LOGINHujan sore itu turun pelan, seperti ingin menenangkan jalanan kota yang berdebu dan sesak. Di sudut sebuah kafe yang hangat, Raisa duduk menatap jendela kaca berembun, jemarinya melingkar di cangkir cokelat panas yang sudah mulai dingin. Suara hujan yang menetes di luar berpadu dengan musik lembut dari pengeras suara—lagu lawas yang dulu sering mereka dengar bersama, sebelum semuanya berubah.Sesekali Raisa menatap pintu masuk, lalu kembali menunduk. “Tiga tahun,” gumamnya pelan. “Aku bahkan nggak tahu harus ngomong apa nanti.”Revan, yang duduk di seberangnya, menatapnya tenang. Pria itu tampak lebih dewasa—rahangnya lebih tegas, sorot matanya lembut, tapi tetap mengandung ketegasan khas seorang pengacara yang pernah melewati badai besar. Ia meneguk kopinya sebelum berkata, “Kamu nggak harus nyiapin kata-kata, Raisa. Kadang, diam aja udah cukup.”Raisa menatapnya sekilas. “Tapi diam nggak selalu bisa menyembuhkan.”Revan tersenyum tipis. “Kadang justru diam yang bikin kita sadar kala
Sore itu, sinar matahari menembus tirai jendela ruang tamu rumah kecil di pinggiran kota. Raisa duduk di sofa, menatap layar tablet yang menampilkan artikel terbaru di laman berita hukum. Di sana tertulis:> “Proyek Komunitas Aruna: Kolaborasi Nayla Wiratama & Arga Prasetyo Raih Penghargaan Transparansi Hukum 2027.”Wajah Raisa menegang sejenak, tapi kemudian melembut. Ada senyum samar di bibirnya. “Akhirnya dia menemukan tempatnya,” gumamnya pelan.Revan, yang sedang merapikan tumpukan berkas di meja kerja, menoleh. “Siapa?”“Nayla,” jawab Raisa. “Dia sekarang jadi salah satu nama penting di proyek reformasi hukum komunitas. Dan…” —ia menatap layar lagi— “sepertinya dia dan Arga makin dekat.”Revan berhenti sejenak, menatap wajah Raisa yang berubah sedikit sendu. “Kamu masih khawatir soal dia?”Raisa menggeleng pelan. “Bukan khawatir. Lebih ke… lega. Dulu aku sempat takut dia nggak akan bisa lepas dari semua yang terjadi—dari kita.”Revan duduk di sebelahnya, meraih tablet itu, lalu
Langit pagi Jakarta masih kelabu, tapi di lantai delapan gedung firma hukum tempat Nayla bekerja, suasananya justru terasa hangat. Aroma kopi baru diseduh memenuhi ruang kerja, bercampur dengan wangi kertas dan tinta printer yang baru digunakan.Arga datang lebih awal dari biasanya. Kemejanya masih sedikit kusut, rambutnya belum sepenuhnya rapi, tapi senyumnya muncul begitu melihat Nayla sudah duduk di meja kerjanya.“Pagi,” sapa Arga sambil meletakkan dua cangkir di meja. “Aku tahu kamu pasti belum sempat sarapan.”Nayla menoleh, matanya sedikit terkejut tapi tersenyum lembut. “Aku baru aja mau bikin kopi.”“Makanya aku datang duluan,” kata Arga dengan nada ringan. “Biar kamu nggak punya alasan buat kerja tanpa makan.”Mereka tertawa kecil. Ada sesuatu yang tenang tapi dalam di antara mereka, seperti percakapan yang sudah berulang tapi tetap berarti.Hari itu mereka harus menghadiri rapat di luar kantor, membahas proyek hukum komunitas—proyek yang dulu sempat menghubungkan Nayla deng
Cahaya sore menembus tirai kaca ruang rapat, menimpa tumpukan dokumen dan layar laptop yang masih menyala. Ruangan itu hampir kosong kecuali dua orang yang masih duduk di meja ujung—Nayla dan Arga. Sejak beberapa minggu terakhir, mereka sering menjadi dua orang terakhir yang meninggalkan kantor.Suara ketikan Nayla berpadu dengan bunyi gesekan pena Arga di atas kertas laporan. Keduanya tenggelam dalam kesibukan, tapi ada kenyamanan sunyi di antara mereka—seolah waktu melambat setiap kali mereka berada di ruangan yang sama.“Kalau kamu terus kerja sampai segini malam, aku mulai curiga kamu bukan manusia,” ujar Arga tanpa menoleh, senyumnya samar. “Mungkin robot AI yang diprogram untuk menyelesaikan semua masalah hukum.”Nayla terkekeh kecil, bahunya sedikit bergetar. “Kalau aku robot, aku pasti udah error gara-gara revisi laporan dari kamu. Empat kali dalam seminggu, Arga. Empat kali.”Arga menutup berkasnya, menatap Nayla dengan mata teduh di balik kacamata. “Tapi kamu nggak pernah pr
Hari pertama proyek bantuan hukum di Balai Kota dimulai dengan suasana sibuk dan sedikit kacau. Orang-orang berdesakan di aula besar, masing-masing membawa berkas dan harapan.Nayla tiba lebih awal, mengenakan kemeja putih sederhana dan celana hitam panjang. Ia terlihat profesional, tapi senyumnya lembut, menenangkan siapa pun yang berbicara dengannya.Sejak pagi, ia membantu menata sistem pengaduan warga bersama tim IT kecil dari pihak panitia. Salah satu dari mereka—seorang pria berusia sekitar awal tiga puluhan—menyapanya dengan ramah saat sedang memasang proyektor di pojok ruangan.“Permisi, Mbak Nayla, colokan listriknya di mana ya?”Nayla menoleh, lalu menunjuk ke arah meja panjang di samping. “Di bawah sana, dekat kaki meja. Tapi hati-hati, kabelnya agak longgar.”Pria itu tersenyum lebar. “Siap, terima kasih, Mbak hukum.”Nada suaranya ringan, tapi sopan. Nayla sempat tertawa kecil mendengar panggilan itu.Setelah acara dimulai dan suasana agak tenang, pria itu kembali mendeka
Pagi di kota terasa berbeda sejak pertemuan itu. Udara yang dulu terasa berat kini lebih ringan, meski masih menyimpan jejak kenangan yang tak bisa sepenuhnya dihapus.Nayla berdiri di depan jendela apartemennya, secangkir kopi di tangan, menatap matahari yang perlahan naik di antara gedung-gedung tinggi. Sinar kuningnya memantul di kaca, menyilaukan, tapi hangat—seperti mengingatkannya bahwa hidup, betapapun rumitnya, selalu punya cara untuk mulai lagi.Sudah tiga minggu sejak hari itu di kafe.Tiga minggu sejak ia menatap Raisa dan Revan, bukan lagi sebagai sosok yang ia cemburui, tapi sebagai bagian dari cerita yang telah membentuk dirinya.Awalnya aneh—keheningan tanpa chat, tanpa rencana pertemuan mendadak, tanpa Revan yang tiba-tiba muncul di ruang kerjanya dengan ekspresi lelah tapi hangat.Namun, dalam keheningan itu, Nayla menemukan ruang. Ruang untuk bernapas. Untuk menjadi dirinya sendiri lagi.Di meja kerjanya kini berserakan dokumen hukum, bukan lagi data tentang Mirror C