Hampir 2 jam berlalu, tapi Kana tetap saja tidak bisa memejamkan matanya. Selain suhu udara yang sangat dingin, beberapa kali kenangan buruk yang sudah menimpanya muncul kembali diingatannya.
Kana menghembuskan napas panjang, kemudian ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Rasanya matanya langsung saja terasa panas.
'Kenapa nasibku seperti ini...' lirihnya dalam hati.
Kana hampir saja meneteskan air matanya, tapi dengan sekuat tenaganya ia berusaha menahannya.
"Aku tidak mau lagi menangisi semua itu, aku harus kuat, aku pasti bisa," gumamnya pelan.
Kana menggulirkan tubuhnya ke arah kanan kemudian memeluk bantal guling. Ia berusaha kembali mencoba untuk terlelap.
Tapi masih saja sulit, sesekali ia menoleh ke arah pintu. Masih ada perasaan was-was dalam dirinya. Ia takut jika pria yang sudah menolongnya dan memberikan tempat untuk tidur malam ini memiliki niat yang jahat.
Tapi, kursi yang di simpan untuk menghalangi pintu masih pada tempatnya. Dan tak ada upaya dari luar untuk membuka pintu tersebut.
Bukan hanya suhu dingin dan kenangan buruk yang menghantuinya malam ini saja. Tapi Kana juga merasa tubuhnya semakin tidak enak.
Kana mencoba merasakan panas tubuhnya dengan menempelkan punggung tangannya di dahi dan lehernya.
"Sepertinya aku demam," gumamnya pelan.
Kana ingat, saat mengambil salep memar tadi, ia sempat melihat ada obat demam di sana.
Tapi Kana mengurungkan niatnya untuk mengambil obat tersebut sekarang. Ia takut jika pria itu memergokinya berkeliaran di dalam rumahnya di malam hari dan menuduhnya hendak mengambil atau mencuri barang miliknya.
"Besok pagi saja, saat Bi Enah sudah ada, aku akan minta padanya."
Kana kembali mencoba untuk tidur. Tapi semakin mencoba untuk memejamkan matanya ia semakin tak bisa terlelap. Tubuhnya semakin terasa tidak nyaman.
Dengan bermodal nekat, Kana bangkit dari tidurnya. Menggeser kan kembali kursi yang menghalangi pintu dan membuka kuncinya.
Sebelum keluar dari dalam kamar, Kana memastikan jika keadaan di luar cukup aman. Dengan sedikit mengendap Kana berjalan dengan sangat perlahan, agar langkahnya tidak menimbulkan suara.
Kana berhasil mencapai dapur, kemudian mengambil kotak obat tersebut. Ia lalu mengambil obat penurun demam yang ada di sana.
Tapi tiba-tiba saja Kana merasakan angin yang cukup kencang menerpa dirinya.
"Eh..." gumamnya sangat pelan.
Dengan obat di tangannya Kana melangkah keluar dari dapur. Mencoba memeriksa keadaan.
Tapi alangkah terkejutnya, saat Kana melihat salah satu pintu terbuka. Pintu yang mengarah ke bagian belakang vila.
Jantungnya berdegup kencang seketika. Ia takut jika ada orang lain yang masuk ke dalam Vila ini.
Dengan mengendap, Kana melangkah menuju pintu, dari tempat ia melihat jika pintu itu tidak ada kerusakan sama sekali.
'Apa mungkin dia lupa menutup pintunya?' Kana bertanya pada dirinya sendiri.
Kana melangkah semakin mendekati pintu, jika lupa menutupnya maka Kana akan menutup dan menguncinya.
Tidak ada suara apapun yang mencurigakan, semuanya tampak begitu hening. Hingga Kana bisa bernapas lega, dan yakin jika pria itu hanya lupa menutup pintunya.
Begitu Kana berdiri di dekat pintu yang terbuka lagi-lagi ia harus merasa kaget. Karena ia melihat jika ada seseorang yang sedang berdiri di luar dengan wajah yang menenggadah ke langit yang bertabur bintang.
Kana mencoba meyakinkan dirinya jika orang itu adalah Elvan, pria yang sudah menolongnya.
Dan benar saja setelah memastikannya, pria itu memanglah Elvan.
'Sedang apa dia di sana malam-malam seperti ini?' tanya Kana di dalam hatinya.
'Aku harus segera pergi dari sini sebelum dia melihatku, atau dia akan berpikir hal yang tidak-tidak padaku,' gumamnya lagi.
Malam ini entah mengapa Elvan kembali merasakan kerinduan yang begitu besar kepada istri yang sudah meninggalkan serta membawa anak mereka ikut bersama. Berulang-ulang Elvan menarik napas panjang dan menghembuskannya.
‘Kenapa kau tega meninggalkan ku sendirian, Dav…’ lirihnya dalam hati seraya memejamkan matanya.
Saat memejamkan matanya Elvan mendengar ada bunyi di belakangnya, dengan cepat ia memutar tubuhnya ke belakang langsung terarah pada pintu yang tadi di bukanya. Ia tidak melihat siapapun di sana.
“Siapa itu?!” pekik Elvan sedikit menyeramkan.
Karena tidak ada jawaban, Elvan langsung melangkahkan kakinya dengan lebar berjalan menuju pintu. Ia melihat sekelebat orang yang hendak melarikan diri dan benar saja ia menemukannya.
“M-maaf, apa aku mengagetkanmu?” tanya Kana dengan bibir yang bergetar.
Elvan hampir saja lupa, jika saat ini ia tidak sendirian di villa nya.
“Kau sedang apa?” tanya Elvan sedikit ketus, tapi matanya melirik pada tangan wanita itu yang tersembunyi di belakang, seakan ia menyembunyikan sesuatu.
“Kau mencuri sesuatu di rumahku, hah?” geram Elvan.
Kana langsung mendongak untuk menatap Elvan meski sekarang ia merasa ketakutan, bahkan tubuhnya mulai gemetaran. “T-tidak!” sahut Kana takut-takut seraya menggelengkan kepalanya.
“Bohong!” bentak Elvan, yang semakin membuat Kana ketakutan. “Apa yang ada di tanganmu! Perlihatkan padaku!”
Kana meringis, mengetahui kebodohannya. Saat Elvan memergokinya dengan spontan tangan yang sedang memegang obat penurun panas ia sembunyikan di belakang tubuhnya. Dan saat ini ia merasa sangat bodoh, karena tindakannya tersebut membuat orang lain curiga padanya.
“M-maafkan ak---” Kana hendak memperlihatkan tangannya, tapi Elvan sudah menarik tangannya terlebih dahulu untuk memastikan apa yang diambil oleh wanita itu.
Seketika keningnya berkerut saat melihat apa yang sedang di pegang oleh wanita itu.
“A-aku sedikit demam, t-tadinya aku mau menunggu sampai pagi untuk memintanya langsung padamu, m-maafkan aku. Aku tidak mencuri barang…” lirih Kana terbata-bata, bahkan matanya sudah memanas hendak menangis.
Tangannya masih menggenggam tangan wanita itu, dan Elvan bisa merasakan memang tubuh wanita itu sedikit hangat. Saat sadar ia masih memegang tangan wanita itu, Elvan segera melepaskannya.
Elvan sempat ragu, tapi saat merasakan hangat tubuh wanita itu melalui tangannya akhirnya ia percaya. Lagi pula sudah ada obat penurun panas di tangannya.
“Kalau begitu kau minum obat itu dan segera beristirahat,” ucapnya. Elvan segera menutup pintu dan menguncinya sebelum akhirnya meninggalkan wanita itu begitu saja.
Kana bisa bernapas lega karena bisa melewati menit-menit menegangkannya. Dan semua ini karena kebodohannya. Saat keberadaannya di ketahui pria itu kenapa ia harus kabur hingga kakinya tersandung dan hampir jatuh? Dan kenapa ia langsung menyembunyikan tangannya yang sedang memegang obat hingga pria itu mencurigainya.
“Aku benar-benar bodoh…” lirihnya pelan.
Setelah Elvan benar-benar meninggalkannya dan sudah tak terlihat lagi, Kana segera kembali berjalan menuju dapur untuk membawa segelas air. Lalu kembali ke kamar, minum obat dan segera tidur.
**
Elvan membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur, rasanya ia masih tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Dan mengapa ia bisa lupa jika malam ini ada orang di sini, bukan hanya dirinya sendiri saja.
Elvan merasa marah dan sedikit malu karena ada seseorang yang melihatnya saat ia sedang termenung, mengingat nasib buruk yang sudah menimpanya. Di tinggalkan oleh istri yang di cintainya beserta calon anak mereka.
“Aku sudah terbiasa sendiri di sini, dan aku lupa adanya orang lain,” gumam Elvan pelan.
Elvan kemudian mematikan lampu tidur yang terdapat di atas nakas di samping tempat tidurnya. Lalu ia memutuskan untuk tidur malam ini, mencoba menenangkan kembali pikirannya.
- To be Continue -
Saran, kritik, Q&A I*: sr.novelllBaca juga Love By Accident, Our Destiny, The Perfect Lust, Calamity Of Love, Unconditional Love.Andrew menitikkan air mata untuk pertama kalinya dalam hidupnya yang bisa ia ingat, saat ia mendengar suara tangisan putrinya yang baru saja lahir ke dunia ini.Kini ia resmi menyandang status sebagai seorang ayah.Ya, anaknya adalah seorang perempuan, sesuai dengan hasil pemeriksaan USG beberapa bulan yang lalu. Hingga dirinya dan Metta menyiapkan segala kebutuhan untuk putri mereka.Baik Andrew ataupun Metta tidak mempermasalahkan apakah mereka akan memiliki seorang putra ataupun putri. Semua anak sama saja, dan mereka akan mencintainya dengan setulus hati. Saat mereka memberitahu hasil USG pada Peter beberapa bulan yang lalu, ia menyambut dengan sangat gembira. Peter dulu sangat menginginkan anak perempuan yang menurutnya sangat menggemaskan jika memakai baju anak yang lucu-lucu tapi istrinya tidak bisa hamil lagi karena ada kanker di rahimnya hingga akhirnya merenggut nyawanya. Peter juga sudah diberitahu perkiraan hari kelahiran cucu perempuannya dan ia akan mengajukan cuti jauh
Selama seminggu ini Andrew berusaha untuk menjadi suami siaga, karena menurut perkiraan Metta akan melahirkan minggu ini. Elvan sendiri memberikan keringanan untuknya agar tidak terlalu lama berada di kantor ataupun datang ke kantor. Andrew hanya datang ke kantor sesekali saja, ia lebih banyak bekerja di apartement dan mengirimkan laporan via email pada Elvan.Bahkan pekerjaan keluar kota ataupun yang agak jauh dari Jakarta, semua di handle oleh Elvan.Seperti biasanya, Andrew saat ini berada di ruang keluarga. Ia menyalakan laptop miliknya dan bekerja di sana. Sesekali ia melakukan panggilan video dengan Elvan atau sekretarisnya, membicarakan pekerjaan mereka.Sedangkan Metta menemani Andrew dengan duduk di sofa, ia menselonjorkan kakinya ke atas sofa yang mulai terasa pegal. Bahkan kakinya tampak sedikit membengkak. Metta sudah tidak bisa banyak bergerak dengan perutnya yang besar, seakan hendak meledak.Metta sedikit meringis, saat ia bergerak untuk mencari posisi yang nyaman untu
Andrew langsung meraih tangan Metta dan menghadangnya, “Mau kemana? Udah duduk aja di sini, kenapa?” seru Andrew pada istrinya.“Aku mau turun, Kak!” seru Metta.Kening Andrew berkerut, “Ke lintasan?” tanyanya hampir tak percaya. Saat ini mereka berdua sedang berada di sirkuit. Karena Metta yang memaksa Andrew untuk menonton balapan yang ada di sirkuit hari ini. Dari pada membuat istrinya kembali sedih seperti beberapa bulan yang lalu, Andrew memilih untuk mengabulkan permintaan istrinya ini.Metta mengangguk antusias, “Iya dong, biar aku bisa liat dengan jelas motor mereka!” ujar Metta seraya menunjuk ke arah seorang pembalap yang masih berdiri di samping motornya dengan seorang mekanik. Pembalap itu tampak membicarakan sesuatu.“Aduhhhh! Itu terlalu dekat, kalau Sayangnya aku keserempet gimana? Aduhhh…” seru Andrew. “Ya gak dong, Kak. Aku kan di pinggir bukan ke tengah lintasan!” ujar Metta.“Gak boleh pokoknya gak boleh! Udah duduk manis aja di sini ya, ini udah keliatan jelas lo
Saat Andrew pulang ke apartement, ia merasa ada yang berbeda dengan istrinya tersebut. Metta menyambut kepulangannya dengan lembut dan seperti biasanya. Tapi, Andrew merasa jika senyuman Metta tampak hambar, bahkan tatapannya tampak kosong.Awalnya Andrew mengira mungkin Metta hanya kelelahan saja. Sejak Metta hamil, Andrew memang terbiasa membawa makan malam dari luar jika ibu mertuanya tidak datang menemani Metta. Karena Mama Hilda yang akan menyiapkan makanan, ia hanya tinggal menghangatkannya saja.Saat makan malampun, Metta masih menjawab setiap pertanyaannya dengan baik. Berbincang seperti biasanya, hanya saja Andrew masih merasa sedikit aneh dengan istrinya tersebut.Hingga sebelum waktu tidur, Andrew membuatkan susu untuk Metta. “Mau tidur sekarang?” tanya Andrew setelah menyimpan gelas bekas minum susu di meja.Metta mengangguk, “Iya, Kak. Aku mau tidur aja, agak ngantuk,” jawab Metta.Andrew mengangguki ucapan Metta, kemudian membantu menyelimuti tubuh Metta. Agar istri dan
Satu bulan berlalu, seharusnya di mana Metta sudah masuk kuliah di semester yang baru. Kini ia hanya bisa diam di dalam apartement. Bahkan hanya untuk keluar apartement dengan berjalan kaki menikmati fasilitas yang ada di gedung ini atau ke pertokoan dan mini market yang ada di sekitar apartement, ia harus lebih dahulu memberitahukan pada Andrew yang berada di kantor. Jika sudah sampai apartement lagi, Andrew pasti akan menghubunginya.Sejak hamil, Andrew juga melarang Metta untuk datang ke cafe Aya kecuali bersama dirinya. Ia tidak mau Metta kelelahan atau terpeleset saat membantu kesibukan di cafe. Andrew memang lebih protektif pada Metta demi kebaikan Metta dan kandungannya.Metta membaringkan tubuhnya di sofa sambil menatap ke arah jendela, ia menghembuskan napas panjangnya dengan tangan yang mulai membelai lembut perutnya. Perutnya masih terlihat rata, tapi beberapa celana mulai terasa sesak ketika di gunakan. Metta sendiri sudah tidak menggunakan celana jeans karena sudah mulai
“Gue hebat, kan? Tiga minggu-an udah jadi!” bangga Andrew pada Elvan, kini mereka berdua berada di taman belakang. Sedangkan yang lainnya menemani Metta di dalam dan mengobrol mengenai kehamilannya. Metta masih sangat muda dan tomboy sehingga Aya, Hilda dan Soraya memberikan ekstra perhatian dan wejangannya. Sementara Aji dan Mahanta ngobrol di ruangan kerja.“Bangga Lu? Gue juga gak lama kali!” dengus Elvan.“Iya emang gak lama, tapi cepetan gue kan?” Andrew masih begitu bangga, “Tokcer banget kan?”“Dih dasar, bukan itu yang harus Lu perhatiin sekarang, tapi kondisi istri Lu sama calon anak Lu!” seru Elvan mengingatkan.“Iyalahh, kalau itu gue dah paham bangettt! Tadi aja abis dari rumah sakit gue udah borong susu hamil banyak-banyak!” seru Andrew.“Bukan cuma itu! Tapi mulai sekarang Lu perhatiin Metta baik-baik, kebutuhan dia juga perhatian dia, biar anak kalian tumbuh dengan baik. Selalu anter Metta juga kalau mau periksa ke dokter,” ujar Elvan.“Gua paham!” seru Andrew.Elvan j