ログインLangit pagi Jakarta masih kelabu, tapi di lantai delapan gedung firma hukum tempat Nayla bekerja, suasananya justru terasa hangat. Aroma kopi baru diseduh memenuhi ruang kerja, bercampur dengan wangi kertas dan tinta printer yang baru digunakan.Arga datang lebih awal dari biasanya. Kemejanya masih sedikit kusut, rambutnya belum sepenuhnya rapi, tapi senyumnya muncul begitu melihat Nayla sudah duduk di meja kerjanya.“Pagi,” sapa Arga sambil meletakkan dua cangkir di meja. “Aku tahu kamu pasti belum sempat sarapan.”Nayla menoleh, matanya sedikit terkejut tapi tersenyum lembut. “Aku baru aja mau bikin kopi.”“Makanya aku datang duluan,” kata Arga dengan nada ringan. “Biar kamu nggak punya alasan buat kerja tanpa makan.”Mereka tertawa kecil. Ada sesuatu yang tenang tapi dalam di antara mereka, seperti percakapan yang sudah berulang tapi tetap berarti.Hari itu mereka harus menghadiri rapat di luar kantor, membahas proyek hukum komunitas—proyek yang dulu sempat menghubungkan Nayla deng
Cahaya sore menembus tirai kaca ruang rapat, menimpa tumpukan dokumen dan layar laptop yang masih menyala. Ruangan itu hampir kosong kecuali dua orang yang masih duduk di meja ujung—Nayla dan Arga. Sejak beberapa minggu terakhir, mereka sering menjadi dua orang terakhir yang meninggalkan kantor.Suara ketikan Nayla berpadu dengan bunyi gesekan pena Arga di atas kertas laporan. Keduanya tenggelam dalam kesibukan, tapi ada kenyamanan sunyi di antara mereka—seolah waktu melambat setiap kali mereka berada di ruangan yang sama.“Kalau kamu terus kerja sampai segini malam, aku mulai curiga kamu bukan manusia,” ujar Arga tanpa menoleh, senyumnya samar. “Mungkin robot AI yang diprogram untuk menyelesaikan semua masalah hukum.”Nayla terkekeh kecil, bahunya sedikit bergetar. “Kalau aku robot, aku pasti udah error gara-gara revisi laporan dari kamu. Empat kali dalam seminggu, Arga. Empat kali.”Arga menutup berkasnya, menatap Nayla dengan mata teduh di balik kacamata. “Tapi kamu nggak pernah pr
Hari pertama proyek bantuan hukum di Balai Kota dimulai dengan suasana sibuk dan sedikit kacau. Orang-orang berdesakan di aula besar, masing-masing membawa berkas dan harapan.Nayla tiba lebih awal, mengenakan kemeja putih sederhana dan celana hitam panjang. Ia terlihat profesional, tapi senyumnya lembut, menenangkan siapa pun yang berbicara dengannya.Sejak pagi, ia membantu menata sistem pengaduan warga bersama tim IT kecil dari pihak panitia. Salah satu dari mereka—seorang pria berusia sekitar awal tiga puluhan—menyapanya dengan ramah saat sedang memasang proyektor di pojok ruangan.“Permisi, Mbak Nayla, colokan listriknya di mana ya?”Nayla menoleh, lalu menunjuk ke arah meja panjang di samping. “Di bawah sana, dekat kaki meja. Tapi hati-hati, kabelnya agak longgar.”Pria itu tersenyum lebar. “Siap, terima kasih, Mbak hukum.”Nada suaranya ringan, tapi sopan. Nayla sempat tertawa kecil mendengar panggilan itu.Setelah acara dimulai dan suasana agak tenang, pria itu kembali mendeka
Pagi di kota terasa berbeda sejak pertemuan itu. Udara yang dulu terasa berat kini lebih ringan, meski masih menyimpan jejak kenangan yang tak bisa sepenuhnya dihapus.Nayla berdiri di depan jendela apartemennya, secangkir kopi di tangan, menatap matahari yang perlahan naik di antara gedung-gedung tinggi. Sinar kuningnya memantul di kaca, menyilaukan, tapi hangat—seperti mengingatkannya bahwa hidup, betapapun rumitnya, selalu punya cara untuk mulai lagi.Sudah tiga minggu sejak hari itu di kafe.Tiga minggu sejak ia menatap Raisa dan Revan, bukan lagi sebagai sosok yang ia cemburui, tapi sebagai bagian dari cerita yang telah membentuk dirinya.Awalnya aneh—keheningan tanpa chat, tanpa rencana pertemuan mendadak, tanpa Revan yang tiba-tiba muncul di ruang kerjanya dengan ekspresi lelah tapi hangat.Namun, dalam keheningan itu, Nayla menemukan ruang. Ruang untuk bernapas. Untuk menjadi dirinya sendiri lagi.Di meja kerjanya kini berserakan dokumen hukum, bukan lagi data tentang Mirror C
Langit kota sore itu seolah menyimpan kelegaan. Awan-awan lembut mengambang di antara jingga dan abu muda, dan angin berembus membawa aroma hujan yang tertinggal dari siang tadi. Raisa berdiri di depan kafe kecil di sudut jalan, tempat yang dulu sering mereka datangi sebelum segalanya menjadi rumit.Ia baru turun dari mobil travel, rambutnya sedikit berantakan tertiup angin. Di tangan kirinya ada map lusuh berisi berkas kasus sengketa rumah yang baru saja ia bantu selesaikan di daerah puncak—kasus yang diam-diam mengajarkan padanya tentang arti keadilan yang sederhana: membantu tanpa pamrih, bahkan ketika dunia tak lagi menyorot.Saat ia hendak masuk ke kafe, suara deru mobil terdengar mendekat. Mobil hitam berhenti di seberang jalan. Dari dalam, Revan keluar lebih dulu. Jasnya terbuka, kemeja putihnya tergulung sampai siku, dan wajahnya... sama seperti terakhir kali Raisa melihatnya: letih tapi hangat.Nayla menyusul dari sisi penumpang. Gadis itu terlihat ragu, langkahnya pelan, sep
Hujan turun perlahan di luar jendela penginapan kecil di lereng puncak Bogor.Kabut menutupi pepohonan, dan suara alam menjadi satu-satunya hal yang terdengar selain detak jam di dinding.Di kursi kayu dekat jendela, Raisa duduk memeluk lutut, mengenakan sweater abu-abu longgar. Di meja kecil di depannya, sebuah ponsel bergetar—nama Revan muncul di layar.Ia menatapnya lama, tapi tidak menyentuh.Ponsel itu berhenti bergetar, lalu diam.Raisa menghela napas panjang. “Maaf, Rev. Aku cuma butuh berhenti sebentar…” bisiknya pelan, seolah kepada dirinya sendiri.Ia menatap ke luar jendela, ke arah lembah yang berkabut. Alam terasa damai, tapi di dalam dadanya, badai masih belum reda.Dua hari berlalu sejak kepergiannya dari Jakarta.Ia menyewa kamar sederhana di penginapan kecil milik pasangan tua. Setiap pagi, ia membantu membersihkan teras, membuat teh melati, lalu menulis catatan di buku kecilnya.Buku itu tidak berjudul. Hanya catatan refleksi—tentang cinta, kesetiaan, dan tentang bat