"Mas, jangan tinggalkan aku, kita, kita bisa selesaikan semuanya! Aku yakin kita akan baik-baik saja," ucapku terbata-bata, kupeluk lengannya lebih erat lagi, dia balas menatapku dengan ekor matanya yang begitu tajam.
"Minggir! Ini sudah selesai, dan tak ada yang perlu diperbaiki," jawabnya. Kemudian Mas Anton menghempaskan tanganku, hingga aku pun terhuyung ke belakang.
"Ah ... Mas," jerit ku seraya menahan tubuh, menjaga keseimbangan agar tak jatuh.
Mas Arkan yang melihatku terhuyung, dengan cepat ia lari menghampiriku, dan sigap menangkap tubuhku yang hampir ambruk, dia menatapku dengan mimik wajah penuh kekhawatiran.
"Kamu, tidak apa-apa kan, Intan?" tanya Mas Arkan cemas. Aku menggeleng, dia hanya balas mengangguk dengan seulas senyuman yang begitu menawan. Lalu dia menatap Mas Anton dengan tatapan kesal.
"Anton, kau jangan kasar pada Intan! Setidaknya kau bersikaplah lembut pada perempuan," lanjut Mas Arkan membelaku. Aku menoleh seraya
Setelah Mas Anton mengurungkan niatnya untuk pergi dari rumah ini, kami pun kembali masuk ke kamar masing-masing karena hari masih pukul empat pagi. Namun, berbeda dari malam yang lalu, aku dan Mas Anton pisah kamar mulai malam ini, aku tidur di kamarku yang biasa aku tempati. Sementara Mas Anton tidur di kamar bekas almarhum Om,nya kak Novi yang berada di lantai dua, tak jauh dari kamarku hanya selisih dua pintu, ruang tempat kerja papa dulu, dan bekas kamar almarhum Papa Bramantyo dan Mama Sofia. Kebetulan kamar itu tak ada yang menghuni, dan tetap terawat juga bersih, karena memang setiap hari dirapikan oleh asisten rumah tangga yang biasa bekerja paruh waktu di rumah ini. Ada rasa yang amat begitu hampa, sesaat setelah Mas Anton menalakku, juga sikap kak Novi yang berubah drastis dingin dan acuh padaku. Aku merasa hidup ini sendiri, tanpa teman dan saudara, suami pun tak memperdulikanku lagi. Aku terima dengan lapang dada, aku yang membuat kehancu
Kesalahan yang aku buat sudah begitu fatal, hingga semua orang di rumah ini terasa asing bagiku. "Intan, kamu sedang apa?" Suara bariton tiba-tiba mengusik lamunanku. Aku mendongak menatap wajah itu, senyum aku tampilkan meski ini terasa susah dan begitu berat. "Pak Broto, silahkan duduk, Pak!" ajakku sembari bangkit dan mempersilahkan Pria paruh baya, dengan setelan kemeja putih dan celana bahan warna hitam itu untuk duduk. Dia pun duduk di kursi berseberangan denganku. "Terima kasih," balasnya. Aku mengangguk kecil. Kemudian kedua tangannya dilipat diatas meja. "Omong-omong, kamu kok sendirian? Yang lain kemana?" lanjutnya seraya menoleh dan mengedarkan pandangannya ke arah dapur. "Gak tahu." Aku menggeleng pelan. "Mungkin, masih pada di kamar masing-masing, makanya saya menunggu semuanya untuk sarapan, tapi tak ada yang datang dan berkenan menyantap hidangan yang saya buat ini, Pak," jawabku pelan. Pak Broto menarik napas panjang, sembari m
"Aku permisi Mas, mau ajak yang lain untuk sarapan!" ucapku seraya bangkit dari duduk. Tangan Mas Arkan tiba-tiba menarik tanganku, menahan agar aku tak beranjak. Aku menatap genggaman tangannya yang melingkar di pergelangan tanganku, sentuhannya begitu hangat menjalari ke seluruh nadiku, hingga menggetarkan hati ini. Mataku terpejam, sambil menggigit bibir untuk menetralkan debaran jantung ini yang tak karuan. Ya Tuhan ... kenapa cinta di hati ini begitu besar padanya, sehingga semua orang merasa tersakiti, atas cinta yang kami miliki. "Mas, tolong lepaskan aku! Kita sudah cukup membuat keributan di rumah ini, dan sudah cukup merusak keharmonisan seluruh keluarga kita!" sergah ku berusaha melepaskan genggamannya. "Mas mencintai kamu Intan, kau tahu itu, kan? Hati Mas hanya untuk kamu, apa kamu mau menikah dengan Mas?" Kata-kata itu keluar lagi dari mulutnya, membuat aku terpaku, dan tak bisa menjawabnya. Dia mendongak kemudian bangkit, memaks
"Untuk apa Anton? Kau mau mempermalukan kami, hah?" tanya Mas Arkan mengangkat wajahnya ke arah wajah Mas Anton. "Tidak! Aku hanya butuh keadilan, satu jam lagi Pak RT juga Pak lurah akan hadir, kalian segera lah bersiap-siap, untuk semua ini!" ucap Mas Anton dengan tegas. "Dan kamu Intan, bicaralah pada Ayah dan Ibu! Jelaskan kepada mereka, tapi, jangan membuat mereka syok, juga jangan membuat mereka sakit hati, tentang apa yang sudah kau perbuat, jelaskan sebaik-baiknya, bahwa menantu kesayangannya tidak bisa hidup lagi bersamaku." Mas Anton tersenyum kecut, tanpa menatapku. "Mas ... ampuni aku!" Bibirku rasanya kelu untuk berucap, kutarik napas dan mengembuskannya dengan kasar, aku menyesal membuat Mas Anton begitu tersakiti karena ulahku, dia memang sangat mencintaiku, meskipun aku tak begitu mencintai dia. Namun, kesalahanku, karena aku tak bisa menghargai perasaan dan ketulusannya. "Aku sadar, Intan. Kakak iparmu banyak uang, apapun yang kau min
"Saya rasa, semuanya sudah selesai," ucap Pak lurah sembari menatap Ayah Wiryo dan juga Pak Broto, mereka berdua menanggapi ucapan Pak lurah, dengan anggukan. "Dan, sekarang tidak ada yang perlu di perpanjang lagi, kami semua izin pamit, undur diri," lanjut Pak lurah. "Iya Pak, terima kasih, sudah meluruskan masalah anak-anak kami," jawab Pak Wiryo. "Iya, tak apa, itu sudah menjadi tugas kami, Pak, dan saya harap tidak ada kejadian seperti ini lagi, di kemudian hari!" ujar Pak lurah lalu membetulkan letak pecinya sembari membenahi duduknya bersiap untuk bangkit. Kemudian beberapa tamu yang hadir pun semuanya bangkit, dan pergi meninggalkan rumah ini setelah saling berjabat tangan. Sepeninggalnya Pak lurah dan rekan-rekannya. Mas Anton menatapku, ia menggosok pelan kedua telapak tangannya seraya menarik napas dan mengembuskanya dengan berat. "Intan, nanti kita akan bertemu di pengadilan agama untuk mengurus perce
Dadaku bergemuruh hebat saat Bu Risma merajuk, untuk aku. Agar aku ikut dengannya dan pulang bersama Mas Anton. "Tapi Bu. Intan tidak bisa ikut, dan dia juga akan sesekali menjenguk ibu. Ibu tidak usah khawatir, dan tak usah takut. Ibu juga tidak akan kehilangan menantumu," ucap Mas Anton memberi pengertian pada perempuan berbaju blus biru tua lengan panjang di padukan dengan celana kulot warna hitam itu. "Anton, bukannya kamu mengajak ibu kesini untuk membawa Intan pulang bersama kita, kamu mengatakan pada ibu saat di telepon tadi pagi, katanya kamu mau pindah dan ibu di suruh kesini untuk menjemput istri kamu," rajuk ibu dengan tatapan sedih. "Maaf Bu, Intan tidak bisa ikut," timpalku, dengan wajah tertunduk, kedua tanganku meremas dress yang aku kenakan, batinku perih karena telah melukai hati seorang ibu. "Intan." Mas Anton menatapku sekilas seraya mengedipkan sebelah matanya. Memberi kode padaku, aku pun mengangguk pelan. "Ibu, sebentar y
"Jika kamu membutuhkan sesuatu, katakanlah pada ibu! Ibu akan siap membantumu," ucap Bu Aini. "Iya Bu," "Jaga cucu Ibu, baik-baik ya! Tapi ibu ingin tahu, kenapa Arkan bisa yakin, bahwa bayi yang ada di perut kamu itu adalah anaknya?" tanya Bu Aini lagi menatapku dalam. "Eum, itu, aku rasa ... Tak usah di jelaskan lah Bu, ibu juga pasti mengerti," jawabku ragu dan malu. Bagaimana aku tidak yakin bahwa anak ini adalah anak Mas Arkan, aku berhubungan badan denganya lebih sering, di bandingkan dengan Mas Anton suamiku, bahkan setelah aku selesai datang bulan beberapa Minggu yang lalu, sebelum aku hamil seperti sekarang ini. Mas Arkan lah yang duluan menjamah tubuhku, bukan Mas Anton, dia jarang menyentuhku, tak seperti Mas Arkan, yang hampir setiap hari, memintaku untuk melakukan hubungan itu, dan lebih dari satu kali kami melakukan hubungan badan dalam satu hari. Jika tak ada kesempatan di rumah, maka kami akan melakukannya di hotel di s
"Tapi Kak, tolong ... jangan berkata seperti itu tentang Mama ku! Aku tak terima, bahkan aku tak pernah sama sekali menatap wajahnya langsung, aku juga tak tahu sifat Mama, aku yakin Mama tak seperti aku, Mama perempuan yang baik," "Entahlah. Tapi, jika Mamamu memang perempuan baik-baik, kenapa, dia bisa merebut papa dari kami? Bahkan papa lebih sering menghabiskan waktu dengan Mamamu, meskipun kakak tidak tahu, tapi Mama Sofia yang memberi tahu Kakak, betapa liciknya Mama kamu Intan, sama seperti kamu!" maki kak Novi dengan sikap dan tatapan benci. Aku menelan ludah terasa begitu susah, mendengar kata-kata buruk kak Novi tentang Mamaku, perih terasa di hati ini, dadaku mendadak terasa panas seketika. Kutarik napas dalam-dalam dan membuangnya perlahan, tak terasa air mataku menetes mewakili perasaanku, aku sedih Kak Novi membawa almarhumah Mama ke dalam masalah ini. "Tenang aja kak, aku takkan mengganggu rumah tangga kakak dan Mas Arkan lagi, mulai sekarang,