Siang ini, Asha tampak kurang menikmati makanannya. Matanya tidak bisa berhenti mengawasi satu sudut yang di sana Dewi tampak begitu dekat dengan Zaki. Dalam benak Asha, dia terus bertanya sejak kapan hubungan mereka menjadi dekat. Atau mereka sebenarnya bertetangga.Belum selesai Asha menghabiskan makanannya, Zaki dan Dewi terlihat berlalu meninggalkan warteg. Asha yang menyadari kepergian mereka, secepat kilat menyusul dan mengabaikan nasi yang masih menggunung di piringnya. Dia terus mengamati kedua punggung yang nampak bergerak seirama dengan langkah kaki, lamat-lamat dari kejauhan. Ketika hampir mencapai pintu masuk gedung produksi, mereka berpisah lantaran Zaki menghentikan langkahnya sementara Dewi sudah masuk terlebih dahulu.Asha tercekat ketika Zaki berbalik badan. Kini mereka saling berhadapan, meski terpisah jarak yang cukup jauh. Sepertinya Zaki menyadari keberadaan Asha yang mengawasinya sedari masih di warteg. Tubuh Asha semakin gemetar tak k
Giliran Asha yang memperhatikan Aris dengan saksama, matanya tak berkedip. Aris justru dengan santainya memanggil si pedagang untuk mengisi ulang cangkirnya. Seperti sedang berusaha lari dari pertanyaan Asha.“Kenapa kamu menanyakan itu dan apa pentingnya? Bukannya yang menulis surat untukmu banyak yaa? Apa semua karyawan kamu tanyai untuk memastikan siapa saja pengirimnya”.Pertanyaan polos Aris mengundang gelak tawa Asha. Bagaimana tidak, secara tidak langsung dia telah membuka kartunya sendiri.“Sayangnya, hanya ada satu surat tanpa identitas. Makanya aku penasaran. Jadi apa perlu aku menanyakan kepada semua karyawan untuk memastikan apakah mereka menulis surat, sedangkan suratnya sudah tercantum identitas mereka. Kecuali suratmu.”Aris nampak kesulitan menelan ludah. Beruntungnya pedagang kaki lima mengirim kopinya tepat waktu. Dia tercekat untuk beberapa saat. Sementara Asha masih kesulitan menahan dirinya agar tidak ter
Aris meraih buku dari tangan Asha. Alisnya terangkat, tanda ingin tahu apa yang terjadi pada perempuan di hadapannya yang mendadak bertingkah aneh, seperti habis melihat hantu. Begitu lah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan ekspresi Asha.Asha menyibak anak rambut yang terurai menghalangi pandangan. Senyum di bibirnya nampak kaku. Dia sungguh kehilangan kata-kata untuk sekedar basa-basi. Sementara Aris yang menyadari bahwa Asha berada dalam keadaan yang tidak nyaman, segera mempersilahkan Asha untuk kembali. Dia membentangkan tangannya ke arah pintu keluar gedung produksi. Sangat pengertian.“Tt..terima kasih, Mmas.”“Lain waktu mari bicara.” Anggukan kepala Asha menjadi akhir dari percakapan mereka.Di ruang kerja, Asha menggeledah sebuah rak yang di sana dia menyimpan surat-surat pemberian dari para penggemar. Mengeceknya satu per satu, hingga pada sebuah surat dengan gambar burung merpati, dia membawa
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen