Setelah kepergian Yasmin, seluruh keluarga masih berkumpul untuk membahas apa yang terjadi pada Sean dan gadis yang baru saja dibawa oleh putra sulung mereka.
“Ma, apa kamu yakin dengan keputusanmu? Maksudku ...” Anggara menatap istinya. “Kita sama sekali tidak tahu asal usul keluarganya, apalagi saat melihat penampilan gadis itu.” tanya Anggara.
“Untuk pertama kalinya Mama merasa yakin! Tapi meskipun begitu Mama akan mencari tahu asal-usul gadis itu. Mama juga tidak ingin mendapatkan masalah dikemudian hari hanya karena keputusan yang Mama ambil malam ini.”
Dalam mimpi sekali pun, Claretta sama sekali tidak menyangka jika wnaita itu, Wihana Aurelya akan tega meninggalkan putranya yang nyaris sempurna. Tapi Claretta benar-benar bersyukur, jika Hana sampai meninggalkan Sean setelah mereka menikah, entah apa yang akan terjadi pada putranya.
Bukan hanya Claretta, bahkan keluarga tidak percaya jika Hana akan bertindak bodoh dan meninggalkan pria seperti Sean. Pria yang bisa menerima status keluarga Hana yang tidak jelas.
“Ini sudah cukup larut, sebaiknya kita sekarang istirahat,” ujar Claretta, ia berusaha untuk menutupi kepalanya yang berdenyut nyeri.
Terdengar helaan napas dari beberapa keluarga, dan akhrinya mereka pergi menuju kamar mereka masing-masing.
***
Dalam kamar yang berbeda, saat ini Sean baru saja selesai melepaskan gaun basah yang masih melekat pada tubuh Yasmin dan menggantinya dengan kemeja besar miliknya.
Jantungnya berdegup kencang, karena mau tidak mau Sean harus melihat kemolekan tubuh Yasmin yang saat ini sedang tidak sadar karena demam yang semakin tinggi.
Sean adalah pria dewasa, dan ia mengerti semua hal mengenai adegan dewasa yang sudah tidak asing. Meskipun selama bersama Hana, Sean sama sekali tidak pernah berbuat sejauh itu.
“Tidak! Aku tidak akan lemah hanya dengan melihat tubuh gadis ini!”
Adegan yang menantang lelakinya harus segera ia selesaikan. Sean mempercepat gerakan tangannya dan menutupi tubuh Yasmin. Sean menarik napas dalam dan langsung memalingkan muka.
Yasmin dan Hana jauh berbeda. Namun setiap kali menatap Yasmin, bayangan Hana yang penuh tipu daya melintas, membuat rasa iba itu berubah menjadi benci.
Ceklek...
Pintu terbuka, mata Sean menatap tajam pada sosok yang saat ini sedang berdiri sedang menutup pintu.
“Apa kau sudah gila, Sean? Dini hari seperti ini kau memintaku datang ke hotel hanya untuk melihatmu yang baru selesai bercinta?” hardik pria berjas putih.
“Lakukan tugasmu dan pergi! Aku ingin istirahat,” jawabnya datar.
Pria itu mendekat dan mulai memeriksa suhu tubuh Yasmin tanpa bicara. Ia tidak tahu apa yang terjadi dan belum menyadari jika wanita itu bukanlah Hana.
“Suhu tubuhnya 39,50. Ini obatnya, dan jangan tutupi dia dengan selimut yang terlalu tebal,” jelasnya.
Yasmin melenguh, kepalanya bergerak dan wajahnya terlihat dengan sangat jelas.
“Sean, siapa dia? Bukankah malam ini kau dan Hana bertunangan?” tanya pria itu hati-hati.
“Jika kau sudah selesai memeriksanya, silahkan keluar! Atau perlu aku menunjukkan di mana pintu keluarnya?” tanya Sean dengan wajah yang muram.
Pria itu bungkam, ia memilih untuk membereskan perlatan medis yang dibawanya dalam diam.
“Jika terjadi masalah, segera hubungi aku kapan pun.”
“Hmmm...”
Sean sangat enggan untuk bicara apa-apa dengan orang lain. Meskipun ia sadar, jika pria yang baru saja keluar dari kamar tersebut adalah sahabat baiknya sendiri, Alfred.
Tapi Sean butuh waktu untuk meredam rasa sakit hati dan kecewanya akan sosok Hana. Semakin Sean berusaha untuk melupaka Hana, semua kenangan justru datang silih berganti. Sampai akhirnya kenangan pertemuan pertama mereka menjadi hal yang begitu menyakitkan.
Brukkk...
“Maaf, maaf! Saya nggak sengaja, sekali lagi maafkan saya pak.”
“Saya bukanlah bapakmu, jadi jangan panggil saya bapak!” tegasnya kalah itu.
Gadis berusia 24 tahun itu kini berdiri, setelah selesai memunguti barang belanjaan yang tercecer karena bertabrakan dengan tubuh kekar Sean. Tanpa sengaja pandangan mereka bertemu, dan satu kata meluncur dari bibir Sean saat itu.
“Cantik.”
“Ya, apa anda mengatakan sesuatu?” tanya Hana.
“Tidak!” jawab Sean dengan dingin.
Sean terdiam, ia begitu terpesona oleh kecantikan yang terpancar di wajah Hana. Untuk pertama kalinya Sean berani mengulurkan tangannya lebih dulu, ia ingin mengenal sosok cantik yang ada di hadapannya saat ini.
“Sean, CEO ANGHUA Corps.”
“Wihana Aurelya.”
Nama gadis yang menabrak Sean adalah Wihana Aurelya dan saat itulah Sean merasakan sebuah getaran aneh di dadanya, benih-benih cinta langsung tumbuh dalam hati pria berusia 34 tahun itu.
Setelah berkenalan dengannya, Sean segera melanjutkan langkahnya menuju sebuah butik di mana saat ini sang mami, Claretta sedang memilih beberapa perhiasan keluaran terbaru sebagai koleksinya.
Sejak pertemuan hari itu, ia meminta beberapa anak buahnya untuk mencari tahu latar belakang keluarga Hana, yang sudah berhasil mencuri hatinya pada pandangan pertama.
“Untuk apa Mami memintaku kemari? Aku sangat sibuk, Mam,” tanya Sean saat ia sudah menemukan di mana Claretta berada.
“Apa Mami harus menjawab pertanyaanmu? Kamu sendiri tahu apa jawabannya,” Claretta menjawab dengan ketus tanpa melirik si putra sulungnya itu.
“Mam tenang saja, aku akan segera membawa gadis itu untuk menemui seluruh keluarga besar kita.” Wajah Sean begitu cerah saat mengataka itu pada Claretta.
“Oke! Mam akan menunggu hari itu tiba. Tapi sampai kamu berbohong, bersiaplah untuk dijodohkan,” ancam Claretta dengan tangan yang masih sibuk memilih.
Sean hanya mengedikan bahunya acuh. Ini bukanlah ancaman pertama yang diberikan oleh Claretta padanya. Jadi hal itu tidak pernah Sean tanggapi dengan serius. Toh saat ia dikenalkan dengan para gadis, pada kencan pertama pun mereka sendiri yang selalu menolak Sean.
Setelah tahu siapa Wiahana, di mana ia bekerja dan di mana tempat tinggalnya, Sean semakin yakin jika ia jatuh cinta. Satu bulan penuh, Sean selalu saja memantau media sosial Wihana dan tidak ada tanda-tanda jika gadis itu memiliki kekasih. Maka tekadnya semakin bulat.
Sean memberanikan diri untuk muncul dan mendekati Hana secara langsung. Sungguh, Sean benar-benar dibutakan oleh rasa cintanya, hingga ia berani menentang Claretta , karena sang Mami tidak setuju dengan hubungannya bersama Hana.
***
“Arghhh ...!” Sean menarik rambutnya sendiri. “Wanita kurang ajar kau, Wihana! Sampai kapan pun aku tidak akan pernah memaafkanmu atas semua yang sudah kau lakukan.”
“Penghinaan, penghiantanmu! Semua akan mendapatkan balasan yang setimpal.” Napas Sean memburu, ia benar-benar larut dalam amarah saat kenangan itu muncul. Ia merasa bodoh, karena selama ini begitu mencintai Hana yang ternyata justru menduakannya.
Sekarang Sean mengerti alasan dibalik setiap penolakan yang Hana lakukan selama ini. Setiap kali Sean berusaha untuk mendekat dan menyentuhnya, Hana selalu menolak dengan berbagai cara, sedangkan Sean tidak pernah curiga sedikit pun.
“Bodoh! Aku benar-benar bodoh karena sudah percaya pada jalang sepertimu!” gumam Sean dengan tangan yang mengepal kuat.
Saat pikiran sedang dipenuhi oleh Hana, tiba-tiba saja suara tangis terdengar. Di atas ranjang king size berbalut kain sutra itu, Yasmin terus saja meracau, seiring demam yang semakin tinggi.
“Yas mau ikut, jangan tinggalin Yas sendirian, Ma. Yas takut ...” racau Yasmin dengan mata tertutup.
Sean mendekat, ia melihat obat sirup yang diberikan oleh sahabatnya itu. Dengan perlahan, Sean menuangkan cairan berwarna biru itu dan memegang pipi Yasmin agar bibir gadis itu sedikit terbuka.
Dengan begitu telaten Sean memberikan obat, hingga semuanya berhasil masuk dalam mulut Yasmin. Sean hanya mendengus kasar, kenapa ia harus memberi Yasmin obat, justru yang seharusnya Sean lakukan adalah hal sebaliknya, membiarkan Yasmin sakit dan mati.
Tapi hal itu tidak terjadi.
“Demam ini adalah permulaan, Yasmin! Aku yakin kau tidak akan mampu bertahan.”
Yasmin mulai menggeliat, ia sudah lebih baik dalam selimut tebal. Tangan kekar yang ia jadikan bantal serta dada bidang yang menjadi tempat membenamkan wajanya benar-benar membuat Yasmin bisa tidur dengan nyenyak, seakan ada sang papa yang sedang memeluknya dengan erat.“Papa, Yasmin kangen dipeluk kayak gini,” gumamnya pelan dengan membenamkan wajahnya semakin dalam.Ia menghirup wangi yang begitu khas itu, menikmatinya hingga ia merasa tidak mau membuka mata. Takut jika semua itu akan berakhir, karena sejak lama ia merindukan momen seperti ini.Sean seketika membuka matanya lebar saat ia merasakan sebuah kepala bergerak di dadanya. Jantungnya berdegup kencang, ia mengumpat kasar dalam hati saat melihat posisinya dan Yasmin saat ini.‘Shit! Bagaimana bisa aku tidur di sini dan memeluknya? Sial!’ Sean membatin.Dengan perlahan, Sean menarik tangannya dari perut rata itu dan juga tangan yang digunakan Yasmin untuk me
Claretta ke kembali ke kamar hotel dan bersiap. Beberapa keluarga sudah pulang lebih dulu, sekarang hanya menyisakan dirinya, Anggara dan Davin.Mereka berkumpul di lobi, hanya dua orang yang belum terlihat di sana, Yasmin dan Sean.“Oh ya, dimana Sean? Bukannya dia juga harus ikut pulang bersama kita?” Anggara melirik istrinya sebelum mereka benar-benar meninggalkan hotel.“Hampir saja lupa. Ya udah, kalau begitu Mama mau nyusulin dulu Sean dan Yasmin. Kalau Papa sama Davin duluan, silahkn.”“Anak itu kalau nggak dilangsung ditodong mana mau ikut pulang,” gerutu Claretta setelah meninggalkan suaminya.Hanya butuh waktu beberapa menit, sampai akhirnya Claretta berdiri di depan pintu kamar hotel di mana Sean tidur. Kening Claretta berkerut, ia heran kenapa pintunya tidak tertutup dengan rapat, membuat pikiran Claretta kemana-mana.“Jangan-jangan ada yang berniat tidak baik,” gumamnya pelan.
Yasmin masih berdiri di depan pintu kamar mandi, tetesan air dari tubuh dan pakainnya mulai menggenang, membasahi tempat di mana gadis itu berpijak. Sekuat apa pun Yasmin, dia tetaplah wanita yang lemah dan menangis menjadi salah satu jalan untuk mengobati rasa kecewanya pada takdir. “Oke, Yasmin! Enggak ada gunanya kamu menangis. Hapus air matamu dan tunjukkan jika kamu kuat.” Gadis itu menenggakkan punggungnya dan menarik napas dalam. Rasanya sedikit lebih baik setelah ia menangis. Merasa lebih baik, sekarang Yasmin kembali di repotkan dengan dirinya sendiri. Dengan segala kebodohannya. Bagaimana ia bisa keluar dan ikut bersama keluarga Sean dengan keadaan seperti ini. Lebih tepatnya Yasmin sama sekali tidak memiliki pakaian untuk bisa ia gunakan. Tidak mungkin ia harus memakai gaun pertunangannya bersama Sean, sedangkan gaun itu sendiri masih sangat basah karena ulah pria itu. “Ya Tuhan … Ambil saja nyawaku, ambil!” teriak Yasmin frustasi dengan meletakkan
Hari pernikahan Yasmin dan Sean akhirnya tiba. Dua hari harusnya itu menjadi waktu yang cukup untuk Yasmin mempersiapkan diri. Namun kenyataannya Yasmin tidak pernah siap. Pertemuan, pertunangan, dan pernikahan dadakan, semua itu tidak pernah terbayangkan oleh Yamsin, gadis yatim piatu yang tertipu oleh pamannya sendiri.Karena pernikahan ini digelar dengan tergesa-gesa, maka Claretta memutuskan membuat acara sederhana di taman rumahnya yang begitu luas. Semua keluarga hadir, mereka sudah tidak sabar untuk mejadi saksi kebahagiaan Sean. Meskipun mereka tahu benar apa yang terjadi. Tapi Yasmin, dari pihak gadis itu hanya akan ada sang paman dan tidak ada lagi siapa pun.Kemarin, Yasmin sudah menemukan alasan yang tepat untuk membatalkan pernikahannya dengan Sean. Namun gagal, karena ternyata Claretta sudah menghubungi pamannya tanpa sepengetahuan Yasmin.Yasmin tidak tahu apa yang terjadi, bagaimana cara Claretta menemukan pamannya tanpa bertanya padanya. Namun y
Setelah melakukan sedikit pemberontakan, akhrinya Sean melepaskan pagutan bibirnya pada Yasmin. Tanpa peduli sedikit pun, Sean meninggalkan istrinya dan keluar menuju balkon, pria itu butuh udara segar untuk bisa kembali berpikir dengan akal sehatnya. “Wanita kelas bawah!” cibir Sean. Gemuruh dalam dadanya tak kunjung reda, membuat Sean mengeluarkan nikotin yang sudah sangat lama tak pernah ia sentuh. Sekarang hanya itu yang bisa ia gunakan sebagai pelampiasan atas kekesalannya. Selama Sean dan Yasmin ada di rumah Anggara, maka tidak ada yang bisa Sean lakukan pada Yasmin. Claretta akan sangat marah besar jika melihat wanita yang berstatus sebagai menantunya itu menangis. “Aku akan segera pergi dan membawa wanita itu ke apartemen. Ya, itu akan lebih menyenangkan.” Sementara Sean berpikir, mencari alasan yang tepat tanpa celah untuk dibantah saat keluar dari kediaman Anggara—Sang Papi. Yasmin, gadis itu justru duduk di samping ranjang, rambut d
Yasmin dan Claretta turun bersama, Sean sempat terkejut saat melihat gadis yang berstatus istrinya dengan dress dari butik ternama. Make tipis serta rambut hitam legam yang sengaja di urai membuat gadis itu benar-benar terlihat berbeda.“Ayo sayang, mulai hari ini tempat kamu adalah di sini.” Claretta menarik kursi tepat di samping Sean dan meminta menantunya untuk duduk di sana. “Kamu adalah menantu pertama dan tempat ini akan selamanya menjadi milikmu.”Sean hanya diam dan sama sekali tidak tertarik dengan apa yang Maminya katakana. Pria itu duduk dalam diam, selera makannya hilang seketika saat Yasmin duduk di sampingnya. Ingin melayangkan sebuah protes, namun Anggara sudah memberi peringatan keras untuk menjaga sikap demi kesehatan Claretta.“Aku sudah selesai,” katanya dengan mendorong kursi ke belakang dan berdiri.“Tunggu! Mulai hari malam ini, jika semua orang belum selesai makan, maka tidak boleh ada yang
“Ini sudah satu minggu, ingat! Mulai besok kita akan tinggal di apartemen,” Sean mengingatkan Yasmin.“Iya …” sahutnya singkat.Satu minggu berlalu dengan begitu cepat, bahkan Yasmin merasa ini terlalu cepat. Di rumah mertuanya, Yasmin bisa bertahan karena selalu mendapat dukungan dari Claretta dan Anggara. Tapi nanti, saat mereka sudah tinggal di apartemen tidak ada jaminan untuk Yasmin mampu bertahan.Selama stau minggu ini Yasmin dan Claretta sudah bisa membuat Sean mencak-mencak, kesal dengan sikap Yamsin yang sama sekali tidak terpengaruh atas perlakuan dan perkataan kasar yang Sean lontarkan tanpa alasan. Bhakan Yasmin terkesan tidak terganggu sedikitpun atas semua yang terjadi.“Yasmin!” Suara Sean tiba-tiba meninggi tanpa alasan.Yasmin menghela napas dalam, bohong jika ia tidak takut dengan suaminya yang seperti macan itu. “Ada apa, Mas?”“Mana kemaja dan jasku?” tan
Sepanjang perjalanan, Yasmin dan Claretta banyak bicara. Mereka cocok satu sama lain, meskipun status mereka awalnya dari kalangan yang berbeda, namun itu sama sekali tidak membuat Yasmin terlihat aneh di mata Claretta. “Kita sudah sampai, ayo …” Claretta keluar lebih dulu, disusul Yasmin dengan dress sederhana miliknya. Saat keluar, Yasmin bergeming di tempatnya, memandangi bangunan megah yang menjulang tinggi di hadapannya. Sampai sekarang, baru kali ini ia menginjakkan kakinya di pusat perbelanjaan yang begitu besar. Saat bersama pamannya, masuk ke minimarket kecil membuat Yasmin senang bukan main. “Yasmin, kenapa malah diem sih? Ayo, sekarang kita belanja, habis itu kita ke makan siang, terus ke salon” jelas Claretta. “I-iya, Mi …” Yasmin berdiri di samping ibu mertuanya, mata gadis itu tak henti-hentinya memandangi seisi pusat perbelanjaan. Nama butik, toko sepatu sampai pakaian dalam seksi tak luput dari pandangannya. ‘Gimana jad