Navila mengenakan kembali mantel itu. Ia merasa bahwa jenderal itu sangat baik pada dirinya. Meski beberapa kali jenderal itu menciumnya tanpa permintaan sepatah kata pun. Ia merasa bahwa ciuman itu sangat tulus dari hati sang jenderal. Andai sang jenderal meminta lebih, Navila tak keberatan karena ia telah mendapatkan obat untuk ayahnya. Lagi pula jenderal itu sedikit tampan.
‘Hihihi,’ tawa Navila dalam hatinya.
“Ayo, mengapa diam?” Sang jenderal menoleh ke belakang.
Navila menganggukkan kepalanya tanpa menjawab alasan dia melamun. Saat mulai melangkah, pijakkannya seperti kosong. Ia melangkah melewati dua anak tangga sekaligus, tubuhnya terhuyung ke depan akan jatuh.
Navila membayangkan tangan dan tubuhnya yang akan jatuh ke tanah. Tak diduga-duga ia malah mendarat ke tubuh sang jenderal.
“Berhati-hatilah,” ucap sang jenderal.
Navila bisa merasakan tubuh sang jenderal itu sangat kokoh, lengan dan dadanya memiliki otot seorang kesatri
Jenderal itu menjawab, “Aku takut kamu tersesat.”“Aku tak mungkin tersesat, Jenderal,” ucap balik Navila.Sang jenderal membuka genggaman tangannya, tapi Navila malah semakin menggenggam erat tanpa sedikit pun niat melepaskannya.“Aku tak ingin melihatmu disentuh oleh mereka,” ucap sang jenderal dengan menggenggam kembali tangan Navila.“Mengapa?” Navila merasa jenderal itu sedikit kikuk. Sang jenderal tak menjawab tapi malah semakin berjalan dengan cepat. Navila mencoba mengimbangi kecepatan langkahnya sesuai tarikan tangan sang jenderal, tapi pijakannya terlalu cepat di setiap anak tangga.“Argh!” Navila terpeleset, ia jatuh tersungkur ke depan. Beruntung sang jenderal tak tertarik ke belakang, dia hanya tertarik sampai berjongkok saja.“Kamu tidak apa-apa?”“Sakit.”“Maaf berjalan terlalu cepat. Kamu bisa berdiri atau aku perlu mengend
Perempuan itu bertingkah lucu sekali, dia memakan rotinya dengan mengayun-ayunkan kakinya di tepi ranjang. Dia terlihat bahagia dengan tingkah mengemaskan. Peter menebak kaki perempuan itu akan diam ketika memakan bubur gandum itu. Ia tahu bubur itu sangat buruk rasanya: hambar, biji gandumnya terasa setengah matang, dan rasanya sangat mirip dengan lem.Tebakan Peter benar. Ayunan kaki yang bahagia itu berhenti. Perempuan itu memakan bubur gandum itu dengan wajah terpaksa.“Apa yang lucu?” ucap perempuan itu dengan nada yang kesal.“Bubur itu rasanya aneh, bukan? Tidak enak dan hambar.”“Aku menyukainya, Jenderal. Aku bersyukur bisa memakannya, makanan sangat sulit, aku tidak ingin mencelanya.” Ucapan itu terbalik dengan sikapnya, wajahnya sedikit cemberut dan tak ada ayunan kaki bahagianya.Peter sedikit senang mendengar ucapan itu, ia sendiri juga tak suka mencela makanan dalam situasi perang ini. Ia pun kembal
Peter melangkah mengambil mantelnya, kemudian membentangkannya di lantai sebagai alas tidur. Ia juga menarik ranselnya sebagai bantal. Sejujurnya hasratnya masih bergejolak, tapi ia tak ingin mengganggu tidurnya si gadis apel. Ya, Peter memiliki julukan baru untuk perempuan itu yaitu si gadis apel.Ia mulai berbaring. Semerbak wangi apel kembali tercium sama-samar, wangi si gadis apel masih membekas di mantel itu. Peter menyukainya dan matanya mulai terpejam.Boom! Suara ledakan roket terdengar meledak di tempat yang cukup jauh, tapi getarannya merambat hingga tempatnya tidur. Peter terbangun di sebuah ruangan bekas gedung. Suara roda besi mulai terdengar bergerak mendekat, semua orang kenal suara mesin yang berat itu, itu adalah suara tank.Peter bangkit dengan kepala pening sama seperti di setiap bangun tidurnya. Ia berjalan mendekat ke jendela dengan dinding sebagai rambatannya. Jendela itu menghadap tepat di persimpangan jalan, ia berada di lantai tingkat ti
Navila terbangun oleh suara nafas pria yang terengah-engah, ia merasa tubuhnya diselimuti sesuatu yang hangat. Ia spontan terperanjat bangun dan terbayang sesuatu hal yang buruk terjadi padanya. Ia begitu bodoh menerima tawaran tidur di kamar seorang pria yang tak dikenal. Akan tetapi, ternyata tak ada seorang pun yang menyentuhnya. Ia duduk dengan selimut hangat yang melorot. Sedangkan suara nafas terengah-engah itu berasal dari sang jenderal.Jenderal itu sedang duduk beralaskan mantelnya di lantai. Tangan kanannya menjulur ke depan seperti sedang mengacungkan pistol. Kening, kepala, baju, dan tubuhnya basah oleh keringat. Jenderal itu seperti baru saja berlari berkilo-kilo meter.“Kamu baik-baik saja, Jenderal?” tanya Navila.Lengan kanannya yang mengacung ke depan tiba-tiba berputar ke arah Navila. Meski dengan tangan kosong, Jenderal itu seolah-olah sedang mengacungkan pistol ke hadapan Navila. Mata jenderal itu terbuka lebar, tapi pandang
Navila kembali ke posisinya seperti tadi, ia duduk di samping jenderal itu dengan mengelus-elus lengan sang jenderal. Ia tak merasa keberatan, mungkin cara itulah bagi Navila untuk membayar harga obat yang dia minta. Lagi pula, ia senang bisa lebih lama memandang wajah tampan itu sebelum pergi. Mungkin, esok ia tak akan kembali ke kamar sang jenderal. Ia sudah mendapatkan obat dan tak memiliki niat kembali ke benteng Esthaz. Sebenarnya, ada sedikit harapannya ingin bertemu kembali pada sang jenderal.Lima menit berlalu, ia sedikit merasa bosan. Karena itu, ia mencoba bersenandung, berharap sang jenderal itu lekas tidur seperti ibunya yang meninabobokan Navila ketika kecil.Tidur, tidurlah burung kecilDi bawah pohon rindangBerselimut angin sejukDisenandungkan padang rumputTidur, tidurlah burung kecilLangit biru terbentang luasPertualangan esok akan hebatTerbang, terbanglah dengan bebas
Peter mulai terbangun. Hidungnya terasa geli karena sebuah helai rambut dan wangi parfum apel yang kembali tercium. Ia sadar sedang tidur dengan si gadis apel. Gejolak hasratnya seperti ingin meledak tadi malam dan bahkan masih belum turun hingga ia bangun. Bahkan hasrat kejantanannya terus terangsang. Ia pria normal tapi tetap mencoba menjaga sikap.Ada yang berbeda dari bangun tidurnya kali ini, kepalanya tidak terasa pening. Ia merasakan tidur nyenyak untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan. Meskipun ia sempat bermimpi buruk tadi malam, tapi ia tidak lagi bermimpi buruk setelah si gadis apel menemaninya tidur. Sungguh aneh pikirnya.Peter membuka matanya, wajah perempuan itu sangat dekat. Si gadis apel juga tertidur nyenyak, matanya terpejam dengan indah dan bibirnya tak merapat sepenuhnya. Semakin lama ia memandang wajah cantik dan bibir manis itu, gejolak hasrat Peter semakin sulit tertahankan.Tangannya masih merangkul pinggang perempuan itu. Ia
‘Aku juga menyukaimu,’ batin Peter. Ia terdiam beberapa saat di anak tangga.Si gadis apel tampak semakin penasaran, “Ya, Jenderal?”“Kamu juga orang baik, aku harap kamu tak kemari lagi,” ucap Peter datar.“Baik,” ucap si gadis apel yang terlihat sedikit tidak senang.Apa salahnya? Peter tidak ingin melihat perempuan itu melacurkan dirinya seperti lainnya. Ia kembali menarik genggaman tangan itu dan melanjutkan langkah mereka. Di lantai satu, ruang itu terasa hangat meski api perapian hanya menyisakan sedikit bara. Tak ada seorang pun di sana.Peter pun membuka pintu, angin dingin langsung menerpa wajahnya, dan si gadis apel itu tiba-tiba melepas genggaman tangan mereka. Ia menoleh, tampak si gadis apel langsung melipat tangannya karena hawa dingin yang datang. Ia pun kembali menutup pintu tapi tak begitu rapat.“Aku akan mengambilkan mantel untukmu,” ucap Peter.“Tida
“Apa yang dia katakan?” tanya ulang sang jenderal itu. Navila mencoba berpikir sejenak, ia tak mungkin mengatakan perkataan Adeline yang menebak seolah tahu perasaannya.‘Jangan sampai kamu jatuh cinta,’ bisik Adeline tadi dengan bercanda.Bagaimana bisa Adeline tahu? Apa dia hanya bercanda? Apa dia juga berpikir bahwa jenderal itu tampan juga? Entah mengapa pikirannya berkecamuk sendiri. Sang jenderal itu masih menanti jawaban, sedangkan Navila masih memikirkannya.“D-dia bertanya, apakah aku akan kemari lagi?” bohong Navila.“Seperti itu? Baguslah, tempat ini sangat buruk itu perempuan sepertimu,” ucap sang jenderal dengan nada kecewa.Mereka diam sejenak di pintu yang setengah terbuka. Udara dingin sedikit menerpa lengan Navila, tapi ia mencoba tetap kuat. Ia tak ingin terlihat sedikit lemah atau kedinginan, ia tak ingin merepotkan lagi jenderal itu.Suara Adeline yang sedikit lantang bahkan