“Bisakah aku memilikimu?”Setangkai bunga Lilac tidak akan pernah dilirik oleh seorang pria yang menyukai bunga Daisy. Sebesar apapun Lilac yang tumbuh akan tetap kalah dengan bunga Daisy yang hanya tumbuh kecil seukuran rumput di padang.Bagaimana pun mencoloknya warna Lilac ungu itu, akan tetap tak terlihat di tengah hamparan Daisy yang menyebar seperti ombak.Sama seperti seorang wanita. Secantik apapun dirinya, dia akan tetap kalah dengan yang membuat pria itu jatuh cinta duluan.“Aku sangat mengenal Gilang, Zia! Dia itu orang yang sangat jujur dan serius, jika dia mengatakan sesuatu padamu. Dia tidak akan pernah mengubahnya lagi, kau harus tahu itu!Zia ingat sekali apa yang sahabat Gilang katakan padanya tempo hari.Wanita berambut ikal itu segera melepaskan tangan Gilang yang masih menahan dirinya agar tidak jatuh. Mata besarnya juga langsung menghindari tatapan Gilang.“Kalau begitu, aku permisi ya.”“Kenapa cepat sekali?” Zia berdiri. “Aku harus mengurus sesuatu di butik,” u
Nicha meletakkan kartu nama yang baru saja diberikan Gilang padanya di atas meja bagian ruang tamu.“Sudah kuduga ini tidak akan mudah,” gumamnya. Sekian banyaknya dokter di kota ini, mengapa ia harus berobat dengan Gilang. Sejauh ini, ia belum bertemu lagi dengan teman sekolah lainnya. Nicha berharap, semoga tidak ada lagi orang yang mengenal dirinya.Melihat teman-temannya sukses membuatnya iri. Padahal dulu, ia termasuk yang disegani oleh mereka, meski kenyataannya hari ini telah berubah total.Ibu Hesti segera mengambil kartu nama tersebut dan membacanya. “Ternyata tempat kerja dokter Gilang dekat dengan perusahaan ayahmu. Ibu baru menyadarinya.”Nicha melirik ibunya sebentar. “Apa pentingnya?” ketus Nicha.“Pentinglah! Setelah selesai berobat di Klinik, kita bisa langsung ke perusahaan ayahmu,” jelas Ibu Hesti.Nicha berkacak pinggang menghadap ibunya. “Lagian, dari mana sih ibu bisa menghubungi orang keras kepala itu? Ibu tidak tahu betapa tertekannya aku menghadapinya!” ketus N
Nicha menengok ibunya yang begitu sibuk di dalam dapur. Sudah lama sekali ia tidak membantu wanita tua itu untuk memasak, padahal umur Nicha sekarang sudah seharusnya tahu soal pekerjaan rumah.Marah terlalu lama tidak akan ada gunanya. Dengan langkah pelannya ia menghampiri ibunya. “Sepertinya makanan hari ini cukup istimewa,” ujarnya seolah-olah tidak terjadi apa-apa antara dirinya dengan sang ibu.Ibu Hesti berbalik. “Ya. Begitulah nak, ada orang istimewa yang akan datang malam ini.” Ia kembali memotong tomat lalu ia tumis bersama dengan bawang merah.“Siapa itu? Apa aku mengenalnya?” Nicha penasaran.“Emm. Mungkin tidak,” kata ibu Hesti yang masih sibuk mengaduk tumisan sayurnya.“Syukurlah. Kalau begitu, biar aku yang memasak sayur ini.” Nicha mengambil ahli pekerjaan ibu Hesti dengan senang.Ibu Hesti tersenyum tipis melihat semangat anaknya. Ia merasa legah, jika hari ini Nicha menjalani hidupnya dengan menyenangkan tidak seperti hari-hari lainnya.“Kalau begitu, ibu akan buat
Sudah beberapa menit Nicha berada di dalam kamar mandi. Gadis itu berdiri di depan cermin sambil memperhatikan dirinya sendiri. “Kenapa malam ini harus terjadi, sial.”Padahal ia hanya menghadapi satu orang, itu pun Rangga tidak membawa kedua orang tuanya. “Tidak apa Nicha, semuanya akan berlalu beberapa menit lagi. Bertahanlah.” Dengan wajah yakinnya ia kembali bergabung dengan orang tua dan juga Rangga di meja makan.Tidak banyak bicara. Nicha akhirnya selesai makan duluan, lalu disusul oleh Rangga. Melihat waktu yang tepat tersebut, Pak Faris pun menyuruh mereka untuk keluar sebentar untuk mencari udara segar.Dengan terpaksa, Nicha menuruti kemauan ayahnya. Rumah Nicha agak jauh dari tetangga paling dekatnya. Itu membuat rumah tersebut agak sepi jika di malam hari. Tapi, itu tidak jadi masalah untuk Nicha, ia malah suka jika jauh dari pemukiman.Udara dingin malam itu membuat Nicha memeluk lengannya sendiri. “Sepertinya keluar rumah adalah ide buruk, ya?” kata Rangga memecah kehe
“Aku benci mengatakan ini padamu. Tapi aku memanggilmu ke rumah sakit karena ada beberapa masalah.”Gilang yang hanya memakai kemeja hitam itu, kini mulai menatap seniornya dengan serius. Punggungnya yang semula bersandar di kursi mulai tegak lurus ke arah si lawan bicara. “Memangnya ada masalah apa?” tanyanya penasaran. Gilang merasa tidak melakukan kesalahan apapun.“Bukan soal pekerjaan,” jawab lelaki yang juga bergelar dokter itu.“Lalu soal apa?” tanya Gilang lagi.Pria tersebut menghela napas sebelum menjawab. “Tentang adikku Zia, Beberapa hari yang lalu ia pulang dengan cemberut setelah bertemu denganmu. Gilang, tidak bisakah kau berbaik hati sedikit saja dengannya?”Gilang tidak paham arah pembicaraan. “Maksudnya? Kemarin dia baik-baik saja. Aku bahkan makan dengannya,” heran Gilang namun berbicara pelan.Seingatnya. Zia tidak bersikap aneh kemarin, mereka bahkan makan dan duduk berdekatan. Cuma, Zia segera berpamitan setelah ia mengatakan ada pekerjaan yang harus dikerjaka
Dengan mata yang berbinar, Zia menerima sebuah tiket dari Gilang. “Kak Gilang tidak salah mengajakku untuk pergi?” Wanita itu masih memperhatikan tiket safari tersebut. Ia sangat bahagia sekaligus terharu, seperti impiannya baru saja terkabul.“Ya. Maaf aku mengagetkanmu karena tiba-tiba datang ke butik hanya untuk mengajakmu ke taman safari –““Tidak! Aku senang kau datang ke butik. Aku senang sekali, sudah lama sekali kau tidak pernah datang dan mengajakku jalan. Aku benar-benar bahagia.” Zia memegang tangan Gilang.Gilang tersenyum kikuk. “Begitu. Jadi kau mau ikut sekarang kan?”Zia mengangguk semangat. “Ya. Tunggu sebentar, aku harus mengganti pakaian,” ujarnya dengan cepat berlari kecil.Laki-laki itu kini duduk di sofa sembari menunggu Zia. Sedangkan Zia, sedang sibuk memilih pakaian di kamarnya. Karena begitu semangatnya. Zia sampai-sampai membongkar semua pakaian di lemarinya dan menghamburkannya di atas kasur. “Apa mungkin kak Gilang ingin mengajakku kencan tapi dia gengsi
“Akhirnya kita sampai.” Gilang segera membuka sabuk pengamannya. Sedangkan Zia masih terdiam dengan wajah yang agak cemberut. Awalnya ia ingin menikmati perjalanan bersama Gilang. Namun, setelah tahu soal wanita bernama Nicha itu, ia jadi kesal.Gilang berbalik melihat Zia yang tak beranjak dari tempat duduknya. “Ada apa?” tanyanya heran.Zia menghela napasnya, ia memilih untuk tidak membesar-besarkan masalah ini. Jika ia bisa akui, ia memang cemburu dengan wanita yang tadi memegang tangan Gilang. Tapi siapa dirinya? Nyatanya dia bukan siapa-siapa.Wanita itu tersenyum. “Kita sudah sampai ternyata, maaf aku melamun kak. “Dengan segera ia membuka sendiri sabuk pengamannya dan keluar dari mobil milik Gilang.“Ayo kita masuk,” ajak Gilang.Zia hanya tersenyum dan mengikuti Gilang dari belakang. Mata bulatnya memperhatikan telapak tangan Gilang, andai saja ia bisa menggenggamnya erat pasti dia akan sangat bahagia.Beginikah cinta yang tidak dibalas. Sungguh menyedihkan.Gilang mengeluarka
Matanya tidak henti-henti menatap jas hitam yang kini sedang ia pakai. Hangat, itulah rasanya. Wanita itu masih mencoba mencerna semua kejadian itu hingga bagaimana ia bisa berada di mobil pria tersebut.Ia kaget setelah menyadari tangan seseorang mencoba untuk menyelipkan poni di telinganya. Nicha berbalik melihatnya. “Apa yang –“ Rangga tersenyum manis. “Nah. Kalau begini kan lebih cantik.”“Apa maksudmu?” tanya Nicha seraya mengerutkan alisnya.“Kau tidak boleh menunduk lagi, kau harus melihat ke depan dengan percaya diri. Karena, kau cantik disaat seperti itu.”Nicha menatap pria itu sinis. “Tidak usah menghiburku. Kau tidak tahu apa yang aku alami,” kesalnya.“Bukannya berterima kasih,” gumam Rangga sembari menginjak pedal gas dan akhirnya ia menjalankan mobilnya juga setelah beberapa menit.“Aku tahu kok semua tentangmu,” ucapnya lagi sambil terus fokus pada jalan raya.“Aku tahu tentang bagaimana kau di masa lalu dan juga mengapa kau takut untuk bertemu banyak orang,” lanjutny