Kaliya menatap dua pria yang sedang berjalan di depannya. Baik Alex dan Orlando, masing-masing menggendong sebuah tas ransel besar yang telah diisi dengan berbagai perlengkapan untuk mereka. Ya, perlengkapan itu akan mereka gunakan untuk bertahan hidup selama misi perjalanan mencari pecahan permata Katastrof.Tadinya Alex memberi saran untuk menunggu beberapa lama lagi di rumahnya. Namun, Kaliya menolak. Dia tidak ingin membuang-buang waktu lebih lama. Semakin cepat dia mengumpulkan pecahan permata, bukankah akan semakin cepat juga dia bisa mengalahkan Lucifer dan membalaskan dendamnya?Sementara Kaliya asyik tenggelam dalam pikirannya sendiri, dia tidak sadar jika langkah kedua pria di depannya kini sudah terhenti. Kaliya bahkan hampir saja menabrak ransel yang digendong pada punggung Orlando jika suara Alex tidak segera membuatnya sadar.“Kalian dengar itu?” bisik Alex tiba-tiba. Pandangan pria setengah serigala itu berubah waspada. Lubang hidungnya kembang-kempis untuk mencium bau
“Apa kalian melihat sesuatu?” bisik Kaliya. Di balik dedaunan rimbun itu, matanya tak luput mengintip dengan waspada.“Tidak ada. Tapi aku rasa makhluk itu berlari semakin dekat ke arah kita, Kaliya,” jawab Alex. Dia juga tak kalah waspada dari Kaliya.Ketika Kaliya menoleh ke arah Orlando, ternyata lelaki itu sedang menghela napas. Raut panik nampak jelas menghiasi wajahnya. Ingin sekali Kaliya protes dan mengomeli Orlando karena selalu bersikap panik seperti itu. Sayangnya, Kaliya mengurungkan hal tersebut. Wanita iblis ini lebih memilih untuk kembali mengamati sekitar. Siapa tahu, sebuah bahaya akan mendadak datang menyerang mereka.Tak lama, suara langkah kaki yang begitu cepat semakin terdengar jelas. Alex dan Kaliya bertemu pandang, tatapan mereka berubah tajam. Lalu saat Kaliya kembali menatap ke balik semak-semak, satu iblis tengah berlarian tunggang langgang. Anehnya, tubuh iblis itu diselimuti oleh api, dan sepertinya api itu telah menyakitinya.“Arrghhh, tolong! Matikan ini
“Sudah cukup kamu menyakitiku, hah?” erang prajurit iblis itu dengan susah payah. Dia bergerak, merangkak, tangannya terulur untuk meraih kaki Nyx. Tapi dengan dingin, Nyx langsung menginjaknya.Teriakan lain tentu tak luput keluar dari mulut prajurit iblis itu. Namun Nyx bagaikan makhluk tuli dengan hati sedingin es. Dia tidak terpengaruh sama sekali.Mata tajam bagaikan elang itu meneliti ke sekitar hutan, menelusup ke dalam jajaran batang pohon, dan mencoba mengintip ke sela-sela dedaunan semak belukar. Sampai akhirnya, Nyx pun berseru.“Keluar kalian semua! Aku tahu kamu berada di sini, Kaliya!”BRUAK!Tanpa aba-aba, Nyx melemparkan bola api besar yang diam-diam sudah dikumpulkan di sebelah tangan. Serangan itu mendarat langsung ke tempat di mana Kaliya, Orlando, dan Alex bersembunyi sebelumnya.Mereka bertiga tidak menduga akan serangan yang mendadak itu. Alhasil mereka tidak bisa melarikan diri. Namun, Orlando refleks memeluk Kaliya dan berharap bahwa tindakannya tersebut dapat
“Sial,” desis Nyx sembari menggertakkan gigi. Iblis angkuh itu bisa merasakan rasa sakit dan panas yang mulai menjalar dari luka yang Kaliya tinggalkan.“Apa sebaiknya aku menghitung mundur untuk menyambut waktu kematianmu?” tanya Kaliya. Tak ada sedikit pun keraguan dalam suaranya.Tanpa menunggu perkataan dari Nyx, Kaliya segera melayangkan serangan lain. Namun meskipun terluka, Nyx masih bisa menghindar dengan cepat. Iblis itu berpindah tempat, merengkuh tubuh rekan iblis yang sebelumnya dia sakiti, kemudian Nyx menghilang dalam kepulan asap bersama rekan iblis yang merupakan prajurit dari Lucifer.Nyx kabur. Dan hal itu membuat Kaliya mendadak sangat kesal.“Dasar pecundang! Kenapa kamu kembali melarikan diri, hah?” teriak Kaliya sembari mengedarkan pandangannya ke arah pepohonan dan semak belukar di sekitar sana. Karena ia tahu, dengan kondisi Nyx yang terluka seperti itu, pasti dia tidak akan bisa melarikan diri dalam jarak yang jauh.“Cepat keluar, kamu iblis sialan!” teriak Ka
Tubuh tiga sekawan itu diseret menuju sebuah gubuk khusus yang dibangun bagaikan penjara. Setiap sisi dindingnya terbuang dari bambu-bambu yang disusun sekian rupa. Bagaikan terali besi, tetapi yang ini terbuat dari bambu serta kayu yang tampak kokoh.Dilemparkannya mereka ke dalam satu sel itu, lalu salah satu warga suku pedalaman tersebut mengatakan sesuatu. Namun, baik Kaliya, Orlando, dan Alex, tidak mengerti dengan apa yang dikatakannya.“Sial, Kaliya. Apa yang harus kita lakukan?” tanya Orlando cemas.“Bisakah kamu berhenti mengumpat kepadaku?” Kaliya balik mengomel.Orlando langsung gelagapan. “Bukan, maksudku—argh...!” Pria itu mengerang pelan. Dia merasa frustrasi karena masalah selalu saja menghadang perjalanan mereka. Padahal jika tidak ada halangan apa pun, baik dari manusia maupun iblis, Orlando yakin kini mereka sudah mengumpulkan pecahan permata Katastrof dalam jumlah banyak.“Aku tidak mengumpat kepadamu, oke? Aku hanya merasa sedikit jengkel,” jelas Orlando kemudian s
“Sungguh?” Mata Orlando melebar, penuh dengan harapan.Dan Kaliya akhirnya mengangguk. “Kamu tidak perlu mengatakan sesuatu yang mengada-ada seperti itu. Jika para anggota suku ini adalah seorang kanibal, mungkin aku sudah bisa mencium bau darah manusia lain. Nyatanya, aku hanya bisa mencium bau darah binatang.”“Bukankah kamu juga menciumnya, Alex?” tambah Kaliya. “Aku yakin insting serigala dalam dirimu masih berfungsi.”“Tentu saja! Kamu pikir hidungku mendadak rusak?” timpal Alex. “Aku hanya penasaran dengan apa yang hendak Orlando katakan tadi.”“Astaga, jadi kalian sudah mengetahuinya sedari awal? Lalu kenapa kalian tidak beri tahu aku? Dengan begitu mungkin aku akan diam dan merasa lebih tenang, dan aku tidak akan membayangkan tubuhku dikuliti oleh para penghuni di sini!”“Diam!” bentak Kaliya. “Kamu akan membuat kita berada dalam bahaya jika terus mengoceh seperti itu.”“Jadi menurutmu dengan terkurung di dalam sini bukanlah sebuah bahaya, Kaliya?” bisik Orlando kemudian.Kali
Kaliya berusaha sekuat tenaga untuk tidak ikut terlelap seperti Orlando dan Alex. Karena ketika dilihat, kedua pria itu tengah menyandarkan kepala satu sama lain dengan mata terpejam. Sepertinya mereka lelah karena perjalanan hari ini.Kaliya sendiri merasa tenaganya lumayan berkurang akibat menyerang iblis bernama Nyx tadi siang. Meski dia merasa kuat karena memiliki dua pecahan permata Katastrof, tetap saja Kaliya perlu mengisi kembali energinya.Selain itu, punggung Kaliya terasa gatal. Ia ingin sekali mengeluarkan kuku-kuku panjangnya, kemudian menggaruk punggung dengan kencang. Tapi itu semua tidak bisa ia lakukan di sini. Sel bambu tempat mereka dikurung, berukuran terlalu sempit. Kaliya bahkan tidak bisa merentangkan kakinya dengan benar.Sempat terlintas di dalam kepala Kaliya untuk memberontak. Ia bisa saja mengeluarkan kekuatannya dan menghancurkan tempat ini, serta membuatnya kembali rata dengan tanah. Tapi jika itu terjadi, mungkin nyawa para penduduk pedalaman ini akan te
Ketika pria tua itu mengangkat sebelah tangan, maka sorakan yang tadi menggema pun kembali hilang. Para penghuni langsung bungkam. Yang terdengar kini hanyalah suara serangga-serangga malam, dan sesekali suara gemeletuk dari obor yang terbakar.“Siapa kamu?” tanya Kaliya memberanikan diri. “Apa yang kamu inginkan dengan menyekap kami?”Tak ada jawaban. Yang ada keheningan di sekitar mereka malah semakin menyelimuti.Tak lama, tetua itu berdiri dari kursi yang ia duduki. Lalu mulai berjalan mendekat ke arah mereka.Kaliya langsung bersikap waspada. Dia tidak tahu apa yang akan manusia primitif ini lakukan. Makanya, sebisa mungkin ia harus siap menghadapi bahaya apa pun yang akan datang.Meski Kaliya merasa tubuhnya masih sedikit lelah, tapi ia yakin, dengan satu gumpalan api besar yang keluar dari tangannya, maka tetua dan seluruh penghuni desa ini akan musnah.Tetua itu kini berhenti dua langkah di depan Kaliya. Mata Kaliya melebar. Dia takut akan terjadi sesuatu yang tidak ia duga. N